Kemesraan Ini Janganlah Cepat Berlalu

“Kamu terlalu keras ngomongnya… Itu akan membuat orang yang mau datang ke persekutuan jadi enggan. Itu kan namanya membuang jiwa.…”

“Ndak usah terlalu ekstremlah… yang penting kan Kristus diberitakan.”

”Ndak usah permasalahkan doktrinlah… itu membuat kamu menghalangi orang yang ingin belajar firman Tuhan jadi enggan datang.”

“Bukankah firman Tuhan mengajarkan untuk saling mengasihi? Tapi justru omonganmu membuat orang itu jadi enggan ke gereja”.

“Gua mah gereja apa saja boleh. Kenapa sih mesti meributkan doktrin? Elu ndak baca, bukankah Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kita mesti saling mengasihi dan bersatu… Yang penting kan kita sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat… Lihat aja tuh, justru dengan mempermasalahkan doktrin, gereja jadi terpecah-belah… Ujung-ujungnya kan kita menjadi kesaksian yang buruk bagi orang dunia.…”

Kalimat-kalimat di atas sering kita dengar khususnya mereka yang terlibat di dalam pelayanan kampus, karena di kampus kita bertemu dengan orang dari berbagai denominasi. Di dalam komunitas plural ini, istilah oikumene atau pun inter-denominasi sering disebut-sebut, dan mereka yang tetap pada pendiriannya dalam menyatakan imannya berdasarkan Reformed Theology menjadi bermasalah karena dianggap terlalu ekstrem, tidak ada cinta kasih, sok benar, sempit, tidak Alkitabiah, dan sebagainya. Sebenarnya, bagaimana seharusnya seorang Kristen merespons theologi, yang notabene merupakan pemeliharaan Tuhan dalam sejarah yang diwariskan sampai kepada kita, dan isu-isu theologikal yang muncul pada zaman kita sekarang?

Dalam kuliah “Reformed Confessions” di Institut Reformed Jakarta, tanggal 20–23 April 2009, Prof. Peter A. Lillback (Rektor Westminster Theological Seminary) mengatakan bahwa pengakuan iman harus kita nyatakan dalam seluruh kehidupan kita. Pengakuan iman ini mau tidak mau akan membentuk theologi. Orang-orang yang mempunyai theologi sama ini berkumpul menjadi satu kelompok yang dinamakan denominasi. Jadi, theologi mau tidak mau akan membentuk suatu denominasi. Denominasi adalah suatu kelompok orang Kristen yang mempunyai pemahaman iman yang sama dengan hirarki dan administrasi berdasarkan pemahaman tersebut. Jadi meskipun nama gereja beda-beda tetapi bila pemahaman imannya sama maka tergolong satu denominasi. Dengan demikian suatu denominasi harus dan pasti memiliki pengakuan iman. Tanpa adanya pengakuan iman sesungguhnya gereja akan mati. Karena pengakuan iman ini dalam pengertian yang seluas-luasnya akan terekspresikan keluar dalam kehidupan sehari-hari termasuk di dalamnya adalah menjalankan Amanat Agung (Mat. 28:19-20).

Bagaimana sejarah munculnya pengakuan iman? Prof. Lillback menunjukkan perkembangan pengakuan dasar yang dimulai dari zaman gereja mula-mula. Mulai dari pengakuan Paulus yang menyatakan: “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah dapat berkata: “Terkutuklah Yesus!” dan tidak ada seorangpun yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus.” (1Kor. 12:3). Ini adalah pengakuan bahwa Kristus adalah Tuhan. Pengakuan yang mempertaruhkan hidup matinya jemaat mula-mula, dengan mengaku Kristus adalah Tuhan maka jemaat mula-mula harus siap dibunuh. Suatu kesaksian hidup yang menyatakan pengakuan total atas iman untuk hidup dan mati bagi Kristus. Kemudian diikuti dengan pengakuan bahwa Kristus adalah Tuhan dalam daging (flesh) seperti yang dikatakan dalam 1Yoh. 4:2-3, “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia.” Pengakuan ini melawan ajaran sesat yang mengajarkan bahwa tubuh Yesus hanyalah ilusi. Setelah itu diikuti dengan Pengakuan Iman Rasuli yang melawan ajaran Gnostik yang merajalela di abad mula-mula. Ini dapat terlihat di hampir setiap frasa dari Pengakuan Iman Rasuli tersebut, seperti pengakuan bahwa Yesus Kristus pernah lahir, menderita, dan mati di atas kayu salib. Dari Pengakuan Iman Rasuli kemudian berkembang kepada pengakuan iman Nicea yang menekankan ke-Tritunggal-an Allah. Pengakuan ini muncul untuk melawan ajaran sesat pada masa itu yang diajarkan oleh Arius. Arius mengajarkan Tritunggal bukanlah mempunyai 3 Pribadi, tetapi hanya 1 Pribadi dengan 3 peran yang berbeda. Ajaran Arius ini dikenal sebagai Arianisme atau Sabelianisme. Puncak dari pengakuan pada masa gereja mula-mula adalah dikeluarkannya pengakuan iman Chalcedon. Pengakuan ini dikenal karena “Doktrin Kesatuan Hipostatik” atau “Doktrin Dwi-Natur” yang mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, di mana kedua natur-Nya tersebut tidak tercampur, tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpisah.

Itulah dasar pengakuan dari seluruh pengakuan yang ada. Dari pengakuan atau credo ini kemudian dikembangkan menjadi doktrin-doktrin yang sudah kita kenal hari ini, Doktrin Allah (Tritunggal) dan Doktrin Kristus. Kedua doktrin ini menjadi dasar untuk mengerti doktrin-doktrin yang lain seperti doktrin manusia dan dosa, doktrin keselamatan, doktrin Gereja, doktrin Roh Kudus, doktrin Alkitab, dan doktrin akhir zaman. Dari doktrin kita mengerti iman kita dan mengerti bagaimana hidup ini sesuai dengan apa yang kita percaya di hadapan Allah. Maka kembali kepada pendapat-pendapat di atas, benarkah doktrin tidak penting? Benarkah doktrin tidak perlu? Jawabannya adalah doktrin itu mutlak penting dan perlu. Tanpa doktrin kita seperti berjalan tanpa kompas. Dengan doktrin kita tahu ke mana dan bagaimana kita berjalan.

Lalu doktrin dari theologi manakah yang harus kita pegang? Jelas theologi yang berlandaskan credo-credo di atas tadi. Bukankah ketika kita berbicara adanya macam-macam theologi, kita sedang membicarakan perpecahan dalam gereja?  Dalam kuliahnya, Prof. Lillback mengatakan: “Karena dosa, kebenaran yang ada pada gereja tidak absolut sehingga mau tidak mau perpecahan pasti terjadi karena akan terjadi satu (theologi) lebih dekat kepada kebenaran daripada yang lain.” Kita tidak dapat menghindari perpecahan untuk menyatakan iman kita. Sesungguhnya “pertengkaran” itu perlu untuk memurnikan iman seperti di dalam 1Kor. 11:17-19 Paulus berkata: Dalam peraturan-peraturan yang berikut aku tidak dapat memuji kamu, sebab pertemuan-pertemuanmu tidak mendatangkan kebaikan tetapi mendatangkan keburukan. Sebab pertama-tama aku mendengar bahwa apabila kamu berkumpul sebagai Jemaat, ada perpecahan di antara kamu, dan hal itu sedikit banyak aku percaya.  Sebab di antara kamu harus ada perpecahan, supaya nyata nanti siapakah di antara kamu yang tahan uji.” Maka sesungguhnya perpecahan dan perdebatan theologi menjadi sesuatu yang perlu bagi pemurnian iman gereja. Hal ini berbeda dengan semangat persatuan yang dikumandangkan oleh oikumene, di mana gereja diajak untuk tidak lagi memperdebatkan theologi, tidak lagi mementingkan theologi. Mereka mengatakan mereka alkitabiah, tetapi dari tulisan Paulus kita mengerti justru semangat ini bukan semangat yang diajarkan Alkitab.

Apa itu oikumene? Oikumene terdiri dari dua kata oikos yang artinya rumah dan menein yang artinya tinggal. Jadi oikumene berarti rumah yang ditinggali atau dalam Kekristenan artinya inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia. Maka orang-orang oikumene ini beranggapan bahwa semua harus menuju kesatuan/keesaan, tidak perlu mempermasalahkan doktrin, yang penting sama-sama bersatu percaya Tuhan Yesus. Prof. Lillback mengatakan bahwa sesungguhnya oikumene itu tidak ada. Kalaupun ada, oikumene harus didasarkan pada doktrin yang sama. Karena Gereja Tuhan berdiri di atas pengakuan iman, pengakuan iman kemudian menghasilkan doktrin, dan doktrin yang menuntun kehidupan jemaat Tuhan secara benar. Maka di luar itu sesungguhnya tidak ada kesatuan. Kesatuan gereja tanpa kesatuan iman, doktrin, dan praktika kehidupan adalah omong kosong.

Jika kita mengerti hal tersebut di atas, maka kita mengerti mengapa perpecahan timbul dan mau tidak mau harus ada sepanjang kita hidup di dunia berdosa. Lalu, bagaimana dengan kemesraan kesatuan gereja Tuhan? Bubarkah? Kemesraan tetap tidak akan cepat berlalu. Kemesraan akan tetap ada dan harus ada dalam kebenaran. Memang tampak adanya perpecahan, tampak adanya ketidaksatuan, tampak adanya ketidakbelaskasihan, tetapi semuanya itu hanya fakta keberdosaan kita yang akhirnya dipakai Tuhan untuk memurnikan Gereja-Nya. Kesatuan yang sejati, belas kasihan yang sejati hanya ada bila kita sama-sama kembali kepada kebenaran. Kebenaran yang dilandaskan pada doktrin yang benar yang keluar dari pergumulan perdebatan yang menghasilkan pengakuan-pengakuan/kredo-kredo sejak gereja mula-mula sampai kepada pergumulan perdebatan theologi yang akan menghasilkan doktrin yang semakin sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.

Ingin kemesraan ini tidak cepat berlalu? Let’s do it…

 

Diana Samara

Pembina FIRES