Iman Kristen yang boleh ada sampai sekarang tidak pernah terlepas dari perjuangannya yang berat dan perjalanannya yang panjang. Ribuan tahun sejarah iman Kristen dibentuk melalui pembukaan-pembukaan pengertian di dalam konteks yang Allah hadirkan. Zaman/masa-masa tertentu menjadi bagian yang Allah munculkan untuk menyingkapkan tema-tema tertentu di dalam perjalanan iman kekristenan. Melalui cuplikan-cuplikan zaman tersebut, umat Allah di sepanjang sejarah mewarisi pengertian tentang apa yang Allah sedang kerjakan dan mau ajarkan di dalam sejarah iman kita. Gereja Tuhan dipanggil untuk menganalisis anugerah-anugerah tersebut, serta memerhatikan celah-celah yang pernah meruntuhkan Gereja. Kita yakin bahwa Allah pasti memelihara umat-Nya di dalam kedaulatan-Nya yang mutlak. Tetapi Alkitab, juga sejarah menyatakan bahwa, terkadang Allah membiarkan umat-Nya tetap berada di dalam kebebalan hati mereka sehingga mereka terpuruk begitu dalam. Supaya apa? Supaya ada pembelajaran yang boleh sampai kepada umat-Nya yang Ia kasihi di sepanjang zaman. Di sini kita melihat bahwa didikan Tuhan di dalam suatu zaman tidak hanya diperuntukkan bagi zaman tersebut. Demikian juga kehadiran komunitas umat Allah di satu zaman tidak hanya untuk zaman itu sendiri. Sehingga, adalah suatu hal yang sangat wajar bagi kita untuk menelusuri ke belakang seluruh warisan iman yang membentuk identitas kekristenan kita, dan melihat bagaimana Allah membentuknya. Maka dari itu kita akan mencoba untuk melihat bagaimana doktrin-doktrin Kristen yang diwariskan selama ribuan tahun memberikan kerangka di dalam membangun sebuah komunitas. Juga kita akan melihat sedikit bagian dari sejarah kekristenan yang menjadi bahan pembelajaran kita untuk membangun komunitas Kristen pada masa kini dan ke depan.
Hakikat Manusia dan Komunitas di dalam Doktrin Penciptaan
Kita tidak pernah bisa mengerti makna dan arah dari sebuah komunitas kalau kita tidak pernah kembali kepada hakikat komunitas tersebut. Dan untuk mengerti hakikat sebuah komunitas, kita harus berangkat dari hakikat keberadaan manusia. Dari mana mereka berasal, untuk apa dan harus ke mana. Maka dari itu, membicarakan makna komunitas akan sangat berkaitan erat dengan oknum pembentuk komunitas, yaitu manusia. Presuposisi dasar iman kita berangkat dari apa yang dinyatakan Allah melalui Alkitab. Adam dan Hawa dinyatakan sebagai manusia dan komunitas pertama yang dimunculkan oleh Tuhan sendiri, dengan tujuan: Melipatgandakan kebenaran dan memenuhi bumi dengan kebenaran tersebut. Mereka harus merefleksikan dan merepresentasikan Kebenaran Allah sampai ke seluruh bumi. Dan perintah tersebut berkaitan dengan hakikat mereka sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei).
Dari sini kita melihat bahwa keberadaan manusia sebagai pembentuk komunitas dibaca setidaknya di dalam 3 hal: Pertama, eksistensi dari segala keberadaan dimulai dari Allah yang berfirman; Kedua, motif, peran, serta arah dari kehadiran manusia ditentukan oleh Allah; Ketiga, manusia diciptakan berdasarkan aspek yang paling unik, keberadaannya langsung diderivasi dari gambaran Allah sendiri[1].Hal ini tidak Allah nyatakan ada pada ciptaan-Nya yang lain. Secara khusus mengenai peta dan teladan Allah, John Calvin membaca kemampuan dan potensi ini di dalam pernyataan Alkitab yang berbicara tentang manusia sebagai: 1) Raja, dalam artian manusia berpotensi menaklukkan alam dan mengusahakannya di dalam kebenaran-keadilan/righteousness yang penuh. Segala potensi dan hukum-hukum alam yang Allah taruh di dalam dunia dapat dikembangkan oleh manusia kepada potensinya yang sepenuhnya; [2]) Imam, manusia memiliki potensi dan akses penuh di dalam melayani Tuhan dan mempersembahkan/mengerjakan apa yang berkenan sepenuhnya kepada Tuhan; [3]) Nabi, manusia memiliki potensi untuk menerima dan mengerti kebenaran Allah yang sepenuhnya tentang diri Allah sendiri, Sang Pencipta, tentang manusia, dan tentang alam. Manusialah satu-satunya yang memiliki potensi ini dan sanggup mencapai kepenuhannya di dalam dunia yang Allah ciptakan. Manusia, adalah satu-satunya yang dapat menerima kebenaran penuh dari Allah, menjalankannya di dalam dunia, dan membawa penggenapannya sebagai satu-satunya persembahan yang berkenan kepada Allah. Maka kita akan melihat identitas dari sebuah komunitas dari tiga poin berikut: Pertama, Allah sebagai sumber segala keberadaan; Kedua, motif, peran/cara/fungsi, dan tujuan ditetapkan berdasarkan kehendak Allah; Ketiga, keberadaan sebagai gambar dan rupa Allah.
Jikalau Allah sebagai sumber/pattern dari segala keberadaan, dan bahwa tidak akan ada hal yang dapat berada tanpa dan di luar Dia, maka secara sederhana pola komunitas di dalam bentuknya harus dilihat di dalam pola relasi Allah sendiri, yaitu relasi Tritunggal. Secara sederhana, pola ini diterjemahkan ke dalam tiga aspek hubungan antarmanusia di dalam komunitas. Pertama, adanya aspek kesetaraan dari pribadi-pribadi pembentuk komunitas. Kesetaraan ini dapat dilihat di dalam beberapa elemen, seperti kesetaraan hak, kewajiban, peran, status, dan sebagainya. Kedua adalah adanya aspek ordo dari pribadi-pribadi tersebut, dalam hal ini kita bisa melihat bahwa sekalipun ada kesetaraan, tetap ada pembagian wewenang, peran, status, dan sebagainya. Ketiga adalah adanya aspek kesatuan di dalam komunitas tersebut. Paulus menggambarkan hal ini dengan sangat jelas dan sederhana di dalam konsep tubuh manusia. Sekalipun banyak bagian dengan bentuk dan fungsi yang berbeda, seluruh bagian harus berada dan tersusun pada posisinya sehingga tubuh tersebut bisa dikatakan utuh. Secara tidak sadar, seluruh manusia pasti mengimitasi pola dasar ini sekalipun mereka tidak tahu dari mana pola dasar ini berasal.
Lalu setelah melihat pola komunitas di dalam bentuknya, kita juga harus melihat pola komunitas di dalam maknanya. Pertama-tama kita harus melihat relasi antara Allah dan manusia. Di dalam Adam sebagai representasi manusia pertama kita melihat bahwa pribadi manusia merupakan oknum yang diikat Allah di dalam relasi perjanjian. Adam diciptakan untuk menggenapi panggilan Tuhan terhadap dirinya di dalam bentuk mengusahakan taman, dan tidak lupa bahwa ia pun diizinkan Tuhan untuk menikmati apa yang Tuhan izinkan untuk ia nikmati. Dalam rangka menggenapi panggilan Tuhan inilah, komunitas dihadirkan untuk menolong dan menghadirkan kebaikan bagi Adam. Dalam konteks ini, Tuhan menghadirkan Hawa sebagai pribadi yang lain dari Adam, tetapi sekaligus diambil dari diri Adam sendiri. Maka kita melihat bahwa motivasi dari dimunculkannya sebuah komunitas adalah untuk memungkinkan proses penggenapan kehendak Allah berjalan di dalam kebaikan. Motif munculnya sebuah komunitas haruslah kehendak Allah. Kedua, kita melihat peran dari sebuah komunitas adalah ketetapan-ketetapan Allah. Hal ini terlihat setelah Allah memunculkan komunitas bagi Adam untuk menggenapi panggilan-Nya, Ia menetapkan batas-batas yang boleh dan tidak boleh Adam kerjakan. Peran/fungsi dari komunitas haruslah ketetapan/standar dari Tuhan Allah. Ketiga adalah tujuan dari komunitas, yaitu penggenapan dari kehendak tersebut. Sehingga setiap inci bumi boleh dipenuhi kebaikan dari Allah, dan memasyhurkan-Nya.
Pola mendasar di dalam bentuk dan makna komunitas ini harus hadir secara bersamaan karena sifatnya yang adalah saling terkait, saling membutuhkan, dan saling berpadu. Kehadiran pola dasar komunitas di dalam bentuk namun tanpa pola dasar di dalam makna membuat komunitas manusia tidak memiliki kaitannya dengan rencana kekal Tuhan Allah. Sebaliknya, pola dasar di dalam makna tidak dapat diekspresikan jikalau pola dasar di dalam bentuk tidak ada eksistensinya di dunia. Pola dasar di dalam bentuk menjadi wadah, dan pola dasar di dalam makna memberikan nilai, arah, dan arti yang terikat dengan kekekalan.
Tetapi pandangan di atas belum lengkap jikalau kita tidak melihat fakta kejatuhan manusia ke dalam dosa. Realitas dunia yang berada di dalam kerangka CFRC2 menyatakan adanya aspek kerusakan manusia dan dunia akibat dosa. Dampak kerusakan ini pertama-tama harus kita lihat melalui konsep universalitas dosa sebagai dasar. Di dalam konsep ini, kita menemukan tiga hal yang mendasari seluruh efek keberdosaan yang timbul dari manusia berdosa. Pertama, semua manusia sudah berdosa; Kedua, seluruh aspek di dalam diri manusia sudah jatuh di dalam dosa (baik itu rasio, afeksi, kehendak, maupun tindakan); Ketiga, seluruh sistem yang dihasilkan manusia berdosa membawa sifat merusak dari dosa tersebut3. Seiring dengan rusaknya imago Dei sebagai pribadi pembentuk dan yang menjalankan komunitas, maka manusia tidak mungkin lagi dapat menjalankan pola dasar komunitas di dalam bentuk dan maknanya. Implikasi penyimpangan dari pola dasar komunitas di dalam bentuknya dapat kita lihat secara langsung baik pada sistem pemerintahan tirani maupun sistem sosial kemasyarakatan yang anarkis. Penyimpangan dari pola dasar komunitas di dalam makna adalah penyimpangan yang paling banyak terjadi, sekaligus yang paling dianggap wajar sebagai manusia yang sudah berada di dalam dosa. Banyak sekali bermunculan komunitas-komunitas yang berbasis pada ketertarikan pribadi manusia itu sendiri. Dan pola penyimpangan ini pun sering kita adopsi ke dalam Gereja untuk menarik generasi muda pada umumnya. Bandingkan kedua penyimpangan pola ini dengan pola dasar yang dimunculkan Allah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.
Masuk kepada fase penebusan, Alkitab menyatakan suatu bentuk pemulihan terhadap manusia dan dunia ciptaan melalui ikatan perjanjian yang baru. Jikalau di dalam fase ciptaan sebelum kejatuhan, Adam berada di dalam kondisi dunia dan manusia yang belum terkutuk karena dosa, maka fase setelah manusia dan dunia jatuh ke dalam dosa menghadapi suatu fase dengan satu kuasa yang terus menarik dunia ciptaan kepada kegagalan penggenapan dari kehendak Allah. Agustinus menggambarkan kondisi manusia di dalam fase ini sebagai non posse non peccare. Suatu kondisi di mana manusia di dalam setiap tindakannya tidak mungkin untuk tidak berdosa, bahkan termasuk di dalam kebaikan dan usaha mereka menemukan kebenaran. Usaha terbaik manusia di dalam mengusahakan kebaikan dan menemukan kebenaran selalu berujung pada kebaikan dan kebenaran yang tidak utuh. Hal ini disebabkan oleh keterpisahan manusia dari Allah sendiri sebagai sumber kebaikan dan kebenaran yang ultimat. Maka fase dan peranan penebusan adalah mutlak diperlukan. Di dalam kuasa dari fase inilah ada suatu pembaruan manusia serta komunitas. Dimulai melalui pembaruan ikatan janji antara Allah dan manusia melalui pengorbanan Kristus, hingga berdampak pada munculnya komunitas yang dikhususkan secara langsung bagi Allah di tengah-tengah dunia yang dying, yaitu Israel (secara rohani). Dunia berdosa memiliki pengharapan, karena melalui komunitas ini saluran anugerah Tuhan disampaikan. Lalu bagaimana kita harus mengerti keterkaitan komunitas kita dengan sejarah penebusan?
Pola Dasar Komunitas di dalam Maknanya: Kaitan antara Kekekalan dan Sejarah Umat Manusia
Karena ada penebusan, maka kita dapat menemukan kembali peran dan makna komunitas di dalam keterkaitannya dengan penggenapan kehendak Allah. Sebagaimana Allah adalah inisiator bagi pekerjaan-Nya sendiri, maka kita menemukan di dalam sejarah bahwa Allah selalu mengumpulkan kaum pilihan-Nya. Dan di sepanjang sejarah, Allah selalu memunculkan figur untuk menerima visi dari Tuhan di dalam memimpin umat-Nya. Pola ini terus kita temukan di sepanjang Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, bahkan di dalam sejarah Gereja. Setiap komunitas umat Allah di dalam satu zaman memiliki panggilan spesifik mereka, dan panggilan spesifik itu dibukakan melalui figur yang Tuhan bangkitkan. Misalkan konteks panggilan zaman Abraham pasti berbeda dengan konteks panggilan zaman Nuh, begitu pula Abraham dan Nuh merupakan figur yang Tuhan bangkitkan pada zaman mereka masing-masing. Tetapi setiap zaman yang memiliki panggilan spesifik tersebut saling terkait di dalam membangun Kerajaan Allah dari alfa sampai omega. Dalam hal ini kita sebagai individu harus menangkap satu poin penting bahwa pekerjaan Tuhan memiliki progres yang berkesinambungan di dalam sejarah, sekaligus unik di dalam tiap zaman. Dengan begitu kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa untuk mengerti kehendak Allah di zaman ini, kita tidak bisa untuk tidak melihat kembali perjalanan sejarah iman Kristen di masa lampau. Sebab untuk membaca arah dan keterkaitannya, kita harus melihat kunci-kunci pengertian penting yang pernah Allah buka pada masa sebelum kita.
Melalui pengertian ini kita melihat bahwa kelompok-kelompok yang dimunculkan dalam tiap zaman tidak pernah dimunculkan hanya untuk kelompok itu sendiri, dan tidak pernah hanya untuk zaman itu sendiri. Adam dan Hawa tidak hanya dimunculkan untuk diri mereka sendiri, maupun kelompok mereka sendiri, melainkan mereka dimunculkan untuk menjadi persiapan bagi munculnya kelompok yang lain. Komunitas umat Allah di satu zaman dimunculkan untuk menggenapi kehendak Allah di zaman itu, sekaligus menjadi predecessor bagi umat Allah di zaman berikutnya. Maka kita tidak bisa hanya melihat komunitas Kristen kita di dalam kacamata “here and now”. Kita harus melihat apa yang sudah dikerjakan Allah melalui umat-Nya di zaman lampau, belajar darinya, menangkap kaitannya, menggenapi bagian kita, lalu meneruskannya kepada kelompok umat Allah berikutnya di depan kita. Semuanya terikat menjadi satu di dalam mata rantai yang panjang dan kekal. Lalu dari mana kita bisa mengerti apa yang sudah Tuhan kerjakan melalui komunitas umat Allah di masa lampau? Tuhan mewariskannya melalui Alkitab dan warisan sejarah umat Allah di dalam pergumulan untuk mengertinya. Sejarah perjalanan umat Allah yang dicatat di dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan bagaimana di dalam sejarah, Gereja bergumul untuk mengerti isi dan makna Alkitab tersebut di dalam konteks-konteks unik yang dimunculkan sendiri oleh Allah untuk dapat mengertinya.[4]
Selanjutnya kita akan mengelaborasi aspek peran (salah satu dari tiga aspek yang membentuk makna komunitas) karena aspek ini merupakan aspek yang sangat dekat bersinggungan dengan kita. Kita akan membagi aspek peran di dalam pengaruhnya terhadap kelompok di luar dan di dalam komunitas Kristen itu sendiri (selanjutnya saya akan menggunakan istilah “Gereja” untuk mewakili istilah “komunitas Kristen”). Sebagai fondasi dasar untuk mengelaborasi aspek peran di dalam pengaruh Gereja, kita harus melihat kehadiran Gereja sebagai sarana anugerah Allah di dalam merevelasikan wahyu khusus. Karena itulah hanya melalui Gerejalah (menunjuk kepada Gereja sebagai umat Allah, bukan sekadar institusi/gedung) penebusan kepada segenap dunia ciptaan dimungkinkan. Dimungkinkan oleh sebab kebenaran Allah diwahyukan secara utuh di dalam Gereja, melalui Wahyu Khusus dan Wahyu Umum. Kedua wahyu inilah yang menjadi standar ultimat bagi kebenaran dan kebaikan yang diperlukan manusia dan dunia.
Di dalam perannya kepada dunia, Gereja menjadi sarana hadirnya wahyu Allah secara lengkap dan menjadi mercusuar yang membuka kebenaran kepada dunia berdosa. Baik kebenaran mengenai alam, manusia, maupun tentang Allah sendiri.[5] Dengan dibukanya kebenaran-kebenaran tersebut kepada dunia, maka akan muncul aspek-aspek di dalam dunia yang harus ditebus, sekaligus juga akan muncul aspek-aspek yang ternyatakan untuk dibinasakan oleh Allah. Selanjutnya aspek peran komunitas di dalam pengaruhnya terhadap umat Allah sendiri. Pertama, sebagai wadah yang merepresentasikan tubuh Kristus sendiri. Anak-anak Allah dipersatukan sebagai satu keutuhan dan diikat di dalam sakramen perjanjian yang menjadi gambaran perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Kedua, sebagai sarana penyucian dan pertumbuhan bagi anak-anak Allah. Dalam hal ini kita dapat melihat penjabaran Calvin mengenai sanctification dan peranan hukum Taurat bagi orang percaya. Orang-orang percaya disucikan dan bertumbuh di dalam komunitas orang percaya yang saling mendorong di dalam ketekunan orang-orang kudus. Ketiga, sebagai wadah di dalam menggenapi panggilan Tuhan terhadap umat-Nya secara individual dan komunal. Keempat, sebagai sarana penghiburan dan penguatan dari Tuhan melalui iman yang ditumbuhkan pada saudara/i seiman, hal ini dapat kita lihat dari tulisan Paulus terhadap jemaatnya di kota Roma. Dalam hal ini kita masih dapat menemukan beberapa detail yang dirumuskan oleh Paulus di dalam suratnya kepada beberapa jemaat yang dia gembalakan.[6] Aspek peran yang berpengaruh ke dalam ini berfungsi sebagai wadah bagi pembentukan umat Tuhan di dalam rangka mereka menggenapi panggilan di dalam zaman mereka.
Namun kita tidak dapat membuang realitas bahwa umat Allah masih berada di dalam dunia berdosa, sehingga masih ada ekses dari dosa yang dibawa ke dalam komunitas. Juga kita tidak bisa membuang fakta bahwa tidak semua yang berada di dalam Gereja adalah umat kepunyaan Allah. Kelompok yang untuk sementara waktu hadir di dalam komunitas tersebut, namun bukan bagian dari Gereja Tuhan. Tidak semua orang di dalam komunitas mengejar kebenaran. Penyimpangan-penyimpangan dari oknum-oknum di dalam komunitas Gerejawi pasti akan selalu ada dan dengan derajat yang berbeda-beda. Penyimpangan ini yang selalu mencederai umat Tuhan di sepanjang zaman, baik secara komunal maupun individual. Dan penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat muncul justru dari dalam Gereja sendiri. Kita harus takut kalau ternyata kita membawa Gereja menjadi sesat oleh karena sikap hati kita yang bengkok. Apalagi kalau kita memiliki pengaruh, maupun potensi untuk berpengaruh di Gereja pada masa yang akan datang. Tapi Tuhan tidak pernah diam melihat Mempelai Wanita dari Putra-Nya dicemari. Karena komunitas umat Allah adalah milik Allah sendiri. Kita tidak akan membahas lebih jauh perihal penyaringan Tuhan, karena penulis tidak memiliki kapabilitas untuk membicarakan hal yang cukup menakutkan itu. Berikutnya kita akan melihat penyimpangan yang timbul dari dalam Gereja sendiri.
Dawn and Dusk of The European Christianity: Kepalsuan dari Dalam dan Tekanan dari Luar, Sebuah Implikasi dari Kerusakan Dua Pola Dasar Komunitas di dalam Sejarah
Dua bagian dari sejarah Gereja akan kita soroti bersama-sama. Bagian pertama yang akan kita soroti adalah sejarah Gereja pada masa medieval atau dark ages. Pada bagian ini kita akan mencoba melihat pengaruh kelompok kekristenan yang memiliki dampak cukup panjang, memengaruhi hingga beberapa puluh generasi. Rentang waktu yang akan menjadi perhatian kita adalah sekitar tahun 300-an setelah Masehi hingga tahun 1500-an setelah Masehi. Pada masa tersebut sering dikenal oleh kalangan kristiani maupun kaum sekuler sebagai masa-masa Gereja yang paling bobrok, bahkan sangat memalukan. Secara garis besar, Gereja pada masa tersebut sudah bercampur dengan banyak kepentingan pribadi dan politik. Berawal dari Kaisar kekaisaran Romawi yang menjadi Kristen pada tahun 300-an, yaitu Kaisar Konstantin. Ia menjadikan kekristenan sebagai agama negara. Akibatnya dalam waktu yang begitu cepat orang-orang menjadi Kristen, dan di dalam jumlah yang besar. Berita baik, bukan? Ternyata tidak. Banyak orang yang menjadi Kristen bukan karena rindu mengenal Kristus, melainkan karena sikap oportunis. Banyaknya orang Kristen yang palsu tersebut justru merusak kekristenan. Maka muncullah kaum-kaum biarawan yang menyingkirkan diri ke dalam biara-biara karena menganggap dunia luar sudah begitu palsu dan rusak. Pada satu sisi, biara-biara menjadi pusat pengembangan theologi dan ilmu pengetahuan, di sisi lain, keimanan yang lurus kurang terekspos kepada dunia luar dan kaum awam. Orang-orang di luar biara hanya menyaksikan kekristenan yang munafik dan akhirnya mengira apa yang mereka lihat sebagai perwakilan dari kekristenan yang asli.
Tahun 370-an menjadi suatu masa yang sangat menentukan, kekaisaran Romawi Barat jatuh ke dalam tangan kaum barbar. Kekaisaran Romawi yang membentang begitu luas dari ujung Spanyol hingga daerah Palestina yang berbatasan dengan wilayah Arabia terbelah dua. Kaum barbar yang meruntuhkan kekaisaran Romawi wilayah Barat akhirnya menyisakan kekaisaran Romawi Timur yang lebih dikenal kelak dengan nama kekaisaran Byzantium.
Setelah pecahnya kekaisaran Romawi tersebut, muncul sebuah masa di mana kelompok Kristen terpecah menjadi dua buah kelompok yang sangat besar. Pertama adalah kelompok Ortodoks Timur yang berada di dalam kekaisaran Byzantium, bekas kekaisaran Romawi yang masih sangat kuat dan kokoh, baik secara militer maupun kondisi sosial budayanya. Dan kelompok kedua adalah cikal bakal kaum Roma Katolik yang bangkit dari reruntuhan sehabis masa-masa invasi kaum barbar. Dua kelompok ini memiliki perjalanan sejarah yang menjadi pembelajaran berharga bagi masa depan Gereja.
Pertama, kelompok Ortodoks Timur dari kekaisaran Byzantium. Kekaisaran ini tidak tergoncangkan sekalipun kekaisaran Romawi Barat runtuh. Mereka tetap memiliki basis kekuatan militer untuk bertahan dari invasi kaum barbar, sekaligus memiliki segala sumber daya untuk tetap menjaga kestabilan dalam negeri. Di tengah-tengah segala kebesaran, kekuatan, kestabilan, dan keamanan tersebut, ternyata kekaisaran ini yang berakhir paling tragis. Selama 1.000 tahun kekaisaran dan kekristenan di wilayah tersebut eksis, tidak ada perkembangan apa pun yang signifikan, baik di dalam perluasan wilayah maupun sumbangsih theologis yang berarti dan berpengaruh bagi kekristenan di masa depan. Kekristenan di Romawi Timur tertidur di dalam kebesaran superfisial mereka. Akhirnya pada tahun 1453 mereka justru ditaklukkan oleh kelompok Turki Ottoman di bawah kepemimpinan Mehmed II, padahal kelompok ini baru berkembang pada tahun 1200-an. Bayangkan, kekaisaran yang begitu besar dan sudah berumur 1.000 tahun lebih serta begitu kokoh ditaklukkan oleh kelompok yang begitu kecil dan baru berumur 200-an tahun. Seperti orang dewasa yang ditaklukkan anak bau kencur. Pengaruh kekristenan selanjutnya tidak pernah diteruskan oleh garis ini. Apa yang bisa kita pelajari dalam hal ini? Ketika sebuah kelompok Kristen sudah merasa cukup mapan dan besar, sejarah menyatakan, kekristenan menjadi tertidur. Tertidur lalu ditelan dunia di sekeliling mereka, setelah itu hilang tidak berbekas.
Kedua adalah kelompok Roma Katolik di wilayah bekas Romawi Barat yang diruntuhkan kaum barbar. Wilayah ini terkoyak menjadi beberapa kerajaan dari kelompok-kelompok barbar tersebut. Di tengah-tengah invasi dari suku-suku barbar ini, kekristenan berusaha bertahan. Beberapa utusan dari kepausan di Roma dikirim kepada kelompok-kelompok tersebut untuk menjadi mediator. Banyak dari para pemimpin dan suku-suku tersebut menjadi Kristen, baik oleh karena usaha penginjilan kepada kaum pagan ini, maupun oleh karena ketertarikan politik, ataupun daya tarik sosial-budaya. Mulai dari suku Anglo-Saxon di wilayah Britain (Kepulauan di utara Eropa, sekarang kita kenal sebagai wilayah dari Negara Inggris), hingga suku-suku barbar di utara Afrika berbondong-bondong mengadopsi kepercayaan Kristen. Di satu sisi, kelompok-kelompok tidak terdidik namun berkuasa ini memperoleh banyak ilmu ketatanegaraan, sosial-budaya, literatur, agama, ilmu alam, dan sebagainya dari Gereja, sebagai warisan kelompok biarawan pada abad ke-6. Di sisi lain, kekuasaan politik kepausan Roma Katolik semakin bertambah luas. Di sini sekali lagi kekristenan memasuki masa terkelam di dalam sejarah iman kita, bahkan mungkin menjadi aib yang paling malu untuk diceritakan oleh kalangan Kristen sendiri. Dengan bertambahnya kekuasaan politik pada kepausan, akhirnya Gereja bermain di dalam kancah politik untuk memperebutkan kekuasaan, kekayaan, bahkan kenikmatan dunia di dalam bentuk seksualitas. Dan semua ini terjadi di dalam institusi keagamaan. Kegiatan-kegiatan politik, kekuasaan, harta, dan birahi terjadi di balik jubah agama. Selama ratusan tahun Gereja berjalan dengan cara demikian. Pada masa tersebut, keadaan sosial masyarakat berada pada titik depresi tertinggi. Masa-masa tersebut sering diibaratkan sebagai neraka di bumi. Rakyat jelata terus dirundung perang, kelaparan, kemiskinan, ketiadaan pendidikan, dan sarana prasarana kesehatan yang memadai. Puncaknya adalah wabah penyakit mematikan yang melanda seluruh Eropa pada abad ke-14. Sebanyak 75-200 juta orang meninggal dunia dalam kurun waktu tahun 1346-53. Pada masa-masa tersebut orang-orang mulai bertanya di mana Tuhan, dan bagaimana lepas dari penderitaan yang begitu pahit. Lalu Gereja datang dengan membawa kelepasan yang palsu, salah satunya adalah surat penghapusan dosa. Di tengah-tengah masyarakat yang putus asa, Gereja pada waktu itu memunculkan banyak sekali ritual yang harus dijalankan untuk boleh memperoleh keselamatan. Salah satunya adalah dengan membeli surat penghapusan dosa. Orang-orang yang kehilangan sanak saudara dan keluarga mereka akibat wabah, perang, kelaparan, dan sebagainya berbondong-bondong datang kepada Gereja. Gereja mengumpulkan massa, mengumpulkan uang, namun mengarahkan mereka kepada pengharapan yang salah, padahal kehidupan mereka sudah begitu miris. Dan salah satu orang yang ada di sana adalah Martin Luther, salah satu orang yang mengalami juga apa yang dialami masyarakat. Luther melihat bagaimana orang-orang yang tidak mampu membeli surat penghapusan dosa dari Paus, dan yang juga tidak dapat menjalankan ritual-ritual keselamatan yang diajarkan Gereja menjadi orang-orang yang paling tidak punya pengharapan. Mereka seperti orang yang diperkosa dunia dan dilaknat sorga. Lalu di dalam ketidakmengertian mereka, mereka diperas oleh Gereja. Pada titik demikianlah muncul salah satu mutiara iman Kristen yang paling berharga. “Sola fide” yang dinyatakan Martin Luther.
Melalui bagian ini kita dapat melihat bagaimana Gereja membawa suatu pengajaran yang salah. Dan implikasinya berdampak sangat krusial langsung pada kehidupan umat Allah di masa tersebut hingga beberapa generasi ke depan. Seribu tahun gaya hidup rohaniwan rusak oleh karena doktrin yang salah yang memunculkan ritual-ritual yang salah. Dan kesalahan tersebut diajarkan kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan Tuhan. Kesalahan doktrin berdampak sangat besar. Dan selama 1.000 tahun kesalahan itu terus diwariskan, menghasilkan kerusakan yang diteruskan ratusan tahun. Mungkinkah komunitas kita juga mewariskan kesalahan demi kesalahan dalam bentuk yang lain kepada generasi selanjutnya?
Bagian pertama yang kita soroti ini menggambarkan bagaimana kerusakan komunitas umat Tuhan yang dimulai dari korupnya para aktivis dan rohaniwan di dalam Gereja sendiri. Sikap hidup yang dualistis sambil terus menggunakan atribut-atribut rohani membawa dampak yang begitu besar. Bukan saja pada zaman itu sendiri, melainkan kepada zaman-zaman selanjutnya. Sampai sekarang Gereja sering dicibir mengenai sejarah tersebut. Juga kita melihat bagaimana penyimpangan tersebut bertahan dan berjalan hingga satu milenium. Maka dari itu kita harus kembali mengevaluasi komunitas rohani kita, karena kerohanian sebuah individu maupun komunitas tidak ditentukan dari penampakan superfisialnya, melainkan sejauh mana mereka berhati lurus dan dekat dengan kehendak Tuhan pada zaman mereka.
Bagian kedua dari sejarah Gereja yang akan kita soroti adalah perjalanan kaum Puritan. Kaum Puritan merupakan kaum Calvinis yang muncul di Inggris. Setelah masa Reformasi yang dikerjakan oleh tokoh-tokoh Reformasi besar seperti Calvin, semangat ini menyebar ke berbagai daerah di Eropa, salah satunya adalah Inggris. Tahun 1533, bermula dari Raja Henry VIII yang ingin memastikan garis keturunannya tetap mewarisi takhta kerajaan Inggris, ia berusaha membujuk Paus Clement VII untuk mengizinkannya kembali menikah, dan mendapatkan keturunan lain karena istrinya yang pertama, Catherine of Aragorn hanya melahirkan satu anak perempuan. Tetapi Paus Clement VII, yang tidak ingin membuat sepupu Catherine, Raja Holy Roman Empire, Charles V (raja paling kuat dan berpengaruh di Eropa pada masa itu) marah, menolaknya. Jadilah sudah karena alasan tersebut, Henry VIII menyatakan keluar dari ikatan kepausan Roma Katolik dan mendirikan sendiri garis Gereja yaitu Gereja Anglikan. Keluarnya kerajaan Inggris dari Gereja Roma Katolik karena unsur politik membuat Henry VIII merangkul semua pihak yang menjadi oposisi kepausan. Kaum Calvinis yang dikejar-kejar dan dibantai Roma Katolik ditarik dan dipanggil untuk boleh memperoleh perlindungan dari Henry VIII. Sebenarnya pertama-tama bukan karena Henry VIII mengerti substansi reformasi dari kelompok Protestan, melainkan ia juga membutuhkan dukungan untuk melawan pengaruh dari kerajaan-kerajaan di bawah naungan Roma Katolik. Sambil terus mengerjakan reformasi keagamaan, Henry VIII mewariskan kursi kerajaannya kepada anak dari pernikahannya yang kedua, Edward VI. Tapi ternyata garis yang dahulu pernah ingin disingkirkan muncul dan merebut kekuasaan. Mary I, anak dari Henry VIII dan Catherine of Aragorn kembali merebut kursi kerajaan Inggris pada tahun 1553 setelah Edward VI wafat. Mary I yang begitu dekat dengan Roma Katolik karena garis keluarganya, sekaligus karena dendam terhadap ayahnya yang berusaha menyingkirkan dia dan ibunya dari kursi kerajaan melampiaskan dendamnya kepada kaum Protestan. Dia melihat kelompok ini sebagai bagian yang berandil besar mengganggu kelanggengan kepemimpinannya, sekaligus menjadi perwakilan dari rezim ayahnya. Padahal banyak hal dari Henry VIII yang juga tidak disetujui oleh kaum Calvinis pada masa itu. Jadilah pada masa pemerintahan Mary I, kaum Protestan diburu dan berusaha dibantai habis. Kekejaman Mary I sampai membuatnya mendapatkan julukan “Bloody Mary”.
Menghindari usaha pemunahan massal kaum Protestan di Inggris, kelompok ini akhirnya pergi kepada benua baru yang baru-baru ini menjadi pusat koloni Inggris, Amerika Utara. Kisah perjalanan ini yang menjadi cikal bakal kekayaan tradisi dan iman Kristen yang menjadi akar dari Negara Amerika. Dari abad ke-16 sampai ke-18, kaum Protestan yang dikenal dengan sebutan Puritan ini mengerjakan kebangunan rohani yang luar biasa besar di Amerika Utara. Mereka merupakan sebuah komunitas rohani besar yang memiliki spiritualitas mendalam sekaligus intelektualitas yang tajam. Di dalam sejarah, bukan saja mereka melahirkan para raksasa iman, mereka juga menghasilkan orang-orang yang berpengaruh besar membawa kemajuan kepada banyak bidang. Salah satunya adalah Jonathan Edwards yang menjadi salah satu tokoh kebangunan rohani di abad 18, yang sering dikenal sebagai “The First Great Awakening”.
Kaum Puritan adalah satu komunitas raksasa iman yang menghasilkan tokoh-tokoh raksasa bagi Gereja, dan yang memiliki pengaruh paling panjang di dalam kekristenan dan Negara Amerika. Kaum Puritan memiliki tradisi yang sangat kental di dalam keluarga mereka dan Gereja. Mereka terbiasa untuk mengadakan ibadah pagi setiap hari di rumah, dengan ayah sebagai pengkhotbah setiap hari. Mereka terbiasa beribadah satu hari penuh di Gereja setiap hari Minggu. Itu belum termasuk bagaimana perenungan dan afeksi mereka terhadap firman Tuhan yang dibawa kepada semua aspek kehidupan mereka. Bahkan mereka membawa iman mereka melalui intelektualitas yang berakar kepada Alkitab di dalam membangun konstitusi Negara Amerika.[7] Sekali lagi saya katakan bahwa komunitas Kristen mereka adalah komunitas yang raksasa di dalam iman. Tapi ternyata, kelompok yang kuat ini harus ditekan oleh dunia dalam bentuk yang lain. Ketika dunia menekan mereka di dalam bentuk pembantaian oleh pemerintah, mereka bertahan dan bahkan menantang sistem pemerintahan yang ada dengan membangun sistem pemerintahan yang berbasis Alkitab. Tapi kali ini mereka ditekan melalui sistem perekonomian. Ketika pada tahun 1800-an perekonomian di Amerika mulai booming akibat Revolusi Industri yang mengakibatkan dibangunnya sarana transportasi rel secara masif, kelompok ini harus tergeser. Jumlah waktu kerja yang begitu tinggi memaksa mereka untuk tidak dapat lagi melakukan tradisi ibadah mereka di dalam keluarga dan Gereja. Kaum pria dipaksa bekerja hampir 18 jam sehari demi menafkahi keluarga. Akibatnya, para ayah harus tinggal di tempat-tempat penambangan dan kamp-kamp pembangunan rel serta stasiun. Keluarga-keluarga Puritan mulai kehilangan pemimpin spiritual mereka di rumah-rumah, para ayah. Akibatnya, dalam 100 tahun lebih, tradisi kaum Puritan mulai mengecil pengaruhnya. Belum lagi ditambah pengaruh sekularisme dan liberalisme yang menghimpit mereka. Akhirnya, walau pengaruh mereka masih tetap ada, tetapi cakupan pengaruhnya jauh menciut.
Apa yang dapat kita pelajari melalui konteks hidup komunitas kaum Puritan? Setidaknya ada dua hal. Pertama, dunia dan kuasanya betul-betul begitu serius dan tak pernah berhenti untuk mengusahakan kematian umat Allah dan pengaruhnya. Kedua, kaum Puritan yang begitu kental, kaya, dan ketat di dalam tradisi Calvinisme pun dihantam demikian keras oleh dunia, apalagi komunitas kita yang tidak memiliki akar yang mendalam di dalam warisan kerohanian (doktrin, tradisi, dan sebagainya)? Komunitas kekristenan yang ada pada kita mungkin sudah merosot pencapaiannya 200 tahun lebih dari apa yang sudah dicapai orang-orang Kristen sebelum kita.[8] Para leluhur iman kita sudah membangun banyak pengertian dan warisan iman yang tinggal kita teruskan saja, tetapi generasi kita membuang semua itu dan memulainya dari awal.
Bagian kedua dari sejarah Gereja ini mengajak kita untuk serius melihat tekanan dunia berdosa terhadap panggilan komunitas Kristen untuk menggenapi peran mereka. Maka dari itu, ada beberapa pertanyaan yang selalu dilontarkan sejarah kepada kita. Komunitas Kristen yang ada pada kita saat ini diisi dan dibangun dengan apa? Para pemuda yang berada di dalamnya membangun/dibangun imannya dengan cara apa? Dan kita sebagai pemuda Kristen tertarik dengan gaya “kekristenan” macam apa? Ketika Gereja mulai mengikuti dunia, maka Gereja akan berlalu bersama dengan dunia.
Gerakan Reformed Injili dan Komunitas Pemuda Mahasiswa Masa Kini
Dalam rangka mensosialisasikan Seminar Pembinaan Iman Kristen 2014 di salah satu kota pelajar di Indonesia, kami mendapatkan kesempatan untuk berkeliling dan mengunjungi beberapa persekutuan pelayanan mahasiswa di beberapa kampus di kota tersebut. Bersama seorang rekan, kami melihat bagaimana kondisi pelayanan kaum muda Kristen kita di dalam konteks zaman ini. Satu hal yang bisa kami katakan, generasi muda Kristen saat ini adalah generasi yang kehilangan sejarah iman kekristenan. Sebagai orang yang terjangkau dan aktif di dalam pelayanan mahasiswa, konteks dunia pelayanan pemuda mahasiswa memang sangat minim akses terhadap warisan-warisan tersebut. Padahal tidak jarang kami bertemu dengan orang-orang yang punya hati begitu besar yang mereka persembahkan kepada Tuhan di dalam konteks pelayanan pemuda mahasiswa. Seorang rekan mengatakan kepada saya, sayang mereka belum bertemu saja dengan Gerakan Reformed Injili, mereka mungkin sekali bisa menjadi orang-orang yang besar di dalam pelayanan pemuda mahasiswa ketika mereka bertemu dengan seluruh kekayaan iman Kristen yang diwariskan kepada zaman ini melalui Gerakan Reformed Injili.
Seiring dengan berjalannya pelayanan pemuda mahasiswa, kami sering mendengar bahwa Gerakan Reformed Injili selalu diasosiasikan sebagai institusi Gereja Reformed Injili Indonesia. Asosiasi tersebut wajar timbul di kalangan aktivis di luar GRII karena mayoritas yang bergerak di dalam Gerakan tersebut memang bergereja di GRII. Namun mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri bahwa Gerakan Reformed Injili bukan milik GRII saja, melainkan milik dari semua orang Kristen di masa ini. GRII ini merupakan wadah terdekat, tetapi Gerakan Reformed Injili terlalu besar dan tidak sanggup hanya ditampung oleh GRII. Gerakan Reformed Injili adalah sebuah semangat ajakan bagi segenap kalangan Kristen untuk kembali menggali warisan iman Kristen yang begitu kaya yang dikumpulkan selama ribuan tahun, dan diwariskan kepada kita pada masa kini. Dan kita tidak bisa memungkiri bahwa warisan yang disediakan Tuhan bagi segenap umat Allah di zaman ini disalurkan melalui Gerakan ini.
Kiranya Gerakan Reformed Injili boleh menjadi pintu bagi umat Allah di dalam zaman ini untuk masuk kepada kelimpahan iman yang telah Allah sediakan sepanjang zaman. Dan kiranya melalui Gerakan ini, lebih banyak orang digairahkan pelayanannya, bukan hanya di dalam melayani Tuhan pada zaman ini saja, tetapi kiranya juga boleh membawa pengaruh yang panjang bagi pembentukan iman Kristen di masa yang akan datang.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] ‘Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”’ (Kej 1:26 –Indonesia Terjemahan Baru)
[2] Creation-Fall-Redemption-Consummation adalah kerangka yang dimunculkan oleh Agustinus melalui pembacaannya terhadap keseluruhan Alkitab.
[3] Sering timbul keberatan dari ketiga pernyataan ini, dan biasanya dinyatakan melalui sanggahan seputar “Bukankah fakta menyatakan bahwa masih ada orang-orang yang dapat berbuat baik, dan bukankah manusia masih dapat melakukan hal yang benar (contoh: berhitung dengan benar)?” dan sebagainya. Dalam meresponi hal ini, kita akan berangkat dari penjelasan John Calvin perihal manusia sebagai imago Dei. Manusia sebelum jatuh dalam dosa memiliki fungsi dan potensi imago Dei di dalam Narrow Sense (fungsi Raja, Imam, Nabi). Tetapi setelah jatuh di dalam dosa, di dalam topangan tangan Tuhan, manusia masih memiliki fungsi dan potensi imago Dei, namun hanya di dalam Broad Sense (fungsi paling mendasar pada manusia, yaitu di dalam fungsi rasional dan moral). Secara sederhana, fungsi rasional di dalam kaitannya mengerti kebenaran dan fungsi moral di dalam kaitannya mengerti kebaikan, tetapi dua fungsi ini tidak cukup di dalam mengerti seluruh kebenaran dan kebaikan yang diperlukan manusia berdosa untuk hidup di hadapan Allah dan membawa perbaikan kepada dunia yang semakin mati karena dosa.
[4] Saya merujuk kepada catatan sejarah umat Allah di dalam sejarah Gereja setelah Perjanjian Baru, dan catatan-catatan doktrin serta theologis yang dimunculkan.
[5] Untuk pembelajaran lebih detail silakan membaca “Introduction to Systematic Theology” oleh Cornelius van Til. Diterjemahkan oleh penerbit Momentum dengan judul “Pengantar kepada Theologi Sistematika”. Juga untuk menjadi perhatian adalah lima poin mengenai relasi antara Gereja dan Kebenaran yang dimunculkan oleh R. B. Kuiper. Dalam kesempatan kali ini, topik mengenai peranan Gereja terhadap dunia tidak akan dibahas lebih jauh.
[6] Dalam hal ini penulis berfokus kepada surat kepada jemaat Efesus dan Filipi.
[7] Untuk mempelajari lebih jauh akar Puritanisme di dalam sejarah Amerika, saya mereferensikan Dr. Peter A. Lillback, Ph.D. Anda dapat mengakses situs www.providenceforum.org untuk mencari bahan pembelajaran lebih lanjut. Atau mengikuti kelas STRIJ tentang sejarah Gereja di kota-kota terdekat, silakan akses situs STRIJ.org untuk melihat jadwal kelas yang tersedia.
[8] Mengutip pernyataan dosen pengajar dari kelas Sejarah Gereja STRIJ.