“Karena jika doktrin [pembenaran] ini berdiri, gereja akan berdiri; jika doktrin ini runtuh, gereja akan runtuh.” – Martin Luther
Dalam sepanjang sejarah kekristenan, kita dapat menemukan momen-momen penting yang menentukan arah gereja. Salah satunya yakni melalui polemik theologi dan doktrin yang mengancam iman ortodoks dan pengenalan akan Tuhan yang murni dan sejati di dalam gereja. Melalui ancaman dan serangan, baik dari luar maupun dalam, gereja didorong untuk mengartikulasikan dan menyatakan pengertian firman Tuhan yang lebih ketat dan jelas melalui pengakuan iman.
Polemik theologi dan doktrin yang dihadapi gereja berbeda dari satu zaman ke zaman lainnya. Ini merupakan tugas yang penting bagi gereja untuk mengenal situasi tempat ia berperang untuk mempertahankan kemurnian iman Kristen. Gereja harus mengidentifikasi the theological frontline—garis depan dari peperangan theologi dan doktrin mereka. Garis depan theologi ini sangat penting untuk menentukan posisi gereja di dalam peperangan rohani, karena theologi dan doktrin memengaruhi kehidupan rohani gereja. Hal ini disadari oleh Martin Luther ketika ia memperjuangkan doktrin pembenaran karena iman. Gereja-gereja yang tidak berperang di garis depan akan kalah dan ditelan oleh arus zaman secara tidak sadar, atau akhirnya berperang di medan peperangan yang salah dan tidak bertumbuh.
Peperangan Theologis di dalam Sejarah
Apabila kita membaca Perjanjian Baru, kita dapat menemukan bahwa gereja sudah dilanda ancaman secara theologis dan doktrin bahkan ketika para rasul masih hidup. Salah satu masalah utama yang harus diselesaikan oleh para rasul ialah menghadapi para Yudaiser. Mereka mengajarkan bahwa orang Kristen, termasuk mereka yang bukan dari bangsa Israel, harus mengadopsi adat dan praktik Yahudi. Dalam menghadapi Yudaiser ini, gereja di Yerusalem harus berkumpul dan mengadakan suatu pertemuan yang akhirnya kita kenal sebagai Konsili Yerusalem (Kis. 15). Pengertian Injil yang murni diteguhkan melalui surat yang ditulis oleh para rasul dan penatua gereja dan keputusan ini memberikan sukacita bagi orang percaya pada zaman Gereja Mula-mula. Namun peperangan untuk menolak pengertian para Yudaiser tidak berhenti di sana. Rasul Paulus dengan gigih membereskan masalah ini melalui surat-surat yang ia tulis kepada gereja-gereja seperti surat kepada jemaat di Galatia dan surat kepada jemaat di Roma, sehingga menjadi jelas bahwa orang Kristen tidak perlu mengikuti adat dan praktik Yahudi.
Menjelang akhir dari abad pertama, gereja harus memerangi ideologi Gnostisisme yang memengaruhi kekristenan. Salah satu pengertian kaum Gnostik yang merajalela adalah kepercayaan akan suatu hierarki dari makhluk-makhluk Ilahi, atau apa yang disebut sebagai Kepenuhan Ilahi (Ing. The Divine Fullness) (Hill, 2003). Di dalam pengertian ini, tuhan itu tidak esa, melainkan ada banyak allah. Allah Tinggi (Ing. The High God) menempati posisi yang paling tinggi disusul oleh berbagai makhluk Ilahi, seperti Kebijaksanaan Ilahi (Ing. The Divine Wisdom), Firman Ilahi (Ing. The Divine Word), dan seterusnya (Hill, 2003). Pengertian Gnostisisme inilah yang akhirnya dilawan oleh Rasul Yohanes, sebagai rasul terakhir setelah rasul-rasul yang lain mati syahid. Rasul Yohanes membereskan pengertian akan Tuhan yang sudah melenceng melalui Injil Yohanes dengan menyatakan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah” (Yoh. 1:1-2).
Setelah zaman para rasul berakhir, gereja terus diterpa oleh berbagai pengajaran yang sesat. Pada awal abad ke-4 setelah Masehi, Athanasius dari Aleksandria bangkit untuk melawan Arianisme yang mengajarkan bahwa Allah Anak, yakni Tuhan Yesus Kristus, bukan sepenuhnya Ilahi, melainkan hanya ciptaan Tuhan yang paling agung (Hill, 2003). Meskipun berkali-kali mengalami pengasingan, Athanasius tetap memperjuangkan doktrin Tritunggal yang sejati sampai akhirnya Konsili Konstantinopel Pertama (tahun 368) meneguhkan doktrin Tritunggal seperti apa yang diajarkan Konsili Nicea I, bahwa Kristus sehakikat dengan Bapa (homoousios, atau konsubstansial; “dari substansi yang sama dengan Bapa”) dan diperanakkan, bukan dibuat (“lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman”). Doktrin Kristologi terus dimurnikan melalui Konsili Kalsedon (tahun 451) yang memperjelas pengajaran dwi-natur Kristus dan menolak doktrin monofisitisme.
Peperangan tidak berhenti di sana. Pada abad ke-16, Martin Luther dan para reformator menemukan garis depan peperangan rohani dan meneguhkan doktrin justifikasi karena iman dan sola Scriptura (Alkitab sebagai otoritas gereja dan kehidupan Kristen yang paling utama). Pada awal abad ke-20, B. B. Warfield beserta beberapa theolog dan pendeta Protestan menerbitkan kumpulan esai yang diberi judul The Fundamentals: A Testimony to the Truth. Buku ini menjadi fondasi bagi Gerakan Injili, yang mempertahankan kesentralan dari doktrin inspirasi Alkitab dari kaum Kristen liberal. Pada akhirnya, sejak momen Kebangunan Rohani Jalan Azusa yang dimulai pada tahun 1906 dan menghasilkan denominasi Pentakosta dan Karismatik, gereja dipaksa untuk menyatakan ulang pengertian akan Roh Kudus dan mujizat yang sejati, serta melawan injil kemakmuran yang mencemarkan pengertian banyak orang Kristen.
Bagaimanakah dengan abad ke-21? Di manakah garis depan peperangan theologis dan doktrin? Isu atau topik apakah yang harus mendapatkan perhatian dari gereja? Melalui artikel ini, penulis akan menjelaskan bahwa antropologi, yakni ilmu tentang manusia, kelakuan manusia, dan masyarakat, merupakan garis depan di mana gereja seharusnya memperkembangkan dan menampilkan doktrin manusia yang ortodoks. Antropologi merupakan garis depan theologis yang menentukan masa depan gereja pada abad ke-21.
Serangan terhadap Doktrin Manusia
Mengapa antropologi? Perlu kita perhatikan bahwa pada abad ke-21 ini, kita menghadapi begitu banyak masalah antropologi dan serangan terhadap doktrin manusia. Saya akan menguraikan beberapa masalah inti.
Natur Manusia dari Kacamata Sains
Natur manusia dipertanyakan terutama sejak munculnya teori evolusi yang dipopulerkan oleh Charles Darwin melalui bukunya Asal-Usul Spesies (Ing. On the Origin of Species). Sebelum munculnya teori evolusi, pengertian manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi, dipisahkan dari ciptaan yang lain karena manusia merupakan gambar dan rupa Allah, seperti apa yang dipaparkan di dalam Alkitab, merupakan pengertian yang diterima secara universal, terutama di negara-negara Barat yang masih menerima tradisi Kristen.
Sebagai contoh, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat menyatakan bahwa natur manusia seperti apa yang dipaparkan oleh Alkitab menjadi dasar dari hak asasi manusia: “Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini mutlak, bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikaruniai beberapa hak tertentu yang tak dapat diganggu gugat, bahwa di antaranya ialah hidup, kemerdekaan, dan usaha mencapai kebahagiaan.”
Teori evolusi mengajarkan bahwa manusia merupakan hasil evolusi secara alamiah dari binatang. Secara implisit, teori tersebut mempertanyakan status dan identitas dari ras manusia. Apabila manusia hanyalah binatang yang telah berevolusi, apakah manusia sepatutnya diberi hak yang lebih tinggi dibandingkan binatang yang lain? Apakah asumsi bahwa manusia diberikan kuasa di atas alam itu sudah tepat? Secara ekstrem, teori evolusi telah menghasilkan pengertian akan “spesiesisme”, yang menuntut persamaan hak moral bagi hewan. Peter Singer, filsuf moral yang memopulerkan “spesiesisme” mengatakan, “Fakta-fakta biologis yang menjadi dasar penentuan spesies kita tidak memiliki signifikansi moral. Memberikan preferensi pada kehidupan makhluk hanya karena makhluk itu adalah anggota spesies kita, akan menempatkan kita pada posisi yang sama dengan para rasis yang memberikan preferensi kepada mereka yang merupakan anggota ras mereka” (Singer, 1993).
Eutanasia, Aborsi, Nilai Kehidupan, dan Martabat Manusia
Teori evolusi yang disertai dengan paham Materialisme memaksa kaum manusia untuk mengevaluasi ulang nilai kehidupan dan martabat manusia. Nilai dari kehidupan manusia sudah dipertanyakan sejak awal mula kehidupan suatu individu manusia, yakni ketika janin masih berada di dalam rahim ibu. Pada tahun 1973, melalui keputusan yang diambil di dalam kasus Roe v. Wade, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa pemerintah AS akan melindungi kebebasan wanita hamil untuk memilih melakukan aborsi tanpa pembatasan pemerintah yang berlebihan. Keputusan ini menjadi suatu katalis bagi legalisasi aborsi di negara-negara yang lain. Aborsi dipandang sebagai suatu hak dasar dari setiap wanita. Mereka yang menolak aborsi dikarikaturkan sebagai orang yang tidak peduli baik bagi kehidupan wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan maupun kesejahteraan anak-anak yang lahir dari kehamilan tersebut (lihat Planned Parenthood, 2019).
Tidak hanya pada awal mula kehidupan, nilai kehidupan juga dipertanyakan pada akhir dari kehidupan atau berkaitan dengan eutanasia. Dengan alasan utama yakni untuk mempertahankan martabat manusia, beberapa kelompok mendukung dan mendorong legalisasi eutanasia, yakni intervensi medis yang dengan sengaja dilakukan untuk mengakhiri kehidupan atas permintaan pasien. Dengan kata lain, eutanasia merupakan praktik bunuh diri yang dibantu (Ing. assisted suicide).
Salah satu negara yang telah melegalisasi eutanasia adalah Belgia. Secara hukum, eutanasia hanya boleh dijalankan dengan kriteria yang ketat. Salah satunya ialah eutanasia hanya boleh dijalankan kepada pasien yang mengalami “penderitaan fisik atau mental yang konstan dan tak tertahankan yang tidak dapat diatasi, yang dihasilkan dari gangguan serius, tidak dapat disembuhkan, dan disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan.” Namun pada faktanya, terdapat laporan bahwa eutanasia juga dijalankan bagi mereka yang mengalami penyakit yang tidak terminal dan masih bisa diatasi melalui perawatan medis. Menurut media Belgia, ada 2.357 kasus eutanasia pada tahun 2018, setara dengan lebih dari enam kasus setiap harinya.
Pernikahan, Seks, dan Gender
Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pernikahan sebagai suatu institusi menempati posisi yang penting di dalam kekristenan. Kristus sendiri menggunakan hukum mengenai pernikahan di antara hukum-hukum yang lain sebagai contoh ketika Ia menyatakan bahwa Hukum Taurat akan terus berlaku dan tidak berubah (Luk. 16:16-17). Karena itu, serangan terhadap institusi pernikahan sepatutnya dipandang dengan serius.
Sebelum maraknya perdebatan mengenai legalisasi pernikahan sesama jenis, institusi pernikahan sudah terlebih dahulu diserang dengan normalisasi bahkan legalisasi dari praktik kohabitasi. Kohabitasi dan seks di luar nikah sudah dianggap normal dan wajar bagi banyak masyarakat. Bahkan, pada tahun 1995, gereja di Inggris setuju untuk menerima pasangan di dalam kohabitasi ke dalam gereja dan mendorong mereka untuk melihat kohabitasi sebagai pendahuluan dari pernikahan Kristen (Taylor, 2009).
Karena itu, bukan sesuatu yang mengherankan bahwa sejak pernikahan sesama jenis pertama kali dilegalisasi di Belanda pada tahun 2001, berbagai gereja-gereja arus utama (Ing. mainline churches) dengan tangan terbuka menerima pasangan sesama jenis dan bersedia memberkati pernikahan pasangan tersebut di dalam upacara pemberkatan Kristiani. Gereja-gereja Injili pun harus bergumul dengan posisi gereja terhadap masalah LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender), dan tidak sedikit gereja Injili yang akhirnya menerima LGBT dengan dasar tuntutan kasih terhadap sesama.
Transhumanisme dan Teknologi
Teknologi memiliki peran yang unik dan penting di dalam kehidupan umat manusia. Tentunya, ketika digunakan dengan tepat, teknologi dapat membantu manusia untuk lebih efektif dalam menjalankan mandat budaya. Namun, akhir-akhir ini, terdapat beberapa respons terhadap teknologi yang patut kita simak dengan teliti.
Di satu sisi, kita dapat melihat munculnya transhumanisme, yang dapat didefinisikan sebagai gerakan sosial dan filosofis, yang ditujukan untuk mempromosikan penelitian dan pengembangan teknologi yang meningkatkan kemampuan manusia, baik secara kognitif maupun fisik. Tesis transhumanis yang paling umum adalah bahwa manusia pada akhirnya dapat mengubah diri mereka melalui teknologi menjadi makhluk yang berbeda, dengan kemampuan yang sangat berkembang dari kondisi mereka sekarang.
Salah satu dari teknologi yang populer di kalangan para transhumanis ialah rekayasa genetika. Pada tahun 2018, dunia digemparkan oleh eksperimen dari He Jiankui, seorang ilmuwan genetika di RRT. He melaporkan bahwa dia telah berhasil merekayasa gen dari empat bayi yang lahir melalui teknologi IVF. Eksperimen He tentunya menerima kecaman baik dari dunia sains di RRT sendiri maupun dari komunitas ilmuwan internasional. Namun, di sisi yang lain, eksperimen He membuktikan bahwa teknologi manusia dapat mengubah bahkan gen yang merupakan unit pewarisan sifat bagi fisik manusia. Teknologi ini tentunya akan berkembang setelah badan etika ilmiah mengeluarkan peraturan yang lebih jelas mengenai rekayasa genetika.
Kita juga melihat bagaimana teknologi berkembang dengan begitu pesat dan menggantikan manusia, salah satunya di dalam pekerjaan. Salah satu survei terhadap tujuh negara membuktikan bahwa sejak tahun 2000, ada sekitar 1,7 juta pekerjaan manufaktur yang telah digantikan oleh robot. Kecerdasan buatan juga telah berkembang dengan pesat. Kita bisa melihat bagaimana berbagai sistem kecerdasan buatan telah berhasil mengalahkan manusia di dalam beberapa permainan (contoh: AlphaGo dari Google dalam permainan go/baduk) dan acara kuis (contoh: Watson dari IBM dalam acara kuis Jeopardy!). Sehingga tidak mengherankan apabila beberapa pakar memprediksikan bahwa kecerdasan buatan akan menggantikan manusia dalam beberapa pekerjaan, terutama pekerjaan yang bersifat repetitif.
Suatu Proposal bagi Gereja
Beberapa contoh yang dipaparkan di atas memberikan kita suatu gambaran bahwa gereja harus memberikan konsiderasi untuk mempelajari dan memperkuat doktrin manusia. Antropologi merupakan medan perang bagi orang Kristen pada abad ke-21. Kita harus dapat berespons kepada tantangan zaman dan memberikan pengharapan yang telah kita temui dalam diri Kristus.
Sebagai contoh, untuk merespons gerakan yang mendukung eutanasia, gereja dapat kembali memikirkan akan seni sekarat (Ing. The Art of Dying; Lat. Ars moriendi). Seni sekarat, atau bagaimana orang Kristen mempersiapkan akan kematian secara alkitabiah, tidak hanya banyak digumulkan pada abad ke-15 ketika Maut Hitam (black death) melanda Eropa; seni sekarat juga banyak ditelurusi oleh kaum Puritan pada abad ke-17. Sebagai contoh, Richard Baxter menulis mengenai Sabat dari orang percaya, yakni kematian, bahwa kematian merupakan “keadaan paling bahagia dari seorang Kristen”. Orang Kristen perlu kembali lagi merenungkan akan seni sekarat ini.
Tidak hanya mempersiapkan kerohanian, gereja juga perlu berespons terhadap kegelisahan akan rasa sakit yang dapat dihadapi sebelum kematian. Salah satu alternatif yang perlu dipaparkan yakni ilmu paliatif, di mana kualitas hidup pasien dalam menghadapi setiap penyakit yang diderita ditingkatkan melalui intervensi medis. Pasien juga dipersiapkan menghadapi kematian dengan tenang dan nyaman tanpa merasa tertekan. Tentunya gereja juga harus mengevaluasi ulang akan ilmu paliatif menggunakan kacamata Alkitab (contoh: penggunaan obat analgesik bagi pasien yang mengalami kesakitan).
Singkat kata, doktrin manusia pada abad ke-21 harus dikembangkan, tidak hanya untuk secara kukuh mempertahankan pengertian akan natur manusia yang sesuai dengan Alkitab dan iman yang ortodoks, pengaplikasian dari doktrin manusia terhadap berbagai aspek dari antropologi, beserta isu-isu yang dihadapi oleh gereja juga harus diperkuat. Di dalam bukunya Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, theolog Reformed Anthony Hoekema memberikan beberapa pertanyaan yang dapat menjadi peringatan kepada kita ketika kita mempelajari doktrin manusia, “Apakah relevansi dari antropologi Kristen bagi kehidupan sehari-hari kita? Bagaimanakah pandangan Kristen akan manusia membantu kita untuk menghadapi masalah di dunia ini?” (Hoekema, 1986). Kiranya gereja dapat mengidentifikasi medan perang yang tepat dan menjadi mercusuar bagi dunia pada zaman ini.
Franky
Pemuda GRII Singapore
Referensi:
– Hill, J. (2003). The History of Christian Thought. Oxford, England: Lion Publishing plc.
– Hoekema, A. A. (1986). Created in God’s Image. Grand Rapid, Michigan: Williams B. Eerdmans Publishing Company.
– Planned Parenthood (2019, October 16). Can you explain what pro-choice means and pro-life means? Retrieved July 19, 2020, from https://www.plannedparenthood.org/learn/teens/ask-experts/can-you-explain-what-pro-choice-means-and-pro-life-means-im-supposed-to-do-it-for-a-class-thanks.
– Singer, P. (1979). Practical Ethics (2nd ed.). Cambridge, England: Cambridge University Press.
– Taylor, I. (2005). Religion and Life with Christianity. England: Heinemann.