Bavinck on Revelation (2): Wahyu Umum (1)

Pada artikel sebelumnya, kita memulai pembahasan mengenai wahyu dengan melihat kesamaan konsep yang dimiliki oleh setiap agama mengenai wahyu.[1] Kesamaan ini menunjukkan adanya hubungan, harmoni, dan persetujuan antara kekristenan dan agama-agama yang lain, serta antara agama dan filsafat. Meskipun demikian, kekristenan tetaplah berbeda dari agama-agama yang lain, dan memiliki ciri dan keunikan yang esensial. Adanya persamaan dan perbedaan ini mendorong para theolog Kristen mula-mula untuk membuat perbedaan antara wahyu umum (natural revelation) dan wahyu khusus (supernatural revelation).[2] Dilihat dari konten atau isi dari wahyu, wahyu umum mengacu kepada pengetahuan akan Allah yang diperoleh melalui akal dan alam (karya Allah), yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali, sedangkan wahyu khusus mengacu kepada pengetahuan akan Allah yang diperoleh melalui Kristus, otoritas, iman, atau orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus.[3]

Dualisme Katolik Roma

Adanya perbedaan antara dua jenis wahyu ini mengakibatkan perlunya menentukan perbedaan dan batas di antara keduanya. Dalam skolastisisme, perbedaan ini diperketat dan akhirnya menjadi kontras yang mutlak. Menurut Thomas Aquinas, beberapa pengetahuan mengenai Allah serta hal-hal Ilahi dapat diperoleh hanya melalui wahyu umum dan akal manusia. Kemudian, sebagai tambahan terhadap pengetahuan yang diperoleh dari alam dan akal ini, terdapat pengetahuan yang disebut sebagai “pengetahuan misteri” yang hanya dapat diperoleh melalui otoritas atau wahyu, dan dari awal sampai akhir adalah mengenai iman. Pengetahuan ini bukanlah termasuk ke dalam suatu tatanan yang diakibatkan dari dosa, melainkan secara intrinsik diperuntukkan bagi setiap manusia, juga bagi manusia yang ketika dalam kondisi tidak berdosa, bahkan juga bagi para malaikat. Maka, dalam theologi Katolik Roma, tahu (knowing) dan percaya (believing), akal dan otoritas atau wahyu, wahyu umum dan wahyu khusus, bersifat dualistik.[4]

Reformasi

Reformasi mengadopsi perbedaan wahyu umum dan wahyu khusus ini namun memberikan pengertian yang berbeda dengan pandangan Thomas Aquinas, yang kemudian diwarisi oleh tradisi Katolik Roma. Para reformator mengakui bahwa Allah memang menyatakan diri-Nya di dalam alam ciptaan-Nya (wahyu umum). Namun, akal manusia telah sedemikian digelapkan oleh dosa, sehingga manusia tidak dapat mengetahui dan mengerti pernyataan Allah akan diri-Nya ini. Karena itu: (1) Allah perlu memasukkan kembali—di dalam wahyu khusus—kebenaran-kebenaran yang seharusnya dapat diketahui manusia melalui alam ini; (2) agar manusia dapat kembali melihat atau mengenal Allah melalui alam, ia harus terlebih dahulu diterangi oleh Roh Allah. Secara objektif, manusia memerlukan wahyu khusus Allah di dalam Kitab Suci untuk memahami wahyu Allah yang ada di dalam alam, yang oleh Calvin disebut seperti sebuah kacamata. Secara subjektif, manusia memerlukan mata iman untuk melihat Allah melalui pekerjaan tangan-Nya yang mencipta alam, yang oleh Warfield disebut sebagai mata yang baru. Maka, bagi para reformator, wahyu khusus bersifat supernatural bukan karena wahyu ini adalah milik tatanan dunia yang lain yang bahkan melampaui kemampuan akal manusia dan malaikat yang tidak berdosa (seperti yang dimengerti oleh Katolik Roma). Sebaliknya, wahyu ini bersifat supernatural terutama karena wahyu ini melampaui pikiran dan keinginan manusia yang jatuh di dalam dosa.

Anabaptis, Socinianisme, Lutheran

Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Reformasi ini ternyata tidak sepenuhnya dikembangkan dan diaplikasikan pada periode-periode berikutnya. Di satu sisi, terdapat kaum-kaum yang memiliki pandangan yang ekstrem. Anabaptis sepenuhnya menolak tatanan alam, sedangkan Socinianisme sama sekali menolak wahyu umum dan mengambil seluruh pengetahuan mengenai Allah hanya melalui wahyu khusus. Luther, dalam perlawanannya terhadap theologi skolastik, menolak filsafat dan akal manusia dalam urusan-urusan theologis dan menyebut akal manusia sebagai stone-blind (batu-buta) ketika berkenaan dengan hal-hal yang bersifat agama. Para pengikut Luther meneruskan pandangannya sehingga mereka sangat menekankan ketidakmampuan dan kegelapan akal manusia. Hal ini membuat garis pembatas antara wahyu umum dan khusus menjadi hancur.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah adanya dikotomi atau perbedaan yang tajam antara spiritual-sekuler, sorga-bumi, kekal-sementara, superior-inferior. Dalam hal-hal yang bersifat sekuler atau “duniawi”, akal manusia mampu untuk menanganinya dengan baik tanpa perlu bergantung kepada iman; akal manusia memiliki wilayah kecil yang bebas dari iman. Namun seiring berjalannya waktu, wilayah akal manusia ini kian lama kian meluas; berawal dari hal-hal sipil, kemudian di dalam ilmu pengetahuan, dan akhirnya di dalam filsafat. Akal manusia terus mengangkat dirinya untuk setara dengan iman, dan bahkan nantinya melawan dan mematikan iman.

Deisme dan Rasionalisme

Tren dikotomi ini kemudian berlanjut dan menjadi makin parah seiring dengan munculnya Deisme dan Rasionalisme. Deisme adalah paham yang meyakini bahwa manusia dapat mengetahui—dengan hanya mengandalkan kemampuan akal manusia—bahwa alam semesta diciptakan dan diatur oleh suatu Kecerdasan Tertinggi; Deisme menolak ketergantungan manusia kepada wahyu khusus sebagai sumber doktrin dan kepercayaan agama.[5] Sedangkan Rasionalisme menganggap akal manusia sebagai sumber utama dan penguji yang paling sah terhadap pengetahuan.[6]

Deisme dan Rasionalisme membuat theologi “natural” atau “rasional” (pengetahuan mengenai Allah yang diperoleh tanpa bantuan iman atau wahyu khusus) menjadi makin kuat. Agama wahyu (revealed religion: agama yang dihasilkan melalui wahyu dan diterima dengan iman) dan theologi yang didasari oleh wahyu menjadi sama sekali tidak perlu. Namun, setelah hancurnya theologi yang didasari oleh wahyu, sekarang giliran theologi natural yang mendapatkan serangan. Dalam karyanya Critique of Pure Reason, Immanuel Kant mengatakan bahwa theologi natural terbatas hanya pada fenomena-fenomena yang adalah hasil dari persepsi indra manusia, dan dengan demikian tidak dapat menembus baik ke dalam dunia (realm) yang supersensible (melampaui kemampuan indra manusia) maupun hal-hal supernatural.

Seluruh Wahyu adalah Supernatural

Bavinck menjawab kebingungan dan kesulitan yang ditimbulkan oleh dikotomi ini dengan mengatakan bahwa Alkitab tidak membuat perbedaan antara wahyu yang natural dan supernatural. Alkitab memakai istilah yang sama bagi keduanya (Ayb. 12:22; 33:16; 36:10; Rm. 1:18-19). Seluruh wahyu, termasuk yang dinyatakan melalui alam ciptaan Allah, bersifat supernatural. Istilah wahyu di sini tidak mengatakan apa-apa tentang cara yang melaluinya sesuatu dinyatakan, melainkan hanya menunjukkan bahwa sesuatu yang tadinya tersembunyi sekarang terungkap. Allah, yang cukup pada diri-Nya, yang tidak terikat, dan berbeda dari seluruh ciptaan-Nya, dengan satu dan lain cara, datang, hadir, dan menyatakan diri-Nya di depan seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia.

Dengan demikian, bagi Bavinck, orang yang boleh berbicara mengenai wahyu adalah mereka yang percaya bahwa ada tatanan lain yang berada di atas tatanan yang alami atau natural di sini. Maka, orang yang percaya adanya wahyu, secara prinsip, adalah seorang supernaturalis. Perbedaan antara wahyu umum (alami atau natural) dan khusus (supernatural) tidak terletak pada tindakan Allah (sebab Allah memang dan berhak menyatakan diri-Nya dengan berbagai cara), melainkan pada cara yang melaluinya wahyu itu terjadi, yaitu: (1) melalui tatanan alam ini (wahyu umum atau natural) atau (2) dari luar atau melampaui tatanan alam ini (wahyu khusus atau supernatural). Namun, jika kita melihat dari sumbernya, wahyu selalu bersifat supernatural karena Allah selalu bekerja (Yoh. 5:17).

Bavinck kemudian mengatakan bahwa pekerjaan Allah ini dimulai ketika penciptaan. Penciptaan adalah pernyataan Allah yang pertama, yang kemudian akan menjadi fondasi bagi pewahyuan berikutnya. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami konsep wahyu dalam penciptaan.

Wahyu di dalam Kisah Penciptaan

Allah pertama kali muncul di hadapan makhluk ciptaan-Nya dalam kisah penciptaan dan menyatakan diri-Nya kepada mereka. Ketika Allah menciptakan dunia serta segala isinya dengan firman-Nya dan membuatnya menjadi hidup melalui Roh-Nya, Allah telah menggambarkan pola dasar dari semua wahyu berikutnya. Kisah penciptaan ini kemudian langsung dihubungkan dengan tindakan Allah yang memelihara seluruh ciptaan-Nya (providensi). Providensi merupakan kuasa dan tindakan Allah yang Mahakuasa dan Mahahadir. Semua yang ada dan terjadi adalah karya Allah dan, bagi orang-orang yang saleh, merupakan wahyu tentang sifat-sifat dan kesempurnaan Allah. Seperti inilah pandangan Alkitab mengenai alam dan sejarah, yaitu selalu bersifat religius dan supernatural. Penciptaan, pemeliharaan, penopangan, dan pengaturan Allah terhadap seluruh ciptaan-Nya bersama-sama membentuk satu pernyataan Allah yang besar.

Itulah sebabnya Alkitab memberikan gambaran mengenai alam seperti seseorang yang sedang bersaksi mengenai Allah:

Langit menceritakan kemuliaan Allah,

dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya;

hari meneruskan berita itu kepada hari, 

dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. 

Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; 

tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia,

dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. (Mzm. 19:1-4)

Suara TUHAN di atas air,

Allah yang mulia mengguntur,

TUHAN di atas air yang besar.

Suara TUHAN membuat beranak rusa betina yang mengandung,

bahkan, hutan digundulinya; (Mzm. 29:3, 9)

Marthin Rynaldo

Pemuda FIRES

Daftar Pustaka:

[1] Baca Buletin PILLAR No. 223: Februari 2022.

[2] Natural revelation dapat diterjemahkan sebagai wahyu alami atau wahyu umum. Sedangkan supernatural revelation dapat diterjemahkan sebagai wahyu khusus atau supernatural.

[3] Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics Vol. 1: Prolegomena. Grand Rapids (USA): Baker Publishing Group.

[4] Bavinck, Herman. The Doctrine of Revelation: Principium externum. https://www.monergism.com.

[5] Bristow, William, “Enlightenment”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2017 Edition), Edward N. Zalta (ed.), https://plato.stanford.edu/archives/fall2017/entries/enlightenment/.

[6] Blanshard, Brand. “Rationalism”. Encyclopedia Britannica, 17 November 2020, https://www.britannica.com/topic/rationalism (diakses pada 22 Februari 2022).