,

Doctrine of the Knowability of God

Doctrine of the knowability of God sering dianggap sebagai salah satu doktrin yang paling sentral di dalam kekristenan. Jika Allah tidak dapat dikenal, maka penyembahan kepada-Nya menjadi sesuatu yang mustahil. Beberapa pertanyaan seperti “Allah seperti apa yang harus kita sembah?” dan “Penyembahan seperti apa yang berkenan kepada Dia?” menjadi tidak terjawabkan dan membuat manusia tidak dapat beribadah dengan benar kepada Allah. Oleh karena itu, mengenal Allah yang sejati menjadi sangat krusial untuk dapat menyembah-Nya dengan benar. 

Seluruh doktrin Allah sebenarnya berdiri di atas asumsi bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Tetapi benarkah asumsi tersebut? Apakah Allah benar-benar dapat dikenal? Jika ya, maka seberapa jauh kita dapat mengenal-Nya? Semua pertanyaan ini pernah digumulkan oleh umat Allah sebelum kita. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran singkat mengenai perkembangan doctrine of the knowability of God di dalam berbagai pemikiran dan dibandingkan dengan apa yang Alkitab ajarkan mengenai doktrin tersebut.

Konsep Pengenalan akan Allah dalam Filsafat Yunani dan Pengaruhnya terhadap Gereja Mula-mula
Di dalam usaha untuk mencari dan mengenal Allah, filsuf Yunani Kuno mengemukakan berbagai jenis pendapat mengenai Allah. Ada beberapa yang beranggapan bahwa Allah adalah dewa-dewa dari mitologi Yunani dan tidak ada bedanya dengan manusia. Mereka hanya lebih kuat dan berkuasa. Namun, beberapa filsuf menolak pandangan ini dan berpendapat bahwa Allah tidak dapat disamakan dengan manusia. Protagoras dan Carneades of Cyrene menegaskan bahwa ide tentang Allah tidak mungkin dapat diformulasikan menjadi satu dogma, apalagi dijelaskan kepada orang. Plato mengatakan bahwa karena Allah begitu tinggi dan melampaui segala sesuatu yang ada, termasuk manusia, maka mustahil untuk mendeskripsikan Allah dengan bahasa manusia (anthropomorphic representation) maupun memberikan sifat manusia kepada Allah (anthropophatic representation). Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah hanya mengenal Allah melalui proses negasi (what God is not), misalnya Allah itu tidak jahat, tidak terbatas, tidak bertubuh, dan seterusnya. Plotinus, dipengaruhi oleh Plato, menjelaskan bahwa Allah adalah satu pribadi yang melampaui pikiran dan bahasa manusia sehingga bahasa manusia tidak mungkin memberikan deskripsi yang akurat mengenai Allah.

Pemikiran filsafat Yunani Kuno telah memengaruhi pemikiran sebagian Bapa-bapa Gereja di dalam memformulasikan doctrine of the knowability of God. Mereka pada umumnya mengambil posisi bahwa Allah tidak dapat dikenal dan diekspresikan dalam bentuk apa pun. Justin Martyr misalnya menyebut Allah inexpressible dan tidak memiliki nama apa pun. Sebutan “allah” atau “tuhan” hanya merupakan sebutan yang disematkan kepada Allah untuk mendeskripsikan pekerjaan-Nya di dunia ini. Sama halnya dengan Clement of Alexandria yang berkata bahwa manusia hanya dapat memikirkan tentang Allah di dalam proses negasi dengan menghapus semua karakteristik ciptaan dan ketidaksempurnaannya. Dengan cara inilah baru kita dapat sampai kepada titik membedakan Allah dari ciptaan-Nya.

Berbeda dengan pemikiran Bapa-bapa Gereja pada umumnya, Cappadocian Fathers, sebutan untuk tiga Bapa Gereja (Basil the Great, Gregory of Nyssa, dan Gregory of Nazianzus) dari daerah Cappadocia, memberikan pengertian yang seimbang mengenai kemungkinan untuk mengenal Allah. Mereka percaya bahwa melalui Alkitab kita dapat melihat berbagai macam karakter Allah dan pekerjaan-Nya tetapi esensi dari pribadi Allah sendiri itu tetap tidak dapat dimengerti manusia. John Chrysostom menjelaskan konsep ini sebagai condescension of God di mana Allah merendahkan diri menyatakan diri-Nya di dalam level manusia. Dengan demikian, manusia memiliki kemungkinan untuk mengenal Allah yang sejati.

Konsep Pengenalan akan Allah di Abad Pencerahan
Pada Abad Pencerahan, ada satu asumsi dasar yang dipegang oleh para filsuf mengenai pengenalan akan Allah. Mereka percaya bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu di luar dari kelima indra manusia sehingga pengetahuan tentang Allah dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diketahui. Hal ini dapat kita lihat dari pemikiran David Hume, seorang empirisis dan skeptis dari Skotlandia, yang beranggapan bahwa pengenalan akan Allah secara anthropomorphic sangat diragukan kebenarannya karena tidak dapat diuji keakuratannya. Pemikiran ini muncul dari presuposisi dasar bahwa segala pengetahuan harus dibangun di atas pengalaman. David Hume menyatakan, “If we take in our hand any volume; of divinity or school metaphysics, for instance; let us ask, Does it contain any abstract reasoning concerning quantity or number? No. Does it contain any experimental reasoning concerning matter of fact and existence? No. Commit it then to the flames: for it can contain nothing but sophistry and illusion.” Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa bagi David Hume segala sesuatu hanya dapat dibuktikan kebenarannya jika dapat dihitung secara matematis atau diselidiki dengan pengalaman. Sedangkan segala hal yang bersifat supernatural dan tidak dapat diuji secara ilmiah dianggap sebagai ketidakbenaran.

Pemikiran serupa juga diutarakan oleh Immanuel Kant di dalam konsep mengenai fenomena (mengetahui melalui kelima indra) dan noumena (hal yang tidak dapat diketahui dengan kelima indra). Kant percaya bahwa manusia hanya memiliki kemampuan untuk menyelidiki dan memiliki pengetahuan akan aspek fenomena saja sedangkan aspek noumena tidak mungkin diketahui. Berdasarkan pemikiran di atas, Allah hanya dapat dikenal jika manusia dapat menerapkan metode ilmiah kepada Allah sama seperti ketika manusia meneliti alam. Di luar kelima indra manusia, maka usaha untuk mengenal Allah merupakan suatu usaha yang abstrak dan sia-sia. Akibatnya, ide tentang Allah mulai diragukan kebenarannya dan agama menjadi sesuatu hal yang kosong dan tidak lagi relevan.

Konsep Pengenalan akan Allah di Zaman ini
Pada zaman ini, pemikiran postmodernism telah memengaruhi manusia dalam mengerti doctrine of the knowability of God. Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Tetapi pemikiran postmodernism justru menyatakan bahwa Allahlah yang diciptakan menurut gambar dan rupa manusia. Setiap pikiran ideal dan keinginan manusia menjadi standar dari “penciptaan allah” di zaman postmodern. Konsep mengenai Allah dibuat sesuai dengan keinginan manusia atau bahkan konsep Allah dipakai untuk penjelasan dari hal-hal yang tidak dapat dimengerti manusia (God of the gap).

Hal ini mengingatkan kita akan apa yang terjadi kepada bangsa Israel di Keluaran 32, di mana mereka membuat patung anak lembu emas. Jika kita perhatikan ayat 1 dan 4, jelas sekali bangsa Israel sedang berusaha untuk menyembah Allah yang telah menuntun mereka keluar dari tanah Mesir. Tetapi permasalahannya adalah mereka membuat “Allah” dengan menggunakan imajinasi dan pikiran mereka sendiri dan sujud menyembah kepadanya. Alih-alih tunduk kepada Allah yang sejati, di dalam kebodohan mereka bangsa Israel justru telah jatuh kepada penyembahan berhala yang mereka kira adalah Allah yang sejati. Bukan lagi mengenal Allah sesuai dengan apa yang Allah nyatakan, tetapi justru allah menjadi proyeksi dari imajinasi dan pikiran manusia berdosa. Dapat kita lihat di ayat-ayat selanjutnya bagaimana Allah begitu murka kepada tindakan bangsa Israel tersebut.

Di dalam buku The Essence of Christianity, Ludwig Feuerbach, seorang filsuf Jerman menuliskan bahwa ide tentang Allah merupakan sebuah proyeksi dari natur manusia dan pengalaman mereka. Allah dianggap sebagai personifikasi dari pengalaman maupun keinginan jiwa manusia. Sebagai contoh, doktrin tentang kebangkitan Kristus hanya dilihat sebagai proyeksi dari kerinduan manusia akan keabadian dari eksistensi manusia. Oleh sebab itu, ketika manusia berbicara mengenai Allah, secara tidak langsung mereka sedang membicarakan akan pengalaman maupun keinginan hatinya yang terdalam. Dengan pemikiran seperti ini maka Feuerbach telah mengganti konsep “Allah menciptakan manusia sebagai gambar dan rupa-Nya sendiri” menjadi “manusia yang menciptakan Allah sesuai dengan gambar dan rupa manusia itu sendiri”. Feuerbach mengatakan, “Man is the beginnning, the centre and the end of religion.” Pemikiran ini menjadikan manusia memiliki pengenalan Allah yang subjektif dan relatif terhadap pengalaman dan keinginan dari individu tersebut.

Sayangnya, pemikiran Feuerbach bukan hanya telah memengaruhi masyarakat pada umumnya tetapi juga telah masuk ke dalam banyak gereja. Kita dapat melihat bagaimana dari atas mimbar banyak pendeta dengan beraninya mengkhotbahkan doktrin Allah yang tidak sesuai dengan firman Tuhan melainkan sesuai dengan apa yang ingin didengar oleh jemaatnya. Hal ini mengingatkan kita akan apa yang telah ditulis oleh Rasul Paulus kepada Timotius di dalam suratnya. Surat 2 Timotius 4:1-5 dengan jelas menyatakan bahwa akan tiba saatnya di mana manusia tidak lagi mau mendengarkan tentang Allah yang sejati tetapi hanya Allah yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Allah yang demikian hanyalah allah hasil proyeksi diri mereka sendiri dan bukanlah Allah yang hidup.

Reformed Theology on the Knowability of God
Pembahasan di atas memberikan berbagai macam pandangan tentang pengenalan akan Allah. Di satu sisi, memang benar bahwa Allah adalah pribadi yang begitu besar dan melampaui segala pikiran dan pengertian manusia. Agustinus sendiri pernah mengatakan bahwa bahasa manusia begitu terbatas dan hanya berguna untuk menyadarkan kita akan satu pribadi yang melebihi segala sesuatu. Di sisi lain, manusia percaya bahwa Allah hanyalah proyeksi pengalaman dan perasaan manusia saja sehingga mengenal Allah sama dengan mengenal diri kita sendiri. Jika terlalu menekankan incomprehensibility of God, kita akan rentan untuk jatuh kepada philosophical agnosticism dan mengatakan, “Jikalau Allah ada maka kita tidak dapat mengerti apa-apa mengenai Dia.” Namun, jika kita terlalu menekankan bahwa Allah dapat diketahui semuanya maka kita telah gagal untuk membedakan Allah dengan ciptaan-Nya. Maka, marilah kita beralih ke Alkitab yang sudah memberikan jawaban mengenai doctrine of the knowability of God dengan menyatakan dua aspek paradoksikal dari Allah yaitu revealed God dan hidden God.

Perjanjian Lama sangat jelas berbicara mengenai Allah yang berfirman dan menyatakan diri-Nya kepada manusia dan umat-Nya secara khusus. Banyak cara yang dipakai oleh Tuhan untuk mengomunikasikan diri-Nya baik melalui mimpi, tanda-tanda, penglihatan, Urim dan Tumim, sampai kepada malaikat Tuhan sendiri. Perjanjian Lama juga banyak menceritakan tentang bagaimana Allah menampakkan diri-Nya kepada umat-Nya dalam berbagai bentuk seperti tiang awan dan api, semak yang terbakar kepada Musa, maupun Tabut Perjanjian yang melambangkan kehadiran-Nya. Selain itu, kita juga dapat mengenal Allah melalui setiap pekerjaan Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab. Ketika Allah bekerja atau berelasi dengan manusia, maka Allah sedang menyatakan siapakah diri-Nya. Ketika Allah membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, kita dapat melihat bahwa tindakan Allah tersebut merupakan penggenapan dari janji-Nya kepada Abraham dan menyatakan kesetiaan-Nya kepada umat-Nya.

Di Perjanjian Baru, Allah sendiri menyatakan diri-Nya di dalam pribadi Kristus. Ketika Kristus mengatakan tidak ada yang datang kepada Bapa tanpa melalui diri-Nya, maka Dia sedang menunjukkan satu fakta bahwa hanya Kristus sendiri yang mengenal Bapa dan dapat menyatakan-Nya itu kepada manusia. Surat Kolose adalah surat Paulus yang paling banyak berbicara berkenaan tentang Kristus sebagai pernyataan dari pribadi Allah. Kolose 1:15 menuliskan bahwa Kristus merupakan gambar dari Allah yang tidak kelihatan. John Calvin menjelaskan bahwa Kristus yang secara esensi adalah Allah, telah menyatakan Allah itu sendiri kepada manusia sehingga barang siapa mengenal Kristus, mereka juga mengenal Allah. Hal serupa juga dibahas oleh Paulus di Kolose 2:9 di mana seluruh pribadi Allah telah termanifestasikan di dalam pribadi Kristus.

Meski Alkitab banyak berbicara mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia, Alkitab juga mengajarkan kita untuk menyeimbangkan konsep ini dengan konsep the hidden God. Setiap wahyu yang Tuhan berikan melalui Alkitab adalah pengenalan yang sejati dari Allah meskipun tidak menjelaskan pribadi Allah secara tuntas. Allah yang berjalan di Taman Eden juga adalah Allah Pencipta langit dan bumi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Allah menyatakan diri-Nya dengan banyak nama, karena tidak ada nama yang dapat menjelaskan seluruh keberadaan-Nya dengan tuntas.

Walaupun Allah menyatakan diri-Nya dalam berbagai bentuk, Alkitab mengatakan tidak ada orang yang pernah melihat Allah dan tetap hidup (Kel. 33:20; Yoh. 1:18, 6:46). Allah yang berelasi dengan umat-Nya dan senantiasa berfirman melalui perantaraan para nabi juga adalah Allah yang tidak dapat dibandingkan dengan ilah-ilah lain (Yes. 40:18) dan melampaui pengertian manusia (Ayb. 36:26). Doktrin mengenai Allah yang tersembunyi mencapai puncaknya pada pernyataan dari Kristus sendiri di Injil Matius bahwa tidak ada orang yang mengenal Allah selain Kristus sendiri (Mat. 11:27).

Ketika kita berbicara mengenai segala hal yang tidak Allah nyatakan kepada manusia, maka kita sedang berhadapan dengan konsep misteri. Namun, pada waktu Alkitab berbicara mengenai misteri, Alkitab tidak pernah menyatakan itu sebagai suatu kebenaran supernatural yang abstrak melainkan sebagai suatu konsekuensi logis akan keterbatasan manusia untuk mengenal Allah Sang Pencipta. Bahasa Yunani dari kata misteri adalah musterion (μυστήριον) yang memiliki pengertian “tertutup” atau “tersembunyi”. Kata tersebut sering digunakan berkenaan tentang Kerajaan Allah dan ketetapan Allah. Kata musterion itu menekankan akan satu konsep kebenaran yang tersembunyi dan bukan kebenaran yang irrational. Cornelius Van Til menegaskan bahwa kita akan menemukan begitu banyak misteri ketika kita mencoba mengenal pencipta kita. Alkitab dengan jelas menyatakan di dalam Ulangan 29:29 bahwa hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan dan tugas manusia adalah menggali dan menaati yang sudah dinyatakan. Jadi kesimpulannya, Alkitab selalu berbicara mengenai aspek Allah yang menyatakan diri-Nya dan juga Allah yang tersembunyi secara bersamaan, sehingga memberikan keseimbangan agar tidak jatuh ke dalam salah satu ekstrem.

Setelah melihat perkembangan pemikiran ini dari zaman ke zaman dan membandingkannya dengan apa yang Alkitab nyatakan, maka sangat jelas bahwa kita sebagai manusia sangatlah terbatas. Manusia sebagai ciptaan tidaklah mungkin dapat mengenal Allah yang adalah Pencipta. Tetapi di dalam kebaikan Tuhan, Dia berkenan menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui wahyu yang Dia berikan yaitu Alkitab itu sendiri. Cornelius Van Til menyatakan bahwa sebagai manusia, satu-satunya cara kita dapat mengenal Allah adalah dengan memiliki sikap rendah hati. Van Til menyatakan hal ini di dalam konsep receptively reconstructive yaitu mau menerima wahyu itu (receptive) dan membangun pengenalan akan Allah berdasarkan wahyu tersebut (reconstructive). Kerendahan hati menjadi kunci penting di dalam kita mengenal Allah karena tanpa kerendahan hati tersebut kita akan menolak wahyu dari Allah dan menganggap diri mampu untuk mencari Allah.

Ibrani 11:6 menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin dapat mencari dan mengenal Allah jikalau itu tidak didasari atas iman kepada-Nya. Iman menjadi sebuah prerequisite dari kita mengenal Allah dan tidak mungkin memiliki iman jika kita tidak memiliki hati yang rendah di hadapan Tuhan. John Calvin mengatakan di dalam buku The Institute of Christian Religion,

Indeed, vanity joined with pride can be detected in the fact that, in seeking God, miserable men do not rise above themselves as they should, but measure him by the yardstick of their own carnal stupidity, and neglect sound investigation; thus out of curiosity they fly off into empty speculations. They do not therefore apprehend God as he offers himself, but imagine him as they have fashioned him in their own presumption.”

Maka, manusia yang menolak untuk merendahkan dirinya dan menerima Alkitab sebagai firman Allah, tidak akan pernah dapat mengenal Allah yang sejati bahkan akan masuk ke dalam spekulasi dan imajinasi yang sia-sia tentang Allah.

Reflection on Doctrine of Knowability of God
Dunia dengan berbagai pengajaran yang dilahirkannya di dalam dosa, selalu berusaha untuk mengalihkan kita dari pengenalan akan Allah yang sejati. Pengajaran-pengajaran ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar pemikiran. Pertama, pemikiran yang membawa kepada konsep Allah yang transenden dan kita tidak bisa mengenal-Nya sama sekali. Konsep transenden ini jelas berbeda dengan konsep transendensi Allah di dalam Alkitab. Konsep transendensi Allah dari dunia ini membawa kita menuju kepada dualisme, skeptisisme, agnostisisme, bahkan kepada atheisme. Kita menjadi orang yang menganggap pengenalan Allah itu sebagai hal yang tidak masuk akal karena itu bukan di dalam area yang kita manusia tidak bisa sentuh. Kelompok kedua, sangat bertentangan dengan kelompok pertama, menganggap Allah begitu imanen sehingga kita bisa menjelaskan semaunya bahkan bisa kita atur dan bentuk sesuai dengan imajinasi keinginan kita. Konsep imanensi ini tentu saja sangat bertentangan dengan yang Alkitab ajarkan mengenai imanensi Allah yang sejati. Implikasinya, kedua konsep ini membawa manusia tidak dapat mengenal Allah maupun diri mereka dengan tepat. Allah dianggap sebagai keberadaan yang tidak mungkin dikenal oleh manusia. Atau kita menempatkan Allah sebagai keberadaan yang tidak berbeda dengan ciptaan lain, sehingga bisa kita jelaskan secara tuntas bahkan bisa kita rekayasa atau peralat. Melalui pengertian ini manusia dibawa untuk membangun relasi yang rusak antara dirinya dan Allah dan tentu saja akan berdampak terhadap relasi lainnya (dengan alam, diri, dan sesama manusia). Manusia akan menjadi pribadi yang tidak dapat menempatkan dirinya dengan tepat.

Seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, Alkitab menyatakan Allah sebagai Allah yang mewahyukan diri-Nya kepada kita dan di saat yang bersamaan juga adalah Allah yang begitu penuh dengan misteri. Kedua aspek di dalam mengenal Allah ini membawa kita bukan hanya mengenal Allah dengan benar tetapi juga mendorong kita untuk berespons dengan benar. Sebagai ciptaan-Nya, kita menyadari akan keterbatasan diri yang tidak mungkin mengenal Allah jikalau bukan Dia yang mewahyukan diri-Nya. Kebenaran yang Ia wahyukan akan mendorong kita untuk semakin menyembah atau mengagungkan Dia yang rela menyatakan diri-Nya. Kedua respons ini akan membawa kita memiliki sikap yang tepat di dalam mengenal Allah dan setiap kebenaran yang Ia wahyukan. Respons yang serupa pun seharusnya muncul di saat kita mempelajari kebenaran Allah melalui media yang lain seperti ilmu pengetahuan (wahyu umum Allah). Jikalau pengenalan kita adalah pengenalan yang benar, maka setiap kebenaran yang kita pelajari akan kita respons dengan kekaguman kepada Allah sekaligus semakin sadar akan diri kita. Inilah pengenalan akan Allah yang benar! Inilah yang diserukan oleh Calvin di dalam pembukaan Institutio yang menempatkan pengenalan Allah dan pengenalan diri di dalam relasi yang bersifat mutual. Adakah pengenalan seperti demikian di dalam diri kita?

Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne