Dalam pengadilan, Dhana Widyatmika, tersangka kasus korupsi pajak, belum bisa menjelaskan dari mana asal muasal dana miliaran rupiah yang tersimpan di beberapa rekeningnya. Dhana adalah seorang pegawai negeri sipil golongan IIIC yang ditetapkan menjadi tersangka setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan pemeriksaan rekening mencurigakan pegawai pajak. Dhana kedapatan memiliki dana mencapai Rp. 60 miliar di beberapa rekening, padahal gaji PNS golongan IIIC berkisar di bawah Rp. 5 juta per bulan.
Kasus Dhana ini menjadi alarm bagi pegawai pajak dan abdi rakyat yang lain. Mereka yang juga korupsi tetapi belum ketahuan tentu cemas dan “berbenah”.
Setiap kita juga akan menghadap pengadilan suatu hari nanti, hari terakhir, hari penghakiman. Gereja, yakni orang-orang yang sudah memperoleh iman di dalam Yesus Kristus, akan dihakimi terlebih dahulu. Sayangnya, Hakimnya tak mungkin salah selidik, tak bisa ditipu, dan tak mungkin disogok. Sebab Hakimnya adalah Tuhan Semesta Alam, Sang Pencipta diri kita, yang tahu sedetail-detailnya “mur-baut” diri kita.
Pada hari kita dihakimi oleh Tuhan, pada saat itu Ia sudah memeriksa seluruh rekening dan laporan hidup kita. Seluruh yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan. Seluruh waktu, bakat, kesempatan, kesehatan, uang, dan segala sesuatu yang Ia tempatkan di tangan kita akan dimintakan pertanggungjawaban kita.
“… pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Yesus Kristus.” (Rm. 2:16)
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.” (Mat. 12:36-37)
“Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” (2Kor. 5:10)
Pasti ada penghakiman!
“Ah masak ada hari penghakiman? Dari duluuuu katanya hari Tuhan sudah dekat. Mana? Hari itu tidak pernah tiba! Penghakiman itu tidak ada! Dunia tetap berjalan sebagaimana biasanya. Jadi gak perlu lah elo menjaga hidup lo ketat begitu. Santai aja!”
Sejak ribuan tahun lalu, rasul Petrus sudah memberitahukan bahwa ejekan-ejekan seperti itu akan muncul pada hari-hari terakhir (2Ptr. 3:3-4). Ejekan-ejekan untuk menghentikan penantian para penanti kedatangan Tuhan, mengendurkan semangat mereka untuk tetap setia mengerjakan keselamatan, dan menyesatkan bilamana mungkin. Ejekan-ejekan ini tampil dalam berbagai bentuk, mulai dari bentuk terbodoh hingga bentuk “terpintar dan bijaksana”.
Meresponi akan adanya ejekan seperti ini, sang rasul mengingatkan orang-orang percaya beberapa poin berikut. Pertama, bahwa para pengejek itu adalah orang-orang yang sengaja tidak mau tahu bahwa langit dan bumi diciptakan oleh Firman dan oleh karenanya akan dihakimi oleh Firman. Firman yang membuatnya menjadi ada, memeliharanya dari api, dan menyimpannya untuk hari penghakiman dan kebinasaan orang-orang fasik.
Dengan demikian kita tahu bahwa apa yang terjadi atas langit dan bumi, mulai dari adanya sampai binasanya adalah di bawah kedaulatan Firman. Bukan tergantung dari manusia yang bahkan tak mampu hidup sepanjang sejarah, apalagi mengatasi sejarah, tetapi mencoba menentukan akhir dari sejarah menurut interpretasi yang salah.
Ketika dicobai oleh orang-orang fasik untuk berhenti menanti hari Tuhan, orang-orang percaya harus membedakan siapa yang harus dipercayai dan siapa yang tidak. Apakah Firman yang kudus tidak layak dipercayai? Apakah orang-orang fasik boleh dipercayai? Firman yang kudus memang menuntut hidup yang kudus. Ini berat, tetapi tidakkah ini benar? Orang-orang fasik ingin membuat orang-orang percaya berhenti menjaga kekudusannya, berhenti menanti. Ini mudah dan enak, tetapi apakah ini benar? Yang membawa kepada kekudusan, sekalipun menyiksa, inilah yang benar.
Hal yang kedua yang ditekankan rasul Petrus adalah waktu Tuhan bukan waktunya manusia. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya. Hari itu pasti tiba seperti yang dijanjikan-Nya, meski kita tidak tahu kapan. Jika hari itu belum tiba hingga sekarang, anggaplah itu adalah kesabaran Tuhan. Ia memberi kesempatan lebih panjang supaya jangan ada yang binasa, supaya setiap orang boleh berbalik dan bertobat.
Apakah kita berani berkata, “Oh, hidup saya sudah baik. Saya tidak perlu lagi tambahan waktu untuk membereskan apa-apa”? Atau apakah kita begitu egois sehingga tidak mau tahu apakah orang lain sudah diselamatkan atau mendengar berita Injil?
Dalam salah satu himne yang indah, Battle Hymn of the Republic, Julia Ward Howe menuliskan salah satu bait seperti di bawah ini:
We can almost hear the trumpet sound, the Lord’s return is near;
There are still so many people lost,
His message they must hear.
Father, give us one more moment,
one more day, just one more year,
With God we’re marching on.
Orang-orang percaya yang sadar bahwa hari Tuhan sudah dekat, mereka bergegas mengabarkan Injil. Masih terlalu banyak orang yang terhilang. Mereka mewajibkan diri untuk memperdengarkan Injil kepada orang-orang yang terhilang itu. Itulah sebabnya, mereka memohon kesabaran Tuhan sedikit waktu lagi untuk mereka bekerja mengabarkan Injil.
Apa yang terjadi bila hari itu tiba?
Bila hari itu tiba, api yang dahsyat akan menguji segala sesuatu. Alkitab mencatat bahwa langit tidak tahan uji, pasti runtuh. Semua unsur-unsur bumi hangus, dan bumi serta segala yang ada di atasnya akan lenyap.
Hanya mereka yang imannya diletakkan di atas dasar Yesus Kristus yang akan bertahan. Tetapi, setiap orang yang imannya didasarkan pada Yesus Kristus, harus membangun bangunan iman di atas dasar itu. Pada hari penghakiman, setiap pekerjaan pembangunan itu akan diuji dengan api. Apabila pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.
“Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku (penulis: Paulus), aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” (1Kor. 3:10-15)
Jadi, jika langit dan bumi serta segala yang ada di atas bumi hangus dimakan api, bayangkan betapa suci dan salehnya Gereja harus hidup!
Sebelum hari itu tiba…
Sebelum hari itu tiba, mari kita orang-orang yang sudah ditebus, membangun bangunan iman yang kokoh. Dalam suratnya yang terakhir sebelum ia mati, rasul Petrus memerintahkan orang-orang percaya di dalam Tuhan Yesus untuk berusaha sungguh-sungguh (make every effort) menambahkan kepada iman (faith) mereka kebajikan (moral excellence), dan kepada kebajikan pengetahuan (knowledge), kepada pengetahuan penguasaan diri (self-control), kepada penguasaan diri ketekunan (perseverance), dan kepada ketekunan kesalehan (godliness), dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara (brotherly kindness), dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang (love).
Apabila semuanya itu belum kita kerjakan, marilah kita mulai kerjakan. Apabila semuanya itu sudah ada pada kita, teruslah mengerjakan sampai Tuhan datang. Sebab, apabila semuanya itu ada dengan berlimpah-limpah pada kita, kita akan dibuat giat dan berhasil dalam pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhan kita (2 Ptr. 1:8).
Menguji diri sendiri
Sejenak coba kita memeriksa setiap aspek dalam hidup kita. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri, lalu jawablah dengan jujur.
Sejak menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, apakah pertumbuhan iman yang kita rasakan? Apakah kita semakin rajin membaca Alkitab? Apakah kita menikmati berdoa kepada Tuhan Allah yang kini adalah Bapa kita karena Kristus? Apakah ada ucapan syukur yang semakin hari semakin limpah, sehingga kita terdorong untuk mencari tahu apa-apa saja yang Tuhan suka dan Tuhan tidak suka lalu menerapkannya dalam hidup kita?
Apakah kita berusaha menambahkan kepada iman kita, kebajikan moral? Ataukah kita justru menganggap anugerah itu legalisasi berbuat dosa secara bebas, toh sudah pasti selamat?
Seorang pelacur yang sadar ketidaklayakannya untuk mendapatkan kesempatan kedua, penulis percaya, akan mengingat baik-baik seumur hidupnya setelah hari ia terlepas dari rajaman batu ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. “Jangan berbuat dosa lagi.” Setiap kali ia mengingat hari itu mungkin ia akan menangis, diharukan oleh kebaikan kemurahan Tuhan Yesus atas hidupnya. Bila tidak ada Tuhan di hari itu, mungkin ia tetap melacur lalu hancur dalam maut. Bila tidak ada Tuhan di hari itu, mungkin ia sudah mati dirajam batu. Ia tak mungkin lagi sembrono. Ia tak akan ingin lagi sembrono.
Bagaimana dengan sikap hati kita meresponi anugerah Tuhan? Apakah anugerah itu sudah tidak lagi terdengar seperti kabar baik? Mungkin sudah basi di telinga kita. Tidak lagi menggetarkan hati kita?
Apakah kita menambahkan kepada kebajikan moral, pengetahuan? Berapa banyak waktu yang kita pakai untuk menambah pengetahuan kita akan Dia yang sudah menebus kita dan Allah Bapa yang diperkenalkan-Nya? Berapa banyak waktu kita pakai untuk membaca Alkitab dibandingkan dengan membaca koran, novel, atau komik? Apakah eagerness kita bertambah untuk membaca Alkitab? Ataukah melemah? Berapa banyak buku rohani yang baik yang kita beli? Lalu dari yang kita beli, berapa banyak yang kita baca? Berapa banyak yang kita mengerti? Apakah kita melewatkan kesempatan-kesempatan belajar secara komunal yang disediakan gereja? Sekolah theologia awam, kelas intensif, seminar-seminar? Berapa banyak disiplin ilmu yang kita pelajari? Tidakkah kita juga dipanggil untuk menaklukkan setiap ilmu di bawah logos?
Apakah kita menambahkan kepada pengetahuan, penguasaan diri? Apakah kita menguasai diri kita atau dikuasai diri kita? Apakah kita menang atas pemberontakan kemalasan kita? Adakah kita membangun hidup yang disiplin? Orang-orang Kristen yang setia kepada Firman, para Bapa Gereja, kaum Puritan, mereka memiliki satu ciri yang sama: high discipline. Mereka adalah tuan atas diri untuk menjadikan diri hamba dari Tuhan.
Apakah kita menambahkan kepada penguasaan diri, ketekunan? Tekun adalah sesuatu yang sangat sulit. Tekun adalah tidak berhenti di saat ingin berhenti. Tekun adalah tetap mengejar meskipun lelah. Tekun adalah mengatakan tidak kepada kemalasan diri, keegoisan, dan ejekan atau hasutan untuk menyerah. Seorang bijak pernah berkata, jalan yang sulit itu bukanlah jalan yang terjal menanjak, melainkan jalan yang lurus seolah tanpa akhir. Tekunkah kita mengerjakan keselamatan kita? Tekunkah? Berupayakah kita untuk terus tekun? Tekun untuk terus tekun?
Apakah kita menambahkan kepada ketekunan, kesalehan? Kata kesalehan dalam bahasa Inggris menggunakan kata godliness, kurang lebih artinya bersifat-seperti-Tuhan. Kesalehan bukanlah dinilai dari cara bicara, cara berpakaian, aktivitas gerejawi, dan sebagainya. Bukan berarti cara bicara dan seterusnya tidak penting. Tetapi itu adalah ekspresi. Pertanyaannya lebih mendasar, apakah kita semakin suci, semakin adil, semakin kasih? Atau kita masih saja serakah, merasa repot menolong, tidak mempunyai belas kasihan, sombong, rakus, tidak sopan, suka melampiaskan hawa nafsu?
Apakah kita menambahkan pada kesalehan, kasih kepada saudara-saudara? Apakah kita memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekitar kita? Apakah kita peduli apa kesulitan mereka? Mungkin kesulitan theologis, psikologis, atau fisik. Ketika menyalami orang lain, apakah senyum kita adalah senyum yang hambar?
Apakah kita menambahkan kepada kasih kepada saudara-saudara (brotherly kindness), kasih (love)? Bila ada saudara seiman kita yang jatuh dalam dosa, adakah hati kita juga hancur dan memikirkan bahwa mungkin kita telah alpa menjadi saudaranya. Kita belum mencari dia, belum mengasihi dia, belum menasihati dia, belum mendoakan dia? Adakah kita berusaha untuk rela berkorban demi membuat orang lain lebih baik, lebih suci, lebih mencintai Tuhan?
Tentu pertanyaan-pertanyaannya bisa dikembangkan dan menjadi sangat panjang. Setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan diagnosa kepada diri, apakah yang kita temukan mengenai diri kita? Apakah kita menemukan diri sebagai hamba Tuhan atau hamba diri? Penulis menguraikan pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya sebagai gambaran singkat bahwa bangunan dari emas dibangun dengan jerih lelah yang jauh lebih payah dibandingkan bangunan dari rumput kering.
Kiranya di hari penghakiman nanti, di hadapan Sang Adil, bangunan kita tahan uji.
Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini (penulis: hari Tuhan), kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia (2Ptr. 3:14).
Dini Yuliana Rachman
Pemudi GRII Pusat