Kita semua tahu bahwa kitab suci adalah hal yang paling penting bagi setiap penganut agama di dunia. Kitab suci dianggap sebagai justifikasi atas kebenaran yang mereka yakini. Masing-masing mengeklaim bahwa kitab sucinya adalah jalan menuju kebenaran yang sejati. Di antaranya ada tiga agama besar yang mengeklaim bahwa kitab sucinya berasal dari Allah, atau lebih tepatnya, diwahyukan langsung oleh Allah. Sebagian dari para pembaca mungkin sudah tahu tiga agama besar ini, yaitu Yahudi, Islam, dan Kristen. Ada yang mengatakan bahwa kitab sucinya langsung diturunkan secara supernatural dari allah mereka. Yang satunya lagi hanya mengakui kitab Perjanjian Lama, terutama kitab Taurat Musa yang juga diberikan langsung oleh Allah. Lalu bagaimana dengan kekristenan? Apakah Alkitab yang diwahyukan ini sama seperti kitab suci lainnya?
Alkitab tentu saja berbeda dari kitab suci lainnya. Alkitab tidak dihadirkan langsung dalam bentuk satu buku komplet. Allah justru menghadirkannya secara bertahap melalui proses di dalam sejarah. Allah melibatkan banyak penulis dengan konteks dan latar belakang yang berbeda-beda. Ada sekitar empat puluh penulis di dalam rentang waktu sekitar 1.500 tahun. Tetapi hal ini tidak meniadakan keabsahan dan otoritas Alkitab sebagai firman yang dari Allah. Alkitab tidak berhenti sebatas tulisan manusia, tetapi seluruhnya juga adalah wahyu Allah. Pengertian inilah yang diakui oleh orang-orang Kristen dari sejak zaman para rasul, Bapa-bapa Gereja, hingga kepada zaman Reformasi. Alkitab seluruhnya adalah wahyu Allah atau firman Allah.
Plenary Verbal Inspiration
Penjelasan bagaimana Alkitab itu diwahyukan disebut sebagai doktrin inspirasi Alkitab. Pendekatan yang dibahas tadi biasanya dikategorikan sebagai plenary verbal inspiration. Dari kata “plenary” yang artinya lengkap atau penuh (complete) dan “verbal” yang artinya adalah kata-kata dari Allah. Maka doktrin inspirasi Alkitab berarti setiap kata di Alkitab berasal dari Allah. Pendekatan ini dianut oleh tradisi Theologi Reformed, melanjutkan dari apa yang sudah diajarkan oleh Bapa-bapa Gereja sampai kepada zaman Reformasi.
Ada beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai fondasi dari doktrin inspirasi tersebut. Salah satunya adalah 2 Timotius 3:16, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Perhatikan pada kata yang dicetak tebal “diilhamkan”. Dalam bahasa Indonesia tidak terlalu jelas maksud dari penggunaan kata tersebut. Tetapi jika kita melihat kepada bahasa aslinya, yaitu bahasa Yunani, kata yang digunakan adalah “theopneustos”. Dari kata “theo” yang berarti Allah dan “pneustos” yang berarti napas. Ini berarti kita dapat membaca ayat tersebut sebagai berikut, “Segala tulisan yang dinapaskan oleh Allah.” Setiap kata di Alkitab adalah sungguh-sungguh berasal dari Allah.
Alkitab: Tulisan Manusia
Kemudian doktrin ini mendapat serangan yang cukup keras pada Abad Pencerahan, abad yang menghadirkan semangat untuk melihat segala fenomena melalui kacamata metode saintifik. Begitu pula penilaian benar dan salah harus diuji melalui proses berpikir ilmiah. Segala fenomena alam selalu dianggap pasti ada penyebab natural yang dapat dijelaskan. Cara pandang demikian mereka terapkan juga pada Alkitab. Padahal kita tahu bahwa Alkitab menuliskan peristiwa mujizat yang melampaui proses natural. Kita membaca bagaimana Tuhan Yesus mampu menyembuhkan orang yang lumpuh, menghardik badai, berjalan di atas air, membangkitkan orang mati, hingga Tuhan Yesus sendiri pun bangkit dari kematian. Bagi mereka, fenomena seperti ini tidak mungkin dapat dijelaskan oleh sains.
Kemudian mereka juga menemukan berbagai macam kesalahan dan inkonsistensi di dalam Alkitab. Misalnya di 2 Samuel 10:18 diceritakan Daud membunuh 700 kuda kereta, tetapi di 1 Tawarikh 19:18 disebutkan angka yang berbeda, yaitu 7.000 kuda kereta. Jadi mana yang benar? Hal-hal seperti ini yang membuat mereka melihat Alkitab hanya sebagai tulisan manusia belaka. Mereka tidak percaya Alkitab adalah firman Allah. Ada begitu banyak kesalahan di dalamnya sehingga tidak ada alasan untuk percaya Alkitab berasal dari Allah yang diklaim satu-satunya kebenaran yang sah.
Beberapa theolog berusaha mengakomodasi permasalahan ini supaya Alkitab tetap relevan di zaman itu. Misalnya ada yang menganggap Alkitab hanya sebagai cerita mitologi.[1] Setiap mujizat yang terjadi bukanlah fakta sejarah, melainkan hanya mitos. Ada pula yang membuang segala hal yang berbau supernatural.[2] Bagi mereka, setiap mujizat dapat dijelaskan penyebabnya melalui proses natural. Cara-cara ini ditempuh supaya memberikan kesan bahwa Alkitab masih relevan di kalangan para filsuf dan ilmuwan di zaman itu. Tetapi di saat yang sama, hal ini mengakibatkan aspek Ilahi dari Alkitab makin diabaikan. Alkitab hanya dianggap sebagai tulisan manusia sama seperti buku-buku moral lainnya.
Kemudian sampai kepada seorang theolog modern bernama Karl Barth (1886-1968) yang juga sependapat bahwa Alkitab memang hanya tulisan manusia. Alasannya hanya karena ada beberapa kekeliruan pengertian yang tidak dapat diabaikan begitu saja.[3] Tetapi Barth tidak berhenti sampai di situ. Barth merekonstruksi ulang pengertian mengenai wahyu Allah, firman Tuhan, dan doktrin inspirasi Alkitab. Bagi Barth, Alkitab bukan sungguh-sungguh firman Allah, melainkan sekumpulan tulisan dari para saksi yang menyaksikan Firman Allah, yaitu Tuhan Yesus. Alkitab bukan tulisan dari Allah, melainkan hanyalah tulisan manusia yang bisa keliru.
Jadi, di dalam theologi, Karl Barth sebenarnya tidak mengenal doktrin inspirasi Alkitab. Jikalau pun ada, itu pun digambarkan sebagai Allah yang memakai tulisan itu untuk menyatakan kehendak-Nya bagi setiap individu. Jika demikian, apa bedanya Allah memakai Alkitab dengan buku-buku theologi? Bukankah Allah pun juga dapat memakai buku theologi untuk membuat kita makin mengenal Dia? Pada akhirnya doktrin inspirasi Alkitab menjadi tidak punya makna sama sekali. Barth berusaha mempertahankan posisi penting Alkitab sebagai sumber kebenaran, tetapi pada faktanya hanya menjadikan posisi Alkitab tidak berbeda dari buku-buku moral lainnya.
Alkitab: Tulisan Allah
Di kubu sebaliknya, ada kaum Injili (Evangelical) yang juga turut berespons terhadap isu doktrin inspirasi Alkitab ini. Jika kekristenan liberal menerima secara positif perkembangan sains modern hingga mengabaikan esensi penting dari Alkitab, kaum Injili justru mengambil respons sebaliknya. Mereka menolak mentah-mentah segala macam bentuk kritikan baik dari para filsuf maupun saintis sekuler terhadap otoritas Alkitab. Mereka tetap bersikeras bahwa Alkitab jelas adalah firman Allah. Setiap kata di Alkitab jelas berasal dari Allah. Lebih ekstremnya lagi, sebagian besar mengambil posisi bahwa setiap kitab itu didikte langsung oleh Allah. Jadi Allah “membisikkan” kehendak-Nya atau nubuat kepada penulis untuk dituliskan dalam bentuk Alkitab. Setiap kata di Alkitab didikte langsung oleh Allah sehingga ada penegasan bahwa Alkitab ini jelas berasal dari Allah.
Hal ini tentu saja baik karena ada titik permulaan yang jelas mempertahankan otoritas Ilahi pada Alkitab. Tetapi pendekatan ini pun tidak dapat menjawab kritikan dari sains modern. Hal ini makin menjadikan kekristenan seperti lari dari permasalahan. Namun ada konsekuensi lain dari pendekatan ini, yaitu mengesampingkan keterlibatan manusia di dalam penulisan Alkitab. Seolah-olah penulis hanyalah seperti seorang sekretaris yang menuliskan setiap perkataan dari Allah. Peran manusia menjadi tidak signifikan di dalam penulisan Alkitab. Sehingga ketika ada yang mengkritik bahwa Alkitab banyak detail yang tidak konsisten, kita mungkin akan mengelak dan berkata, “Pokoknya Alkitab itu dari Allah, percaya saja!”
Walaupun di ayat-ayat tertentu memang dituliskan kalimat “Allah berkata” atau “Allah berfirman”, tetapi itu hanyalah bagian tertentu saja dibandingkan keseluruhan sejarah penulisan Alkitab. Misalnya, Lukas menulis kitab Injil melalui proses penelitian yang cukup cermat dan teliti terhadap kehidupan Tuhan Yesus. Ada juga kitab para nabi yang kalau kita baca secara menyeluruh, terlihat lebih mirip seperti jurnal pergumulan hidup nabi-nabi tersebut. Jadi, ada peran dari penulis yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Alkitab: Tulisan Allah dan Manusia
Jadi bagaimana kita dapat menjelaskan maksud dari kalimat “Alkitab itu dinapaskan oleh Allah”? Apa yang dimaksud dengan doktrin inspirasi Alkitab? Tulisan Allah atau sekadar tulisan manusia? Pertanyaan ini kemudian sampai kepada seorang theolog dari Princeton Theological Seminary bernama Benjamin B. Warfield, seorang theolog pada awal abad ke-20 yang dikenal dengan doktrin inspirasi Alkitab dan perjuangannya melawan ajaran Kristen liberal.[4]
Ia banyak menuangkan pemikirannya terhadap isu doktrin ini dalam berbagai jurnal dan artikel. Melalui karya-karya tersebut, Warfield menegaskan kembali pendekatan tradisi Theologi Reformed seperti yang penulis sebutkan di awal tadi, yaitu pendekatan plenary verbal inspiration: setiap kata di dalam Alkitab jelas berasal dari Allah dan dinapaskan oleh-Nya. Bagi Warfield, hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Tetapi di saat yang sama, hal itu tidak meniadakan peran aktif manusia di dalam menuliskan Kitab Suci. Jadi daripada memilih apakah Alkitab itu tulisan Allah atau manusia, Warfield lebih memilih posisi bahwa kedua oknum tersebut sama-sama adalah penulis Alkitab. Warfield menyebut Alkitab sebagai The Divine Human Book (Kitab Allah dan Manusia), bukan sekadar Divine Book atau Human Book. Alkitab adalah tulisan Allah sekaligus juga tulisan manusia.
Penegasan Warfield terhadap pendekatan ini bukanlah tanpa sebab. Pendekatan ini konsisten dengan pemikiran Warfield sebelumnya mengenai wahyu Allah. Ia membagi manifestasi wahyu Allah di dalam tiga periode, yaitu (1) patriark, (2) para nabi, dan (3) Roh Kudus (concursive operation). Salah satu bentuk concursive operation yang dikerjakan oleh Allah adalah Alkitab. Allah melalui Roh Kudus berkehendak memakai manusia sebagai instrumen untuk menuliskan wahyu-Nya dalam bentuk Kitab Suci. Tetapi di saat yang sama, Allah tidak meniadakan peran aktif manusia di dalam penulisannya.
Jadi ketika kita berbicara doktrin inspirasi Alkitab, maka itu berarti setiap katanya dinapaskan oleh Allah. Apa maksudnya dinapaskan? Merujuk kepada konsep wahyu Allah dari Warfield, yaitu bahwa Allah turut bekerja melalui manusia, termasuk ketika wahyu dari Allah dimanifestasikan melalui tulisan. Oleh karena itu, kita tidak dapat mendefinisikan inspirasi Alkitab sebagai Allah yang mendikte saja, sebagaimana pendekatan dikte yang dipakai oleh kaum Evangelical. Pendekatan dikte membuat peran manusia terabaikan. Padahal setiap kitab ditulis oleh orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda. Dari Musa, Yosua, Samuel, Daud, Yesaya, sampai kepada Perjanjian Baru yang ditulis oleh para rasul. Setiap penulis memiliki kehidupan yang berbeda-beda, serta konteks yang berbeda pula, sehingga peran manusia tidak dapat diabaikan begitu saja dalam penulisan Alkitab.
Begitu pula sebaliknya, Alkitab bukan sekadar tulisan manusia, tetapi juga adalah tulisan Allah, sebagai penegasan bahwa hanya Alkitab yang memiliki otoritas kebenaran dari Allah. Alkitab adalah satu-satunya sumber kebenaran baik mengenai Allah maupun seluruh ciptaan. Tidak ada sumber lain yang berhak menggantikan posisi Alkitab. Hanya melalui Alkitab manusia dapat mengenal Allah yang sejati. Walaupun ada detail-detail kecil yang seolah-olah terlihat tidak “konsisten”, tetapi itu sebenarnya akibat kegagalan kita melihat aspek manusia dari Alkitab. Bukan karena manusia bisa salah, tetapi melihat keunikan konteks yang Tuhan hadirkan, sehingga masing-masing penulis memiliki penekanan atau perspektif tertentu yang mau disampaikan.
Misalnya kembali kepada perbedaan angka antara 2 Samuel 10:18 dan 1 Tawarikh 19:18. Antara 700 dan 7.000 ekor kuda kereta? Ada beberapa jawaban mengenai permasalahan ini. Yang paling mudah tentu menganggap kekeliruan ini terjadi saat proses penyalinan manuskrip. Tetapi ada juga yang menelusuri gambaran kuda kereta pada zaman itu, yang dapat ditunggangi beberapa orang sekaligus. Sehingga ada beberapa versi Alkitab yang memakai istilah berbeda dalam penyebutan jumlah kuda kereta, salah satunya versi KJV Authorized Version. Dikatakan dalam 2 Samuel 10:18, “men of seven hundred chariots” (orang-orang dalam 700 kereta perang), sedangkan dalam 1 Tawarikh 19:18, “seven thousand men which fought in chariots” (7.000 orang dengan kereta perang). Jadi yang satu menyebut jumlah kereta perang, yang mana 1 kereta terdapat 10 orang. Sebaliknya yang satu lagi menyebut total orang yang menaiki kereta perang tersebut.
Jadi, apakah kita perlu meragukan keabsahan Alkitab hanya karena perbedaan ini? Tentu saja tidak. Perbedaan ini tidak menjadikan wahyu Allah berbeda antara satu kitab dan kitab lainnya. Justru kita melihat bahwa keterbatasan manusia tidak dapat menggagalkan pernyataan diri Allah. Kita tidak perlu minder mengakui bahwa Alkitab ini memang ditulis oleh manusia. Tetapi kita juga perlu ingat bahwa Allah turut bekerja di dalam seluruh proses penulisan Alkitab. Sehingga seluruh bagian Kitab Suci tetap berkesinambungan sebagai manifestasi wahyu Allah di dalam sejarah.
Jadi jelas memahami Alkitab sebagai tulisan Allah dan manusia sangatlah penting. Pengertian ini dapat menyadarkan kita akan keunikan Alkitab dibanding kitab suci agama lainnya. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah “Apa faedahnya mengerti hal ini? Toh hidup saya sama saja sebelum dan sesudah tahu doktrin ini.” Pada artikel berikutnya, penulis akan membahas lanjutan pengertian Warfield mengenai doktrin inspirasi Alkitab dikaitkan dengan doktrin kedaulatan Allah (providence of God). Sekaligus menjadi alasan kuat mengapa Warfield sangat menekankan aspek kemanusiaan dari penulisan Alkitab.
“Seluruh Kitab Suci adalah produk dari tindakan Ilahi yang hadir, bukan dengan meniadakan tindakan aktif para penulis, tetapi secara bersama hadir dalam hidup mereka.”[5]
Benjamin B. Warfield (1851-1921)
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Pendekatan demitologisasi ini dipelopori oleh theolog Jerman bernama Rudolf Bultmann (1884-1976).
[2] Konsep ini yang menjadi pemicu arus Kristen liberal oleh theolog Jerman bernama Friedrich Schleiermacher (1768-1834).
[3] Bandingkan kedua ayat ini: 2 Samuel 10:18 dan 1 Tawarikh 19:18. Jadi berapa banyak kuda kereta yang dibunuh Daud? 700 atau 7.000 ekor?
[4] Artikel Buletin PILLAR Edisi Maret 2022. “Benjamin Breckinridge Warfield – Menerjang Arus Liberalisme”.
[5] Warfield, Benjamin B. Selected Shorter Writings. 1894. Hlm. 547.