A Brief History on Calvin Theology in Public Square

Di tengah zaman yang sedang bergulir ini, kita sulit menemukan kembali suara kekristenan yang lantang diserukan untuk diperdengarkan kepada orang banyak. Negara Barat yang khas dengan ciri kekristenan tidak lagi memiliki pijakan yang kokoh untuk bersuara di tengah publik. Usaha menggantikan iman Kristen, khususnya Reformed Theology, dengan pemikiran dunia bagaikan menggantikan pijakan beton dengan pijakan plastik yang kosong dan lemah. Gereja-gereja menjadi eksklusif dan tak berani terjun ke dalam dunia yang gelap ini. Celakanya, gereja pun dibawa menjadi salah satu tempat hiburan bagi manusia postmodern. Pemahaman akan firman Tuhan ditukar dengan pengertian yang dangkal. Pengajaran doktrin diabaikan. Tradisi agung yang bernilai ditinggalkan. Gereja tak lagi mempersiapkan jemaatnya untuk berdiri teguh melawan derasnya arus zaman. Alhasil, orang-orang Kristen yang terjun ke dalam publik terpaksa mengadopsi pola pikir dunia agar dapat hidup di hadapan publik. Sedang disembunyikan di mana terompet kebenaran itu? Sedang disimpan di mana pelita yang menyinari seluruh kota?

Namun, kita perlu bersyukur kepada Tuhan karena Ia masih menopang dunia ini dengan anugerah-Nya sebab banyak warisan dari Reformed Theology yang masih hidup dan menyuarakan iman Kristen secara tidak langsung. Ketika orang yang membawa kebenaran tak lagi berani bersuara secara langsung, Tuhan bisa pakai alat yang lain untuk memperlihatkan keagungan iman Kristen di ranah publik. Salah satunya adalah melalui warisan pemikiran Calvin di dalam konteks ranah publik. Ini adalah warisan Calvin yang memengaruhi bukan hanya kekristenan tetapi juga kelompok non-Kristen.

Ranah publik adalah area yang sering kali dianggap sebagai area netral tetapi sesungguhnya sarat dengan muatan ideologis. Beberapa topik pembahasan dalam ranah publik, seperti sistem demokrasi, republikanisme, dan kebebasan beragama, tidak mungkin dibahas secara netral, setiap pemikiran dan pendapat yang dicetuskan pasti memiliki ide pemikiran yang memengaruhi di baliknya. Karena itu, ranah publik sesungguhnya adalah ranah terjadinya peperangan ide yang sengit. Sebagai pemberita kebenaran, kekristenan harus menyatakan suaranya di ranah publik. Tugas inilah yang diemban oleh Calvin dengan sangat baik.

Berikut penulis mencoba menjelaskan mengenai perkembangan sejarah dari abad kuno beserta pemikiran-pemikiran penting yang membangun jalan bagi Calvin untuk memuncakkan pengaruh kekristenan.

Latar Belakang Sejarah
Ancient Democracy
Sistem demokrasi bukanlah ide yang baru muncul dalam abad modern. Banyak pemikir modern yang mendasarkan filsafat politis mereka dari pemikiran kuno, khususnya pengaruh filsafat Yunani Kuno. Bagi mereka perintis demokrasi maupun republik modern adalah demokrasi di Athena dan republik Roma. Sedangkan faktanya, banyak pemikiran orisinal politis berasal dari bangsa Israel. Ini semua adalah anugerah Tuhan. Akar dan bibitnya pertama kali ditanamkan sejak zaman Musa, bukan Yunani Kuno. Bibit-bibit demokrasi dan republikanisme ini dapat kita lihat dalam Alkitab di Kitab Keluaran pasal 18.

Ketika itu Israel sedang berjalan di padang gurun menuju tanah perjanjian. Imam Yitro, mertua Musa, dan Zipora, istri Musa, serta anak-anaknya pergi menyongsong Musa agar dapat berkumpul kembali. Sebelumnya, Musa telah menyuruh mereka pulang ke Midian ketika Musa dipanggil Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Keluarga itu pun akhirnya berkumpul dan Musa menceritakan segala hal yang telah Allah kerjakan bagi umat-Nya di Mesir. Keesokan harinya, Musa harus menjadi pemimpin yang mengadili segala perkara bangsa Israel. Seharian dengan penuh keringat dan kesabaran, Musa menyelesaikan setiap perkara yang bangsa Israel bawa ke hadapannya. Hal ini dilihat oleh Yitro sebagai hal yang kurang baik dan ia mengusulkan untuk mengangkat “orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap” untuk “menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang” (Kel. 18:21) dan Musa menjalankannya (18:24).

Melalui perikop di atas, kita dapat melihat bahwa pembagian kekuasaan dalam pemerintahan sudah muncul sejak zaman Musa. Musa tidak menganggap kekuasaan politiknya sebagai sesuatu yang mutlak dia kuasai, melainkan rela membagi otoritasnya demi tercapainya kesejahteraan bersama. Bahkan, kualifikasi orang yang berhak untuk menduduki jabatan pun sudah diberikan dengan jelas yaitu yang cakap dan takut akan Allah, dapat dipercaya maupun tidak menerima suap. Bukan yang dekat dengan Musa, maupun memiliki kekayaan yang besar. Calvin, dalam tafsirannya untuk Keluaran 18, memberikan apresiasi yang tinggi kepada bangsa Ibrani, khususnya Nimrod dan Musa, atas kontribusi mereka yang besar terhadap republikanisme. Calvin mengatakan bahwa Israel selama 4 abad hanya mengetahui sistem pemerintahan monarkis Mesir. Selama itu, Israel tidak pernah mengenal jenis sistem yang lain. Ketika Yitro mengusulkan untuk membagi kekuasaan, bagi Calvin, itu adalah hal yang sangat luar biasa. Sebuah inovasi yang tidak berasal dari pikiran manusia. Yitro tidak mengusulkan Musa untuk menjadi sepenuhnya monarkis maupun sepenuhnya demokrasi, melainkan memberikan alternatif bahwa bangsa Israel perlu suatu pluralitas pemimpin perwakilan yang bijaksana. Ditegaskan juga oleh Calvin, bahwa pemerintah republikan Ibranilah yang paling awal mendapat inspirasi dari pemikiran Ilahi jauh sebelum Zaman Keemasan dari Yunani-Romawi, Abad Pencerahan, maupun revolusi-revolusi modern lainnya. Melalui Ulangan 1:14-16, Calvin juga menambahkan,

“jelas terlihat bahwa orang-orang yang akan menjadi hakim tidak hanya diangkat oleh kemauan Musa tetapi dipilih oleh suara rakyat. Dan ini adalah bentuk kemerdekaan yang paling diinginkan, di mana kita tidak dipaksa untuk menaati setiap orang yang mungkin secara tiranis ditempatkan di atas kita; tetapi yang mengizinkan adanya suatu pemilihan, dengan demikian tidak seorang pun dapat memerintah kecuali ia disetujui oleh kita. Hal ini lebih ditegaskan dalam ayat berikut, di sana diceritakan bahwa Musa menantikan persetujuan rakyat, dan tidak ada sesuatu pun yang dilaksanakan yang tidak menyenangkan mereka semua.”

Kesamaan di depan hukum sudah dijalankan sejak Tuhan memberikan hukum Taurat kepada bangsa Israel. Imam, hakim, dan yang memiliki jabatan pun harus tunduk di bawah hukum Taurat, yang merupakan firman Tuhan. Tidak ada kuasa yang lebih besar, maupun otoritas yang lebih tinggi. Inilah pikiran awal-awal mengenai sistem demokrasi Ibrani. Keagungan dan kebesaran pengaruh bangsa Ibrani sering dilupakan oleh banyak akademisi sebagai dasar fondasi yang penting untuk perkembangan di masa modern.

Setelah itu barulah ada perkembangan demokrasi di bangsa Yunani Kuno. Tepatnya tahun 507 SM, Cleisthenes, seorang pemimpin Athena, pertama kali memberikan istilah demokrasi, disebut demokratia dalam bahasa Yunani. Penemuan ini adalah sesuatu yang merevolusi kehidupan di Athena pada saat itu. Sebelumnya, Athena hanya dikuasai oleh sekelompok aristokrat yang mendikte segala keputusan politis dan militer tanpa mempertimbangkan usulan dari rakyat. Melalui Cleisthenes, Athena menjadi kota dengan sistem pemerintahan demokrasi langsung. Namun, sistem demokrasi yang dijalankan berbeda dengan perkembangannya di abad ini. Pada waktu itu, posisi-posisi penting dalam pemerintahan seperti majelis perwakilan dan juri dalam pengadilan dipilih melalui undian, bukan suara rakyat. Sebab, menurut warga Athena, undian dirasa lebih demokratis karena hasilnya adalah murni karena peluang atau probabilitas, tanpa ada unsur politis yang memengaruhi rakyat. Akan tetapi, banyak sejarawan yang menjelaskan bahwa pemilihan undian tidaklah murni. Melalui catatan sejarah, banyak orang kaya dan orang politis yang berulang-ulang terpilih untuk menduduki kursi dalam pemerintahan. Berarti, undian yang dijalankan pun tidak sepenuhnya bersih. Terlebih lagi, warga Athena pada zaman itu hanya sekitar 100.000 penduduk, merupakan angka yang kecil dibandingkan dengan sekitar 2.000.000 penduduk Israel yang harus dipimpin oleh Musa ratusan tahun sebelumnya. Di antara 100.000 jiwa, hanya 40.000 laki-laki, berumur 18 tahun ke atas, yang berhak memberikan suara dalam pertemuan-pertemuan umum. Di antara 40.000 hak suara yang ada, biasanya hanya sekitar 5.000 yang secara rutin datang pertemuan untuk membahas permasalahan politik maupun militer. Sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi ini bukanlah demokrasi langsung yang murni dan utuh. Sistem demikian hanya bertahan hingga 460 SM, ketika Pericles, seorang jenderal Athena, berkuasa dan mengubah sistem menjadi aristokrasi.

Sejak zaman Yunani kuno hingga sekitar Abad Pertengahan, sangat sulit menemukan tulisan yang membahas mengenai demokrasi. Berbagai praktik mungkin dilaksanakan oleh sebagian kota kecil seperti di daerah Skandinavia. Akan tetapi, tidak ada pemikir maupun praktik yang dapat mendobrak dan merevolusi sejarah. Sebelum melanjutkan pembahasan ke Abad Pertengahan, kita akan melihat pemikiran Agustinus mengenai politik di sekitar abad ke-4 Masehi. Agustinus memiliki pemikiran yang memengaruhi Calvin nantinya dalam membahas politik.

Agustinus
Agustinus dari Hippo (354-430) merupakan seorang theolog yang sangat dominan dalam masalah religius, di mana pengaruhnya terasa hingga berabad-abad. Dalam zaman Calvin, pemikiran Agustinus masih sangat memengaruhi diskusi-diskusi masalah yang ada, salah satunya adalah tentang negara. Meskipun Agustinus tidak pernah menulis karya politis secara spesifik, namun pemikirannya dapat dilihat melalui karyanya yang klasik yaitu The City of God. Dalam karyanya, Agustinus membagikan ketegangan antara orang percaya dan tidak percaya sepanjang sejarah umat manusia melalui perbandingan antara dua kota. Yang satu, dikuasai dengan kegagahan dan kesombongan manusia; sebaliknya Civitas Dei berdasarkan kasih akan Allah dengan standar moral tinggi serta perlakuan yang adil kepada semua orang.

Beberapa poin yang menjadi penekanan Agustinus adalah sebagai berikut:
Tugas negara adalah memperbaiki, melindungi, dan sebagai suatu alat korektif untuk pengendalian manusia yang berpusat pada diri sendiri
Agustinus sangat menyadari akan fakta dosa yang telah masuk dan merusak seluruh tatanan kehidupan manusia, termasuk relasi hidup berkomunitas. Terlebih lagi, keterbatasan dan ketidakmampuan manusia untuk melakukan kebaikan, mendorong Agustinus untuk menyatakan bahwa perlunya pemerintahan sebagai suatu institusi pengendalian masyarakat yang baik. Selain itu, Agustinus juga tidak mengharapkan pemikiran non-Kristen dapat menghasilkan pemerintahan sipil yang baik sebab “orang berdosa membenci kesejajaran manusia di bawah Allah yang adil dan memilih kedamaiannya sendiri yang tidak adil. Akan tetapi, ia tidak berdaya untuk tidak mengasihi kedamaian semacam itu. Karena tidak ada dosa manusia yang begitu alamiah hingga dapat menghapuskan semua jejak apa pun dari natur manusia.” Di sini, dapat dilihat bahwa Agustinus tidak melihat negara sebagai suatu hal yang alamiah, dalam arti bahwa pemerintah berada sebab ada dosa. Karena itu pemerintah memiliki tujuan yaitu untuk menahan manusia berbuat dosa setelah kejatuhan manusia dalam dosa.

Hanya providensi ilahilah yang dapat menjelaskan berdirinya kerajaan-kerajaan di antara manusia
Karena dosa yang telah merajalela di antara manusia, tidak ada kemungkinan adanya kebenaran maupun keadilan yang sejati. Jika tidak ada keadilan yang sejati, maka bagaimana sebuah institusi pemerintahan dapat menegakkan keadilan? Dosa membuat kita jauh dari damai yang sejati. Dengan demikian, bagaimana pemerintah dapat mengusahakan kesejahteraan publik? Jawaban Agustinus adalah hanyalah melalui providensi Allah yang terus menopang. Tidak ada kerajaan apa pun yang dapat berdiri tanpa adanya izin dari Tuhan semesta alam. Berdiri dan hancurnya Kekaisaran Romawi pun tidak terjadi di luar kehendak dan kedaulatan Allah sebab Dialah penyebab utama segala sesuatu. Otoritas yang diterima oleh para pemimpin negara/kerajaan adalah sepenuhnya berasal dari Tuhan dan Tuhan pakai para pemimpin untuk menjalankan kehendak-Nya. Tetapi, bagi Agustinus, tetap ada antitesis antara negara yang berlandaskan pada kehendak dan pemeliharaan Tuhan dengan negara yang menggunakan otoritas untuk melawan Tuhan. Negara yang kedua merupakan riak-riak dari aliran arus sejarah saja, bukan merupakan arus utama dalam sejarah. Bangsa-bangsa besar akan bangkit dan jatuh, semuanya telah ditetapkan oleh Allah. Kota yang berdasar pada kehendak ilahilah yang akan bertahan sampai kekal. Nantinya Calvin mengembangkan konsep ini dan melihat bahwa kehendak dan kedaulatan Tuhanlah yang paling tinggi dan berotoritas dalam segala segi kehidupan manusia.

Unit pemerintahan yang paling fundamental adalah rumah tangga
“Setiap rumah tangga seharusnya merupakan suatu permulaan atau unsur pokok yang terpisah-pisah dari suatu komunitas sipil.” Dari rumah tangga, baru menghasilkan kota, dan akhirnya dunia. Semakin besar komunitas, semakin kompleks dan tingginya kecenderungan untuk berdosa. Oleh sebab itu, memiliki rumah tangga yang baik akan menghasilkan kota yang baik pula.

Medieval Era
Karya Agustinus memiliki peranan yang sangat penting pada zamannya, yaitu untuk memberikan prinsip mendirikan kota dengan baik. Sebab, Kekaisaran Romawi akan berakhir tak lama dari zaman Agustinus akibat invasi oleh kaum Barbar. Sayangnya, Agustinus tidak secara eksplisit memisahkan antara wilayah politik bagi negara dan wilayah gereja. Dengan demikian, setelah kejatuhan bangsa Romawi Barat di abad ke-5, yang menyebabkan vakumnya kekuatan politik pemerintah, gereja mulai masuk dan mencampuri urusan politik.

Pengaruh dan kekuasaan gereja menjadi semakin besar di Romawi Barat dengan pusatnya di Roma. Gereja menjadi mendominasi di wilayah politik dengan doktrin kepausannya. Berkembangnya gereja dari abad ke-5 hingga ke-10 dibarengi dengan berkembangnya kekuasaan sekuler/kerajaan. Kekuasaan sekuler berusaha mendominasi seluruh aspek dalam negara, termasuk gereja. Namun, otoritas yang tidak terbatas menyebabkan praktik penyalahgunaan wewenang oleh gereja maupun negara. Sejak itu, kedua otoritas berusaha untuk menaklukkan satu sama lain di bawah otoritas masing-masing. Hal ini dapat dilihat ketika tahun 1056, Henry IV yang masih berumur 6 tahun diangkat menjadi raja Jerman. Gereja mengambil kesempatan itu untuk mengadakan konsili di Roma tahun 1059 dan mendeklarasikan, bahwa pemimpin tidak punya bagian dalam pemilihan Paus, di mana sebelumnya rajalah yang berhak menentukan siapa menjadi Paus. Gereja akhirnya mengambil kontrol lagi akan pemilihan Paus. Ingin mendapat kekuasaan lebih besar lagi, gereja melanjutkan perlawanannya pada tahun 1075, Paus Gregory VII mengeluarkan Dictatus Papae. Dalam Dictatus Papae, dikatakan bahwa Paus berhak untuk mengangkat dan memberhentikan para raja. Juga, bahwa gereja Katolik Roma didirikan sendiri oleh Tuhan dan kepausan memiliki kekuasaan yang mutlak. Mendengar kabar demikian, Henry IV tidak menerima dan melakukan perlawanan. Namun, dengan berbagai faktor, Henry akhirnya kalah dan diekskomunikasikan oleh gereja. Di sini, dia memohon pengampunan dari Paus Gregory VII yang akhirnya diberikan. Pertikaian antara gereja dan negara tidak hanya terjadi di daerah Roma dan Jerman saja, melainkanjuga di negara yang lain seperti Inggris. Tahun 1205, King John bertikai dengan gereja. Tahun 1208, kerajaan Inggris tidak diizinkan untuk melakukan berbagai sakramen Katolik yang akhirnya dipaksa untuk tunduk di bawah kekuasan Paus. King John sempat diekskomunikasikan tetapi diterima kembali karena kerelaannya untuk tunduk di bawah gereja.

Selama bertahun-tahun ketegangan antara gereja dan negara tidak teratasi. Siapa yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar akan berotoritas terhadap yang lain. Di tengah kondisi yang kacau seperti ini, Tuhan memberikan anugerah dengan adanya John dari Salisbury dan peristiwa pengesahan Magna Carta.

John dari Salisbury
Banyak pemikiran yang didukung oleh Agustinus disuarakan dalam karya-karya pra-Reformasi John dari Salisbury. Salah satunya adalah Policratus. Dalam bukunya, John menekankan dengan berani bahwa harus adanya pembatasan pemerintah pada masa Abad-Abad Pertengahan. Pembatasan tersebut berupa pembatasan kekuasaan pada seorang tiran. Penguasa yang tidak adil pasti tidak dapat menjalankan kebenaran dan ketaatan sehingga kekuasaannya harus diikat dan dibatasi oleh hukum yang berlaku. John juga menggambarkan perbedaan antara tiran dan penguasa yang benar, di mana “penguasa yang benar akan taat kepada hukum dan memerintah rakyatnya dengan suatu ketetapan hati untuk melayani mereka, dan memberikan hak dan menuntut kewajiban dari rakyatnya menurut undang-undang yang berlaku dengan cara yang sesuai dengan martabat kedudukannya sebagai penguasa…. Sementara individu-individu hanya berurusan dengan masalah-masalahnya sendiri, para penguasa berkewajiban untuk memerhatikan keadaan seluruh masyarakat.” Dia terus menegaskan bahwa otoritas para penguasa, pangeran pada zaman itu, harus diberikan kepada orang yang rela tunduk sepenuhnya dari si penguasa kepada hukum melebihi hak yang dimilikinya.

Lebih lanjut, John mengatakan bahwa hukum yang memiliki kedaulatan adalah hukum yang menyandang gambar hukum ilahi. Di sini, John ingin mengembalikan Alkitab sebagai standar moral dan sumber kebenaran bagi seluruh praktik politik. Pangeran dan penguasa tidak boleh menentang norma dan standar etika yang Allah sudah tetapkan, melainkan selalu menjaga hukum-Nya. Perkembangan pemikiran yang dibawa oleh John dari Salisbury menjadikan dia salah satu perintis bagi pemikiran dan pengaruh Calvin di zaman Reformasi.

Magna Carta
Magna Carta adalah salah satu hasil pemikiran yang menonjol di Abad Pertengahan dalam melawan monopolisme politik, meskipun tidak banyak diakui oleh sekularisme zaman sekarang. Magna Carta merupakan sebuah piagam berisi dengan klausul-klausul penting yang menjadi prinsip dalam praktik politik selanjutnya. Salah satu poin penting yang dibagikan dalam Magna Carta adalah:

Klausul 39 yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun, terlepas dari status atau keadaannya, yang dapat diusir dari tanahnya, “tidak juga ditahan, dipenjarakan, dicabut hak warisnya, dihukum mati tanpa terlebih dahulu menerima putusan pengadilan melalui proses hukum yang berlaku”. Kebijakan ini mungkin sudah umum di zaman kita, namun bagi Abad Pertengahan, hal ini merupakan pembatasan otoritas kepada sang penguasa. Sang penguasa tak lagi bisa sewenang-wenang merampas hak rakyat tanpa melalui prosedur pengadilan yang jelas. Dengan demikian, keadilan pada rakyat dapat diusahakan dengan lebih ketat dan maksimal. Sentimen ini pun menjadi begitu universal sebagaimana terdapat dalam Hukum Inggris, Hukum Kolonial Amerika, maupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB.

Selain itu, Magna Carta juga membahas mengenai kemerdekaan gereja Inggris dari pengaruh sang penguasa/pangeran. Gereja kembali dapat memilih pemimpinnya sendiri dan memiliki sifat kebebasan. Kebebasan ini harus dibarengi dengan peran uskup agung, uskup, kepala biara untuk memberikan nasihat kepada raja. Beberapa klausul ini memberikan landasan fondasional dan prinsip dalam pemisahan antara otoritas gereja dan negara. Lebih lagi, pembahasan yang ditulis hampir mencakup segala aspek yang ada mulai dari perdagangan, pajak, protokol pengadilan, hingga hukum warisan, dan pembayaran utang para janda. Dalam beberapa klausulnya, Magna Carta juga menekankan pengadilan harus adil dan denda tidak boleh dipungut untuk masalah yang tidak terlalu penting.

Pengaruh ini tidak menciptakan gerakan internasional, seperti di zaman Calvin, namun menjadi pemikiran yang meletakkan dasar pertama bagi jalan yang akan dibuka pada zaman berikutnya. Melalui pengaruh Magna Carta, gagasan untuk menumpulkan kekuasaan politik dari tirani berkembang luas di Eropa. Penyebarannya demikian luas sehingga merintis terjadinya Reformasi di berbagai kota yang menghasilkan pemerintahan terbatas. Peristiwa pengesahan Magna Carta pada abad ke-13 ini merupakan salah satu contoh pengaruh penting kekristenan dalam masalah pemerintahan.

Bagian pertama dari artikel ini membahas mengenai latar belakang sejarah dan pemikiran yang akan memengaruhi Calvin dalam mengembangkan konsep theologinya berkait dengan politik/negara. Pada bagian selanjutnya, kita akan mencoba membahas mengenai kondisi negara dalam zaman Calvin serta pemikirannya dalam mengembangkan tradisi Reformed di ranah publik.

Howard Louis
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
1. http://www.history.com/topics/ancient-history/ancient-greece-democracy
2. http://www.ucg.org/world-news-and-prophecy/the-uneasy-relationship-between-church-and-state
3. The City of God – St. Augustine
4. Calvin di Ranah Publik – David W. Hall