,

Konsep Gereja di dalam Perjanjian Lama

Setiap orang memiliki sejarah, baik yang sifatnya personal seperti sejarah leluhur keluarga, hingga yang komunal seperti sejarah suku bangsa. Sejarah tidak pernah bisa kita abaikan ataupun tinggalkan. Seperti kalimat yang sering kali dikutip oleh Pdt. Stephen Tong dari tulisan seorang sejarawan Will Durrant bahwa seorang yang kehilangan atau tidak lagi tahu akan masa lalunya adalah seorang yang tidak memiliki identitas. Tetapi justru ironisnya adalah pembelajaran mengenai sejarah bukanlah pembelajaran yang diminati. Lebih banyak orang yang antusias mempelajari masa depan daripada masa lalu. Ini dapat terlihat dari perbandingan jumlah jemaat yang mengikuti pembelajaran mengenai akhir zaman dengan yang mengikuti pembelajaran akan sejarah Gereja. Seharusnya pembelajaran akan masa lalu, masa yang akan datang, maupun masa kini, semuanya adalah pembelajaran yang penting untuk kita dalam mengetahui identitas diri kita, apa yang menjadi tugas kita saat ini, dan ke mana kita akan mengarahkan hidup kita. Apalagi kita sebagai Gereja yang merupakan tubuh Kristus, pusat dari pernyataan kehendak Allah bagi dunia, mengerti bagaimana sejarah umat Allah adalah hal yang sangat krusial, karena hal ini yang akan mengajarkan kepada kita mengenai siapa kita sebagai umat Allah ini.

Sejarah umat Allah bukan dimulai dari kedatangan Kristus yang pertama, tetapi dimulai sejak Taman Eden saat Allah menjanjikan seorang anak perempuan yang meremukkan kepala ular. Janji Allah ini diteruskan dari generasi ke generasi. Semakin lama janji Allah ini semakin jelas dan utuh. Panggilan Allah kepada Abraham untuk keluar dari Ur dan berjanji untuk menjadikannya bangsa yang besar, di mana melalui bangsa ini berkat Tuhan akan diberikan bagi dunia. Bangsa inilah yang dinamakan bangsa Israel. Melalui Yakub, Tuhan menjadikan bangsa ini besar di tanah Mesir dan memanggil mereka keluar dari perbudakan Mesir. Lalu, di Sinai Tuhan membuat perjanjian dengan bangsa ini dan memberikan 10 hukum kepada mereka. Tuhan juga menyediakan tanah perjanjian bagi bangsa tersebut di mana kerajaan Israel terbentuk. Tuhan membangkitkan Daud menjadi raja bagi kerajaan Israel. Cerita terus berlanjut hingga keberdosaan bangsa tersebut membuat bangsa ini Tuhan pecahkan menjadi dua dan keduanya Tuhan buang ke tangan bangsa kafir yang tidak mengenal Allah. Meskipun di dalam pembuangan, Tuhan tetap memelihara bangsa tersebut dengan membangkitkan nabi demi nabi yang menjadi perantara Allah dan umat-Nya, yang membawa teguran Allah atas dosa-dosa umat-Nya dan menubuatkan akan pemulihan dan pembaruan bangsa tersebut. Janji ini diteruskan hingga titik di mana Kristus yang adalah Allah itu sendiri, berinkarnasi turun ke dalam ciptaan dan menggenapkan janji Allah. Melalui Kristus, perjanjian antara Allah dengan umat-Nya memasuki suatu level yang baru di mana perjanjian ini berlaku bukan hanya untuk bangsa Israel saja tetapi bagi seluruh bangsa, seluruh umat manusia yang percaya kepada Kristus. Dan di dalam perjanjian baru inilah Gereja Tuhan dibentuk dan kita semua sebagai umat yang percaya kepada Kristus menjadi anggota tubuh Kristus.

Di sini kita bisa melihat dinamika kisah umat Allah di dalam Perjanjian Lama. Dinamika yang secara umum memiliki pola yang sama dan berulang “Berdosa – Dibuang – Pemulihan” di sepanjang kisah Perjanjian Lama. Tetapi di dalam pola inilah kita bisa melihat bagaimana Tuhan berbelaskasihan dan beranugerah dalam memelihara umat-Nya. Umat Allah adalah milik Allah. Di kisah yang progressive inilah kita bisa melihat bagaimana dinamika relasi antara Allah dengan umat-Nya berkembang secara progresif. Alkitab menggunakan berbagai bentuk dalam menggambarkan relasi antara Allah dengan umat-Nya yang akan memberikan kepada kita pengertian mengenai identitas umat Allah tersebut. Edmund D. Clowney menjabarkan setidaknya ada tiga sebutan dalam menggambarkan relasi antara Allah dengan umat-Nya.

God’s Assembly
Berkali-kali di dalam Perjanjian Lama dinyatakan bahwa Allah mengumpulkan bangsa Israel ke hadapan-Nya. Ada beberapa tujuan dikumpulkannya bangsa Israel ini, salah satunya adalah untuk membuat atau memperbarui perjanjian. Salah satu peristiwa yang signifikan di dalam sejarah umat Allah adalah dikumpulkannya bangsa Israel di gunung Sinai untuk membuat perjanjian dengan Allah, dan masih banyak kisah lainnya yang berkaitan dengan perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Selain kaitannya dengan perjanjian, bangsa Israel pun diperintahkan untuk berkumpul tiga kali setahun (Passover, Pentecost, and the Feast of the Tabernacles) untuk membawa persembahan dan beribadah kepada Tuhan (Kel. 23:14-17, Im. 23). Di sini kita dapat melihat bahwa perkumpulan ini memiliki arti yang sangat penting bagi sejarah bangsa Israel. Seperti yang dikatakan oleh John Murray, perkumpulan umat Allah bukan suatu kisah sejarah yang berlalu begitu saja, bukan suatu pertemuan yang bersifat sementara tetapi pertemuan ini sendiri merupakan ciri khas yang permanen dari identitas bangsa Israel. Hal ini juga menjadi fondasi bagi konsep Gereja di Perjanjian Baru. Seluruh umat Allah yang adalah orang-orang percaya yang telah menerima anugerah keselamatan dari Allah, dikumpulkan untuk mendengarkan firman Tuhan dan untuk beribadah kepada-Nya. Inilah salah satu identitas umat Allah, yaitu umat yang berkumpul untuk beribadah kepada Allah. Inilah kesinambungan antara konsep umat Allah di dalam Perjanjian Lama dengan konsep Gereja di dalam Perjanjian Baru. Pertemuan kita sebagai umat Allah bukanlah sebuah pertemuan biasa dengan tujuan yang tidak jelas, tetapi sebuah pertemuan di mana Allah yang berdaulat hadir di tengah-tengah perkumpulan ini dan hal itulah yang menjadi identitas pembeda antara umat Allah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya.

God’s Dwelling
Kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya tidak hanya sekadar hadir saja tetapi dikatakan Tuhan diam di tengah-tengah umat-Nya. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya perintah Tuhan bagi umat-Nya untuk membuat Tabut Perjanjian yang di sepanjang Perjanjian Lama melambangkan kehadiran Tuhan hingga akhirnya Bait Allah dibangun pada zaman Raja Salomo. Baik Tabut Perjanjian maupun Bait Allah memiliki aturan masing-masing yang menggambarkan kekudusan Allah. Ruang Mahakudus yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang, begitu juga Tabut Perjanjian yang tidak bisa seenaknya dibawa ke sana ke mari, tetapi ada satu aturan yang harus dipatuhi oleh bangsa Israel. Hal ini menggambarkan kekudusan Allah yang tidak bisa dipermainkan seenaknya oleh umat-Nya. Tinggalnya Allah bersama-sama dengan umat-Nya menunjukkan bahwa bangsa Israel adalah milik Allah dan mereka berbeda dari bangsa-bangsa lainnya (Kel. 33:16). Hal ini digambarkan dengan beberapa kali bangsa Israel disebut sebagai a holy nation (Kel. 19:6). Bangsa yang memiliki Tuhan yang hidup dan menuntut kekudusan. Di sini kita melihat kesinambungan antara umat Allah di zaman Perjanjian Lama dengan orang percaya di Perjanjian Baru. Keduanya adalah sama-sama milik Allah di dalam satu tubuh di mana keberadaannya haruslah memiliki kekudusan yang mencerminkan Allahnya. Dengan demikian etika, cara berpikir, tingkah laku umat Allah haruslah berbeda atau jauh dari cara hidup dunia yang berdosa ini.

God’s Chosen
Bangsa Israel juga disebut sebagai Umat Pilihan Allah. Bangsa yang dipilih oleh Allah menjadi kepunyaan-Nya. Pilihan Allah bukan didasarkan pada kualitas bangsa Israel tetapi pada kerelaan kehendak Allah untuk menjadikan bangsa Israel milik kepunyaan-Nya (Ul. 7:7-8). Sebagai umat pilihan, Allah tidak menjadikan bangsa Israel bersombong lalu bersantai-santai menjalankan hidup karena memiliki privilege menjadi umat pilihan Allah. Sebagai bangsa pilihan Allah, Israel bertugas untuk melayani Tuhan, menjadi berkat bagi seluruh bangsa (Mzm. 67:3). Meskipun ada masa di mana Israel memberontak kepada Allah, berbuat dosa hingga akhirnya Tuhan membuang mereka, tetapi bangsa ini tetap Tuhan bangkitkan kembali, dan Tuhan memakai mereka untuk menjadi saluran berkat bagi bangsa lain. Konsep bangsa pilihan Allah tidak lagi diartikan secara lahiriah melainkan secara rohani yaitu siapa yang percaya kepada-Nya dan menerima-Nya sebagai satu-satunya Juruselamat. Di sini kita kembali bisa melihat dasar kenapa umat Allah harus melayani, karena sejak awal umat Allah dipilih untuk melayani dan menjadi berkat bagi semua bangsa di dunia ini.

Dari ketiga gambaran relasi Allah dengan umat-Nya kita dapat mempelajari beberapa hal. Pertama, ibadah adalah hal yang sangat penting dan yang tidak terlepas dari kehidupan umat Allah. Melalui ibadah kita memperoleh firman Tuhan yang menjadi dasar pembentukan kehidupan yang diperkenan Allah. Konsep ibadah yang dibentuk adalah konsep ibadah komunal, di mana persekutuan antara umat Allah terjadi. Kita bisa melihat bahwa relasi vertikal dan horizontal terbentuk. Inilah yang menjadi prinsip dasar komunitas Gereja. Relasi dengan Allah terbentuk dan mendasari relasi dengan sesama umat percaya.

Kedua, kita bisa mempelajari bahwa umat Allah memiliki tuntutan untuk memiliki atau menjaga kekudusan karena Allah tidak sekadar hadir di tengah umat-Nya, tetapi juga tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Kekudusan bukan hanya tuntutan dalam kehidupan moral tetapi mencakup pikiran dan tingkah laku atau gaya hidup seluruh umat Allah. Kehidupan yang tidak membiarkan diri dibawa arus dunia tetapi membangun seluruh kehidupan yang didasarkan pada firman Tuhan sehingga keberadaan umat Allah memiliki ciri khas dibandingkan kelompok-kelompok lain yang ada di dunia ini.

Terakhir, umat Allah memiliki tanggung jawab dalam melayani Tuhan dan menjadi berkat bagi dunia. Sebagai umat pilihan Allah, salah satu kewajiban yang harus dijalankan adalah melayani Allah yang tidak dibatasi gedung gereja, tetapi benar-benar di dalam seluruh hidup. Setiap hal dilakukan sebagai sebuah pelayanan yang berkenan kepada Tuhan.

Biarlah kesinambungan konsep umat Allah dalam Perjanjian Lama dengan Gereja sebagai tubuh Kristus dalam Perjanjian Baru menyadarkan kita akan makna penting Gereja. Gereja hadir di tengah-tengah dunia bukan sekadar suatu perkumpulan, tetapi sebagai bagian dari kesinambungan rencana besar Allah di tengah-tengah dunia untuk memberitakan kebenaran Sang Pencipta dan membawa ciptaan yang sudah menyimpang untuk berbalik kepada Bapa yang di sorga.

Simon Lukmana
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
Clowney, E. (1995). The Church. Illinois: InterVasity Press.
Frame, J. (2013). Systematic Theology – A Introduction to Christian Belief. New Jersey: P&R Publishing.
Pate, C., Duvall, J., Hays, J., Richards, E., Tucker, W., & Vang, P. (2004). The Story of Israel. Leiceser, England: Apollos.
Reymond, R. (1998). A New Systematic Theology of Christian Faith. Tennessee: Thomas Nelson.