Amos and Death

Kitab Amos merupakan kitab yang cukup menakutkan. Amos, seorang peternak dari Tekoa, mengutarakan kutuk kematian kepada seluruh pendengar dan pembaca, seakan-akan mereka (kita) telah mati. Meskipun hal ini terdengar seperti kontradiksi performatif, atau perverformative menurut Derrida, namun cara inilah yang dipakai Amos untuk menyampaikan janji kematian yang kejam dan absolut dari Allah. Kita bahkan dapat melihat bagaimana Amos seakan-akan mengalami trauma mendalam akan janji ini melalui pilihan kata-kata yang terpecah dan terkoyak.

Menulis dalam Gempa dan Kelam
Amos mendapatkan penglihatan dan menuliskannya tepat sebelum gempa besar mengguncang Israel. Guncangan ini dibawa oleh Amos melalui kata hfk (menghancurkan) di sepanjang Kitab Amos dan permainan kata (pun) yang menantang stabilitas teks di setiap sudut Kitab Amos. Bahasa yang bergejolak oleh kemarahan kudus mengoyak kuil Gilgal menjadi Ha-gilgal galoh yigleh (Gilgal pasti masuk ke dalam pembuangan) dan menjungkirbalikkan Beth-el (Rumah Tuhan) menjadi Beth-al (rumah kekosongan) (Am. 5:5-6).

Apa yang tampaknya dimiliki Amos dalam kitab ini adalah keinginan untuk memobilisasi kekuatan tulisan dengan cara yang tidak dapat ditemukan pada penguasaan retorika dan nalar manusia sekalipun. Cara penulisan Amos sekaligus menyerang gagasan kita akan subjek yang ajek dan independen, dengan membangkitkan memori akan ketidakberdayaan serta mengingatkan kita akan batas-batas kekuasaan yang kita miliki sebagai manusia. Secara khusus, Amos membangkitkan kesadaran bahwa kita tidak pernah memiliki sebuah bahasa atau tulisan dengan cara yang sama seperti kita memiliki objek lain. Ia menggunakan tulisan sebagai cara mengacaukan pengertian manusia dan menuntun kita menuju batasan-batasan yang selama ini tidak pernah diselami. Bagi Amos, YHWH menghancurkan ketenteraman mereka yang nyaman berbaring di atas dipan gading di Sion (6:1, 4). Mungkin menghancurkan ketenteraman kita yang suam-suam kuku.

Dalam Kitab Amos, Tuhan digambarkan bukan hanya sebagai Tuhan atas terang dan pencipta atas segala yang ada, tetapi juga sebagai Tuhan atas kekelaman dan kehancuran. Ia membedakan dengan jelas diri-Nya dari dewa-dewa kesuburan lainnya yang disembah oleh umat Israel pada zaman tersebut. Ia menyatakan diri sebagai dewa kesuburan sekaligus ketidaksuburan: gempa bumi, badai, api, dan kelaparan adalah milik-Nya. Kekelaman kitab ini diperdalam oleh berbagai gambaran yang mengerikan di mana YHWH menjanjikan Israel ketidakhadiran-Nya, bukan sebagai kelimpahan melainkan sebagai kelaparan (kelaparan akan TUHAN dan firman TUHAN [8:11]). Ia juga menggambarkan diri-Nya sendiri sebagai pemberi kekurangan, “Aku telah memberi kepadamu gigi yang tidak disentuh makanan di segala kotamu dan kekurangan roti di segala tempat kediamanmu” (4:6). Ia juga menyatakan penglihatan akan sebuah bakul berisi buah-buahan (qayits) yang diberikan kepada Amos dalam 8:1-3, untuk menggambarkan sesuatu yang jauh lebih brutal daripada sekadar permainan kata: qaits (akhir/kesudahan) dari Israel. Yang paling mengerikan adalah gambaran dalam Amos 3:12, sang nabi berkata, “Seperti seorang gembala melepaskan, dari mulut singa, dua tulang betis atau potongan telinga, demikianlah kamu Israel.” Menurut Keluaran 22:10-13, bagian-bagian hewan yang putus membuktikan, di hadapan hukum, bahwa seekor binatang telah mati. Demikian Amos 3:12 menggambarkan Israel yang telah mati, sebagai sisa telinga yang sobek dan berdarah, dan mengharapkan telinga itu untuk mendengar.

God is Death
Logika yang traumatis dari Amos juga terlihat ketika ia menjarah dan memparafrase perikop dari Yesaya 28:15, “Orang Israel telah mengikat perjanjian dengan maut.” Amos mencoba menggabungkan YHWH dengan kematian itu melalui gambaran YHWH yang memerintah ular untuk memagut Israel sehingga racunnya menjalar dalam pembuluh darah Israel. Meskipun tampaknya Israel masih menari dan menyanyi dengan riang, akan tiba saatnya bahwa seluruh tanah Israel pun tidak akan cukup untuk mengubur mayat-mayat mereka. Amos menulis seakan-akan Tuhan berbicara kepada orang mati yang tidak bisa lagi mendengar. Ia tidak berpikir lagi akan adanya harapan bagi Israel. Ia juga tidak mengharapkan Israel untuk berbalik. Yang Ia lakukan hanyalah berteriak di telinga Israel ketika mereka dibawa ke medan eksekusi.

Logika bahwa YHWH sebagai pembawa kematian pun mengental ketika jargon “biarkan keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti aliran sungai yang selalu mengalir” dituliskan oleh Amos. Kebanyakan kita sebagai orang Kristen membaca perikop ini sebagai anjuran, keluar dari konteks yang kelam dari ayat-ayat sebelum dan sesudah perikop ini. Namun Israel zaman itu akan dengan gentar membacanya, karena mereka melihat perikop ini sebagai prediksi akan “keadilan dan kebenaran [Tuhan] yang akan mengalir seperti sebuah aliran yang tidak pernah berakhir.” YHWH akan membawa keadilan-Nya dengan pedang (Am. 9:10) sehingga darah Israel akan mengalir dengan deras dan tumpah ke seluruh penjuru dunia.

Tuhan Amos terlalu kejam, tanpa ampun, dan retributif. Tuhan dari sudut pandang Amos memang Tuhan yang adil, tetapi keadilan-Nya yang ketat dan retributif membuat setiap neraca yang serong dan ketidakadilan harus berujung pada kematian. Bertentangan dengan tradisi filosofis dan theologis kontemporer yang ada di sekitar kita, yang bahkan takut membahas mengenai dosa dan penghakiman: Tuhan adalah kematian! Ia bukan tuhan orang Athena, sang penggerak yang tidak tergerak (unmoved mover) yang memotong pola kekal di angkasa, juga bukan gambaran Tuhan yang menjadi gembala kita di Mazmur, YHWH yang membaringkan kita di padang rumput hijau (Mzm. 1:2).

Living On
Amos menghadirkan sebuah visi tentang Tuhan dan masa depan yang begitu kelam sehingga tidak ada agama lain yang berani mengidentifikasikan dirinya dengan visi tersebut. Bahkan Israel tidak mau diidentifikasikan dengan citra “seorang anak dara yang terkapar, dan tidak akan bangkit-bangkit kembali” (Am. 5:2), dan agama mana yang dapat bertahan hidup dengan janji kematian dari tuhannya?

Pandangan kelam Amos di atas mengingatkan kita akan nubuat yang sama mengenai telinga dalam Yesaya 6. Saat itu, Allah menutup telinga kaum Israel sehingga mereka tidak dapat mendengar apa pun. Kemudian Allah, dengan kapak-Nya, menumpas habis kaum Israel seperti pohon beringin dan pohon jawi-jawi sehingga tidak ada siapa pun yang tersisa untuk mendengar. Namun, melalui kondisi seperti inilah, sebuah tunggul akan tetap ada dan menghasilkan tunas baru (Yes. 6:13)! Seperti tulang belulang kering di Yehezkiel 37, Israel sebagai telinga yang terkoyak berseru meminta kesembuhan dan kebangkitan. Kitab Amos membawa gambaran yang sama, akan adanya harapan yang tertanam dalam debu, yang pada saatnya akan mekar dan merekah. Pandangan semacam ini membawa perspektif baru dalam melihat Amos. Amos membawa kita melihat bahwa Allah menggunakan luka telinga Israel menjadi pengorbanan yang hakiki, sebagai sarana penyembuhan—seolah-olah dengan mematahkan telinga, akan tumbuh tubuh baru, bahkan kehidupan baru. Dengan adanya pengorbanan, kehidupan bagi dunia muncul.

Jika kita mempelajari lebih jauh, janji kematian dalam Kitab Amos mengisyaratkan adanya penangguhan akan kematian dalam hidup ini. Dan di dalam janji kematian ini, Israel, juga kita, merongrong dirinya sendiri ke dalam keadaan ekstrem. Ia dibawa ke tepi kematian, namun menemukan dirinya masih hidup. Hidup ini adalah hidup yang selalu bergerak maju dan bersaksi tentang ketidakmungkinan kematian tersebut. Betapa pun berapi-apinya Amos menjanjikan kematian orang Israel, dia tidak bisa membakar habis masa depan; bahkan ketika kita mendengar, “Aku berjanji, kamu sudah mati,” janji itu masih hidup sampai sekarang. Ketika Amos mengatakan kata-kata “keadilan” dan “Yahweh”, ada janji-janji yang tertulis dalam kata-kata itu yang tidak bisa ditekan oleh Amos, bahkan kita tidak bisa menghilangkan janji tersebut.

Memang janji kematian tetap merupakan janji kematian. Amos telah melakukan segala hal yang terbaik untuk menjanjikan kematian kepada kita, untuk berjanji bahwa keadilan akan mengunjungi kita dengan penuh darah ketika hari YHWH tiba. Namun, sejarah tidak mampu menghapuskan seruan keadilan ini, dan mengatribusikan seruan keadilan sebagai karunia, dan seruan itu mengalir seperti air yang melintasi zaman-zaman yang ada dari Amos ke Agustinus, dari Agustinus ke Calvin, dan terus mengalir dan terus diberitakan pada mimbar-mimbar gereja kita, dengan atau tanpa kerja sama mereka. Amos memang memohon akan adanya darah yang mengalir atas ketidakadilan ekonomi yang ada, tetapi dia tidak dapat menekan ataupun menghapus “hadiah” yang berdenyut melalui kata-katanya, harapan bagi kita yang membutuhkan masa depan dan pengampunan.

Pagi Setelah Hari Tuhan Tiba
Apa yang akan terjadi pada Amos adalah masa kelam pembuangan, di mana mayat tanpa bentuk bergelimangan, dan hanya membangkitkan imajinasi-imajinasi horor yang tidak dapat dibayangkan, seperti semacam kekacauan dalam tohu wa-bohu (Kej. 1:2).

Pelatuk memang ditarik, tembakan terdengar, kilatan dan ledakan menghancurkan telinga—namun pada akhirnya kita tidak mati, persis seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk yang mengerikan di pagi hari setelah (Hari Tuhan), atau seperti seseorang yang ingatan terakhirnya terperangkap dalam sebuah bencana di mana ia akan dihancurkan yang terbangun untuk menemukan bahwa ia tidak mati. Di sini mimpi buruk tersebut mengalah dan mengendurkan intensitasnya. Di sini karena kelelahan, hukuman mati mengubah dirinya menjadi penangguhan, kematian yang diramalkan berubah menjadi kematian dihalangi.

Pada akhirnya, atau sejak awal, perkataan Amos—apa pun itu—menyiratkan tentang Tuhan yang penuh karunia dan pembalasan, membelokkan seluruh pendekatan kita dan membuat kita terenyuh dengan kata-kata, “Aku akan memulihkan kekayaan bangsaku, Israel,” kata Tuhan, Allah.

Kristus Sang Fajar
Dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari, ada saat di mana seakan tangan Tuhan teracung kepada kita, umat berdosa. Setiap dosa dan ketidakadilan yang kita lakukan menghasilkan penyesalan dan kesedihan dan memberengus hati nurani kita, serta membuat kita terperangkap dalam keputusasaan. Mungkin hal ini juga terjadi kepada orang-orang di sekitar kita.

Kitab Amos membawa kita untuk sadar bahwa hal tersebut wajar dalam kehidupan kita yang berdosa. Terkadang luka memang harus ditinggalkan dan kehilangan harus dijalani. Namun, iman Kristen memberikan harapan di tengah kekelaman. Kristus datang dan menanggung kematian paling mengerikan yang mampu dibayangkan oleh Amos. Di dalam kematian-Nya, kelam disingkirkan dan fajar terbit bagi kita. Terang inilah yang harus kita bawa ke seluruh dunia, ke sudut-sudut kelam di sekitar kita. “Karena kita semua sudah menjadi anak-anak terang, dan hidup kita diterangi oleh Tuhan. Kita bukan anak-anak gelap yang berjalan di malam gelap” (1Tes. 5:5).

Robin Gui
Pemuda FIRES