Alkitab =? Kebenaran ABSOLUT

Dalam seminar dengan tema “Wahyu dan Pengwahyu” Pdt. Stephen Tong menceritakan sebuah tanya jawab antara seorang jemaat dengan pendetanya. Orang tersebut menantang Pak Pendeta, “Tolong buktikan bahwa Alkitab itu benar!” Lalu Sang Pendeta menjawab, “Baik, mari kita sama-sama buka Alkitab dari 2 Timotius 3:16….” Tetapi segera dipotong oleh jemaat tersebut, “Tunggu Pak, masak membuktikan kebenaran Alkitab dengan Alkitab?” Ini sebenarnya tipikal dialog yang sering terjadi. Kadang kita sendiri juga penasaran dan ingin mencari bukti mengapa Alkitab itu dianggap sebagai standar kebenaran yang absolut. Mana buktinya bahwa Alkitab adalah standar kebenaran yang absolut? Jawaban yang sering kita terima adalah: “Buktinya adalah bahwa Alkitab menyatakan demikian.” “Ah, apa tidak ada yang lain? Misalnya bukti secara sains, atau bukti arkeologi tentang hal-hal di dalam Alkitab, atau ada kitab dalam Alkitab yang bisa digunakan untuk meramal politik internasional saat ini, atau apalah…, tapi jangan bilang dong kalau buktinya itu didapat dari Alkitab sendiri… itu sih namanya muter-muter doang….” Seringkali kita juga berpikir demikian, iya kan? Walaupun kita tahu sebenarnya satu-satunya hal yang dapat mengesahkan otoritas Alkitab adalah Alkitab itu sendiri.

Basic Belief dan Realita

Pertama-tama kita akan mengikuti golongan Reformed Epistemologist, yang beranggotakan sekumpulan filsuf yang memegang Reformed Theology. Mereka menulis esai-esai yang dikumpulkan dalam buku berjudul “Faith and Rationality.” Buku ini diedit oleh dua orang terkenal. Satu adalah ahli filsafat analitis, Alvin Plantinga, sedangkan satu lagi adalah Nicholas Wolterstorff, orang yang pemikirannya diakui dalam banyak bidang. Buku ini intinya membahas tentang keabsahan suatu kepercayaan. Mereka menyatakan bahwa dalam diri manusia ada yang disebut dengan basic belief. Basic belief adalah suatu kepercayaan dasar yang dipegang seseorang walaupun tidak ada bukti yang cukup mengapa ia berpegang kepada kepercayaan tersebut. Kepercayaan dasar ini mendasari cara pandang seseorang dan juga mempengaruhi cara berpikir seseorang. Seorang anggota GRII ketika membaca dalam Alkitab bahwa Tuhan Yesus berjalan di atas air akan berkata, “Ini adalah bukti bahwa Tuhan Yesus adalah Allah!” Tetapi seorang Liberal akan berkata, “Ah, ini adalah bukti bahwa catatan Alkitab itu penuh dengan mitos dari gereja mula-mula… masak ada orang berjalan di atas air?” Mengapa bisa berbeda begini? Karena basic belief yang berbeda membuat tiap-tiap orang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal yang sama.

Apa sebenarnya basic belief ini? Salah satu jawaban diberikan oleh George Mavrodes. Profesor filsafat dari University of Michigan ini memberikan suatu penjelasan bahwa basic belief terjadi dalam “wadah” di mana seseorang mempercayai sesuatu tanpa perlu memperoleh dukungan bukti atau argumentasi rasional mengapa dia percaya. Wadah ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan.[1] Seseorang dapat saja menjadi Kristen karena ia percaya bahwa Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati, dan mengapa ia bisa percaya bahwa Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati tidak dapat dijelaskan, karena wadah untuk menampung basic belief-nya seolah-olah di-set untuk dapat menerima hal ini. Ia tidak perlu memperoleh penjelasan rasional apa pun untuk hal ini. Setiap orang memiliki basic belief dan setiap orang boleh mempercayai sesuatu secara absah tanpa dukungan bukti apa pun. Misalkan ada orang yang percaya bahwa roh nenek moyangnya masih berkeliaran di dunia ini, dan karena itu roh nenek moyang ini diberikan kopi tiap pagi. Kalau kita berkata bahwa roh nenek moyangnya sudah tidak ada di dunia ini, dan yang pasti sudah tidak bisa minum kopi lagi, maka dia akan menolak untuk setuju dengan kita. Kalau kita meminta bukti kehadiran nenek moyangnya, ia akan berkata, “Dia ada tapi tidak kelihatan, tidak teraba, tidak terdengar, tapi pokoknya ada.” “Lho? Bagaimana tahu dia ada?” “Yah, saya percaya saja bahwa dia ada.” Nah, inilah yang namanya basic belief. Tidak perlu bukti secara rasional, empiris, dan sebagainya.

Tetapi di sini ada sedikit masalah. Bukankah ini berarti bahwa semua kepercayaan dan agama tidak bisa disangkal keabsahannya? Apa perbedaan orang Kristen yang dengan basic belief-nya mempercayai Tuhan Yesus dengan orang Islam yang mempercayai Allahnya Mohammad? Karena itu John Frame dalam 5 Views on Apologetics mengatakan bahwa basic belief baru dapat dipegang secara sah hanya bila basic belief tersebut sesuai dengan realita.[2] Lalu apa itu realita? Bagaimana kita tahu realita itu benar adanya?

Basic True Belief

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Van Til[3] menyimpulkan epistemologi yang benar ke dalam dua langkah. Pertama adalah bahwa Allah mengetahui segala sesuatu tentang segala sesuatu. Dengan demikian, Ia adalah satu-satunya Sumber pengetahuan sejati mengenai realita. Yang kedua adalah bahwa pikiran manusia diciptakan untuk tunduk kepada otoritas Allah, atau meminjam istilah Van Til, berpikir secara analogis (thinking God’s thought after Him).[4] Otak kita ini tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir secara otonomi melainkan untuk tunduk kepada Allah. Dengan demikian, Allah berdaulat memilih apa yang ingin Dia nyatakan dan berdaulat memilih bagaimana Dia menyatakannya.

Allah dalam kedaulatan-Nya telah memilih Alkitab sebagai cara untuk menyatakan Diri-Nya dan kehendak-Nya secara tertulis bagi kita supaya kita tunduk kepada-Nya. Karena itu Alkitab berotoritas tertinggi sehingga tidak ada yang dapat membuktikan dan mengesahkan keabsahan otoritas Alkitab kecuali Alkitab sendiri. Mengapa? Karena Allah menyatakan demikian. Bagaimana Allah menyatakannya? Dengan Firman-Nya di dalam Alkitab. Alkitab adalah satu-satunya sumber yang berhak menentukan sah tidaknya Alkitab dijadikan ukuran kebenaran absolut. Tetapi bukankah ini sih sama saja dengan komentar pada awal pembahasan kita? “…kita cuma muter-muter doang….” Tetapi mari kita pikirkan dulu… kalau Alkitab adalah kebenaran mutlak dengan otoritas tertinggi, dapatkah kita memakai sesuatu di luar Alkitab untuk membuktikan sah atau tidaknya klaim ini? Tidak! Karena dengan demikian kita sedang melengserkan Alkitab sebagai otoritas paling tinggi dengan sesuatu di luar Alkitab.[5] Jika Alkitab itu benar karena ada bukti secara rasio manusia, maka sebenarnya Alkitab berada di bawah penilaian pemikiran rasional kita. Jika Alkitab itu benar karena dibuktikan oleh penggalian arkeologis dan lain-lain, maka Alkitab sebenarnya bukanlah otoritas tertinggi. Ini dikarenakan posisi Alkitab yang adalah otoritas tertinggi, sehingga keabsahan Alkitab sebagai otoritas tertinggi hanya dapat disahkan oleh klaim otoritas tertinggi itu sendiri, yaitu Alkitab. Cara berpikir ini pun (circular thinking) sebenarnya kita pakai dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita membuktikan matematika dengan rumusan matematika, kita membenarkan suatu politik dengan cara politik, kimia dengan rumusan kimia, dan sebagainya. Semuanya akan menjadi absurd jikalau kita mencoba membuktikan suatu persamaan matematika dengan cara militer, atau rumusan kimia dengan politik, dan sebagainya. Jadi, circular thinking merupakan cara yang diakui dan sah dalam pembuktian, tetapi mengapa manusia justru protes ketika dipakai dalam pembuktian otoritas Alkitab?

Alkitab Sulit untuk di-“Trace Back” …

“Rasul” bagi teolog-teolog Liberal, Immanuel Kant, dalam buku Religion Within The Limits of Reason Alone mengaplikasikan pemikirannya tentang dunia noumena yang tidak mungkin diketahui dan dunia fenomena yang dapat kita pahami. Menurut Kant, Allah adalah sesuatu yang tidak mungkin diketahui, sehingga adalah sesuatu yang terlalu berani jika kita mengatakan bahwa kita mengenal Dia melalui Alkitab. Konsekuensinya, sulit untuk mengatakan Alkitab adalah Firman Allah, karena untuk mengenal Alkitab secara penuh, kita harus menelusuri dan melintasi sejarah serta perbedaan budaya dan bahasa hingga zaman tulisan-tulisan itu ditulis.[6] Ini adalah hal yang tidak mungkin dilakukan dengan akurat sekarang, ribuan tahun setelah penulisan Alkitab. Dan karena itu juga, tidak mungkin Alkitab yang sulit untuk diketahui akarnya ini dijadikan otoritas tertinggi bagi manusia. Teolog-teolog modern yang mengidolakan Kant pun bermunculan di abad 20-an dan Alkitab dijadikan sasaran penilaian rasio dan obyek riset sebelum ditentukan layak tidaknya Alkitab memegang otoritas tertinggi bagi manusia.

Rudolf Bultmann mengatakan bahwa kita harus membersihkan Alkitab dari hal-hal supranatural karena itu hanya legenda, mitos, atau cerita rakyat saja. Schweitzer menulis buku yang dipenuhi oleh pemikiran dari orang-orang yang setuju bahwa Yesus yang asli sudah tidak bisa dikenal lagi karena catatan yang ada di dalam Alkitab sudah diberi terlalu banyak “bumbu”. Jadi menurut mereka Alkitab kita tidak bisa dipercaya karena terlalu banyak “bumbu” sehingga “rasa” aslinya hilang. Menurut Bultmann, kita harus melakukan demitologisasi atau pembersihan Alkitab dari mitos-mitos, maka Tuhan kita yang asli, kerygma, atau berita yang sesungguhnya akan muncul. Akibatnya, Tuhan Yesus tidak pernah berjalan di atas air, tidak pernah menyembuhkan orang sakit, apalagi membangkitkan orang mati, lebih-lebih sendirinya bangkit dari kematian pada hari ketiga. Ini keterlaluan! Hanya orang-orang Kristen yang kurang pendidikan, yang masih percaya dongeng orang-orang kampung, dan yang masih terbelakang saja yang mau terima Alkitab yang terlalu banyak “bumbu”!

Awal abad ke-20 muncul seorang pendeta dari gereja kecil di Swiss yang bernama Karl Barth.[7] Barth menentang orang-orang Liberal, termasuk gurunya sendiri, Adolf von Harnack. Menurut Barth mereka terlalu membumikan Allah dengan mengurung Dia hanya dalam wilayah etika manusia dan menjadikan Dia objek penyelidikan para teolog yang notabene hanya manusia. Seharusnya Allah itu berbeda secara mutlak dengan kita (the Wholly Other). Kita tidak mungkin menjadikan Dia obyek penyelidikan karena kita tidak mungkin tahu siapa Dia kecuali Dia mewahyukan diri. Bagaimana cara Allah mewahyukan diri? Di dalam Kristus. Menurut Barth, Kristus adalah satu-satunya wahyu Allah. Bukan Alkitab! Allah tidak boleh disamakan dengan tulisan-tulisan manusia! Ini penghinaan! Jadi Barth menentang Liberalisme dengan semangat yang sama dengan orang-orang Liberal, dia juga sangat dipengaruhi Kant. Orang Liberal mengatakan Alkitab hanyalah tulisan biasa yang banyak mitos. Barth mengatakan, ”Tidak, hanya secara fenomena Alkitab tulisan biasa, tetapi secara noumena Alkitab dapat menjadi Firman Tuhan.“ Alkitab dapat menjadi wadah Tuhan berfirman kepada kita. Orang Liberal mengatakan keberadaan Yesus itu diragukan kesejarahannya. Mungkin saja tokoh Yesus dalam Alkitab ini hanya mitos saja… Barth mengatakan, ”Tidak. Tidak masalah Yesus 2000 tahun yang lalu itu seperti apa. Itu hanya permasalahan dalam lingkup fenomena, tetapi secara noumena di dalam Kristus Allah mewahyukan diri bagi manusia.” Orang Liberal berkata tidak benar kalau Yesus bangkit, Barth mengatakan bahwa itu semua hanya masalah fenomena, yaitu sejarah (Historie). Yang penting secara noumena kematian Yesus membebaskan kita dari dosa. Yang penting adalah makna sejarah secara noumena (Geschichte), dan bukan sejarah (Historie). Pemikiran Barth ini seperti mengatakan bahwa tidak masalah entah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pernah benar-benar terjadi atau tidak, yang penting maknanya. Kalau kita percaya makna proklamasi, terlepas dari benar-benar pernah terjadi atau tidak, maka kita akan lebih nasionalis lagi, lebih mencintai Indonesia Pusaka. Tetapi apakah sah mempercayai sesuatu yang tidak benar-benar terjadi? Kalau Kristus tidak benar-benar mati dan bangkit di dalam sejarah, apa makna percaya kepada-Nya? Betapa bahayanya menggantungkan iman kepada hal yang tidak jelas seperti ini. Semua ini terjadi karena para teolog modern, dan juga Barth, meletakkan rasio sebagai otoritas tertinggi. Hal-hal di dalam Alkitab yang tidak cocok dengan rasio harus “dicocokkan” dulu. Jadi, bukan manusia (rasio) tunduk kepada wahyu Tuhan, tetapi menundukkan wahyu Tuhan kepada otoritas rasio. Inilah ciri utama dari pemikiran manusia berdosa yang berusaha otonom dari otoritas kedaulatan Allah dan Firman-Nya, seperti yang dikatakan Van Til.

Tidak Mungkin Dimengerti?

Baiklah, tetapi pernyataan Kant mengenai ketidakmungkinan untuk memahami Alkitab belum selesai terjawab. Apakah memang mustahil untuk memahami Alkitab? Apakah Alkitab mirip dengan buku-buku tulisan Hegel, seorang filsuf Jerman? Hegel bisa menuliskan kalimat yang terdiri dari 80 kata, dan kita bisa melewati berlembar-lembar halaman yang penuh dengan kalimat-kalimat seperti ini tanpa tahu apa yang sedang ia bicarakan. Apakah Alkitab seperti itu? Atau sebenarnya Alkitab dituliskan dengan maksud agar umat Tuhan bisa mengenal Tuhan (sementara Hegel mungkin sengaja membuat kita bingung agar kita merasa diri kita bodoh dan menganggap Hegel pandai). Jelas, Alkitab dituliskan agar manusia bisa mengerti kehendak-Nya, walaupun benar bahwa Alkitab menuliskan banyak hal yang secara rasional tidak dapat dipahami dan banyak hal yang sangat sulit dimengerti. Di sinilah letak penundukkan rasio kepada otoritas Alkitab yang juga mencakup penerimaan dengan iman akan hal-hal yang tak terpahami oleh rasio manusia yang terbatas ini, maupun kesungguhan untuk secara bertahap dan terus-menerus belajar mengetahui hal-hal yang membutuhkan proses untuk dipahami. Tetapi, sekali lagi, Alkitab adalah tulisan yang menyatakan maksud-Nya dengan sangat jelas. Apakah manusia menolak Alkitab karena manusia tidak dapat memahaminya? Tidak. Manusia menolak Alkitab karena manusia tidak mau menundukkan diri kepada Allah dan Firman-Nya.

Apakah seorang humanis menolak Alkitab karena tidak mungkin mengerti Alkitab? Tidak. Seorang humanis akan menolak Alkitab dan menganggapnya sebagai kitab suci orang-orang barbar ketika membaca kitab Yosua tentang pemusnahan etnis yang dilakukan Israel. Dia gagal melihat bagaimana Allah yang Maha Suci memakai umat-Nya sebagai alat-Nya untuk menghukum orang-orang Kanaan karena dosa mereka. Apakah kaum universalist yang percaya bahwa semua manusia akan selamat, salah mengerti Alkitab karena sulit dimengerti? Tidak. Mereka tidak mau menerima ajaran mengenai Allah yang Maha Adil memasukkan orang ke dalam neraka sehingga mereka harus menafsirkan Alkitab dengan begitu rumit untuk menghindari ajaran ini dan memasukkan pendapat mereka sendiri mengenai Allah yang Baik pasti tidak tega menghukum seorang manusia pun. Mengapa orang Liberal menolak otoritas Alkitab? Karena mereka tidak dapat mengerti? Tidak. Orang Liberal tidak dapat menerima otoritas Kitab yang menceritakan tentang seorang manusia bernama Yesus yang berjalan di atas air karena bagi mereka kisah mengenai manusia yang berjalan di atas air ini tidak sesuai dengan “akal sehat”. Mengapa orang Yahudi sulit menerima Yesus sebagai Mesias? Apakah karena Yesaya 53 terlalu sulit dan berbelit-belit? Tidak, tetapi karena ada tudung bernama tradisi yang menghalangi mereka untuk melihat Yesus di dalam nubuat para nabi (lihat 2 Korintus 3:13-16). Tradisi mengatakan Mesias adalah pahlawan perang yang menang, bukan korban sembelihan, dan mereka berusaha untuk menafsirkan Alkitab dengan meletakkan Alkitab di bawah otoritas tradisi. Semua kekacauan ini adalah karena Alkitab diletakkan di bawah otoritas rasio, pengalaman, semangat Humanisme, sains, tradisi, dan lain-lain.

Jadi mengapa sebenarnya manusia sulit menerima klaim kebenaran absolut Alkitab? Karena, sebagaimana dikatakan Van Til, manusia menolak Allah dan mau berpikir secara otonom. Sejak dari taman Eden hingga sekarang, kesulitan manusia tetap sama, ingin menjadi seperti Allah dan menolak otoritas Firman-Nya di dalam kehidupannya. Sampai kita jujur mau kembali kepada Allah dan hanya bila Roh Kudus membersihkan natur penolakan kita terhadap otoritas Allah dan Firman-Nya, barulah kita dapat melihat bahwa memang benar Alkitab memiliki otoritas tertinggi (2 Korintus 3:16). Kant mengatakan bahwa manusia sudah dewasa dan tidak perlu bergantung pada otoritas apa pun di luar dirinya sendiri. Tetapi Alkitab berkata bahwa Sang Pencipta manusia menetapkan bahwa manusia harus bergantung kepada-Nya. Otak kita tidak diciptakan untuk mandiri, tetapi untuk tunduk kepada kebenaran Firman Tuhan secara absolut. Bagaimana dengan Saudara? Ketika membaca Alkitab, siapakah yang memegang otoritas absolut: Saudara atau Alkitab?

Jimmy Pardede

Mahasiswa Institut Reformed Jakarta

Pemuda GRII Pusat


[1] Argumen ini diberikan Mavrodes dengan sederhana dan menarik dalam bentuk cerita mengenai dua orang yang sedang berbincang-bincang di pesawat dalam Faith and Rationality, London: Nortre Dame Press, 1983. Hlm. 100.

[2] Steven B. Cowan, 5 Views on Apologetics, Grand Rapids: Zondervan, 2000. Hlm. 307.

[3] Pembahasan pemikiran Van Til secara sederhana dapat dilihat melalui tulisan John Frame, Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought, NJ: P&R, 1995.

[4] Ibid., Hlm. 115.

[5] Lihat pembahasan Wayne Grudem dalam Systematic Theology, Grand Rapids: Zondervan, 1994. Hlm. 78.

[6] Immanuel Kant, Religion Within the Limits of Reason Alone, terj. Theodore Greene, NY: Harper & Row, 1960. Hlm. 103-104.

[7] Pembahasan Teologi-teologi modern dengan ringkas disajikan oleh Harvie Conn, Teologia Kontemporer, terj. Lynne Newell, Malang: SAAT, cetakan ke-3, 1991.