Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang dilontarkan Pdt. Stephen Tong di dalam Sidang Sinode tahun lalu. Tulisan ini merupakan satu tanggapan normatif terhadap pertanyaan ini.
Pdt. Stephen Tong memulai Gerakan Reformed Injili pada tahun 1984 dengan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) pertama berjudul “Iman dan Agama”. Namun, cikal bakal Gerakan Reformed Injili telah ada dalam benak beliau jauh sebelum tahun 1984. Beliau telah menyadari pentingnya theologi Reformed dan gereja Reformed yang melakukan penginjilan dan bermandat budaya dalam konteks bangsa Indonesia.
Sejak tahun 1984, Gerakan Reformed Injili sudah menapaki sepuluh langkah besar hasil pemikiran Pdt. Stephen Tong: SPIK, sekolah theologi untuk kaum awam, perpustakaan, Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), seminari, KKR Regional, mandat budaya (Reformed Center for Religion and Society, Aula Simfonia Jakarta, Galeria Sophilia), pendidikan (Sekolah Kristen Calvin, Sekolah Kristen Logos, Calvin Institute of Technology), Tim Aksi Kasih, kesehatan (Klinik Samaritan) dan pemakaman Kristen.
Tiga puluh sembilan tahun berlalu dan hari ini Gerakan Reformed Injili sudah memiliki institusi yang menaungi begitu banyak manusia. Namun, di saat gerakan ini sedang “besar-besarnya”, Pdt. Stephen Tong mengajukan pertanyaan yang saya kira tepat waktu: sampai kapan Gerakan Reformed Injili akan bertahan? Pertanyaan ini bukan pertanyaan perusak pesta (party pooper). Sebaliknya, pertanyaan ini justru membawa kita melakukan introspeksi. Pertanyaan ini membawa kita melihat ke dasar dari Gerakan Reformed Injili supaya kita tidak terlena dan kehilangan arah.
Gerakan ini memang dimulai oleh Pdt. Stephen Tong, tetapi saya yakin tidak akan berakhir dengan kepergiannya. Beliau akhir-akhir ini makin sering mengingatkan pendengarnya bahwa ia akan segera pergi. Kita sebagai pendengar tidak boleh hanya melihat ini sebagai suatu ucapan perpisahan, tetapi kita perlu menyadari bahwa Pdt. Stephen Tong adalah manusia yang terbatas, tidak beda dengan semua tokoh besar lainnya. Mereka datang ke dalam panggung sejarah, mengerjakan tugasnya, dan mereka pergi. Namun, kita perlu yakin bahwa gerakan ini akan berlanjut, meski Pdt. Stephen Tong harus pergi. Mengapa?
Kita perlu melihat, yang pertama dan terutama, bahwa Gerakan Reformed Injili adalah sebuah karya Roh Kudus. Memang, Gerakan Reformed Injili ini jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Namun, bukankah Roh Kudus sering kali bercampur dengan keberdosaan manusia? Roh Kudus bekerja di tengah-tengah gereja Korintus yang melakukan banyak perbuatan dosa (1Kor. 3:3). Roh Kudus bekerja melalui Paulus yang bertikai dengan Barnabas (Kis. 15:39). Jadi, meski Gerakan Reformed Injili memiliki banyak kekurangan, kita dapat yakin bahwa Roh Kuduslah yang memulai Gerakan Reformed Injili kepada Indonesia.
Dari mana kita mendapatkan keyakinan bahwa Gerakan Reformed Injili merupakan gerakan yang dimulai oleh Roh Kudus?
Pertama, kita perlu melihat bahwa Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) adalah bagian dari Gerakan Reformed Injili. Sebab, tempat (locus) Roh Kudus menerapkan karya penebusan Kristus hari ini adalah gereja. Gereja, kumpulan orang-orang yang ditebus dan diselamatkan oleh Yesus Kristus dan dijadikan satu keluarga Allah, adalah Bait Roh (Ef. 2:22, bdk. Kis. 9:31). Selain gereja, tidak ada institusi lain di dalam Alkitab yang disebut sebagai Bait Roh. Sekolah, universitas, museum bukanlah tubuh Kristus. Jadi, GRII sebagai tubuh Kristus adalah karya Roh Kudus dan GRII adalah bagian dari Gerakan Reformed Injili.
Kedua, GRII meninggikan Kristus. Salah satu pekerjaan penting Roh Kudus di dalam gereja adalah meninggikan Kristus (Yoh. 15:26). Ketika Yesus Kristus, Pribadi dan karya-Nya, diberitakan secara jelas di tengah-tengah gereja, maka kita tahu dengan pasti bahwa Roh Kudus berdiam di sana.
Berikutnya, GRII memiliki kasih persekutuan di antara jemaatnya. Salah satu aspek dari buah Roh adalah kasih (Gal. 5:22). Siapa yang mengenal Allah, mengasihi karena Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Ketika jemaat GRII pernah memiliki kesatuan hati dan jiwa, mendengarkan satu sama lain, memberikan pengampunan kepada satu sama lain, menolong satu sama lain, maka jelas bahwa Roh berdiam di GRII.
Kita perlu melihat, yang pertama dan terutama, bahwa Gerakan Reformed Injili adalah sebuah karya Roh Kudus.
Terakhir, GRII mengakui Gereja yang am. Setiap hari Minggu, jemaat GRII membaca Pengakuan Iman Rasuli dan mengaku percaya akan Gereja yang am. Gereja yang am di sini merujuk kepada kumpulan seluruh umat Allah yang mengaku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Pengakuan GRII berarti menerima bahwa gereja-gereja lain, di masa lalu atau di masa kini, yang mengaku Yesus adalah Tuhan, juga adalah sesama gereja Tuhan. Pengakuan ini menandakan bahwa GRII memiliki satu Roh yang sama yang (pernah) mendiami gereja-gereja Tuhan lainnya (Ef. 4:4).
Setelah melihat kenyataan bahwa Roh Kudus berkarya di dalam Gerakan Reformed Injili, sampai kapankah Gerakan Reformed Injili akan bertahan?
(Penafian: Sebagai jemaat, saya bukanlah seorang penilik jemaat. Oleh sebab itu, saya tidak mengetahui kondisi rohani di setiap cabang GRII. Jadi, berikut ini, saya akan memberikan jawaban normatif secara theologis.)
Pertama, sampai Roh memutuskan untuk berhenti bekerja di tengah-tengah Gerakan Reformed Injili. Yesus mengatakan bahwa Roh bergerak bebas seperti angin (Yoh. 3:8). Roh ini bukanlah roh manusia, melainkan Roh Allah. Artinya, Roh Allah tidak dapat sama sekali dikontrol manusia. Ia memulai dengan bebas, Ia mengakhirinya juga dengan bebas. Dalam kebijaksanaan Roh, Ia dapat memutuskan untuk meninggalkan suatu gereja. Fakta ini kita dapati di dalam sejarah. Di mana gereja Efesus hari ini? Gereja Efesus pernah digembalakan oleh Paulus, Apolos, dan Timotius. Tuhan Yesus sendiri pernah berbicara kepada gereja Efesus melalui Rasul Yohanes (Why. 2:1-7). Di samping itu, Konsili Ekumenis Ketiga diadakan di kota Efesus pada tahun 431. Gereja ini adalah salah satu gereja yang pernah diisi oleh raksasa-raksasa iman. Namun, gereja ini telah tiada hari ini. Demikian juga dengan gereja-gereja Perjanjian Baru lainnya. Lagi pula, kita sebagai gereja Reformed mengakui bahwa pekerjaan penebusan semuanya adalah anugerah Allah dan bukan karena kelayakan kita. Oleh sebab itu, kita perlu menerima GRII sebagai suatu anugerah Allah yang tidak dapat kita kontrol.
Kedua, sampai GRII berhenti meninggikan Kristus. Bila Kristus tidak lagi ditinggikan, kita yakin dengan penuh kepastian bahwa Roh Kristus sudah meninggalkan GRII dan Gerakan Reformed Injili. “Berhenti meninggikan” di sini tidak harus berarti bahwa GRII menolak ke-Allah-an atau kemanusiaan Kristus. Jika demikian, pastilah GRII tidak ortodoks dan bukan gereja Kristus. Namun, ada cara lain untuk berhenti meninggikan Kristus sambil tetap memegang ajaran ortodoks: jika GRII memberitakan Kristus ditambah hal-hal lain. Kristus tetap diberitakan, tetapi hal-hal tambahan lainnya juga diberitakan. Misalnya, gereja Katolik Roma pada zaman Reformasi merupakan gereja yang tidak meninggikan Kristus. Mereka tidak meninggikan Kristus bukan dengan menolak dwinatur Kristus. Mereka tidak meninggikan Kristus sambil tetap berpegang teguh pada ajaran ortodoks ini. Akan tetapi, mereka menambahkan dan mewajibkan begitu banyak hal-hal rohani tambahan sehingga kemuliaan Kristus tertimbun: Maria sebagai mediator, devosi kepada patung, roti perjamuan yang berubah menjadi tubuh Kristus, gedung gereja katedral yang megah, dan sebagainya. Jika GRII memberikan fokus kepada hal-hal di luar Pribadi dan karya Kristus, maka GRII sudah berhenti memberikan fokus pada Kristus. Tradisi, kebiasaan, kegigihan disiplin rohani, musik, persona, doktrin, pengetahuan, pandangan politik, komentar budaya, dan kebijaksanaan dunia dapat menimbun kemuliaan Kristus. Semua hal ini tentu penting dan bernilai sejauh selaras dengan kemuliaan Kristus yang ditunjukkan di dalam penderitaan-Nya dan salib-Nya (1Kor. 1:22-24; Heidelberg Disputation 1518, §20). Melepaskan semua hal ini dari kematian Kristus merupakan ciri dari theologi kemuliaan yang menolak Kristus dan Allah.
Ketiga, sampai kasih persekutuan hilang dari GRII. Karena kasih adalah buah Roh, maka ketiadaan kasih menandakan ketiadaan Roh di tengah-tengah GRII. Gereja Efesus dihardik Yesus karena kehilangan kasih mula-mula antara sesama jemaat. Yesus mengancam akan mencabut kaki dian (terang wahyu Allah) dari tengah-tengah mereka. Ada banyak manifestasi dari ketiadaan kasih. Pertama, hubungan jemaat menjadi transaksional. Hal ini sama seperti hubungan si sulung dengan ayahnya (Luk. 15:23-32). Si sulung marah karena selama ini ia melihat bahwa ia telah memberikan ayahnya pelayanan dan ketaatan, tetapi ia tidak pernah mendapatkan balasan yang setimpal (Luk. 15:29). Begitu juga dengan gereja yang transaksional: selama setiap orang melakukan tugas pelayanan dengan benar, maka gereja tentram. Namun, bila ada seseorang yang melakukan kesalahan dalam tugas pelayanan, maka tidak ada pengampunan, tetapi ada gosip, kecaman, dan penghakiman (bdk. Luk. 15:27-28). Kedua, banyak faksi di antara jemaat (Gal. 5:20). Setiap faksi terbentuk bukan karena Kristus, tetapi karena pendeta favorit, bidang pelayanan, hobi, pekerjaan, status sosial, umur, dan sebagainya. Faksi-faksi ini kemudian sangat sulit untuk melebur dengan satu sama lain karena tidak ada kasih dari Roh yang mengikat satu sama lain (Kol. 3:14). Kenyataan tidak adanya kasih menandakan bahwa gereja tersebut tidak pernah bertemu dengan Allah. Sebab, Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8).
Jika GRII memberikan fokus kepada hal-hal di luar Pribadi dan karya Kristus, maka GRII sudah berhenti memberikan fokus pada Kristus.
Terakhir, sampai GRII berhenti mengakui Gereja yang am. Hal ini termanifestasi jika GRII melihat dirinya sebagai satu-satunya gereja (atau denominasi) yang sejati dan yang paling benar di Jakarta, Indonesia, atau bahkan seluruh dunia. Sikap seperti ini menampik pekerjaan Roh Kudus di berbagai belahan dunia. Sebuah gereja yang menolak gereja lain dan menyatakan diri sebagai satu-satunya gereja yang benar bukanlah sebuah gereja, melainkan sekte. Hal ini bertolak belakang dengan gambaran Perjanjian Baru yang memperlihatkan kerja sama dan kepeduliaan nyata antar gereja Tuhan (Rom. 16:16, 1Kor. 16:1-4). Selain itu, dalam 1 Korintus 12:25, Paulus mengatakan bahwa tubuh Kristus adalah tubuh yang satu dan tidak termutilasi. Artinya, sebagai sesama anggota tubuh Kristus, setiap gereja perlu saling memperhatikan satu sama lain. Penolakan terhadap gereja lain juga adalah penolakan terhadap Kristus sendiri.
Sebagai manusia, tentu kita tidak mengharapkan keempat hal ini terjadi pada Gerakan Reformed Injili. Oleh sebab itu, Gerakan Reformed Injili, terutama GRII, perlu senantiasa mengerjakan tugasnya sebagai gereja musafir, yakni melakukan kritik diri (self-critique) dan senantiasa bertobat, seperti panggilan Tuhan Yesus kepada gereja di Pergamum dahulu: “Bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini.” (Why. 2:16).
Hans Tunggajaya
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional