God: The Almighty in Authority

Banyak orang bertanya, mengapa bisa ada kejahatan (red: evil)? Bila ada Allah, mengapa ada kejahatan? Apakah benar ada setan? Mengapa Allah membiarkan kita menderita akibat kejahatan? Apakah manusia benar-benar bebas?

Kejahatan adalah suatu hal yang abstrak, sehingga bukanlah hal yang mengherankan jika banyak orang sulit untuk menjawab pertanyaan “Sebenarnya, apa itu kejahatan?” Banyak filsuf, budayawan, dan tokoh-tokoh agama berusaha untuk menjawab pertanyaan ini. Makin banyak jawaban makin besar juga kebingungan orang-orang mengenai kejahatan. Di sisi yang lain, kita tidak bisa menghindar dari kejahatan. Karena kejahatan memiliki kaitan yang sangat
erat dengan penderitaan, yang setiap orang pasti mengalaminya. Inilah kesulitan dari masalah kejahatan, karena kejahatan bukanlah salah satu dari sekian banyak masalah, tetapi kejahatan (evil) adalah akar dari segala masalah.

Seseorang yang bergumul dengan adanya kejahatan pasti menyadari adanya kebaikan dan kebenaran. Namun, ia juga sadar bahwa kebaikan dan kebenaran tersebut telah dikacaukan. Itulah kejahatan. Ketika ada gap antara realitas yang ada di sekitar kita dan suatu standar moral atau kebenaran yang kita percayai, kita akan merasa tidak nyaman bahkan merasakan penderitaan.

Berkaitan dengan masalah kejahatan ini, setidaknya ada tiga hal yang terus dipertanyakan dari zaman ke zaman.
Pertama, berkaitan dengan alasan dan penyebab adanya kejahatan. Kedua, mengenai natur dari kejahatan itu sendiri. Ketiga, tentang solusi dari kejahatan itu sendiri. Artikel ini hanya akan membahas poin pertama, yaitu alasan dan penyebab adanya kejahatan.

Kita akan menelusuri kembali Kejadian 3 untuk mengerti mengenai alasan
dan penyebab kejahatan. Di dalam bagian ini, hanya ada sedikit oknum yang bisa kita “curigai” sebagai pelaku yang memasukkan kejahatan ke dalam dunia. Dalam Kejadian 3, kita bisa menyebutkan ada Adam,
Hawa, setan, Tuhan, serta pepohonan, bebatuan, bunga-bungaan, dan lebah dan burung.

 

Hawa

Dalam Kejadian 3, Hawa adalah manusia yang pertama kali melanggar perintah Allah. Ia memakan buah yang dilarang. Apakah ia adalah pelakunya? Namun sebelum menuduh Hawa, kita perlu melihat apakah mungkin Hawa yang menjadi pelaku yang memasukkan kejahatan ke dalam dunia. Hawa adalah manusia yang menurut Alkitab sendiri diciptakan dalam kondisi sangat baik. Jika Hawa diciptakan dengan sangat baik, berarti ia memiliki kecenderungan hati yang baik pula. Sejak diciptakan, Hawa memiliki keinginan hati ke arah yang baik. Namun, kenapa Hawa bisa menimbang-nimbang antara taat kepada Tuhan dan keinginan hatinya saat melihat buah pengetahuan yang baik dan jahat? Siapakah yang mengubah kecenderungan hati Hawa yang diciptakan baik itu? Apakah Hawa sendiri yang mengubahnya? Di sini kita harus menganalisis baik-baik. Kalau Hawa yang mengubah keinginan hatinya yang sejak awal taat dan tunduk kepada perintah Tuhan akhirnya menjadi melawan Tuhan, berarti sejak awal ia sudah tidak baik. Jadi, Hawa dalam hal ini bisa dikeluarkan dari tersangka. Ia memang adalah oknum yang melakukan dosa pertama kali, namun ia sendiri bukan yang menjadi pelaku yang memasukkan kejahatan. Ada sesuatu atau seseorang di luar Hawa yang menjadi pelaku sebenarnya.

Adam

Selanjutnya, bagaimana dengan Adam? Ia juga ada di taman bersama-sama dengan Hawa saat ia memakan buah terlarang itu. Namun seperti Hawa, Adam juga diciptakan dalam kondisi yang amat baik. Ia tidak memiliki kecenderungan hati yang salah pada awalnya. Ia juga tidak memiliki kemampuan mengubah kecenderungan hatinya sendiri, apalagi kecenderungan hati Hawa. Adam tidak memiliki kemampuan itu. Oleh karena itu, kita bisa mengeluarkan Adam juga dari daftar tersangka dalam kasus ini.

Alam

Hal yang sama tentu saja kita pikirkan terhadap pepohonan, bebatuan, bunga, lebah, burung, dan segala alam ciptaan yang juga hadir di taman saat itu. Namun, mereka lebih lemah daripada manusia. Pertama, mereka diciptakan dalam keadaan baik. Kedua, mereka impersonal, tidak memiliki keinginan, apalagi kekuatan untuk dapat mengubah manusia menjadi jahat atau memasukkan kejahatan ke dalam dunia. Es krim yang menggiurkan bisa menggoda kita untuk membatalkan diet kita, tetapi es krim tidak pernah bisa berteriak, merayu, apalagi menyuruh kita untuk memakannya. Oleh karena itu, tidak mungkin alam menjadi pelaku yang memasukkan kejahatan.

Setan

Lalu, bagaimana dengan setan? Setan sendiri adalah jahat. Pada suatu sore (mari kita berimajinasi sedikit), ialah yang memberi ide kepada Hawa adanya buah yang dilarang itu. Ia juga yang merayu Hawa untuk mempertimbangkan firman Tuhan. “Apa benar seperti itu? Benarkah firman Tuhan berbicara demikian?” Ia menyajikan segala argumen yang membuat Hawa meragukan Tuhan tanpa kekerasan, tanpa paksaan, dan tanpa ancaman. Segala tawaran dari setan terlihat baik dan sah.

Walaupun ia tidak sama seperti pepohonan dan bebatuan yang impersonal, setan tetap tidak memiliki kekuatan untuk mengubah kecenderungan yang baik menjadi jahat. Kita bisa melihat contoh saat setan mencobai Tuhan Yesus. Di situ kita bisa melihat contoh saat setan mencobai seseorang yang tidak memiliki kecenderungan hati kepada kejahatan. Tiga kali setan mencobai, dan tiga kali pula setan gagal. Tuhan Yesus tidak memiliki kecenderungan hati kepada yang jahat. Oleh karena itu, setan gagal dan tidak bisa mengubah hati yang baik itu menjadi jahat. Begitu pula saat di Taman Eden, setan memang merayu dan mencobai manusia, tetapi setan tidak bisa mengubah kecenderungan hati manusia yang awalnya adalah taat kepada Allah menjadi melawan Allah.

Kita bisa menjadi seperti Hawa yang menuduh ular, “Ia yang membuatku melakukan dosa itu!” Namun kalau kita mau bertanya lebih jauh lagi, siapa yang membuat setan menjadi setan? Bukankah Allah menciptakan segala yang baik? Allah menciptakan malaikat juga begitu baik dan ada saat di mana malaikat yang jatuh itu pun taat kepada Allah. Sebelum jatuh, setan adalah malaikat yang baik. Kalau tidak, ia tidak akan dinamakan malaikat yang jatuh. Ia setan dan sejak mulanya setan, bukan malaikat yang jatuh. Lalu, apa atau siapa yang membuat malaikat itu jatuh? Oleh karena itu, kita bisa mengeluarkan setan dari daftar tersangka yang memasukkan kejahatan pertama kali.

Allah

Sampailah kita pada analisis yang paling sulit, namun Ia adalah tersangka yang terakhir, yaitu Allah. Tuhankah yang memasukkan kejahatan ke dalam dunia ini? Bukankah Allah itu baik? Bagaimana Allah yang baik itu memasukkan kejahatan ke dalam dunia? Ini adalah pertanyaan yang tidak masuk akal. Dengan segala hormat kepada Sang Pencipta yang Mahabaik itu, marilah kita menganalisisnya.

Kita tahu bahwa Allah hadir di Taman Eden saat itu. Allah tidak bisa berkelit kalau Ia tidak hadir karena Allah Mahahadir. Apakah Allah mempunyai kuasa atau kekuatan untuk melakukannya? Tentu Ia memilikinya karena Allah Mahakuasa. Allah bisa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, bahkan Allah bisa mengubah atau memberhentikan kecenderungan hati Hawa yang mau berdosa. Kita yang sudah ditebus adalah bukti nyata karena kita telah mengalaminya secara langsung. Sebelum ditebus, kecenderungan hati kita adalah berbuat dosa. Kita selalu melawan Tuhan tetapi akhirnya Tuhan mengubah hidup kita. Tuhan bisa melihat keberdosaan kita dan mengubah kita menjadi manusia yang baru. Allah berdaulat dan sanggup mengubah kecenderungan hati ini.

Lalu, apakah Allah pelakunya? Jika ya, mengapa? Jawaban singkatnya adalah karena Allah adalah Allah. Allah yang kita kenal memiliki banyak atribut, yaitu kasih, kebaikan, kejujuran, kesetiaan, keadilan, dan semuanya itu Ia pandang baik. Dalam atribut keadilan-Nya, Ia murka terhadap segala ketidakadilan yang ada di dunia ini. Tentu saja kemarahan atau murka bukanlah hal yang najis. Murka Allah adalah murka yang kudus dan ditujukan kepada dosa. Bahkan Allah memandang murka-Nya sebagai sesuatu yang amat baik. Jika demikian, apakah alasan Allah menciptakan dunia ini salah satunya untuk menyatakan murka-Nya? R. C. Sproul Jr., dalam bukunya yang berjudul Almighty Over All, dengan
tegas menjawab “ya” bagi pertanyaan ini. Bahkan, Rasul Paulus pun menyatakan pendapat yang sama. Roma 9 memaparkan hal ini dengan jelas.

Hal ini pasti sulit diterima. Ada suatu pandangan yang populer dalam kekristenan berkaitan dengan Allah dan kejahatan. Argumen itu mengatakan bahwa Allah bukanlah pencipta kejahatan tersebut. Ia hanya membuat kemungkinan akan adanya kejahatan karena tanpa adanya kemungkinan itu, tidak ada kebebasan. Maka Allah memilih untuk menciptakan manusia dengan kehendak bebas, sehingga saat kesalahan terjadi, hal itu adalah berdasarkan pilihan manusia itu sendiri. Bukan Allah yang membuat manusia itu berdosa. Allah memang bisa saja mencegah manusia untuk melakukan kejahatan, namun Allah memilih untuk membiarkan agar menjaga martabat manusia tersebut. Namun, pandangan yang terlihat baik ini sebenarnya memiliki kelemahan yang fatal. Allah seolah-olah digambarkan sebagai pribadi yang rendah hati. Namun Allah yang demikian adalah Allah yang sebenarnya ditaklukkan di bawah prinsip otonomi manusia, seolah-olah Allah dilumpuhkan kuasa-Nya. Namun, apakah Allah yang tidak berkuasa dalam satu aspek tetap adalah Allah? Bukankah hal yang aneh saat kita membayangkan Allah yang tidak berdaya saat melihat Hawa yang sedang menggigit buah terlarang itu? Bukankah itu menyatakan bahwa Allah mempunyai kelemahan? Itu pasti bukan Allah.

Kalau Allah yang memasukkan kejahatan, apakah Ia berdosa? Tidak. Menurut Westminster Confession of Faith, dosa adalah pelanggaran terhadap kehendak Allah atau perintah-Nya, sedangkan Allah selalu bertindak sesuai kehendak-Nya, bahkan itu adalah yang paling sempurna yang pernah ada. Maka Allah tidak pernah berbuat dosa.

Tetapi, bukankah tidak adil kalau Ia sendiri yang memasukkan kejahatan tetapi Ia marah terhadap kejahatan itu? Sebenarnya hal seperti ini tidaklah aneh, karena Alkitab juga menceritakan contoh nyatanya. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allahlah yang mengeraskan hati Firaun (Kel. 9:16). Di sini kita tahu bahwa Allah sendiri yang mengangkat Firaun sampai bisa naik ke takhtanya. Dan untuk menjadi seorang tiran atas bangsa Israel, Tuhan terus mengeraskan hati Firaun. Firaun telah menjadi orang yang, secara tidak masuk akal, sangat keras kepala. Bagaimana tidak? Banyak keajaiban yang telah terjadi. Banyak mujizat yang seharusnya membuat Firaun tunduk atau takluk kepada Allah. Namun, berkali-kali Firaun keras kepala. Paulus pun menyatakan hal yang serupa dalam Roma 9:20-21, “Ia adalah Allah. Ia bisa berbuat apa pun sekehendak hati-Nya!”

Allah mempunyai rencana. Ia mempunyai kehendak. Ada rencana yang Ia ingin wujudkan. Berdasarkan prinsip inilah, Allah berhak melakukan apa pun yang Ia kehendaki. Bahkan, Ia berhak menggunakan seorang penjahat yang paling keji sekalipun, untuk menggenapi rencana-Nya. Tuhan bahkan mungkin sekali memanggil setan, lalu berkata, “Setan, pergilah ke sana, dan keraskan hati Firaun. Aku ada suatu rencana….”

Allah ingin murka-Nya pun dikenali, bukan hanya belas kasihan, kebaikan, namun juga murka. Semuanya ini untuk menggenapkan rencana dan keinginan-Nya yang kekal demi kemuliaan-Nya. Dalam hal ini kita pasti berpikir bahwa itu bukan kemuliaan. Itu adalah mencoreng kemuliaan-Nya. Dapatkah aku memuliakan Tuhan dalam corengan semacam demikian? Bisa. Memang, kita terbiasa memuliakan Allah dengan alam yang begitu indah. Kita terbiasa memuliakan Allah karena melihat cinta kasih antarmanusia. Kita terbiasa memuliakan Allah saat melihat bayi lucu yang baru lahir. Hal-hal semacam demikian secara otomatis membuat mulut kita membuka, dan lidah kita berkata, “Pujilah Tuhan!”

Tetapi masalahnya, kita telah terbiasa memuliakan Allah karena hal-hal yang kita pandang baik itu menguntungkan diri kita, bukan karena apa yang Tuhan senangi. Kita bisa bersukacita saat yang berdosa diampuni. Namun saat murka Allah dinyatakan, kita tidak bisa mengenali keindahan di dalam murka-Nya, maka kita tidak bisa melihat kemuliaan-Nya saat Tuhan menyatakan keadilan-Nya melalui penghukuman-Nya atas keberdosaan. Kita tidak membenci dosa seperti Tuhan membencinya. Kita lebih memihak kepada sesama manusia daripada Allah sendiri. Kita lebih ingin Allah versi kita daripada Allah yang sejati yang Mahaadil, bukan saja Mahakasih kepada manusia.

Apakah tujuan manusia diciptakan? Bukankah untuk memuliakan Allah? Namun versi kemuliaan Allah yang selama ini ada di dalam benak kita, dengan yang sebenarnya Allah maksudkan, sepertinya telah mengalami pergeseran makna. Sejarah telah menyatakan secara perlahan rencana Allah. Di sepanjang sejarah, kita bisa melihat kemuliaan Allah yang dinyatakan, bukan kekuasaan manusia. Allahlah yang berdaulat atas sejarah dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Maka, tidak ada yang salah dari Allah yang berdaulat atas ciptaan-Nya, yang mengarahkan segala sesuatu bagi kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, hanya di dalam Allah kita bisa menemukan kemuliaan yang sejati. Hanya di dalam Allah kita bisa menemukan segala kebaikan yang sejati. Marilah kita pada akhirnya merenungkan tulisan di atas dengan satu kutipan kalimat dari Blaise Pascal.

Kalau manusia itu bukan dibuat untuk Tuhan,

mengapa ia hanya bahagia di dalam Tuhan?

Tetapi jika manusia dibuat untuk Tuhan,

mengapa ia begitu melawan Tuhan?

– Blaise Pascal –

Thressia Hendrawan

Pemudi FIRES

Referensi:

  1. Reason of the Heart (Recovering Christian Persuasion) – William Edgar.
  2. Almighty Over All – R. C. Sproul, Jr.