Yohanes 3 dan 4 adalah dua contoh terbaik yang Yesus berikan kepada orang yang melakukan penginjilan pribadi. Di pasal 3, Yesus berdialog dengan seorang pria tua yang anggun, bermoral tinggi, dihormati masyarakat; di pasal 4, Dia berdialog dengan seorang wanita tak bermoral, yang berzinah, dan dijauhi masyarakat. Di pasal 3, Nikodemus mencari Yesus, tetapi karena takut kepada kawan-kawannya, maka dia menemui Yesus di malam hari; di pasal 4, Yesus berinisiatif mencari perempuan Samaria yang takut bertemu sesama wanita, sampai-sampai rela menimba air di tengah hari.
Sekalipun kedua peristiwa tersebut terjadi dalam situasi yang sangat berbeda, namun kita melihat kebijaksanaan Yesus yang luar biasa. Dia tidak menemui perempuan di waktu malam, melainkan di waktu siang dan di tempat terbuka agar orang tidak merusak nama-Nya dan menghancurkan pelayanan-Nya. Dan pria yang Dia terima di waktu malam juga bukan orang muda, melainkan orang lanjut usia, agar orang lain tidak mencurigai Dia sebagai kaum homo. Selain itu, ketika Dia berbicara dengan orang yang dihormati masyarakat, kata-katanya begitu terus terang, “Engkau perlu lahir baru oleh Roh Kudus.” Tetapi ketika Dia berbicara dengan perempuan yang dihina orang, justru sopan luar biasa, “Berilah Aku minum.” Ia tidak mau melukai hatinya atau membuatnya malu, karena Ia tahu bahwa harga diri perempuan itu perlu dipulihkan. Maka Ia tidak menyindir perempuan itu mengapa menimba air tidak di pagi hari seperti orang pada umumnya, tetapi menimba air pada siang hari bolong. Ia meminta minum kepadanya untuk membuat dia merasa bahwa dirinya berguna dan bisa memberi sumbangsih bagi orang lain.
Tetapi masalahnya, sering kali setelah engkau menghargai seseorang, ia bukan balik menghargai engkau, tetapi menyakitimu. Itulah yang perempuan itu lakukan. Ia mengucapkan pernyataan yang sangat melukai, “(Sungguh tak tahu malu) bukankah orang Yahudi tidak berhubungan dengan orang Samaria, mengapa Engkau, pria, minta minum kepada perempuan Samaria?” Itulah respons orang yang terlalu sensitif, selalu membela diri. Tetapi Tuhan Yesus tidak merasa disakiti dan berbalik menyerang, karena kasih-Nya lebih limpah daripada serangan orang. Ia berkata, “Jika engkau tahu anugerah Tuhan dan tahu siapa yang sedang berbicara denganmu, niscaya engkau sudah minta air dari-Nya.”
Dalam khotbahnya, Pdt. Billy Kristanto mengemukakan satu perkara yang sangat mengejutkan saya. Ada gereja-gereja yang ingin menyatakan diri berbeda dari gereja-gereja yang lain, yang mempunyai kasih yang paling luas, sampai-sampai membuka diri bagi kaum homo untuk berbakti di sana. Celakanya, respons dari kaum homo adalah: “Siapa yang butuh gereja?” Terbalik bukan? Dulu gereja menyatakan anugerah pengampunan yang dunia perlukan, tetapi sekarang orang dunia menyatakan diri tidak butuh gereja. Maka, untuk menjadi saksi Kristus di zaman ini memang membutuhkan kuasa ekstra. Apalagi di dalam peperangan antara terang dan gelap, dunia dan setan tidak akan pernah berhenti mengganggu pekerjaan Tuhan. Sungguh dibutuhkan hamba Tuhan yang berani berdiri tegak, yang tidak kompromi untuk menyenangkan pendengarnya, tetapi yang berani memberitakan berita dengan fondasi yang kuat: Kau memerlukan Tuhan, bukan Tuhan memerlukan engkau.
Di perikop ini, kita melihat Tuhan Yesus sangat mengasihi orang berdosa sekaligus sangat bijak. Dia sanggup membalikkan situasi dan membuat perempuan yang tadinya mengira Yesus membutuhkan dirinya kini sadar bahwa sebenarnya dialah yang membutuhkan Yesus. Sekarang, hamba-hamba Tuhan bukan saja tidak mempunyai kasih yang cukup bagi pendengarnya, bahkan serta-merta menghina, mengadakan konfrontasi dengan orang berdosa, dan akhirnya harus meminta maaf. Berbeda dengan Yesus, dua pernyataan saja sudah mengubah perempuan itu untuk berbalik meminta air dari-Nya, agar ia tidak perlu datang menimba air di siang hari. Inilah dasar kesuksesan penginjilan. Penginjilan yang baik menyadarkan perempuan itu bahwa dia bukan siapa-siapa, air yang aku timba tidak akan menyelesaikan dahagaku, karena aku harus datang menimba dan menimba lagi. Ini seperti yang Yesus katakan: Barangsiapa menimba dari sumur ini ia akan dahaga lagi. Tetapi yang minum dari air yang Aku berikan, ia tidak akan dahaga lagi sampai selama-lamanya. Gereja harus bisa menyadarkan dunia: kekayaan, kuasa, kemuliaan, yang manusia cari tidak akan membuatmu merasa puas. Kecuali engkau mau berpaling kepada Tuhan. Sayang, tidak banyak gereja mempunyai kuasa seperti ini lagi. Gereja selalu memberi tahu orang bahwa aku butuh uangmu, aku butuh kehadiranmu, sehingga orang dunia memandang Allah sebagai pengemis. Bahkan ada banyak pendeta dengan tanpa sadar telah menjadikan diri mereka dan gereja yang mereka pimpin sebagai budak orang kaya.
Perempuan Samaria ini seperti berani mengatakan kepada Yesus, “Engkau minta air dariku, bukan?” Tetapi kata Yesus, “Sesungguhnya, air yang kaupunya tak akan menghentikan dahaga. Hanya kalau engkau minum air dari-Ku, engkau tidak dahaga lagi sampai selama-lamanya.” Maka situasinya langsung berubah. Perempuan itu berkata, “Kalau begitu, berilah aku air itu. Aku membutuhkannya.” Saat orang berdosa mulai merasa dirinya membutuhkan Tuhan, langkah berikut dalam penginjilan adalah mengajaknya bertobat.
Tetapi Yesus tidak menggunakan istilah itu. Ia berkata dengan bijak, “Panggillah suamimu datang.” Perempuan itu langsung berpikir, “Celaka, mengapa Dia menguak borokku yang terbesar?” Karena sesungguhnya, baik presiden, pejabat, duta besar, menteri, maupun konglomerat, pasti punya borok. Masalahnya, bisakah gereja menyadarkan dunia bahwa mereka semua mempunyai borok yang perlu disembuhkan? Bukan membuat mereka malah merasa menjadi penolong gereja. Jika kita tidak bersandar kepada Tuhan melalui hidup yang suci, kita tidak bisa menjadi contoh bagi dunia. Kita tidak dapat menyembuhkan borok orang berdosa, bahkan mereka akan mempermalukan gereja.
Sangat berbeda dengan Tuhan Yesus. Ketika perempuan itu sadar bahwa dirinya membutuhkan air dari Yesus, maka Yesus menyuruh dia memanggil suaminya. Itu berarti membongkar boroknya. Perempuan itu segera memasang benteng, melakukan defense mechanism (upaya perlindungan diri). Ia menjawab, “Aku tidak mempunyai suami.” Inilah pekerjaan psikologi yang paling dalam, bagaimana membongkar dan menelanjangi sifat manusia dan menanganinya. Kalau saya berkata di posisi Yesus, saya akan berkata, “Jangan bohong, ayo katakan dengan jujur, sungguhkah engkau tidak punya suami? Jangan tunggu semua orang bersaksi bahwa engkau memang suka main laki-laki.” Memang mudah sekali membongkar borok orang lain dan mempermalukan dia. Tetapi hamba Tuhan harus belajar dari Tuhan Yesus. Ia berkata, “Apa yang kaukatakan itu benar. Engkau tidak punya suami.” Yesus menerima dulu dan membenarkan pernyataan perempuan itu. Baru setelah itu Ia menyatakan, “Engkau mempunyai lima suami, tetapi semua sudah tidak bersamamu. Dan yang sekarang bersamamu juga bukan suamimu. Jadi memang benar statusmu sekarang tidak punya suami.”
Bayangkan bagaimana perasaan perempuan Samaria itu ketika mendengar pernyataan itu. Celaka, mengapa Dia mengetahui semua rahasiaku? Kalau Dia adalah tetanggaku, pasti tahu kebobrokanku, tetapi aku tidak pernah kenal Dia. Dia adalah pendatang dan bukan orang Samaria, pasti Dia seorang nabi. Saya kagum melihat cara reaksi dan kecepatan berpikir perempuan ini. Ia bisa main laki-laki, tetapi juga bisa main kata-kata. Retorikanya amat piawai. Setelah Yesus membenarkan pernyataannya “aku tidak punya suami”, ia langsung memuji Yesus, “Engkau adalah nabi.” Namun, segera setelah pujian itu, ia mengalihkan topik pembicaraan, “Nenek moyang kami beribadah di gunung ini, tetapi kalian mengatakan harus beribadah di Yerusalem.” Pandai bukan? Waspadalah terhadap orang pandai bersilat lidah.
Perhatikan Yesus, setelah Dia mendengar pernyataan itu, Dia mengetahui bahwa perempuan ini tidak belajar theologi. Karena di Alkitab tertulis dengan jelas, setiap tahun orang Israel harus berziarah sebanyak tiga kali ke Yerusalem. Tetapi karena orang Samaria tidak mau ke Yerusalem, mereka pun menetapkan gunung lain untuk berdoa. Inilah awal dari adanya doa di bukit yang digemari banyak orang pada masa kini.
Mengapa Allah mengharuskan mereka setiap tahun beribadah tiga kali ke Yerusalem? Apa bedanya berdoa di Yerusalem atau di salah satu bukit? Bukankah Tuhan adalah Tuhan seluruh alam semesta, bukan Tuhan di Yerusalem saja? Yerusalem adalah satu-satunya tempat di dunia, di mana terdapat Tabut Perjanjian dan Hukum Tuhan. Dan di seluruh muka bumi hanya ada satu bukit yang Tuhan tetapkan, yaitu Bukit Sion untuk meletakkan nama-Nya. Maka Tuhan menetapkan Yerusalem sebagai tempat suci, di mana orang Israel harus menyembah Dia. Jadi, bukan gunungnya yang mutlak, tetapi perjanjian Tuhan, darah perjanjian, tulisan tangan Tuhan di dua loh batu itu yang mutlak. Tetapi orang tidak mengerti alasan sesungguhnya, lalu membuat sakral gunungnya dan berkata, “Hanya di Yerusalem, di bukit ini, Tuhan mendengar doamu.” Padahal Tuhan mendengar doa kita, bukan karena kita berdoa di bukit anu, melainkan karena janji-Nya ada di Sion. Masalahnya, setelah Israel menetapkan bagian utara sebagai negara mereka, dan Yehuda tetap di selatan, maka orang Israel tidak bisa lagi ke Yerusalem yang ada di selatan, di wilayah Yehuda. Lalu, apakah karena orang Israel tidak ke Yerusalem, maka doa mereka tidak didengar? Tidak, tetapi masalah utamanya mereka mengabaikan fokus utama dari ibadah, yaitu mengarahkan hatinya kepada janji Tuhan yang kekal. Mereka malah sibuk dengan menguduskan bukit ini dan itu.
Sesungguhnya, Tuhan telah menyatakan isi hati-Nya lewat satu peristiwa, tetapi tidak banyak orang menyadarinya. Ada seorang nabi yang tidak pernah ke Yerusalem, yaitu Elia. Kita tidak pernah membaca Elia tiap tahun ke Yerusalem. Bahkan ia mengadakan kebangunan rohani seluruh umat Allah tidak di Yerusalem, tetapi di Gunung Karmel. Di situ ia berseru, “Hai umat Israel, kembalilah kepada-Ku! Jangan berpaling kepada Baal, tetapi kepada Yahweh.” Dan setelah ia berdoa, “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub, nyatakanlah kepada umat-Mu bahwa Engkau adalah Allah yang sejati, dan beritahu mereka, bahwa aku adalah hamba-Mu.” Lalu api turun dari sorga membakar habis korban yang mereka sajikan. Maka iman orang Israel dibangunkan, dipulihkan, dan seluruh negara mengalami reformasi. Doa Elia didengar Tuhan. Doa ini tidak dinaikkan di Yerusalem. Artinya adalah berdoa tidak di Yerusalem bukan masalah.
Kata perempuan Samaria itu, “Kami berdoa di gunung ini, mengapa orang Yahudi begitu memaksa untuk orang harus berdoa di Yerusalem.” Perempuan yang berzinah ini memakai isu pertentangan agama untuk mengalihkan topik pembicaraan Tuhan Yesus. Ia ingin menghentikan upaya penginjilan yang Yesus sedang jalankan. “Orang Yahudi menyembah Allah di Yerusalem, kami menyembah di gunung ini, mana yang benar?” Jika Tuhan Yesus terjebak dan menjawab bahwa menyembah harus di Yerusalem, maka ia akan menuduh Tuhan Yesus kolot seperti orang Yahudi lainnya; tetapi kalau Tuhan Yesus katakan boleh di mana saja, maka dia menang. Sungguh tidak mudah menghadapi perempuan yang sangat pandai ini. Kita perlu memerhatikan jawaban Tuhan Yesus. Yesus menjawab, “Bukan di gunung ini, tetapi juga bukan di gunung itu.” Yesus tidak menyetujui adanya bukit doa. Maka kita perlu menangkap arti yang sesungguhnya. Gerakan Karismatik sering kali terlalu mengkultuskan tempat. Dibaptis di Sungai Yordan dianggap lebih manjur, padahal air Sungai Yordan yang sekarang bukan air dua ribu tahun yang lalu ketika Tuhan Yesus dibaptis. Tetapi mereka tidak menyadari hal itu. Itulah yang agama lakukan, mengkultuskan tempat, air, minyak urapan, tempat berdoa, dan lain-lain. Tetapi di sini kita melihat Tuhan Yesus membongkar konsep agama seperti itu. Bukan di bukit ini juga bukan di bukit itu, bukan di sungai ini atau di sungai itu, bukan di kota ini atau di kota itu. Jadi, di sini pertama kali dalam sejarah, Tuhan Yesus sendiri mengemukakan konsep yang melampaui daerah dan materi.
Di abad ke-5 hingga ke-6 Masehi, relik-relik seperti kayu yang diambil dari salib Tuhan Yesus, paku yang pernah dipakai untuk memaku tangan dan kaki Tuhan Yesus, tulang Markus, dipuja-puja begitu rupa, bahkan orang memandangnya sebagai benda-benda yang amat suci. Ini adalah sikap memperilah materi. Hingga sekarang, di Vatikan, tersimpan tujuh buah paku yang konon diduga pernah dipakai untuk memaku Tuhan Yesus. Dan karena mereka tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang bukan, maka semuanya disimpan agar tidak berdosa kepada Tuhan.
Yesus berkata, “Bukan di gunung ini, dan juga bukan di gunung itu.” Orang menyembah Tuhan bukan masalah menyembah di mana, melainkan adakah engkau menyembah Dia dengan roh dan kebenaran. Maka jangan kita coba-coba mengalihkan pikiran Yesus. Dia tidak akan terkecoh oleh manipulasi manusia. Kita juga harus belajar berpikir dengan benar, sehingga bisa membawa orang lain ke hadirat Tuhan. Saya minta semua pendeta agar memperlakukan orang kaya dan miskin, orang yang berkuasa dan tidak, pria dan wanita, dengan sama rata. Jangan biarkan seseorang mempunyai hak untuk bisa memilikimu, memutar haluanmu, dan menipumu, karena kita ini adalah hamba Allah. Jadi, selain Allah tidak ada tuan yang lain.
Perempuan ini sangat pandai, dia menggunakan isu agama untuk mengalihkan pikiran Yesus. Tetapi Yesus menjawab, “Bukan di gunung ini dan bukan di gunung itu. Orang yang menyembah Allah harus menyembah dengan roh dan kebenaran.” Itu artinya, orang yang menyembah Allah harus datang dengan hati yang jujur, dengan gerakan Roh Kudus, bukan dengan gerakan emosi. Hal yang kita debatkan bukan agama, melainkan firman kebenaran yang Allah wahyukan atau bukan. Karena, hanya melalui kesungguhan yang sesuai dengan kebenaran barulah kita dapat berbakti kepada Allah dengan benar.
Semakin kita merenungkan, semakin kita kagum akan Yesus. Dia begitu mencintai orang yang terhina, piawai dalam menyadarkan orang bahwa ia memerlukan Tuhan. Dia juga berpendirian kokoh tidak dapat dikecoh dan digeser oleh pembicaraan yang menyesatkan. Dia berani menegakkan prinsip Alkitab, tidak mencampurkannya dengan unsur budaya. Ia berkata, “Kamu menyembah apa yang kamu tidak tahu, kami menyembah apa yang kami tahu. Saatnya akan tiba, orang harus menyembah Allah dengan roh dan kebenaran, karena Allah itu Roh adanya.” Dengan itu Ia menyatakan bahwa jangan mematerialkan hal-hal yang rohani. Jangan persamakan yang dicipta dengan Pencipta.
Setelah kehabisan akal, perempuan itu menyadari bahwa perdebatan antara orang Yahudi dan orang Samaria, seperti juga perdebatan Reformed dan Karismatik, tidak akan pernah berakhir. Jadi, tunggu sampai Mesias datang mengonfirmasi, maka semua perdebatan akan berakhir. Sering kali orang beranggapan kita semua sama, semua agama sama, atau semua aliran Kristen sama saja. Kita hanya mengikuti salah satu dari banyak denominasi gereja yang ada. Maka tidak perlu kita perdebatkan dan beda-bedakan. Namun, kita harus sadar bahwa sebenarnya tidak demikian. Reformed bukan salah satu dari banyak golongan, tetapi juga bukan satu golongan. Reformed adalah satu seruan utuh yang dikumandangkan dengan semangat yang utuh untuk mengajak keseluruhan gereja dengan segenap hati untuk kembali kepada wahyu Allah yang utuh seturut keutuhan Kitab Suci (Reformed is a total invitation to the whole church members of the whole world, wholeheartedly come back, return to the total revelation of God). Semua orang percaya apa pun golongannya, harus kembali kepada firman Tuhan yang utuh dengan segenap hatinya. Reformed mengajak semua orang Kristen, sehingga dia bukan satu golongan, tetapi juga tidak sama dengan semua golongan. Semua orang Katolik, semua orang Injili, semua orang Pentakosta, semua orang Karismatik, harus kembali kepada Tuhan, kembali kepada keutuhan firman Tuhan yang dinyatakan dalam totalitas Alkitab dengan segenap hati.
Memang, ketika perdebatan mengalami jalan buntu, orang sering kemudian menyinggung masalah golonganisme. Dengan berdalih bahwa tunggu hingga Mesias datang, perempuan Samaria ini bermaksud menyudahi pembicaraan, sehingga tidak perlu diungkit lagi masalah kehidupannya. Tetapi ia salah sangka. Yesus menjawab dengan tegas, bahwa orang yang sedang berbicara denganmu ini adalah Mesias yang engkau tunggu. Inilah otoritas tertinggi. Setelah pernyataan final diucapkan, maka ini merupakan jawaban yang final. Mesias sudah di sini, maka kini yang harus dilakukan adalah respons yang benar. Penginjilan berhenti, respons ditunggu: mau taat atau tetap menolak. Jadi, pada akhir penginjilan, kita harus mendesak orang memberikan respons iya atau tidak kepada Tuhan. Berikan jawaban kepada Tuhan.
Perempuan Samaria ini kemudian lari ke seluruh penjuru kota, seorang pelacur yang tadinya malu bertemu dengan wanita yang baik-baik, kini berseru ke seluruh penduduk kota, “Mesias yang kita nanti-nantikan ada di kota kita. Dia menyatakan semua dosaku.” Banyak orang melakukan penginjilan, tetapi tidak membawa orang kepada respons akhir, yaitu Kristus, Sang Mesias. Begitu juga orang-orang yang datang ke KKR, hanya ingin mendapatkan kesembuhan, bukan mendapatkan Yesus sebagai Juruselamatnya.
Saya berani mengatakan bahwa perempuan Samaria ini adalah orang yang begitu diselamatkan langsung menjadi pengabar Injil yang sangat berhasil. Hari di mana dia tahu bahwa dia tidak bisa lari lagi, di mana ia harus berespons kepada Tuhan, dia pun bertobat dan langsung mengabarkan Injil, membawa seluruh kota kembali kepada Tuhan. Saya melihat bahwa selain dia, hanya Yunus dan Yohanes Pembaptis yang pernah mencapai hasil seperti ini. Perempuan Samaria ini berseru, “Lihatlah Mesias.” Semua orang di kota itu keluar mau melihat Mesias. Perhatikanlah: Saat engkau menginjili, engkau harus mengasihi orang yang engkau Injili dan bawalah dia untuk berpaling dengan kebijaksanaan yang sungguh. Sekalipun orang yang engkau Injili itu orang yang dianggap orang remeh, yang hina, bahkan seorang anak kecil, engkau harus sadar bahwa mungkin suatu hari ia menjadi pelayan Tuhan yang sukses, yang memengaruhi banyak orang kembali kepada Tuhan.
Sekarang saya sudah tua. Ketika saya memimpin kebaktian di satu kota, hampir selalu ada orang berkata bahwa beberapa puluh tahun yang lalu, saya bertobat karena mendengar khotbah Pak Tong. Dan sekarang dia sudah menjadi profesor di luar negeri, pejabat penting di suatu daerah. Saya sering bertanya kepada mereka, pada usia berapa mereka mendengar khotbah saya. Ada yang menjawab 12 tahun atau 15 tahun. Saat itu mereka masih anak-anak, sekarang mereka menjadi orang penting. Kita perlu bersyukur kepada Tuhan ketika kita boleh memberitakan Injil kepada anak-anak dengan sungguh-sungguh mengasihi mereka. Kiranya Tuhan memberkati kita ketika kita tidak menghina pelacur, perampok, narapidana, orang miskin, anak-anak kecil dalam setiap kesempatan kita memberitakan Injil. Ingat bahwa mereka juga diciptakan menurut peta teladan Allah. Engkau harus memberitakan kebenaran kepadanya dan Tuhan dapat memakai dirimu yang tidak kenal kompromi, tetapi penuh cinta kasih untuk membawanya kembali kepada Tuhan. Kelak mungkin ia dipakai Tuhan untuk mengubah dunia. Kiranya kita boleh belajar meneladani Tuhan Yesus dalam memberitakan Injil. Amin.