Biblical Theology

Pendahuluan
Alkitab yang kita miliki terdiri dari 66 kitab – 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru. Kitab-kitab tersebut ditulis oleh lebih dari 40 orang yang datang dari latar belakang yang berbeda. Musa mendapat pendidikan di Mesir, Daud adalah seorang raja bangsa Israel, Petrus merupakan seorang nelayan dari Galilea, dan Paulus adalah seorang cendekiawan Yahudi yang berwarga negara Romawi. Terlebih lagi, Alkitab terdiri dari genre yang berbeda. Ada catatan sejarah, syair, nubuatan, dan juga surat-surat. Semua ini ditampilkan dalam 3 bahasa, yaitu Bahasa Ibrani, Bahasa Yunani, dan sedikit Bahasa Aram. Namun, dari semua ini, adakah benang merah yang terbentang dari kitab Kejadian sampai kitab Wahyu? Adakah hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru? Apa yang sebenarnya mau disampaikan kepada kita, pembaca modern?

Singkatnya, Alkitab merupakan wahyu khusus Allah yang dinyatakan kepada manusia secara progresif di sepanjang sejarah.[1] Biblical Theology berusaha untuk mempelajari Alkitab dari perspektif progressive history Tuhan mengungkapkan (mewahyukan) diri-Nya kepada umat manusia setelah kejatuhan. Secara sederhana Biblical Theology adalah “history of special revelation”.[2]

Sekilas Sejarah Biblical Theology
Awal sejarah Biblical Theology sebagai suatu disiplin dapat ditelusuri kepada Johann P. Gabler. Di upacara pelantikannya sebagai profesor di University of Altdorf (Jerman) pada tahun 1787, Gabler menekankan kepentingan suatu disiplin yang bukan hanya berfokus pada pernyataan-pernyataan dogma ataupun confessions standar, tetapi yang menelusuri sejarah setiap kitab dan yang dipercayai penulisnya.[3]

Sekitar seratus tahun kemudian, pada tahun 1894, Geerhardus J. Vos dilantik sebagai Professor of Biblical Theology yang pertama di Princeton Theological Seminary (Amerika).[4] Vos sendiri menulis buku Biblical Theology: Old and New Testaments (1948) di mana dia menjelaskan disiplin ini secara luas.

Setelah itu, banyak sekali buku yang kita dapat baca untuk mengerti Biblical Theology. Di antaranya adalah Redemptive History and Biblical Interpretation: The Shorter Writings of Geerhardus Vos (1980) yang diedit oleh Richard B. Gaffin, Jr., Kingdom Prologue: Genesis Foundations for a Covenantal Worldview (2000) oleh Meredith G. Kline, The Coming of the Kingdom (1962, ditranslasi ke Bahasa Inggris tahun 1969) oleh Herman N. Ridderbos, New Dictionary of Biblical Theology: Exploring the Unity and Diversity of Scripture (2000) oleh T. Desmond Alexander, et al, dan edisi yang masih terus berlanjut, New Studies in Biblical Theology oleh D. A. Carson.

Sedikit perbandingan dengan Systematic Theology, Vos mengklaim bahwa keduanya (Biblical dan Systematic Theology) memiliki konten yang serupa. Yang membedakan keduanya adalah cara menyusun konten yang ada. Systematic Theology lebih menekankan pada konstruksi logis (Doktrin Allah, Doktrin Manusia, dan seterusnya) sedangkan Biblical Theology menekankan pada sejarah yang Tuhan pakai untuk menampung wahyu-Nya.

Hari ini Biblical Theology telah menjadi suatu studi yang komprehensif dan terus berkembang. Dalam dunia akademik jurnal Jahrbuch für biblische Theologie telah berdiri dari tahun 1985, jurnal Horizons in Biblical Theology telah menerbitkan lebih dari 35 volume. Lalu, apa sih yang sebenarnya dipelajari dalam Biblical Theology?

Biblical Theology
Sebelum kita mengerti lebih lanjut, kita harus terlebih dahulu mengerti apa itu theologia. Dari akar katanya, theologia (theos dan logos) adalah studi akan Tuhan. Pembelajaran ini beda dengan pembelajaran seperti kimia, biologi, dan psikologi. Kalau kita belajar tentang buah apel, kita boleh melihat, meraba, memotong, menganalisis zat kimia di dalamnya, dan bahkan, kita boleh memakannya! Kita memiliki kontrol karena apel lebih rendah dari manusia. Akan tetapi, ketika studi tentang Allah, kita berhadapan dengan pribadi yang lebih besar daripada kita. Kita tidak memiliki kontrol. Kita hanya dapat mengetahui sejauh yang diwahyukan (dinyatakan) Tuhan.

Vos menyatakan bahwa theologia sebenarnya adalah proses di mana Tuhan berbicara dan kita mendengar.[5] Kita bukan subjek tetapi objek. Hal ini seharusnya mengubah sikap kita terhadap theologia dan kekristenan. Tuhan yang sama sekali tidak perlu manusia mau mengingat manusia dan mewahyukan diri-Nya. Hal ini sungguh ajaib. Daud menuliskan dalam Mazmur 8:4-5, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?”

Tuhan menyatakan diri-Nya bukan dengan daftaran dogma ataupun dokumen-dokumen instruksi. Banyak dari kita, termasuk penulis, sangat senang dengan point forms karena informasi seperti ini sangat singkat dan mudah untuk dibaca. Akan tetapi Tuhan menyatakan diri-Nya dalam narasi sejarah, bukan seluruhnya sekaligus tetapi secara bertahap. Hal ini yang disebut sebagai “progressive revelation”. Pertama kali penulis mendengar istilah ini, penulis merasa sangat terganggu. Mengapa Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Kuasa harus menyatakan diri-Nya dengan mengangsur? Bukankah Dia dapat memberikan wahyu langsung? Tetapi kalau direnungkan lagi, Tuhan selalu memiliki desain yang terbaik. Kita harus memahami bahwa kapasitas kita yang terbatas tidak bisa menampung pengetahuan akan Allah. Bahkan ketika Allah mengungkapkan diri-Nya secara progresif, pengetahuan tentang Allah masih jauh melampaui pikiran kita.

Jika demikian, apakah wahyu Tuhan yang bertahap tersebut merupakan kebenaran yang sempurna? Kita mengetahui bahwa mesin mobil itu bukan mobil. Kita tidak bisa berkeliling dengan mesin mobil karena mesin mobil itu bukan mobil. Lalu apakah wahyu Tuhan yang sepotong itu tetap wahyu Tuhan? Wahyu Tuhan adalah seperti benih pohon. Kualitas benih tersebut tidaklah lebih rendah daripada pohon. Terlebih lagi benih tersebut sedang bertumbuh menjadi sebuah pohon. Wahyu Tuhan harus dilihat dari pandangan ini, yaitu bukan hanya “progressive revelation” tapi juga yang bertumbuh secara organik. Vos menulis, “The Truth comes in the form of growing truth, not truth at rest.”[6]

Biblical Theology mempelajari wahyu Allah sepanjang sejarah ini. Setiap wahyu Allah dinyatakan dalam narasi sejarah yang Tuhan pakai untuk menyingkapkan diri-Nya. Biblical Theology berusaha untuk menempatkan suatu teks dalam konteks sejarah karena apa yang datang sebelumnya adalah fondasi di mana teks tersebut diletakkan dan apa yang terjadi setelahnya adalah yang diantisipasi. Sangat banyak tema yang terus bermunculan di sepanjang Alkitab.[7] Misalnya, tema kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Hal ini bergerak dari kehadiran Allah di sebuah kemah suci pada zaman Musa, lalu sebuah bait suci pada zaman Salomo, terus menuju kepada Kristus yang merupakan Imanuel (Tuhan beserta kita). Yesus sendiri berkata, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri (Yoh. 2:19-21). Demikian ketika kita berbicara tentang bait suci sebagai lambang kehadiran Allah, kita mengingat akan kemah suci yang pernah didirikan sebelumnya. Pada saat yang sama, kita juga mengantisipasi kedatangan Mesias yang adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr. 1:3).

Terakhir, wahyu khusus Allah yang bersifat progresif dan organik ini memiliki arah, yakni kepada Yesus Kristus.

Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. – Ibrani 1:1-3a

Lalu Ia [Yesus] menjelaskan kepada mereka [dua orang murid Yesus di Emaus] apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. – Lukas 24:27

Yesus yang adalah wujud Allah, wahyu Allah yang paling sempurna, dan terlebih lagi, revelasi ini bukan hanya berbentuk firman (words) tetapi juga tindakan (acts). Melalui Yesus, keselamatan hadir. Rencana Allah untuk menyelamatkan dunia tergenapi dengan kehadiran Yesus di dalam dunia.

Kesimpulan
Tuhan sudah menyatakan diri-Nya dalam sejarah manusia. Kita yang sebenarnya layak untuk dibuang karena dosa ini diberikan hak untuk memiliki relasi dengan Tuhan, Pencipta dan Penebus kita. Mari kita belajar untuk bergumul untuk mengenal Tuhan lebih lagi. “Let us seek to know Him as the One that is, that was, and that is to come.”[8]

Ezra Yoanes Setiasabda Tjung
Pemuda PRII Hong Kong

Daftar Pustaka

  • Carson, Donald A. (2000) “Systematic Theology and Biblical Theology.” Web [Online]. Available: http://beginningwithmoses.org/bt-articles/219/systematic-theology-and-biblical-theology.
  • Robertson, O. Palmer. The Christ of the Covenants. Grand Rapids: Baker Book House, 1980. Print.
  • Vos, Geerhardus. (1948) Biblical Theology: Old and New Testaments. Grand Rapids: W.B. Eerdmans. Print.
  • Vos, Geerhardus, and Richard B. Gaffin (1980). Redemptive History and Biblical Interpretation: The Shorter Writings of Geerhardus Vos. Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed Pub. Print.

Endnotes:
[1] Wiryi dan Selviana Aripin (Mengenal Allah melalui Wahyu-Nya)
[2] Biblical Theology: Old and New Testaments.
[3] Harus diperhatikan bahwa Vos menegaskan “biblical theology” yang diperkenalkan Gabler dibangun atas dasar rasionalisme yang sangat berkembang pada zaman tersebut (The Enlightenment). Menurut Vos, ‘theologia’ yang tunduk pada rasionalisme bukanlah theologia yang sesungguhnya.
[4] Melalui pidatonya pada upacara pelantikan tersebut, Vos menjelaskan Biblical Theology. Transkrip pidato ini dapat dibaca di artikel “Inauguration of the Rev. Geerhardus Vos as Professor of Biblical Theology” (1894) (https://archive.org/details/inaugurationofrevge00prin).
[5] Biblical Theology: Old and New Testaments.
[6] Redemptive History and Biblical Interpretation: The Shorter Writings of Geerhardus Vos.
[7] O. Palmer Robertson dalam bukunya, The Christ of the Covenants (1981) menjelaskan tema-tema seperti darah, bait suci, sejarah keselamatan, covenant, dan sebagainya.
[8] Redemptive History and Biblical Interpretation: The Shorter Writings of Geerhardus Vos.