Allah yang sejati, Allah Alkitab, adalah Allah yang sekaligus transenden dan imanen. Sifat transendensi Allah itu berarti bahwa Allah berbeda secara esensial dari ciptaan-Nya. Ia berada di atas sana, jauh dari jangkauan manusia. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:8-9). Sifat imanensi Allah itu berarti bahwa Allah itu dekat, hadir, menopang seluruh ciptaan-Nya, dan bahkan berinteraksi secara dinamis dengan ciptaan-Nya. Rasul Paulus menulis, “… segala sesuatu ada di dalam Dia (Kristus)” (Kol. 1:17). Dalam khotbahnya di Atena, di Areopagus, di hadapan para filsuf Yunani, Rasul Paulus berkata, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga” (Kis. 17:28). Karena Allah dalam relasi-Nya dengan ciptaan bersifat sekaligus transenden dan imanen, maka ada aspek keterbukaan dan ketersembunyian dalam kehendak Allah. Keterbukaan dan ketersembunyian kehendak Allah ini terangkum di dalam satu perkataan yang dikhotbahkan Musa di hadapan umat Israel: “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ul. 29:29).
Hal ini – sifat keterbukaan dan ketersembunyian dari Allah – mengakibatkan manusia tidak bisa mengerti kehendak Allah dengan usaha intelektualitasnya. Pada akhir Abad Pertengahan, terdapat dua aliran theologi yang disebut intellectualism dan voluntarism. Orang-orang dari aliran intellectualism percaya bahwa kehendak Allah itu tidak random, tetapi memiliki dasar rasional yang dapat dimengerti oleh manusia. Namun kaum intelektual menekankan hal ini sampai kepada ekstrem bahwa kita dapat memprediksi apa yang akan Allah kehendaki berdasarkan intelekt kita. Bagi para intelektual, Allah harus menciptakan dunia ini, kejatuhan harus terjadi, dan Allah harus menjadi manusia untuk menebus umat-Nya. Berbeda dengan kaum voluntaris yang menekankan kehendak Allah yang berada di atas segala aturan rasional. Bagi kaum voluntaris, Allah tidak harus menciptakan dunia ini dan ia tidak harus menebus manusia berdosa. Jika Allah melakukan semua itu, itu adalah out of his own good pleasure: karena Ia menghendaki hal itu. Sebenarnya adalah suatu kesalahan yang mendasar jika kita melihat Allah seolah-olah Dia seperti manusia yang memiliki intelekt dan kehendak yang mungkin terpecah. Bagi Allah kehendak-Nya adalah kebaikan, dan kebaikan adalah kehendak-Nya. Namun kita lebih condong untuk setuju kepada posisi voluntaris, karena di dalam sejarah ada kehendak Allah yang tersembunyi, yang sering kali berada di luar jangkauan prediksi intelektual manusia, tetapi sedang Allah bukakan sedikit demi sedikit kepada umat-Nya. Penyataan Allah dalam sejarah ini tidak mungkin bertentangan dengan firman-Nya yang tertulis (karena Allah tidak mungkin berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri), dan juga tidak menambah esensi dari firman yang tertulis. Penyataan ini yang biasa kita sebut pimpinan dinamis dari Roh Kudus.
Nabi adalah seorang yang dipanggil khusus oleh Allah untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada umat-Nya. Para nabi adalah orang-orang yang peka akan pimpinan dinamis Roh Kudus yang mendorong mereka untuk bertindak di dalam konteks hidup mereka. Para nabi sadar bahwa Allah yang transenden sedang bekerja secara imanen di dalam dunia dan sedang membangun kerajaan-Nya yang dikepalai oleh Sang Mesias. Di dalam perjuangan pergerakan kerajaan Allah ini, para nabi peka akan kehendak Allah pada zamannya: bukan tanpa Taurat, tetapi justru dengan hukum Taurat sebagai dasarnya, “supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ul. 29:29).
Jabatan nabi berbeda dengan jabatan raja dan jabatan imam. Berbeda dengan raja, nabi berfungsi di luar dari kuasa politik dan bertugas untuk mengoreksi pelaksana kuasa politik yang menyeleweng dari kehendak Allah. Memang, ada figur seperti Raja Daud, yang walaupun adalah raja, namun menjalankan fungsi seorang nabi juga. Tetapi, secara umum, seseorang yang memegang kuasa politik dan melaksanakan pemerintahan secara natur lebih sulit untuk mengoreksi diri dan membutuhkan satu pihak luar yang mengamati dan mengoreksi mereka. Contohnya adalah Nabi Natan yang dengan tegas dan bijaksana menegur Raja Daud yang menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan dirinya yang berdosa. Demikianlah tugas para nabi dalam relasinya dengan raja.
Berbeda pula dengan imam, nabi memiliki kepekaan yang segar akan kehendak Allah yang mengoreksi praktik-praktik keagamaan yang dijalankan oleh para imam ketika praktik-praktik tersebut sudah menyeleweng dari maksud asli Allah. Maka Nabi Yesaya menyampaikan teguran dari TUHAN Allah kepada orang Israel demikian, “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?” firman TUHAN; “Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai” (Yes. 1:11). Ritual para imam bisa kehilangan esensi, sehingga nabi yang memiliki kepekaan akan situasi tersebut harus melayangkan teguran dari TUHAN bagi umat-Nya.
Jika jabatan imam menekankan pentingnya ingatan (memory) dan kesetiaan untuk mengingat dan menjalankan segala detail Taurat untuk dijalankan dalam ritual rutin umat Allah, jabatan raja menekankan pentingnya tindakan (action) dalam mengaplikasikan keadilan dan kebenaran Taurat di dalam kehidupan umat, kita melihat bahwa jabatan nabi menekankan pentingnya kepekaan (sensitivity) akan suara Allah yang dinyatakan kepadanya pada konteks hidupnya.
Yesaya bernubuat, “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang” (Yes. 50:4-5).
Kita mempelajari tiga aspek dari kepekaan seorang nabi dalam relasinya dengan kehendak Allah. Aspek pertama adalah penyerahan hidup secara total bagi Allah: “Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang.” “Membuka telinga” di sini bukan sekadar pernyataan figuratif tentang seseorang yang mendengar, tapi memiliki arti literal, yakni pelubangan telinga seorang budak oleh tuannya. Di ayat ini, nabi digambarkan sebagai seorang budak yang telinganya telah ditindik oleh pemiliknya sebagai tanda bahwa ia telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk taat kepada tuannya. Seorang nabi haruslah memiliki hati yang total kepada tuannya, seperti doa John Calvin yang mengatakan, “Kupersembahkan hatiku kepada-Mu, ya Tuhan, segera dan setulusnya.” Maka, pertama-tama, seorang nabi harus peka akan hatinya sendiri, supaya hatinya tidak menyeleweng dari penyerahan total kepada TUHAN.
Aspek yang kedua adalah telinga yang tajam: “Setiap pagi ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.” Seorang nabi tidak boleh menambah atau mengurangi perkataan TUHAN Allah. Ia harus menyampaikan isi hati TUHAN Allah seutuhnya dan setepat mungkin. Untuk melakukan tugas ini, ia harus memiliki pendengaran yang tajam, yang telah dilatih secara disiplin dan terus-menerus untuk peka akan suara TUHAN. Kita mengingat bagaimana ketika Samuel masih remaja dan melayani imam Eli, ia dilatih oleh TUHAN untuk peka mendengar suara TUHAN. Suatu malam, ia mendengar satu suara yang memanggil namanya. Ia menyangka itu adalah suara imam Eli. Dengan segera Samuel datang kepada imam Eli yang sedang tidur, tetapi ironisnya imam Eli tidak sadar bahwa itu ialah suara TUHAN. Suara itu terdengar sampai tiga kali, dan di panggilan yang ketiga itu imam Eli sadar bahwa TUHAN-lah yang sedang memanggil Samuel. Ia mengajar Samuel bagaimana berespons kepada suara TUHAN: “Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam. 3:9). Maka Samuel pun taat dan menjawab demikian ketika TUHAN memanggilnya kembali. Latihan untuk mendengar itulah yang menjadi awal pelayanan nabi Samuel.
Sering kali kita ingin terlalu cepat berbicara dan mengajar tanpa terlebih dahulu dilatih untuk mendengar. Plutarch berkata bahwa alam memberikan kepada kita dua telinga, namun hanya satu mulut. Itu berarti bahwa kita harus terlebih dahulu terlatih untuk mendengar sebelum kita berbicara. Mendengar itu bukanlah sekadar persepsi indrawi, tapi merupakan suatu sikap hati. Jika hati kita luas, maka hati kita dapat menampung banyak hal. Dari berbagai hal yang ditampung tersebut, kita renungkan, gumulkan, sampai kita dapat menemukan kesimpulan sementara dari apa yang telah kita dengar. Hanya orang yang banyak mendengar yang dapat membeda-bedakan kualitas dari suatu pengajaran. Samuel mengajar kita untuk membuka telinga kita, apalagi jika yang berbicara adalah TUHAN sendiri.
Terlebih lagi, Samuel berespons dengan cepat ketika ia dipanggil. Ini kontras dengan kita yang suka mengabaikan panggilan pertama, seperti bunyi alarm di pagi hari. Kita tidak memiliki kesegeraan yang dimiliki oleh Samuel. Padahal Tuhan Yesus sendiri memiliki kesegeraan demikian dalam mendengar dan melaksanakan kehendak Bapa-Nya, seperti terefleksi dalam seringnya kemunculan kata “segera” dalam Kitab Markus. Sikap segera dalam berespons ini perlu dilatih, karena orang yang sudah terbiasa mengabaikan panggilan pertama tidak akan lagi memiliki kepekaan akan panggilan tersebut.
Selain analogi ‘mendengar’, Alkitab juga menggunakan analogi ‘melihat’ dalam menggambarkan kepekaan persepsi seorang nabi. Elisa berdoa kepada TUHAN agar Ia memberikan penglihatan kepada hambanya bahwa TUHAN dan malaikat-malaikat-Nya ada berada bersama dengan Elisa, demikian doanya, “Ya TUHAN: Bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat” (2Raj. 6:17). Demikian pula Tuhan Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat kerajaan Allah” (Yoh. 3:3). Visi yang jernih ini berbuah dari satu kemurnian hati, karena Tuhan Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8).
Aspek ketiga dari kepekaan seorang nabi adalah kepekaan dalam berbicara: “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu.” Seorang nabi tidak berhenti kepada kepekaan terhadap hatinya sendiri, kepekaan akan suara dan visi dari Tuhan, tapi juga kepekaan dalam menyampaikan isi hati TUHAN kepada umat-Nya. Seorang nabi tidak boleh sembarangan dalam berbicara. Maka TUHAN melatih seorang nabi untuk berbicara.
Cicero, seorang filsuf Romawi yang tidak mengenal TUHAN, mengajarkan bahwa retorika itu sama pentingnya dengan filsafat. Filsafat yang berhenti di otak dan tidak terpancar dalam perkataan dan perbuatan itu tidak berguna. Maka dalam teori pendidikannya, ia ingin mendidik seseorang untuk menjadi orator yang ideal, karena orator bukan saja memiliki pengetahuan, tetapi juga dapat menyampaikan pengetahuan itu kepada khalayak ramai, sehingga banyak orang dapat menikmati dan digerakkan oleh pengetahuan yang telah mereka pelajari.
Begitu pula seorang nabi tidak hanya berhenti “menikmati” secara pribadi suara dan visi dari TUHAN Allah. Tugas utamanya justru adalah untuk berbicara, menyampaikan isi hati TUHAN kepada umat-Nya. Dari hati yang murni dan berkomitmen total kepada TUHAN, dari telinga dan mata yang tajam untuk menerima pesan dari TUHAN, maka mengalirlah ucapan-ucapan bernilai yang disampaikan kepada umat Allah. Ucapan-ucapan itu tidak selalu manis: ada yang tajam mengiris hati, ada yang pahit menelanjangi fakta keberdosaan, dan ada pula yang cemerlang seperti permata memberikan pengharapan akan janji dan kesetiaan Allah.
Yesaya meneruskan dengan memberikan tujuan dari lidah yang terlatih dari seorang nabi, yaitu “supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu.” Perkataan seperti apakah yang dapat memberi semangat baru kepada yang letih lesu? Tidak ada perkataan manusia yang dapat memberikan semangat dan pengharapan yang sejati, selain daripada perkataan-perkataan yang menunjuk kepada kedatangan Sang Mesias. Maka puncak dari pelayanan perkataan seorang nabi adalah ketika perkataan tersebut menunjuk kepada Yesus Kristus, sumber keselamatan dan pengharapan yang sejati. Maka, Yesus Kristus, Sang Nabi Allah yang adalah kegenapan dari seluruh nabi, berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:28-29).
Sekalipun jabatan nabi sudah tidak ada pada saat ini, namun setiap orang Kristen dipanggil untuk menjalankan fungsi seorang nabi. Sama seperti Kristus menjalankan fungsi Nabi, Imam, dan Raja (dalam pengertian Gembala), maka pengikut-pengikut Kristus pun harus menjalani ketiga fungsi tersebut. Ketika kita menjalankan fungsi nabi, aspek pertama yang perlu kita miliki adalah kita perlu peka akan hati kita sendiri: lihatlah apakah hati kita berkomitmen total kepada TUHAN? Apakah kita peka ketika hati kita mulai serong? Apakah kita segera bertobat ketika kita menyadari hal itu? Aspek kedua, kita harus memiliki telinga dan mata yang tajam, peka akan pimpinan Roh Kudus yang memimpin kita dalam perjuangan kita bagi Kerajaan Kristus di dalam dunia ini. Aspek ketiga adalah kita harus peka akan bagaimana kita berbicara kepada dunia ini, yang berpuncak kepada ucapan-ucapan kita yang menunjuk dan meninggikan Yesus Kristus, Sumber penghiburan manusia yang sejati.
Tulisan ini terinspirasi oleh khotbah Pdt. Antonius Steven Un di GRII Karawaci, pada tanggal 18 Mei 2014. Beliau mengatakan bahwa kita perlu berdoa sungguh-sungguh supaya ada orang-orang yang memiliki jiwa nabi, yang memiliki kepekaan akan isi hati TUHAN, yang dibangkitkan oleh TUHAN untuk zaman ini. Biarlah kita juga dengan setia mendoakan hal ini dalam doa pribadi kita, demi Kerajaan Kristus.Dunia memerlukan nabi-nabi Allah, penyambung lidah TUHAN, yang menyampaikan kabar penghiburan yang terbesar bagi umat manusia. Kristus sudah menjalankan fungsi-Nya sebagai Sang Nabi. Apakah engkau mau mengikut Kristus dan, sebagai pengikut Kristus, mau menjalankan fungsimu sebagai seorang nabi?
Andi Soemarli Rasak
Pemuda GRII Bandung