Yoh. 1:4-5
Yohanes 1:4 bisa juga diterjemahkan: Di dalam Firman ada hidup, dan hidup ini adalah terang manusia. Terang menerangi kegelapan, tetapi kegelapan tidak mau menerima terang. Kita telah menyinggung sedikit tentang terang. Dan dari pembahasan tentang budaya-budaya yang berkaitan dengan Logos, kita juga telah melihat bahwa pemikiran Yohanes tentang Logos telah melampaui yang lain. Logos dalam pemikiran Yohanes bukan berada di dalam atau di bawah alam. Dia beserta dengan Allah dan Dia adalah Allah. Inilah perbedaan kualitatif antara wahyu Allah dan hasil penemuan atau spekulasi pikiran manusia. Sebagai orang Reformed kita seharusnya mampu menemukan perbedaan kualitatif (qualitative difference) antara kedua pola pikir ini. Di sini membedakan bagaimana kita melihat Alkitab dan orang luar melihat Alkitab. Bagi kebanyakan orang, Alkitab hanyalah salah satu dari beberapa kitab agung yang ada di dunia ini. Orang percaya melihat Alkitab sebagai wahyu Allah dan satu-satunya sumber kebenaran bagi kita. Hanya Yohanes yang menemukan: Firman itu beserta Allah dan Firman itu adalah Allah.
Kita akan melihat pengertian Logos di dalam sejarah. Di zaman Mao Zedong ada satu jenis porselen yang teknik pembuatannya berbeda dari semua porselen yang ada. Di tengah porselen berwarna putih itu dibubuhkan satu cap berwarna, untuk menandakan bahwa porselen itu asli. Cap itu tidak terlihat secara biasa, tetapi bisa dilihat jika diletakkan di bawah cahaya. Sebenarnya, 600 tahun sebelum Mao Zedong, ada kaisar Yongle, kaisar ketiga dan yang paling ambisius dari dinasti Ming. Ia membangun istana terbesar di dunia, Forbidden City, di Beijing. Sejak dibangun pada tahun 1403, istana itu telah beberapa kali terbakar. Terakhir direnovasi sekitar tahun 2005 untuk menyongsong Olimpiade Beijing 2008. Kaisar Yongle yang pertama kali membuat porselen putih, di dalamnya terdapat naga berwarna biru yang terbuat dari cobalt yang dibakar dengan suhu 1200 derajat Celsius; dan mutiara berwarna merah yang terbuat dari perunggu yang dibakar 1300 derajat Celsius dan perlu pengontrolan oksigen. Cap rahasia itu hanya dapat dilihat di bawah cahaya dan itu merupakan jaminan keaslian karya itu. Demikian juga Tuhan, ketika mencipta segala sesuatu, Ia membubuhkan tanda tangan-Nya. Lalu bangsa Tionghoa, India, Gerika, melalui logika menemukan dalil standar, yang kemudian dikenal dengan bidang-bidang studi, yang diakhiri dengan kata “logi” seperti: geologi, psikologi, biologi, dan lain-lain. Bidang-bidang ilmu ini menemukan tanda tangan Allah di dalam ciptaan-Nya. Namun, Allah Pencipta bukanlah logika, melainkan Logos. Logos menandatangani logi, dan ditemukan oleh logikos. Di sini Yohanes menegaskan bahwa Logos itu bukan di dalam alam, tetapi bersama dengan Allah dan adalah Allah. Jadi orang Kristen jangan hanya ingin menjadi kaya, lancar, sukses; tetapi juga harus tahu betapa ajaibnya Tuhan mencipta segala sesuatu. Lebih ajaib lagi, Ia telah mengirimkan Anak-Nya untuk menyelamatkan manusia, engkau dan saya. Dan sebagai buktinya, Allah Roh Kudus tinggal di dalam hati kita.
Pada zaman ini, kekristenan telah banyak diselewengkan oleh banyak pendeta dan gereja yang tidak bertanggung jawab. Reformed berarti kembali kepada Alkitab. Bagaimana kita bisa membawa banyak orang kembali mengikuti jalan Alkitab, jalur Alkitab, prinsip Alkitab secara benar? Inilah tugas berat yang harus kita emban. Firman itu bersama dengan Allah, tetapi di dalam alam ciptaan-Nya, ada tanda tangan-Nya, prinsip-prinsip dan dalil-dalil-Nya, sebagai tanda bahwa Dia telah berkarya di sini. Dengan demikian memungkinkan manusia mengarahkan imannya dari dunia sini menuju ke surga sana.
Pada mulanya adalah Firman dan Firman beserta dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh-Nya, tanpa Dia tidak ada sesuatu yang ada. Di sini kita melihat satu Pencipta, bukan dua lapisan penciptaan. Yohanes menegaskan, tidak perlu ada allah pencipta yang kurang sempurna, karena dunia ini dicipta langsung oleh-Nya. Mengapa Allah yang sempurna mencipta dunia yang tidak sempurna, dijawab oleh Gottfried Leibniz[1], seorang filsuf Jerman, yang reputasinya setara dengan Rene Descartes dan Baruch Spinoza. Ketiganya dikenal sebagai rasionalis tertinggi di dalam sejarah. Dari ketiganya, hanya Leibniz yang lebih cenderung ke Kristen. Leibniz menjawab secara apologetis, jika Allah mencipta dunia identik dan sekualitas dengan Diri-Nya, maka akan ada dua Allah. Dan itu berarti Allah mencipta Allah, padahal Allah tidak mungkin dicipta. Itu mustahil. Jadi ciptaan Allah justru tidak boleh sekualitas dengan Allah. Dengan demikian, kita tidak mungkin boleh dan bisa mengidentikkan dunia yang tidak sempurna ini dengan Allah yang sempurna.
Melalui ayat ini, Yohanes menegaskan relasi antara Allah dan Logos dalam mencipta. Bukannya Allah mencipta Logos, lalu Logos mencipta alam, seperti pada pikiran Stoisisme. Yohanes menyatakan bahwa Allah memakai Logos untuk mencipta alam semesta yang tidak sempurna; sementara Allah dan Logos tetap sempurna. Alam yang dicipta memiliki perbedaan kualitatif dari Allah dan Logos yang mencipta, dan perbedaan kualitatif ini merupakan suatu keharusan mutlak. Namun, melalui ayat ini, bisa timbul kesan bahwa ada dua Allah, yaitu Allah dan Logos. Di sini kita melihat pertama kali Yohanes mulai masuk ke dalam ajaran Allah Tritunggal. Saya rasa, Saksi Yehovah, Arius, Modalisme (Sabellianisme), Manichaeisme, Witness Lee salah mengerti tentang pemikiran Yohanes. Firman itu bukanlah ciptaan. Firman itu adalah Allah. Celakanya, mereka menganggap diri lebih pandai menafsir dan lebih mengerti Kitab Suci. Melihat Logos sebagai ciptaan Allah adalah sebuah kesalahan besar. Mereka melandaskan ajaran mereka dari Kolose 1 dan Wahyu 3, yang mengatakan: Logos (Kristus) adalah yang utama dari semua ciptaan. Lalu mereka menganggapnya bahwa Kristus adalah ciptaan yang pertama (first created). Sepintas, secara tata bahasa memang bisa dimengerti sedemikian, namun secara theologis hal itu tidak mungkin dapat diartikan demikian, karena Kristus sendiri mengatakan bahwa Aku adalah Alfa dan Omega. Seluruh Kitab Suci juga menunjang Kristus yang tidak berubah, dahulu, sekarang dan selamanya (Ibr. 13). Ia adalah Allah yang kekal. Pengertian “Aku adalah…,” yang dalam bahasa Gerika “ego eimi…” dimengerti dari sejak Perjanjian Lama oleh orang Yahudi sebagai julukan bagi Allah. Istilah itu menunjuk pada Allah Pencipta langit dan bumi. Tuhan berkata kepada Musa: Aku adalah Aku (ego eimi). Frasa ini yang banyak sekali dipakai oleh Injil Yohanes.
Tetapi pemikiran ini belum menyelesaikan bagaimana mengerti “Firman itu bersama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”. Di dalam pikiran orang Yahudi, Allah itu esa, hanya ada satu Pribadi. Konsep ini salah. Orang Kristen melihat bahwa Yesus yang memberitakan Kerajaan Allah, melakukan mujizat, dipaku di kayu salib, bukanlah manusia biasa, melainkan Allah yang berinkarnasi. Dengan ini, konsep bahwa Allah hanya satu Pribadi haruslah digugurkan. Itu sebabnya Yesus menegakkan pengertian yang benar, dan Ia tidak memilih murid dari Yerusalem, melainkan dari Galilea. Artinya, Ia menentang konsep orang Yahudi yang dibakukan dan diturunkan dari Arus Pemikiran Yerusalem (academical tradition of Jerusalem School). Kita memang tidak membuang Perjanjian Lama, tetapi kita harus membuang tradisi orang Yahudi yang salah. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama adalah firman Tuhan dan keduanya tidak bisa dihilangkan. Allah ingin membuang sikap mereka yang arogan, yang menganggap diri mengerti Kitab Suci, padahal mereka mengerti secara salah. Mereka mengerti hanya secara hurufiah yang mematikan, dan bukan pengertian rohani yang menghidupkan. Itu sebabnya, kita perlu menuntut diri untuk mengerti firman Tuhan seakurat mungkin, bukan menurut apa yang kita inginkan. Dan dalam hal ini, Yohanes sangat peka. Perkataan Yesus, “Anggur yang baru tidak diisikan ke kirbat yang tua,” menandai hadirnya era yang baru, era kehidupan yang bersinar dan Perjanjian Baru yang diwahyukan.
Di dalam filsafat Gerika terdapat Plato. Ia menjadi begitu penting karena pada awalnya filsafat Gerika mengandalkan logika untuk meneliti fisika, metafisika, dan lain-lain. Namun, kemudian Socrates membalikkan ke sebuah paradigma yang baru, yaitu “untuk mengenal segala sesuatu, harus dimulai dari mengenal diri” (gnothi seauton). Socrates adalah guru terbesar zaman kuno yang mendidik umat manusia. Muridnya, Plato, meneliti kosmologi dengan sangat luas. Ia mengadopsi pikiran-pikiran kuno sebelum Socrates. Plato mengembangkan pikirannya bahwa dunia yang tampak ini hanya fenomena, sementara dunia yang asli tidak di sini. Itulah dunia yang sempurna. Dunia itu ada di dalam ide. Ide itu yang menuntut pikiran manusia dan menyadari bahwa di sana ada yang sempurna, sehingga kita yang di sini mau meraih kesempurnaan itu. Namun, akhirnya menemukan bahwa yang di sini tidak sempurna. Manusia dengan ide yang sempurna ini kemudian mau belajar dan menuntut diri dengan cara berguru. Tetapi akhirnya, ia menemukan bahwa tidak ada guru yang sempurna, maka ia terpaksa berkompromi. Ide memang sempurna, tetapi realitas tidak sempurna. Ide tinggi; realitas rendah. Seseorang mencari isteri yang sempurna, ketika ia mendapati orang yang mendekati idenya, ternyata wanita itu begitu cerewet yang membuat dia tidak tahan. Di situ dia harus berkompromi. Bagi Plato, dunia ide ini (form/bentuk) dibedakan dari realitas (matter/materi). Tetapi form yang tak tampak, selalu ada di dalam matter yang tampak. Ketika seseorang mau membuat sebuah gelas, dia memulai dengan ide tentang gelas yang indah. Itu disebut desain. Allah adalah Perancang Agung. Ia meletakkan form (bentuk) menjadi matter (materi). Ia merealisasikan ide menjadi ciptaan. Maka, bagi Plato, ada Form (bentuk), ada Ide di sana, dan ada Matter (materi) di sini. Lalu ia mulai mendirikan sekolah yang diberi nama Akademia. Maka istilah ‘akademi’ dimulai dari Plato.
Pendapat Plato ditentang oleh Aristoteles, seorang muridnya yang sangat pandai. Dia berani menentang pendapat gurunya. Ketika Aristoteles ditanya apakah dia tak mencintai gurunya, jawabnya: “bukan aku tidak mencintai guruku, tetapi aku harus mencintai kebenaran lebih dari mencintai guruku.” Di sini terjadi penerobosan dalam metode pembelajaran (methodology of teaching), yang dimulai dari semangat pemberontakan dan semangat berdebat demi kebenaran oleh Aristoteles. Maka sistem pendidikan di Barat mengizinkan murid berbeda pendapat dengan gurunya. Sistem pendidikan seperti itulah yang membawa Barat, selama 2400 tahun terus maju. Dan itu pula perbedaan signifikan antara pendidikan Tiongkok (Timur) dengan pendidikan Barat. Hal semacam ini harus diperhatikan di dalam kita menerapkan pendidikan di sekolah. Mendirikan sekolah bukan untuk mencari uang, tetapi benar-benar menegakkan kebenaran dan memuliakan Tuhan. Pemikiran Plato ini merajalela selama 1500 tahun, kemudian digantikan oleh pemikiran Aristoteles. Maka selama 600 tahun belakangan ini, Katholik Modern mengikuti Aristotelianisme, di mana terdapat gabungan antara form (bentuk) dan matter (materi). Sebelumnya Katholik menganut paham Neo Platonisme, yang percaya ada materi di sini dan bentuk di sana.
School of Athens adalah satu lukisan Raphaello, yang melukiskan puluhan filsuf. Termasuk di dalamnya Democritus, Socrates, Aristoteles, Herodotus, Euclid, bahkan Averroes (abad ke-13), berada di dalam suatu gedung besar. Hanya dua kepala berlatar belakang angkasa biru yang dihiasi awan-awan, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato mewakili Idealisme. Aristoteles mewakili Realisme. Dilukiskan Plato berdebat dengan satu tangan memegang buku besar (Timaeus), tangan yang lain menunjuk ke atas, wajahnya serius. Aristoteles menghadap gurunya, satu tangannya juga memegang buku (Etika), tangan yang lain menunjuk ke bawah. Mereka adalah pemikir agung dengan pemikiran yang universal. Dasar bicara Plato adalah buku Timaeus: bentuk di sana, materi di sini. Dasar pembicaraan Aristoteles adalah buku Etika: bentuk dan materi sama-sama di sini, keduanya menyatu. Perdebatan itu terus berlangsung sampai abad ke-4, bahkan sampai awal abad ke-5. Agustinus pada awalnya menafsir Kitab Suci mengikuti filsafat Plato dan memberi pengaruh pada gereja mula-mula. Namun, kemudian ia berusaha keras untuk melepaskan diri dan berhasil menjadi filsuf Kristen yang pertama, yang mengangkat pentingnya fungsi rasio, sehingga orang yang percaya kepada Tuhan Yesus dapat memiliki pengertian akan apa yang mereka percaya (Credo ut intelligam – aku percaya, maka aku mengerti). Setelah dia, selama 600 tahun tidak ada pemikir yang penting. Baru pada abad ke-11, Anselmus menegakkan doktrin Kristologi, menghapus pengertian theolog sebelumnya yang salah tentang harga penebusan Kristus yang tunai itu dibayarkan kepada setan, dengan menegaskan bahwa harga tebusan tunai itu diberikan pada Allah. Dengan demikian pengertian Kristologi dan Soteriologi menjadi lebih sempurna. Tetapi juga di abad ke-11, gereja Ortodoks pecah dari gereja Katholik, membuat Katholik tak lagi menjadi gereja universal, dan hanya menyandang nama Katholik Roma, karena gereja Katholik itu mengacu pada gereja di Roma. Sementara di luar Roma masih ada banyak orang yang imannya Ortodoks, yang di Rusia disebut Ortodoks Rusia, yang di Yunani disebut Yunani Ortodoks, yang di Persia, Turki dan tempat-tempat lain disebut Ortodoks Timur. Perpecahan gereja yang pertama terjadi pada tahun 1054 antara Katholik Roma dan Ortodoks Timur. Ortodoks Timur lebih menyukai theologi Yohanes, Katholik Roma lebih menyukai Theologi Paulus. Selain di gereja Katholik juga terjadi perdebatan tentang asal usul Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak. Empat ratus tahun kemudian, pada tahun 1517, gereja Katholik mengalami perpecahan lagi dan muncullah Protestan, berkat keberanian Martin Luther, yang menganut arus pikir Agustinus. Dia menentang semua ajaran manusia dan tradisi yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, memakai slogan: sola scriptura, sola fide, sola gratia, solus Christos, soli Deo gloria, yang terpampang di atas gedung Reformed Millennium Center di Kemayoran.
Sekitar abad ke-13, pengaruh Aristoteles melejit, melampaui pengaruh Plato, dan merajalela di dunia akademis. Pada abad itu, tiga agama: Kristen, Yahudi, dan Islam, memperebutkan takhta akademis di seluruh tempat pendidikan penting di Eropa. Akibat perpecahan di abad ke-11, Katholik mulai menggalakkan pengajaran doktrin, guna menunjang iman kepercayaan. Maka dimulailah Monastery (Biara). Dan di abad ke-12, Biara (Seminari) berkembang menjadi Universitas, memimpin dunia akademisi. Universitas yang pertama di dunia adalah The University of Paris, di Perancis. Baru disusul Oxford University, Cambridge University, Genoa University, University of Heidelberg, University of Prague, dan kota-kota lain pun mulai mendirikan universitas. Universitas yang tadinya berasal dari biara, menambahkan pelajaran-pelajaran lain, yang mengelilingi satu pelajaran terpenting: theologi. Itu sebabnya, universitas Barat menjadikan fakultas theologi sebagai induk, fakultas lain sebagai subordinat, dan karena itu theologi dijuluki the Queen of Science (Ratu Sains). Tetapi sekarang, universitas-universitas di Jakarta tidak punya fakultas theologi. Bahkan Beijing University, sebelumnya bernama Yanjing University, didirikan oleh misionaris Kristen. Setelah diambil alih oleh orang Tionghoa, fakultas theologi ditiadakan. Dan semua universitas di Asia tidak memandang penting firman Tuhan, hanya mau belajar pengetahuan dunia lalu melawan Tuhan.
Aristoteles menegakkan pentingnya menyelidiki dunia, bukan hanya berspekulasi. Karena menurut dia, segala sesuatu terdiri dari empat unsur: tujuan, materi, alasan, efektivitas. Misalnya, sebelum saya membuat kotak tissue ini, sudah punya tujuan, agar tissue-tissue tak berantakan, maka tissue harus bisa diambil per lembar, bisa muat seratus lebih lembar tissue. Baru saya mencari materinya, warnanya dan lain-lain, karena di dalam materi yang nampak pasti ada ide yang tak nampak, maka form dan matter tidak dapat dipisahkan. Aristoteles memang salah seorang yang sangat cerdas, luar biasa, kreatif, dan tajam di sepanjang sejarah. Dia menulis lebih dari seribu buku otoritatif di zamannya di banyak bidang, dari astronomi, meteorologi, pergerakan binatang, anatomi, kedokteran, fisiologi, bagaimana wanita melahirkan anak, dan lain-lain. Dia berusaha menjawab semua perkara yang pernah terlintas di dalam pikiran manusia selama ribuan tahun. Dia hidup pada tahun 380 SM, tetapi baru di abad ke-13, sesudah dia mati hampir 1500 tahun, namanya melejit, pemikirannya jadi signifikan, menggantikan pemikiran Plato.
Tiga agama berebut takhta akademis, karena masing-masing merasa paling benar. Di Universitas Paris, Katholik merasa paling benar. Namun, sekarang semua bisa masuk. Mengapa Islam bisa masuk? Karena selama 600 tahun lebih orang Kristen sudah meninggalkan ajaran Agustinus, melupakan pentingnya pengetahuan iman, hanya memikirkan dan meminta berkat Tuhan, mujizat Tuhan, mau kaya, mau hidup nyaman, mirip seperti ajaran Karismatik pada masa kini. Maka beberapa ratus tahun kemudian, gereja penuh dengan orang bodoh. Orang yang pandai meninggalkan gereja. Sementara orang Islam muncul sebagai orang yang sangat pandai, sehingga mereka pun diundang mengajar di Eropa. Salah seorang Arab yang diundang menjadi profesor di Paris University, Averroes, merajalela, katanya: Saya mengerti logika, filsafat Aristoteles, epistemologi, silogisme, dan lain-lain, sementara kalian (orang Kristen) tidak mengetahui semua ini. Maka orang Katholik dan orang Yahudi tidak mau kalah, dan mereka mulai mengejar dan belajar filsafat Aristoteles. Setelah bertarung puluhan tahun, Katholik menang.
Mungkin Saudara merasa mengapa kita harus membahas Injil Yohanes serumit itu? Jika kita mau seumur hidup menjadi orang bodoh, memang kita tidak perlu belajar seperti ini. Tetapi jikalau engkau mau belajar dengan sungguh, simaklah dengan seksama, maka engkau akan memperoleh bijaksana dan pengertian. Jagalah agar jangan setelah engkau belajar begitu banyak lalu jadi congkak, sebaliknya, mintalah pimpinan Tuhan dengan rendah hati. Inilah cara kita bisa terus bertumbuh dan semakin dipakai Tuhan. Amin.
[1] Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Lahir di Leipzig, Sachsen. Lulus Universitas Leipzig, kemudian melanjutkan di Universitas Jena. Studi Doktor di Universitas Altdorf, Nurnberg.