Christ

Menulis artikel tentang Allah, Wahyu Khusus, Kristus, kepada orang-orang yang mengaku Reformed seakan-akan seperti berusaha membuat suatu barang yang canggih tetapi ujung-ujungnya dilihat sebagai barang djadoel (djaman doeloe). Banyak di antara kita sudah tahu penggolongan Wahyu Khusus dan Umum di dalam theologi Reformed. Sudah, maka tidak perlu lagi. Namun kita tidak boleh terjebak pada situasi ini sehingga kebenaran harus tetap diproklamasikan dari waktu ke waktu. Dalam kesempatan ini saya mengajak pembaca untuk melihat hal-hal yang banyak dilupakan orang Kristen ketika berhadapan dengan tuntutan Allah lewat Wahyu Khusus-Nya.

Jika kita ingin berbicara tentang Wahyu, kita tidak bisa lepas dari Sang Pemberi Wahyu, yaitu Allah sendiri. Kehendak Allah adalah sesuatu yang mutlak karena di luar itu adalah dosa dan mengakibatkan Ia murka. Hal ini seharusnya membuat kita lebih serius dan berhati-hati ketika ingin mengetahui Wahyu Tuhan. Di satu sisi hati kita merindukan kebenaran diberitahukan kepada kita, namun di sisi lain harus ada sikap takut dan gentar pada kita ketika kebenaran itu tiba pada kita. Hal yang kedua inilah yang terlalu sering kita abaikan. Kita ingin firman Tuhan hadir. Tetapi kehadirannya harus sesuai dengan suasana hati kita. Artinya hati ini yang mengatur Tuhan. Kegentaran menyambut Firman sudah tidak ada lagi di dalam hati kita hari ini, bahkan sebaliknya, keberanian mengatur Tuhan dan Firman-Nya semakin nyata dalam hidup kita.

Kita harus kembali sadar bahwa apa yang mau Tuhan nyatakan saat itu sepenuhnya berada dalam kedaulatan-Nya dan sekaligus menuntut respons yang sungguh dari kita, apapun keadaan kita saat itu. Penolakan orang Farisi terhadap Yesus Sang Firman terus terjadi sampai hari ini pada kita. Firman sering dihakimi dulu oleh suasana hati, baru boleh masuk. Apalagi saat ini pengetahuan theologi cukup mudah didapat sehingga kita bisa pilih-pilih sesuai yang kita mau dan kapan kita mau. Firman Tuhan harus hadir saat kita mau. Inilah semangat dan sikap kita berhadapan dengan Firman. Mari kita ingat bahwa Allah kita adalah Allah yang bersembunyi (Yesaya 45:50, Ayub 23:8-9). Allah tidak bisa diketahui kecuali Ia mewahyukan diri-Nya. Bukan karena kita perlu maka Allah harus memberikan, tetapi karena Ia mau memberi maka kita harus terima. Mempelajari firman (wahyu Allah) tidak boleh lepas dari Allah yang berdaulat (Sang Pemberi Wahyu).

Menurut Calvin, manusia sebagai peta dan teladan Allah dalam pengertian yang sempit dipanggil menjalankan tiga fungsinya, yakni berfungsi nabi, imam, dan raja. Sebagai nabi manusia adalah wadah kebenaran untuk menerima pengetahuan yang sejati dari Allah. Allah mengetahui segala sesuatu tentang segala sesuatu (ultimate knowledge). Allah di dalam kedaulatan-Nya memilih sebagian untuk diwahyukan kepada sebagian orang yang dipilih-Nya dan orang yang dipilih-Nya akan tahu dengan benar. Betapa besar anugerah yang diterima seseorang yang dipilih Allah untuk menerima kebenaran-Nya? Hal ini dilambangkan di PL dengan hak kesulungan. Hak istimewa untuk dipilih dan dipilih menerima kebenaran dari Allah. Mengetahui fakta ini berarti kita tidak boleh tinggal santai dalam merenungkan firman. Karena kita percaya begitu besar yang Allah tuntut pada kita untuk diketahui dan kebenaran itu bersifat mengikat. Banyak orang tidak mau belajar karena tidak mau diikat oleh kebenaran. Manusia harus tunduk pada dan diikat oleh kebenaran. Kebenaran yang manusia mengerti tidak dikuasai oleh manusia, tetapi kebenaranlah yang menguasai manusia. Misalnya Kobe Bryant yang mendapatkan Most Valuable Player (MVP) selama dua kali berturut-turut di NBA Finals 2009 dan 2010 tidak akan melakukan traveling karena pemain basket harus men-dribble bola dengan benar. Hampir tidak mungkin pemain profesional melakukan traveling atau menendang bola! Mengapa? Karena kebenaran (aturan bola basket) menguasai mereka. Manusia terus gagal menjalankan kebenaran karena tidak tunduk pada kebenaran dan terlalu cepat berhenti merenungkannya. Berhenti atau melambatkan perenungan ini adalah kebahayaan yang membawa manusia pada kecelakaan. Ketika tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan saat ini (now) dan di sini (here), manusia sulit untuk dikatakan sebagai manusia, karena fungsi kenabiannya itu berhenti. Padahal fungsi nabi menjadi kunci bagi kedua fungsi lainnya, yaitu fungsi imam dan raja. Ketika manusia yang tidak mengetahui apa yang seharusnya dia tahu, di saat itu adalah sedang membawa manusia pada kerusakan seperti orang gila. Orang gila yang tidak tahu berpakaian, mencari makanan di tempat sampah, tidur di segala tempat. Itu adalah kerusakan yang sungguh parah. Maka tidak ada orang yang memuji orang yang sakit jiwa.

Manusia yang terus memikirkan kebenaran (fungsi nabi) mempunyai potensi untuk menjalankan fungsi raja dalam dirinya. Dalam fungsi raja manusia berkuasa menguasai alam ini, termasuk tubuh kita sendiri. Tubuh kita sendiri juga adalah alam yang harus kita kuasai. Tubuh berdosa ini pada dasarnya memberontak dan ingin jauh dari kebenaran, contohnya adalah kemalasan dalam berpikir karena membuat kita sakit kepala. Kelemahan tubuh ini harus ditaklukkan sesuai kebenaran yang kita terima dari fungsi kenabian kita. Penaklukkan tubuh (fungsi raja) yang sesuai dengan kebenaran dan kehendak Allah (fungsi nabi) yang kita terima harus terus kita jalankan dengan tekun sebagai hidup yang dipersembahkan kepada Allah (fungsi imam). Inilah manusia sejati yang sesungguhnya. Inilah standar yang Allah tetapkan untuk manusia bisa disebut sebagai seorang manusia. Jika demikian, di mana manusia sejati saat ini?

Saya tertarik dengan judul artikel di dalam sebuah blog yang berjudul Orthodoxy’s Bestfriend. Artikel tersebut membahas tentang Dr. Peter Enns yang dikeluarkan dari Westminster Theological Seminary. Kalimat pertama dari artikel tersebut adalah “IS HERESY”. Teman baik dari ortodoks adalah bidat, karena di sekitar ortodoks tetapi tetap di luar ortodoks. Ketika kita berhadapan dengan standar Allah, kita harus mengaku kegagalan kita bagaikan bidat yang berada di sekitar ortodoks.

Sampai kepada tahap ini, ketika kita melihat manusia yang gagal menjalankan kehendak Allah secara sempurna, kita akan dengan cepat menunjuk pada Kristus yang sudah menggenapkannya bagi kita di hadapan Allah Bapa sehingga kita sudah aman dan tidak perlu dihukum. Benarkah pengertian ini? Artikel Pillar bulan lalu yang ditulis oleh Ev. Eko Aria tentang theologi Paulus mengatakan bahwa “di dalam Kristus” bukanlah simbolis atau mistis, tetapi objektif dan teraplikasikan pada orang Kristen. Maka kita perlu berhati-hati menjadi orang Kristen jika kepercayaan kita pada Yesus Kristus itu bergeser sedikit saja. Jika “di dalam Kristus” hanya dimengerti sebagai kesatuan mistis, maka hidup yang meneladani Kristus ketika Ia di dunia ini menjadi omong kosong. Kita akan gampang berkata “Yesus kan Tuhan… kita hanya manusia berdosa”. Kita percaya Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Namun tidak bisa dipungkiri kita sering hanya melihat Yesus sebagai Tuhan saja ketika berurusan dengan kelemahan diri kita sebagai manusia berdosa. Padahal Yesus juga disebut yang sulung, kakak tertua kita. Dalam Roma 8:3 menyebutkan Yesus (yang tanpa dosa) memakai tubuh yang berdosa. Berarti Yesus juga mengalami kesusahan seperti yang tubuh kita alami namun Ia berhasil menguasainya dan tidak jatuh dalam dosa. Waktu hidup di dunia Yesus pun harus belajar segala hal termasuk belajar Taurat. Sang Firman mempelajari firman? Ya. Dan Ia taat semua tuntutan Bapa bagi-Nya mulai dari inkarnasi, menyentuh dunia yang jijik ini sampai “dikalahkan” oleh orang-orang yang mengaku ahli Taurat (ahli Wahyu Allah). Sang Firman taat kepada firman Allah. Jika Kristus melakukannya semuanya ini bagi kita, siapakah kita sehingga boleh memilih firman mana cocok bagi kita dan mana yang mungkin dijalankan dan yang tidak mungkin dijalankan? Jangan sekali-kali kita berpikir bahwa Kristus berhasil taat karena Dia Tuhan yang mahakuasa maka otomatis Ia berhasil. Allah menyatakan bahwa Kristus adalah Tuhan dan manusia. Bukan salah satu. Jangan pula berpikir karena kita berdosa maka Ia harus menyelamatkan kita. Ini adalah pemikiran-pemikiran yang mirip benar, tetapi salah dan berbahaya. Allah sendiri adalah Allah yang berpribadi dan kehendak-Nya tidak diikat oleh apapun di luar Diri-Nya. Allah bukan robot yang ter-install atribut kasih, pengorbanan, dan sebagainya sehingga ketika manusia perlu dikasihani maka otomatis Allah bergerak. Allah tidak bertindak secara mekanis seperti ini. Mengapa Ia mengasihani kita adalah suatu misteri.

Kristus sebagai Wahyu Khusus bukan sekadar Diri-Nya adalah Wahyu Khusus, bukan sekadar apa yang dikatakan-Nya, tetapi juga apa yang dihidupi-Nya. All creation is revelational adalah satu statement/konsep/theologi yang dikemukakan oleh Cornelius Van Til. Maka sesungguhnya kegagalan manusia menjadi manusia merupakan kegagalan manusia mewahyukan atau menyatakan Allahnya. Kedatangan Kristus bukan sekadar mengkhotbahkan Wahyu dari diri-Nya yang adalah Sang Firman, tetapi hidup-Nya sendiri adalah Wahyu. Sebagai manusia sejati, Ia menjalankan dengan sempurna fungsi nabi, imam, dan raja yang gagal dijalankan oleh Adam.

Menghidupi firman yang utuh dengan utuh sebagai nabi, imam, dan raja merupakan kesulitan besar bagi kita hari ini. Di satu sisi kita memang kurang mempelajari firman sehingga hampir mustahil untuk melihat firman secara utuh. Di sisi lain walaupun pengetahuan theologi kita mulai banyak, tetapi yang ada adalah melompat dari teori yang satu ke teori yang lain dan bukan dibawa kepada hidup secara bersamaan dan keutuhan. Kita bersyukur di dalam lingkungan Reformed Injili ada suatu arus di mana kaum awam tidak jauh dari pembelajaran theologi. Bahkan sampai pemuda-pemudi yang begitu semangat di dalam mengetahui hal baru di dalam theologi. Tetapi saya takut terjebak di dalam trend yang terkesan rohani ini. Kita harus berhati-hati akan siasat Iblis di dalam hal ini agar kita tidak terjebak di dalamnya. Jebakannya adalah berupa pembenaran posisi diri terhadap suatu tuntutan Allah dengan memakai ayat-ayat tertentu untuk melawannya. Belajar firman untuk mendapatkan alasan tidak perlu menjalankan firman. Ini suatu keanehan yang sering terjadi. Jika Yesus yang adalah Firman taat pada firman Allah, orang Kristen banyak memakai firman untuk tidak taat pada firman. Diskusi theologi sering kali menjadi sia-sia karena terlalu lama berputar pada kata-kata manusia yang kosong dan lupa memproklamasikan firman Allah yang mutlak.

Seharusnya, ketika kita bertemu Kristus sebagai firman Allah kita juga harus bertemu dengan Kristus sebagai teladan hidup kita. Ketika sadar Kristus yang sudah menebus hidup kita agar dapat kembali kepada kehendak Allah, kita juga harus dapat melihat bagaimana Dia yang menjalankan kehendak Allah dengan sempurna. Maka seharusnya paling tidak kita sadar akan dua hal, pertama, tuntutan kehendak Allah adalah mungkin dikerjakan oleh siapa yang Allah pilih untuk mengerjakan, dan kedua adalah yang menebus hidup kita sudah mengerjakan bagian-Nya di dunia ini melakukan kehendak Allah untuk menjadi teladan dan yang sulung bagi hidup kita. Kesadaran ini akan mendorong kita mengikuti teladan Kristus bukan dengan terpaksa, tetapi dengan rela dan dengan tulus hati menjalankannya.

Alkitab menyatakan bahwa Roh Kuduslah yang akan mengarahkan hati kita pada Kristus dan teladan hidup-Nya. Roh Kudus jugalah yang akan memampukan kita meneladani Kristus. Hal ini merupakan penghiburan yang sangat besar bagi kita tetapi bukan berarti membebaskan kita daripada intelektualitas dalam menghadapi firman. Van Til mengajarkan bahwa Wahyu Umum merupakan tempat hadirnya Wahyu Khusus, dunia ini merupakan tempat hadirnya Wahyu Allah. Alkitab (Wahyu Khusus) hadir dalam bahasa manusia (Wahyu Umum). Demikian juga Yesus Sang Wahyu Khusus memakai tubuh manusia berdosa (Wahyu Umum). Karena itu, Wahyu Umum – dalam hal ini intelektualitas kita – harus berfungsi sebagai tanah lapang yang dipersiapkan sebaik-baiknya bagi hadirnya Wahyu Khusus – pembelajaran akan firman Tuhan. Adalah tugas kita sebagai manusia yang diberikan akal budi untuk terus aktif berpikir menerima kebenaran Allah sepenuh-penuhnya yang Allah nyatakan kepada kita di dalam kedaulatan-Nya. Itu sebabnya kita bukan saja tidak bisa mengabaikan intelektualitas ketika mau mengerti Firman, tetapi harus mempersiapkan dan menyediakan diri sebaik mungkin dalam menyambut Firman.

Menyambut Wahyu Tuhan dan merespons Wahyu Tuhan akan membawa diri kita ini sebagai pewahyuan itu sendiri. Dalam konteks ini, Cornelius Van Til mengatakan bahwa hidup ini akan menyatakan dua wahyu, the revelation of the grace of God dan the revelation of the wrath of God. Saat menjalankan firman dengan benar berarti diri ini mewahyukan anugerah Tuhan. Sebaliknya, waktu salah berespons pada firman akan membawa kita pada penyataan murka Allah. Kesaksian hidup yang buruk, respons yang salah kepada firman, dosa merupakan pewahyuan akan murka Allah di dalam sejarah. Paulus sadar akan hal ini dan menuliskan kepada Timotius dengan pesan yang jelas di 1 Timotius 4:16, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” Hidup yang bagaimana yang selama ini kita hidupi, yang menyatakan anugerah Allah atau murka Allah? Yang membawa berkat atau kutuk bagi dunia ini? Yang menghadirkan surga atau neraka di dunia ini? Yang menyatakan Allah atau melawan Allah?

Kristus Sang Wahyu Khusus, Juruselamat kita, sudah memberikan teladan menghadirkan Diri-Nya sebagai manusia sejati menyatakan Wahyu yang khusus dari Allah bagi umat manusia yang berdosa – Injil-Nya, kabar kesukaan yang membawa manusia berdosa boleh kembali kepada Allah. Maka, mari kita – pengikut Kristus – belajar meneladani Kristus dalam hidup kita sehingga boleh menyatakan Wahyu Anugerah Allah – wahyu yang khusus – untuk membawa manusia melihat Allah melalui hidup kita. To God be the Glory.

Chias Wuysang

Pemuda FIRES

Referensi:

  • Seri Christian Worldview di Fellowship of Indonesian Reformed Evangelical Students (FIRES)

  • Sekolah Theologi Reformed Injili (STRIJ), Revelasi (Doktrin Wahyu) oleh Ev. Edward Oei.

  • John Frame. Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya. Surabaya: Momentum, 2002.