Pada artikel sebelumnya, kita telah menyinggung sedikit mengenai sifat universal dari wahyu umum.[1] Sifat universal ini kemudian diteruskan oleh Bavinck dalam kaitannya dengan sifat universal agama. Namun sebelum itu, Bavinck terlebih dahulu menyatakan tiga alasan mengapa wahyu umum ini tidak cukup bagi manusia berdosa.[2]
Ketidakcukupan Wahyu Umum
Pertama, wahyu umum memberikan kepada kita pengetahuan tentang keberadaan serta beberapa sifat Allah (seperti kebaikan dan keadilan), tetapi tidak menyatakan pribadi Kristus, yang adalah satu-satunya jalan keselamatan (Mat. 11:27; Yoh. 14:6; 17:3; Kis. 4:12). Dengan kata lain, wahyu umum tidak cukup bagi manusia berdosa karena wahyu umum tidak menyatakan apa pun mengenai anugerah pengampunan dan justru menyatakan murka Allah (Rm. 1:18-20). Wahyu umum menerangi pikiran manusia dan menahan dosa—sehingga kehidupan ini dapat terus berlangsung—tetapi tidak memulihkan kondisi dunia dan sifat manusia. Wahyu umum dapat menanamkan rasa takut kepada Allah, tetapi tidak dapat menanamkan kepercayaan dan kasih kepada Allah.
Kedua, pengetahuan yang dinyatakan oleh wahyu umum bukan hanya tidak memadai, tetapi juga tidak pasti dan selalu bercampur dengan kesalahan (error). Sejarah filsafat menyatakan teori filsafat yang silih berganti runtuh (satu teori muncul, dikritik, kemudian digantikan oleh teori berikutnya). Kebenaran-kebenaran yang paling penting dalam agama (eksistensi dan esensi Allah; asal-usul dan tujuan umat manusia dan dunia; dosa dan pengampunan; pahala dan hukuman) tidak dijelaskan secara pasti di dalam filsafat. Setiap sistem filsafat pasti memiliki kekosongan dan cacat. Plato, misalnya, meskipun sistemnya paling mirip dengan agama Kristen (menurut Agustinus), membela praktik meninggalkan anak-anak yang lemah, semburit, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa dalam hal moralitas saja, ada banyak ketidaksepakatan dan ketidakpastian di antara para filsuf. Selain itu, kalaupun para filsuf memiliki teori yang paling benar, mereka tetap kekurangan otoritas untuk dapat diterima oleh masyarakat. Kontroversi di antara para filsuf serta ketidaksesuaian antara ajaran dan kehidupan mereka melemahkan pengaruh mereka.
Ketiga, ketidakcukupan wahyu umum ditunjukkan oleh fakta bahwa tidak ada satu orang pun yang puas dengan apa yang disebut sebagai agama natural.[3] Agama umum para deis, agama moral dari Kant, agama “kesalehan” dan “ketaatan” dari Spinoza, semuanya hanyalah abstraksi, yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Sekuat apa pun argumen para filsuf, mereka tetap tidak akan sanggup mendirikan agama atau memulai gereja, karena agama adalah sesuatu yang pada hakikatnya berbeda dengan sains, dan dengan demikian memiliki landasan (foundation, principia) yang khusus. Abad ke-18 merayakan agama yang murni berdasarkan akal manusia melalui proses abstraksi yang sia-sia. Abad ke-19 dengan segera melihat bahwa agama natural ini tidak pernah ada di mana pun. Seluruh agama bersifat konkret dan bersandar pada wahyu.
Wahyu Umum dan Universalitas Agama
Namun, meskipun wahyu umum tidak memadai, ini bukan berarti wahyu umum tidak penting. Bavinck mengemukakan signifikansi dari wahyu umum, yaitu sebagai fondasi bagi setiap agama. Bavinck membuktikan hal ini dengan memaparkan proses multiplikasi dan penyebaran agama, yang merupakan hasil dari penyimpangan terhadap pengetahuan tentang Allah yang sejati. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, pengetahuan tentang Allah yang sejati tetap dipertahankan selama kurun waktu tertentu (Kej. 4:3; 8:20); seluruh ciptaan menyatakan kuasa dan keilahian Allah (Rm. 1:20). Namun, meskipun manusia mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya, pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.
Sebagai tambahan, kekacauan bahasa dan penyebaran manusia menjadi tanah subur bagi politheisme. Ketika manusia telah terbagi menjadi beberapa ras dan menyebar ke berbagai tempat, keesaan Allah dan kemurnian agama kian lama kian hilang. Hal ini membuat kuasa lain secara bertahap diakui dan disembah, selain penyembahan kepada allah nasional melalui agama negara. Ketika pengetahuan tentang Allah menjadi tidak murni lagi seperti waktu yang lampau, berbagai kekuatan alam muncul dan mendapatkan tempat di hati manusia. Batas antara yang Ilahi dan ciptaan kian lama kian pudar, dan agama bahkan makin merosot menjadi animisme, fetisisme, dan sihir. Oleh karena itulah, Alkitab menyebut karakter agama-agama kafir sebagai penyembahan berhala. Ilah-ilah kafir ini, pada kenyataannya, adalah tidak ada; adalah dusta dan kesia-siaan (Yes. 41:29; 42:17; 46:1; Yer. 2:28; Mzm. 106:28; Kis. 14:15; 19:26; Gal. 4:8; 1Kor. 8:5); adalah kegelapan (Yes. 9:1; 60:2; Luk. 1:79; Yoh. 1:5; Ef. 4:18), ketidaktahuan (Kis. 17:30; 1Ptr. 1:14; Rm. 1:10 dst.), khayalan dan kesia-siaan (1Kor. 1:18 dst.; 2:6; 3:19), serta dosa dan ketidakbenaran (Rm. 1:24; 3:9).
Meskipun demikian, filsafat sejarah maupun filsafat agama tidak setuju dengan pandangan Alkitab ini dan mengajukan pandangan yang lain. Ilmu-ilmu alam, khususnya teori evolusi, menyatakan bahwa yang hidup berasal dari yang tidak hidup, yang organik dari yang anorganik, manusia dari binatang, yang berkesadaran dari yang tidak berkesadaran, dan yang lebih tinggi dari yang lebih rendah. Ilmu agama pada zaman modern kemudian menerapkan prinsip evolusi ini kepada agama. Ilmu ini berusaha untuk menjelaskan agama dari asal-usulnya, yaitu agama-agama primitif seperti animisme, dinamisme, fetisisme, agama yang menyembah para leluhur, dan sebagainya. Agama-agama ini kemudian berevolusi menjadi agama-agama yang lebih murni dengan pengenalan akan Allah yang lebih sejati dari zaman sebelumnya.
Bavinck kemudian mengevaluasi pandangan ini dengan tiga argumen. Pertama, Bavinck memaparkan bahwa keyakinan terhadap teori evolusi ini perlahan-lahan sudah mulai ditinggalkan. Telah terdapat banyak keraguan terhadap teori-teori terdahulu yang mengeklaim telah mengetahui secara pasti mengenai asal-usul manusia, bahasa, agama, dan moralitas. Para ilmuwan mengakui bahwa mereka berada di wilayah prasejarah di mana tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti, sehingga mereka harus puas dengan dugaan atau hipotesis. Mengenai asal-usul agama, Bavinck mengutip Pfleiderer, “Apa yang kita ketahui tentang asal-usul agama? Sebenarnya, tidak ada! Karena semua dokumen sejarah gagal untuk membawa kita kembali ke sejarah awal agama, seperti juga yang terjadi pada sejarah awal bahasa. Sejujurnya, kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kondisi awal umat manusia dan tidak akan pernah tahu apa pun tentang mereka secara pasti. Kita hanya dapat menduga-duga, yang sejauh didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang telah diketahui, mungkin memiliki kemungkinan lebih besar atau lebih kecil, tetapi jauh dari keyakinan yang pasti. Karena tidak satu pun dari hipotesis ini dapat dibuktikan, maka kita juga tidak perlu memperdebatkannya.”[4]
Kedua, metode untuk mengetahui karakteristik dari agama yang asli berdasarkan referensi kepada agama awal (agama primitif seperti animisme, dll.) adalah metode yang tidak dapat diterima. Alasannya adalah karena orang-orang primitif (kasar, tidak berbudaya) yang dimaksud para cendekiawan sebenarnya tidak ada. Semua manusia memiliki kecerdasan dan akal budi, bahasa dan agama, moralitas dan hukum. Meskipun manusia primitif mungkin miskin secara budaya, mereka bukan tanpa budaya. Oleh karena itu, berdasarkan posisi evolusi, agama yang murni juga tidak ditemukan di antara makhluk primitif ini; agama yang murni ini sudah ada jauh di belakang mereka. Jika demikian, dalam kasus orang-orang primitif ini kita berurusan bukan dengan evolusi, tetapi dengan proses devolusi. Sejarah menunjukkan bahwa dalam agama, yang sering kali terjadi adalah kemunduran daripada kemajuan. Sekali lagi Bavinck mengutip Pfleiderer, “Kita tidak dapat mengatakan bahwa agama orang-orang primitif adalah agama permulaan dari semua agama manusia di masa depan. Kemungkinan kemunduran dan kemerosotan dari agama yang sudah ada pada permulaan tidak lagi dapat diabaikan.”[5]
Ketiga, sejarah menyatakan bahwa orang-orang paling kuno yang berada di Babel dan Asyur memiliki budaya yang tinggi. Kita juga menjumpai agama yang lebih murni dan bahkan bersifat monotheistik, meskipun di kemudian hari menjadi rusak. Sudah banyak sarjana yang menegaskan bahwa dasar semua agama—bukan hanya agama kuno di Babel tetapi juga semua agama lain—adalah monotheisme. Agama-agama primitif seperti takhayul, animisme, dst., tidak dapat lagi menjadi bentuk awal dan asal mula agama yang sejati, sama seperti kebohongan tidak bisa menjadi asal mula kebenaran atau kejahatan menjadi asal mula kebajikan. Seseorang harus menilai esensi dari suatu agama, bukan dari permulaannya yang paling primitif, tetapi dari masa perkembangannya, seperti halnya seseorang hanya dapat mengerti anak-anak dengan terang mempelajari manusia dewasa atau biji pohon dari pohon yang tumbuh darinya. Namun, meskipun ide-ide mengenai agama sejati dilihat dari perkembangannya di waktu yang kemudian, karakteristik asali dari agama sejati ini pasti sudah melekat sejak awalnya. Dengan demikian, gagasan tentang Allah, yang merupakan dasar dari semua agama, harus dilihat bukan pada akhir tetapi pada permulaan. Tanpa Allah, tanpa pengakuan akan keberadaan-Nya, wahyu-Nya, dan pengetahuan-Nya, seseorang tidak dapat secara memuaskan menjelaskan asal-usul dan esensi agama.
Dengan demikian, setiap agama lahir dari satu agama yang murni, yang dalam perjalanan waktu mengalami devolusi. Hal ini berarti terdapat elemen-elemen kebenaran di dalam setiap agama, dan bagi Bavinck, kebenaran-kebenaran ini adalah hasil dari wahyu umum. Itulah sebabnya Alkitab mengakui kehadiran wahyu Allah di antara orang-orang yang tidak percaya (Kej. 6:17; 7:15; Mzm. 33:6; 104:30; Ayb. 32:8; Pkh. 3:19; Ams. 8:22 dst.; Mal. 1:11, 14; Yoh. 1:9; Rm. 2:14; Gal. 4:1-3; Kis. 14:16-17; 17:22-30). Hal ini juga didukung oleh sejarah gereja. Bapa-bapa Gereja seperti Justin Martyr dan Clement dari Alexandria mengakui pekerjaan Logos di dalam lingkungan non-Kristen. Agustinus, meskipun berulang kali mengatakan hal yang tidak baik tentang orang-orang non-Kristen, tetap mengakui adanya kebenaran di dalam diri mereka. Hal ini diperjelas dengan keyakinan bahwa gambar Allah di dalam diri manusia tidak musnah, sehingga dalam kefasikan hidupnya, manusia tetap menghargai dan bahkan melakukan hal-hal yang terkandung di dalam hukum Allah. Theolog Reformed juga mendukung hal ini dengan doktrin anugerah umum dan Calvin dengan tepat berbicara tentang “benih agama” dan “sense of divinity” yang ada di dalam diri setiap orang.[6] Bagaimanapun juga, para pendiri agama bukanlah penipu atau agen setan, tetapi orang-orang yang tergerak oleh kecenderungan religius yang baik serta sering memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi masyarakat. Betapa pun besarnya kesalahan di dalam agama, sampai batas tertentu agama memenuhi kebutuhan agamawi seseorang dan membawa penghiburan di tengah penderitaan dan kesedihan. Apa yang kita peroleh dari agama-agama non-Kristen bukan hanya tangisan keputusasaan tetapi juga ekspresi keyakinan, harapan, kedamaian, dll. Unsur-unsur dan bentuk-bentuk yang esensial bagi agama (konsep tentang Allah, rasa bersalah, keinginan untuk penebusan, pengorbanan, imamat, kuil, pemujaan, doa, dll.), meskipun rusak, tetap terdapat di dalam setiap agama.
Dengan demikian, di dalam agama-agama lain terdapat suatu harapan akan agama yang lebih baik dan lebih murni. Kekristenan bukan hanya bersifat antitesis terhadap agama-agama lain; kekristenan juga adalah penggenapan dari setiap agama, yang memenuhi segala pengharapan yang ada di dalam setiap agama. Kekristenan adalah agama yang benar, paling tinggi, dan paling murni. Agama-agama lain adalah karikatur, kekristenan adalah yang asli dan hidup; agama-agama lain hanyalah penampakan, kekristenan adalah esensi dari setiap agama. Apa yang dicari oleh setiap agama hanya dapat ditemukan di dalam kekristenan.
Marthin Rynaldo
Pemuda FIRES
Pustaka:
[1] Baca Artikel PILLAR Edisi 225 “Bavinck on Revelation (3): Wahyu Umum (2)”.
[2] Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics Vol. 1: Prolegomena. Grand Rapids (USA): Baker Publishing Group.
[3] Secara umum, agama atau theologi kodrat (selanjutnya disebut “theologi kodrat”) bertujuan untuk mematuhi standar penyelidikan rasional yang sama dengan upaya filosofis dan ilmiah lainnya, dan tunduk pada metode evaluasi dan kritik yang sama. Theologi alam biasanya dikontraskan dengan “theologi wahyu”, di mana yang terakhir secara eksplisit mengacu kepada wahyu khusus seperti mujizat, kitab suci, dan komentar dan rumusan kredo yang diawasi secara Ilahi. Sumber: Chignell, Andrew and Derk Pereboom, “Natural Theology and Natural Religion”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/natural-theology/.
[4] O. Pfleiderer, Religion und Religionen (München: J. F. Lehmann, 1906), 53; cf. Hellwald Kulturgeschichte, 4 vols. (Leipzig: Friesenhann, 1896), I, 11, 32, 58; L. Stein, Die Soziale Frage im Lichte der Philosophie, 2nd ed. (Stuttgart: F. Enke, 1903), 38, 63, 105, 107; C. P. Tiele, Elements, II, 215; G. T. Ladd, Philosophy of Religion, 2 vols. (New York: Scribner, 1905), I, 150.
[5] Pfleiderer, Religion und Religionen, 54; Tiele, Elements, II, 215.
[6] J. Calvin, Institutes of the Christian Religion, I.iii.1–3; I.iv.1; II.ii.18.