,

Calvin dan Uang

Kalau Anda ditanya: “Relakah memberikan sebagian besar uang hasil kerja keras, banting tulang siang malam kepada pekerjaan Tuhan, dan hidup seminimal mungkin bagi diri sendiri?”, apakah jawaban Anda? Pikir-pikir dulu? Menghitung untung rugi dulu? Menghitung warisan yang dapat diturunkan untuk anak cucu dulu? Mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada, ketika pertanyaan itu diajukan? Atau kita bisa langsung menjawab: “Ya pasti saya akan memberikan sebagian besar untuk pekerjaan Tuhan dan minimal untuk saya.” Betapa agungnya kalimat itu. Adakah orang seperti itu di dunia ini, yang menyadari bahwa hidupnya bukan dirinya lagi tapi Kristus di dalam dia; yang menyadari dirinya hanyalah manusia berdosa yang telah mengalami penebusan oleh darah Kristus, Anak Tunggal Allah; yang telah ditebus bukan dengan emas maupun perak tetapi telah dibayar dengan lunas dengan darah Anak Domba Allah? Oleh karena itu seluruh hidupnya bukan miliknya lagi tetapi milik Kristus, milik Allah. Seluruh hidupnya sekarang adalah untuk menyenangkan Sang Penebusnya. Adakah? Jawabannya ada. Siapa? Yohanes Calvin.

Yohanes Calvin dilahirkan di Noyon (60 kilometer dari Paris), Perancis, pada tanggal 10 Juli 1509 dan meninggal di Jenewa, Swiss, pada tanggal 27 Mei 1564. Calvin adalah anak dari Gerard Cauvin dan Jeanne Le Franc dari Cambrai. Calvin merupakan anak kedua dari lima bersaudara, di mana ketiga saudaranya meninggal ketika masih bayi, hanya tinggal dia dan adiknya yang bertahan hidup. Ibunya meninggal dunia ketika Calvin masih kecil dan ayahnya kawin lagi dengan seorang janda yang melahirkan dua anak perempuan. Ayahnya berambisi anak-anak lakinya harus mendapatkan pendidikan yang tinggi maka ia memberikan pendidikan yang terbaik di rumahnya, sehingga pada umur 12 tahun yaitu pada 19 Mei 1521, Calvin sudah mendapatkan posisi di altar La Gésine di katedral Noyon, di mana dia mulai mendapatkan pemasukan uang secara reguler.[1]

Itulah sepintas riwayat munculnya Calvin di dunia. Namun saya tidak bermaksud untuk menjabarkan secara keseluruhan riwayat hidupnya. Dalam artikel ini saya tertarik untuk mengangkat salah satu sisi ”kecil” dari hidupnya yang sudah saya singgung intinya di atas, Calvin dan uang.

Kehidupan Calvin tidak diketahui secara terlalu jelas dan detail. Tidak jelas bagaimana kehidupan sehari-harinya Calvin, namun dikatakan bahwa Calvin menghabiskan sisa hidupnya sendirian bersama penyakit yang dideritanya (istrinya telah meninggal terlebih dahulu pada tanggal 29 Mei 1549). Tetapi di antara catatan-catatan kecil tentang kehidupannya, ada bagian yang menarik untuk disimak dan menjadi bahan perenungan kita sebagai orang Kristen di zaman ini, yaitu bagaimana menggunakan uang. Catatan kecil tersebut menuliskan bahwa di Jenewa dia menerima kehormatan dari pemerintah, diberikan sebuah rumah tinggal, dan mendapatkan gaji sebesar 500 Florins, 12 measure of wheat, dan 2 gentong anggur. Namun pada akhir hidupnya Calvin hanya meninggalkan sedikit uang untuk dirinya. Calvin dikatakan sangat bermurah hati dalam memberikan uang untuk membantu orang lain dan untuk pelayanan. Dia hanya meninggalkan 170 dolar ketika dia mati. Tetapi warisan Calvin dalam bentuk pengaruhnya mulai dari Jenewa telah menjadi berkat baik di dalam kehidupan gerejawi, maupun di dalam hal pendidikan, pemerintahan, kewarganegaraan, dan kesaksian hidup secara pribadi.[2]

Itulah Calvin, Sang Reformator, yang sekalipun berkesempatan hidup nyaman, enak (menurut kategori dunia) dari penghasilan yang didapatinya, namun hal itu tidak dilakukannya. Bagi Calvin, kehidupan yang dianggap nyaman oleh dunia justru tidak nyaman bagi dia. Kenyamanannya adalah menjalankan kehendak Bapa di sorga. Sama seperti Kristus ketika hidup di dunia, Dia bisa melakukan apa saja untuk hidup nyaman, tenar, enak, dan sebagainya. Namun itu tidak dilakukan-Nya karena justru itu merupakan ketidaknyamanan bagi-Nya. Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Itulah definisi kenyamanan Dia. Ketika ada hal di luar kehendak Bapa, itu bukanlah kenyamanan melainkan penderitaan bagi-Nya, demikian juga dengan Calvin.

Kisah di atas membuat kita teringat dengan kesaksian hidup Pdt. Dr. Stephen Tong. Sehari-harinya, baik di Jakarta (Indonesia) ataupun keliling dunia karena pelayanan, beliau memakai uang seminimal mungkin untuk dirinya dengan makan makanan yang murah, tinggal di hotel yang murah (mencuci baju sendiri di hotel), bahkan jika memungkinkan beliau akan berhemat satu malam di hotel. Semua ini dilakukan demi dapat menghemat uang bukan untuk dirinya tetapi untuk membeli barang-barang yang diperlukan museum dan musik di gereja atau keperluan lain untuk pelayanan. Sebagian besar uang yang diperolehnya dari pelayanannya beliau pakai untuk keperluan memperluas kerajaan Tuhan di bumi ini, menjalankan mandat Injil dan mandat budaya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ketika beliau mati beliau tidak akan mewariskan harta benda kepada anak-anaknya tetapi semangat perjuangan akan kebenaran yang tidak pernah luntur.

Bagaimana dengan kehidupan kita hari ini? Bagaimanakah kita memperlakukan uang yang dipercayakan oleh Tuhan? Apakah kita masih menganggap uang itu adalah milik kita sambil mengatakan segala sesuatu dalam hidup ini milik Tuhan? Apalagi bila kita anggap bahwa uang itu kita dapat dari hasil kerja keras kita. Kita anggap kita boleh memakai untuk apa saja yang kita mau. Kita mungkin berpikir, “Toh saya tidak mencuri uang itu, saya tidak pakai uang itu untuk narkoba, judi, klub malam, atau tempat-tempat tidak senonoh lainnya. Saya juga tidak membuang-buang uang itu. Saya pakai itu untuk membeli baju baru, apa salahnya? Saya pakai uang saya sendiri untuk menghilangkan kesuntukan setelah bekerja keras dengan pergi menonton film, apa salahnya? Saya pakai uang hasil kerja keras saya sendiri untuk pergi berlibur bersama keluarga, apa salahnya? Saya pakai uang hasil banting tulang saya sendiri untuk membeli makanan yang sudah lama saya idamkan di restoran itu, apa salahnya? Saya mengganti HP saya dengan HP terbaru, apa salahnya? Toh HP itu juga dipakai untuk berkomunikasi dalam pelayanan. Saya menukarkan mobil saya dengan mobil keluaran terbaru, apa salahnya? Bukankah mobil itu juga yang sering dipakai untuk kegiatan pelayanan ke mana-mana? Saya rutin memeriksakan kesehatan agar saya dapat bekerja dan melayani Tuhan dengan sehat, apa salahnya?” Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang saudara bisa tambahkan sendiri. Bukankah semua yang kita lakukan itu beserta alasannya tampaknya baik-baik saja dan masuk akal? Kita lupa kalau semua yang dipercayakan kepada kita bukan milik kita tetapi milik Tuhan dan Tuhan mau kita memakai semua itu untuk Dia, untuk pekerjaan-Nya, untuk kemuliaan dan kebesaran nama-Nya sesuai kehendak-Nya.

Tetapi ironisnya adalah ketika berkat itu datang kepada kita, kita lalu melupakan Sang Pemberi berkat. Kita mengalihkan fokus kita dari Allah yang hidup kepada allah yang tidak bisa apa-apa, allah yang impersonal. Kita hampir tidak pernah menggumulkan dan mempertanyakan: “Sudahkah uang ini saya pakai sesuai dengan perkenanan Tuhan?” Karena selama ini kita anggap baik-baik saja, kita memakai semua itu dengan “halal”. Sadarkah kita bahwa sekalipun kesannya itu “halal” tetapi jika pemakaian uang itu tidak sesuai dengan perkenanan-Nya maka itu adalah dosa. Masih ingat bukan arti dosa? Dosa dalam bahasa Yunani adalah hamartia yang berarti tidak tepat sasaran. Demikian juga dalam hal pemakaian uang. Sekalipun kesannya uang yang kita pakai itu sah-sah saja,  tidak untuk narkoba, mabuk-mabukan, dan sebagainya, namun kalau tidak tepat sasaran yakni tidak tepat sesuai perkenanan Allah, maka yang kita kerjakan itu adalah dosa. Dalam khotbahnya di kebaktian Minggu GRII Pusat pada tanggal 9 Agustus 2009, Pdt. Dr. Stephen Tong berkata: “Jikalau uang sudah menjadi tuhanmu, bagaimanapun engkau berbakti, itu semuanya palsu di hadapan Allah.”

Lalu bagaimanakah seharusnya kita mempergunakan uang yang ada dalam genggaman kita ini? Bertanyalah kepada Tuhan – Sang Pemilik segala sesuatu – apa yang harus kita kerjakan dengan uang tersebut! Kemudian belajarlah dari orang-orang yang benar-benar mendasari hidup mereka dengan firman Tuhan dan selalu berpikiran membangun kerajaan Allah (kingdom-minded). Ikutlah teladan mereka!

Maukah kita mengubah cara hidup kita? Meminimalkan segala sesuatu bagi diri, memaksimalkan segala sesuatu bagi Tuhan. Bayangkan setiap anggota gereja mempunyai hati yang tidak memikirkan diri lebih utama dari pekerjaan Tuhan, hati yang berfokuskan kepada Tuhan, hati yang selalu ingin mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan di atas segala-galanya, maka gereja dan pekerjaan Tuhan pasti akan terus makin berkembang, setiap anak Tuhan akan makin memancarkan kemuliaan-Nya, dan kerajaan Allah akan ditegakkan di muka bumi ini. Inilah yang saya pelajari dari Calvin dan Pdt. Dr. Stephen Tong, bahwa mereka sangat percaya akan kedaulatan dan pemeliharaan Allah yang tidak pernah salah. Itu yang membuat mereka terus percaya dan bersandar pada-Nya, bukan pada uang, bukan pada diri, bukan pada apapun di atas dunia ini. Tidak ada waktu untuk fokus pada diri karena diri hanyalah alat di tangan Tuhan dan selalu ada waktu untuk Tuhan (istilah Pdt. Dr. Stephen Tong: always available).

Calvin, sampai akhir hidupnya di dalam penyakit yang ia derita, ia tetap bekerja keras untuk Tuhan tanpa istirahat (hanya tidur 1-2 jam per hari) hingga teman-temannya sangat mengkhawatirkan hal tersebut, namun ia menjawab: “Apa! Apakah engkau mau Tuhan melihat saya sedang bermalas-malasan ketika Dia datang?” Bahkan ketika mati pun, ia tidak ingin dikenang. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois yang hanya ditandai dengan sebuah batu nisan dengan tulisan inisial “J.C”. Itulah permintaan terakhir Calvin yaitu agar dikuburkan di tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara.

Calvin would spend his private moments on Lake Geneva and read scripture while drinking red wine. Towards the end Calvin said to his friends who were worried about his daily regimen of work, “What! Would you have the Lord find me idle when He comes?” John Calvin died in Geneva on May 27, 1564 and was buried in the Cimetière des Rois under a tombstone marked simply with the initials “J.C”, partially honoring his request that he be buried in an unknown place, without witnesses or ceremony.[3]

Bagaimana dengan kita? Adakah kita memiliki kerinduan untuk meneladani kehidupan Calvin? Orang yang seluruh hidupnya dipersembahkan kepada Tuhan, bahkan uang yang menurut kita pantas ia pakai karena hasil kerja kerasnya pun (karena baginya hasil kerja dia pun itu anugerah Tuhan) dia hanya pakai seminimal mungkin untuk dirinya dan semaksimal mungkin mempersembahkan uang itu untuk pelayanan pekerjaan Tuhan. Mari kita tunjukkan dalam hidup kita bahwa uang bukan yang terpenting dan segala sesuatu yang ada pada kita sesungguhnya bukan milik kita. Jadi, bagaimanakah seharusnya kita hidup? Mengutip Paulus, marilah ketika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, ketika kita mati, kita mati untuk Tuhan (Rom. 14:7-9). Marilah kita belajar hidup yang demikian sehingga suatu hari kelak ketika kita dipanggil oleh-Nya kita bukanlah orang yang meninggalkan harta benda yang sementara tetapi harta yang kekal, yakni teladan mengikuti jejak keteladanan Tuhan kita Yesus Kristus, jejak keteladanan Bapak Reformator kita, dan Hamba Tuhan kita yang setia, yang tidak akan pernah luntur oleh waktu dan tidak akan dirusak oleh karat dan ngengat. Kitakah orang yang berbagian di dalam barisan keteladanan Kristus ini?

 

Diana Samara

Pembina FIRES


[1]  http://www.tlogical.net/biocalvin.htm.  [diambil pada tanggal 8 Agustus 2009]

[2]  Ibid.

[3]  http://www.grandpapencil.net/projects/concepts/calvin.htm.  [diambil pada tanggal 8 Agustus 2009]