Sampul buku "War of Words" karya Paul D. Tripp

War of Words

Judul: War of Words
Penulis: Paul David Tripp
Penerbit: Momentum
Tebal: xii + 332 hlm.
Cetakan: Pertama, Oktober 2004

Ada pepatah yang mengatakan “Silent is golden” bahkan ada lagu yang dalam liriknya yang mengatakan “You say the best when you say nothing at all”. Kata-kata, siapa sih yang tidak pernah bermasalah dengan kata-kata? Entah orang lain yang berkata-kata kepada kita atau kita yang berkata-kata kepada orang lain. Alkitab juga mengatakan bahwa “… tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidaklah boleh demikian terjadi.” (Yak. 3:8-10) Tapi kita, orang Kristen yang sudah ditebus oleh darah Yesus Kristus dituntut untuk senantiasa ramah, penuh kasih mesra dan saling mengampuni (Ef. 4:32) dan membuang segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah (Ef. 4:31). Mungkinkah itu terjadi? Daripada saya bicara tapi nanti jadi masalah, lebih baik diam saja dan semua aman tenteram. Benarkah demikian? Aman tenteram di luar tapi naga di dalam hati menggeliat tak henti-hentinya sampai akhirnya tiba saatnya ketika naga itu akhirnya mengeluarkan api yang menghanguskan dan rusaklah hubungan antar manusia. Tapi kalau saya bicara, nanti dia tersinggung bagaimana? Benarkah masalah selalu terletak pada orang lain? Apakah kita sudah berbicara dengan cara yang benar, intonasi yang benar, gaya bicara yang benar, yang sungguh-sungguh dimotivasi agar orang lain bertumbuh, atau hanya ungkapan kekesalan kita atas kesalahan orang lain ataupun kelemahan orang lain yang mengakibatkan kita susah? Bahkan penggunaan kamar mandi oleh orang lain pun dapat membuat kita segera melontarkan kata-kata yang menyakitkan karena ketidaksabaran kita.

Selama kita hidup, kita pasti berbicara, kita pasti berkomunikasi. Bukan saja dengan mulut kita berkomunikasi, tetapi juga dengan mimik muka sampai gerak-gerik tubuh kita, semuanya mengkomunikasikan diri kita. Ada orang yang tidak berani menatap mata orang lain ketika berbicara, ada orang yang ketika berbohong matanya sering berkedip, dan sebagainya. Namun, komunikasi yang seperti apakah yang kita dambakan? Apakah kita sudah berkomunikasi seperti demikian juga? Apakah yang menjadi standar untuk berkomunikasi? Apakah kita harus mempelajari teknik-teknik berkomunikasi bahkan sampai kursus John Robert Powers untuk dapat berkomunikasi dengan baik kepada sesama manusia?

Alkitab mengatakan bahwa yang pertama kali berbicara adalah Allah. Allah Tritunggal berbicara satu sama lain sebelum menciptakan manusia, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita….” (Kej. 1:26). Dan yang pertama kali berbicara kepada manusia adalah Allah, “Beranak-cuculah dan bertambah banyak….” (Kej. 1:28). Pertama kali manusia berbicara kepada manusia lain, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.…” (Kej. 2:23). Manusia berada dalam relasi yang sangat baik dan harmonis dengan Allah, Penciptanya, dan dengan sesamanya. Sampai suatu saat Iblis datang dan berbicara kepada Hawa dan Iblis mempertanyakan kebenaran perkataan Tuhan. Kemudian Hawa menimbangnya dan akhirnya memutuskan untuk mengetes apakah perkataan Tuhan itu benar atau salah. Namun tidak dapat kembali lagi, konsekuensi dari mengetes itu adalah manusia jatuh ke dalam dosa dan akibatnya adalah mati. Mati karena terpisah dari sumber hidupnya, penciptanya, Allah. Manusia telah diperdaya oleh si Iblis. Sejak saat itu pula, komunikasi manusia dengan Allah maupun dengan sesamanya bahkan dengan dirinya sendiri menjadi dosa semata. Adam berkata kepada Tuhan, “Perempuan yang Kautempatkan itu yang membuat aku berdosa.” (Kej. 3:12). Dengan kata lain, “Tuhan yang kasih Hawa kepadaku makanya aku jadi berdosa,” padahal sebelumnya ia sangat membanggakan Hawa, “Inilah dia…” Adam menyalahkan Tuhan dan Hawa padahal ia sangat bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Hawa berkata kepada Tuhan, “Ular itu yang memperdayakan aku.” (Kej. 1:13). Hawa mengalihkan tanggung jawabnya kepada ular, “Ular bilang begitu sih, salah dia bukan aku.”

Manusia tidak mau mengakui keberdosaan mereka bahwa mereka ingin berotoritas seperti Tuhan. Mereka tidak mau menjadi image of God, mereka mau menjadi God. Apapun alasan yang diberikan oleh Adam maupun Hawa, ketika otoritas Tuhan sampai, keputusan Hakim segala hakim dinyatakan, manusia menjadi terkutuk, Iblis menjadi terkutuk, semua ciptaan menjadi terkutuk, termasuk komunikasi. Manusia tidak lagi memiliki relasi yang harmonis baik dengan Allah, sesamanya manusia, ataupun dirinya sendiri. Perkataannya senantiasa didasari dengan semangat “Aku yang berotoritas”, “Aku yang menetapkan apa yang benar dan apa yang salah”. Ingat tidak Rule #1. Your Boss is always right. Rule #2. If you think your boss is wrong, refer to rule #1. Begitulah komunikasi semua umat manusia di dunia ini sekarang. Komunikasi dalam masa pacaran adalah komunikasi yang paling indah karena satu sama lain saling mengalah, saling melayani, saling mengampuni, dan saling ingin menyenangkan yang lain. Tetapi surga di masa pacaran tak jarang menjadi neraka di masa pernikahan. Setelah memasuki pernikahan, komunikasi yang semula sangat indah menjadi tantangan utama yang dapat meretakkan ikatan pernikahan. Bahkan ada penelitian yang mengatakan bahwa lima tahun pertama dalam pernikahan adalah masa yang paling berisiko. Silver ataupun golden wedding anniversary sangatlah dibanggakan sampai-sampai perlu dirayakan besar-besaran.

Paul, yang adalah seorang hamba Tuhan, konselor, pembicara seminar, dan kepala keluarga mengatakan bahwa masalah kata-kata sering adalah masalah penafsiran. Kita tidak merespons orang dan lingkungan dalam kehidupan kita berdasarkan fakta-fakta tetapi berdasarkan pada cara kita menafsirkan fakta itu (hlm. 28). Kejatuhan terjadi ketika manusia pertama kali mempercayai penafsiran Iblis lebih daripada penafsiran Allah. Ketika manusia lebih mempercayai lies rather than the truth. Ketika Alvin and the Chipmunks lebih mempercayai Uncle Ian lebih daripada Dave Seville.[1] Banyak permasalahan selesai jika kita mau melihatnya dari kacamata Allah daripada dari kacamata kita sendiri. Banyak permasalahan selesai ketika kita mengembalikan otoritas kepada Allah, ketika kita berespons sebagaimana Allah berespons.

Tidak ada harapan bagi manusia yang sudah dikutuk Allah. Manusia tidak tahu lagi apa yang baik dan apa yang buruk. Sesungguhnya, manusia dapat mengenal Allah dari semua ciptaan-Nya. “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. …. Sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.” (Rm. 1:19-21). Manusia hanya mau memuliakan Diri, karena itu manusia menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm. 1:18). Putusan telah dijatuhkan, manusia hanya tinggal menunggu mati tiba kepadanya (karena anugerah saja manusia tidak langsung mati tetapi berada dalam proses mati). Hanya terang Allah yang menerangi jiwa manusia yang gelap saja yang mampu membawa manusia kembali ke dalam relasi yang harmonis dengan Allah. Dengan penebusan Yesus Kristus di atas kayu salib, hati manusia ditebus, cara berpikir, komunikasi, emosi, keinginan, seluruh hidupnya ditebus. Ada harapan bagi kita untuk berkomunikasi dengan baik, sesuai dengan standar Allah! Yes!

Harapan telah diberikan, kita menyambutnya dengan gembira. Namun ketika kita berhadapan langsung dengan pokok permasalahan, bukan reaksi yang telah ditebus yang kita nyatakan tetapi masih reaksi yang lama, yang sedemikian kuat mengalahkan reaksi yang ditebus. Kembalilah kita putus asa dan berpikir, “Apakah benar redemption itu sudah sampai kepada saya?” Dalam buku War of Words, Paul memulainya dengan memperlihatkan kepada kita asal muasal kata-kata sampai kepada penebusan di mana Firman menjadi daging. Dia mengerti pergumulan kita untuk berbicara secara menebus. Prinsip utama adalah dengan kembali mengakui bahwa hanya Allah saja yang berotoritas. Dia yang berotoritas atas setiap perkataan kita. Bukan agenda, keinginan, cara/metode/aturan main, ataupun misi kita yang hendak dicapai melainkan agenda, kehendak, aturan main Tuhan dan misi Tuhan yang hendak kita capai. Karena Dialah Raja itu bukan kita.

Kita tidak senantiasa menang dalam semua pergumulan. Bahkan ketika kita jatuh pun, tidak setiap saat kita menyadarinya. Karena itu diperlukan konfrontasi dari sesama kita manusia untuk membawa kita kembali ke dalam perjuangan redemption. Ketika kita harus melakukan konfrontasi, hendaklah kita melakukannya dengan motivasi yang sungguh-sungguh bersih. Paul memberikan beberapa nasihat praktis dalam mengkonfrontasi agar menjadi berkat bagi orang yang bersangkutan, bukan sakit hati yang semakin memperlebar jurang relasi antar manusia.

What should I do next? Bab terakhir adalah bab tentang pengalihan dari berkata-kata dalam dosa menuju berkata-kata secara menebus. Yang terutama menurut Paul adalah bahwa diri kita sendiri yang harus terlebih dahulu bertobat karena “… yang diucapkan mulutnya meluap dari hatinya” (Luk. 6:46). Akhirnya, bagaimana kita memenangkan perang dengan kata-kata ini? Seperti apakah kemenangan itu? Adalah kemenangan yang menegaskan kemerdekaan kita di dalam Kristus, yang sanggup mengatakan “tidak” kepada dosa dan “ya” pada pimpinan Roh Kudus dengan tujuan memulihkan. Kata-kata apa yang harus kita gunakan sekarang? Jelas sudah kita harus memilih kata-kata yang akan kita ucapkan dan apakah kata-kata tersebut tepat. Paul menganjurkan kita untuk memilih kata-kata kebenaran, kata-kata kasih, kata-kata pengekang, kata-kata anugerah, dan kata-kata pengampunan.

Life is war! Alkitab mengatakan bahwa perang kita bukanlah melawan orang lain, melainkan roh-roh jahat di udara! (Ef. 6:12-13) Peperangan ini adalah peperangan hati, peperangan untuk menentukan siapa yang memegang kendali atas hati kita. Allahkah? Atau Iblis, yang lebih sering dikenali dengan Diri?

 

Yana Valentina

Redaksi Bahasa PILLAR

 


[1] Film Alvin and the Chipmunks adalah film yang dirilis pada tahun 2007 yang menceritakan tentang tiga bajing tanah yang menjadi terkenal di Amerika Serikat karena kemampuan bernyanyinya. Dave Seville adalah orang yang mengorbitkan mereka dan yang menganggap mereka sebagai keluarganya sendiri namun daya pikat Uncle Ian yang memuaskan nasfu ketiga bajing tanah ini membuat mereka lebih mempercayai Uncle Ian yang memberikan mereka kebebasan dengan tipu muslihatnya daripada Dave Seville yang terlihat seperti mengekang kebebasan mereka.