Puasa sudah dikenal dalam gereja sebagai salah satu bentuk latihan rohani (spiritual exercise) atau disiplin rohani (spiritual discipline) yang sering disandingkan dengan doa. Sejarah gereja mencatat sejumlah tokoh-tokoh besar melakukannya seperti: Martin Luther dan John Calvin (tokoh Reformator), John Knox dan John Owen (Kaum Puritan), Jonathan Edwards dan Charles Wesley (pengkhotbah kebangunan rohani), dan masih banyak raksasa iman yang lain. Kehidupan mereka menunjukkan puasa berperan penting dalam kerohanian dan pelayanan mereka.
Tapi kenyataannya puasa tidak hanya dikenal dalam kekristenan. Beberapa agama dan kepercayaan ternyata memiliki ritual yang sama. Para pendeta Hindu dari kaum Brahmana melakukan puasa yang berat pada waktu tertentu. Penganut agama Islam melakukan puasa selama sebulan penuh dalam bulan Ramadan, bulan yang dipercaya penuh dengan pengampunan. Orang-orang Yahudi khususnya dari golongan Farisi melakukan puasa dua kali dalam seminggu yaitu Senin dan Kamis. Penduduk asli Pulau Andaman pada waktu tertentu tidak memakan buah-buahan dan akar-akaran tertentu yang dapat dimakan supaya Dewa Puluga tidak mengirimkan banjir besar. Di dalam suku Yoruba, jika ada suami yang meninggal maka jandanya dan anak perempuannya tidak boleh makan dan berbicara selama satu hari. Para pemburu di suku Cherokee harus berpuasa sebelum membunuh seekor burung elang, hewan yang disakralkan dalam suku tersebut.
Selain itu di zaman modern, puasa tidak hanya dimengerti sebagai ritual agama. Puasa juga dijadikan sebagai senjata politik. Pada waktu berjuang bagi kemerdekaan India, Mahatma Gandhi menjadikan puasa sebagai bentuk protesnya atas penjajahan Inggris. Beliau melakukannya selama tiga puluh tahun (walaupun tindakannya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang agama dan budaya Hindu yang dianutnya). Selain sebagai alat politik, puasa juga menjadi bagian terapi kesehatan kontemporer yang direkomendasikan oleh pakar dan tempat perawatan tertentu. Walaupun demikian, pada umumnya puasa masih lebih dimengerti dalam nilai keagamaan. Dengan melihat berbagai variasi dan perkembangan di luar kekristenan maka rasanya diperlukan memahami mengenai puasa yang dijalankan dalam kekristenan.
Puasa dalam Sejarah Penebusan
Walaupun puasa sudah dilakukan dalam sejarah gereja, ternyata praktek ini berakar dalam sejarah Penebusan dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Dalam perspektif inilah puasa dalam tradisi Kristen memiliki perbedaan dengan puasa dalam agama dan kepercayaan yang lain. Dalam Perjanjian Lama orang-orang Israel melakukan puasa. Kent Berghuis membagi puasa di Perjanjian Lama ke dalam lima kategori, yaitu:
Sebagai tanda kesedihan dan berkabung. Puasa seperti ini dilakukan dalam peristiwa bangsa Israel kalah melawan suku Benyamin (Hab. 20:26), Daud mendengar kabar kematian Saul dan Yonathan (2Sam. 1:12), bangsa Yahudi dalam menghadapi kekejaman Haman di zaman Ester (Est. 4:3), datangnya kekeringan (Yer. 14:1-12), Hana yang meminta anak (1Sam. 1:7-8), dan sebagainya.
Sebagai tanda pertobatan dan meminta pengampunan. Puasa seperti ini paling banyak dilakukan dalam sejarah Perjanjian Lama seperti dalam peristiwa pertobatan Israel yang pada zaman Samuel (1Sam. 7:5-6), pertobatan bangsa Yehuda pada zaman Nehemia (Neh. 9:1), Pertobatan Daud (2Sam. 12:16) dan Ahab (1Raj. 21:27), dan sebagainya.
Sebagai pendukung doa. Puasa seperti ini ditunjukkan dalam Doa Daniel (Dan. 9:1-19) dan ketika bangsa Israel akan pulang ke Yerusalem dipimpin oleh Ezra (Ezr. 8:212-3).
Sebagai pengalaman akan kehadiran Allah dan peneguhan atas seorang utusan Allah. Puasa seperti ini diperlihatkan dalam peristiwa Musa di gunung Sinai (Kel. 34:28) dan Elia di gunung Horeb (1Raj. 19:7-8)
Sebagai tindakan ibadah publik. Puasa seperti ini terdapat dalam ketetapan Hari Raya Pendamaian (Im. 23:27).
Berghuis kemudian mengatakan kelima kategori ini memiliki dua gagasan theologis utama yaitu: Allah sebagai sumber utama kehidupan dan kehidupan manusia bergantung kepada kehadiran-Nya dan ketaatan pada firman-Nya.
Puasa hadir dalam kehidupan umat Allah di Perjanjian Lama berkaitan dengan relasi mereka dengan Allah dalam suatu perjanjian (covenant). Dengan menghadirkan puasa, Allah melatih bangsa Israel untuk merendahkan diri di hadapan-Nya dan memiliki ketergantungan penuh pada-Nya. Namun, pada akhirnya di masa para nabi, puasa sudah menjadi rutinitas dan kehilangan nuansa theologis di belakangnya sehingga tidak mengherankan berulang-ulang para nabi mengatakan Allah muak dengan puasa yang dilakukan oleh orang-orang Israel.
Tradisi puasa Perjanjian Lama ini pun berkesinambungan di Perjanjian Baru. Sebagian orang Kristen mengatakan puasa sudah tidak berlaku di Perjanjian Baru tetapi jika melihat Perjanjian Baru kita menemukan praktek puasa masih dilakukan seperti oleh Yesus (Mat. 4:1-11), Paulus (2Kor. 6:5), dan jemaat mula-mula (Kis. 13:1-3). Bahkan kitab Didakhe mengatakan jemaat mula-mula melakukan puasa setiap hari Selasa dan Jumat. Dalam salah satu Khotbah di Bukit, Matius mencantumkan ajaran Yesus mengenai puasa (Mat. 6:16-18). Dalam bagian itu Yesus mengasumsikan para murid-Nya akan berpuasa. Dia mengajarkan berpuasa yang benar untuk membedakan para murid dengan orang-orang Farisi yang munafik. Sebagaimana yang dikatakan Martin Luther, “it was not Christ’s intention to reject or despise fasting… it was His intention to restore proper fasting.”
Walaupun demikian, kehadiran Yesus Kristus telah membawa sesuatu yang baru dalam puasa Perjanjian Lama. Yesus Kristus membawa pengharapan eskatologis ke dalam puasa. Yesus mengatakan para murid-Nya tidak perlu berpuasa seperti orang Farisi atau murid Yohanes Pembaptis “selagi mempelai itu bersama mereka” (ay.15). Kalimat ini menandakan berakhirnya era puasa Perjanjian Lama. Namun bukan berarti murid-murid tidak akan berpuasa sebab “waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa”. Yang dimaksud dengan “waktunya akan datang” itu adalah ketika Yesus naik ke sorga dan tidak lagi bersama pengikut-Nya di bumi. Dan di sinilah era puasa Perjanjian Baru. Puasa di Perjanjian Baru adalah suatu wujud penantian akan kedatangan Yesus kembali (Second Coming). Penantian ini akan berakhir ketika mempelai itu kembali (Mat. 25:1-13). Setelah itu, semua kesedihan berlalu dan perjamuan kawin dimulai maka berakhirlah puasa. Sebelum peristiwa ini terjadi, gereja masih akan melakukan puasa.
Sebagai suatu penantian, orang-orang Kristen tidak lagi berpuasa dengan berkabung sebab kita tahu Yesus sudah bangkit dan naik ke surga sehingga Dia pasti akan datang lagi. Penantian ini diwarnai dengan sukacita karena mengetahui apa yang dinantikan. Sebab itu Yesus mengatakan kepada murid-muridNya, “minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu.”
Puasa dan Spritualitas Kristen
Setelah melihat tinjauan Alkitab, maka kita perlu memahami kaitan puasa dengan spritualitas Kristen. Puasa seringkali dipandang sebagai bentuk asketisme. Kesalahpahaman ini terjadi karena puasa seolah menjadikan makanan sesuatu yang salah sehingga yang tidak makan kerohaniannya lebih tinggi daripada yang makan. Sehingga seseorang harus menghindari makanan agar mencapai kerohanian yang lebih tinggi. Perjanjian Baru menolak asketisme dengan tegas. Paulus mengatakan, “asketisme nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi.” (Kol. 2:23). Dia juga mengecam jika ada orang yang “melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah” (1Tim. 4:3). Mengenai makan dan tidak makan Paulus mengatakan, “Siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan dan ia juga mengucap syukur kepada Allah.”
Puasa bukan merendahkan makan dan makanan melainkan menempatkannya pada posisinya. Kebutuhan manusia akan makanan bersifat fundamental sehingga dalam keberdosaannya manusia mendewakan makanan dan menjadikan makanan sebagai segala-galanya untuk hidup. Jika dipikir-pikir, penyebab kerakusan adalah karena manusia tidak memiliki tujuan akhir yang lain di luar makanan. Padahal dalam Katekismus Westminster ditegaskan manusia diciptakan untuk memuliakan dan menikmati Allah tetapi manusia berdosa tidak menjadikan Allah sebagai kebutuhan hidupnya. Dalam keberdosaannya manusia cenderung berpikir akan tetap hidup walaupun tanpa Allah asal ada makanan. Sehingga pengejaran manusia akan makanan jauh melebihi kelaparannya akan Allah. Lebih khusus lagi di zaman konsumerisme seperti sekarang, manusia didesak untuk mengejar materi seolah-olah tidak bisa hidup tanpa semua itu.
Puasa merupakan latihan sekaligus pengingat (remembrance) bagi orang Kristen untuk menyadari “manusia hidup bukan dari roti saja melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”. Puasa membuat orang Kristen belajar menyadari kebutuhan terbesarnya bukanlah makanan melainkan Allah sehingga kepuasan hidupnya bukan terletak pada makanan melainkan pada kehadiran Allah. Dengan puasa orang Kristen memiliki suatu rasa lapar yang tidak terpuaskan sampai nanti bertemu dengan Yesus Kristus. Food is good but God is better.
Calvin Bangun
Pembina PRII Depok
Referensi:
John Piper, Hunger for God. Wheaton: Crossway Books. 1997.
Richard J. Foster, Celebration of Discipline: The Path to Spiritual Growth. HarperCollins Publishers, Inc. 1983.
Kent Berghuis, Christian Fasting: A Theological Approach. Deerfields: Biblical Studies Press. 2003.