“Bergegaslah untuk menyatakan dirimu kepada Allah sebagai seorang yang dinilai layak, seorang pekerja yang tidak malu atas kualitas pekerjaannya, yang dengan benar menafsirkan sabda kebenaran.” (2Tim. 2:15)
Manusia modern seringkali memandang dirinya sebagai pribadi yang tanpa konteks. Kita menganggap diri kita seolah-olah terlempar dari planet lain ke Bumi, kemudian dengan seonggok kehendak bebas menentukan sendiri nasib dan masa depannya. Diktum eksistensialisme, “Eksistensi mendahului esensi,” menjadi cara pandang yang wajar bagi kebanyakan dari kita. “Manusia itu bebas, maka robeklah dirimu dari segala konteks yang membelenggu, dan jadilah dirimu sendiri,” seru jiwa eksistensialis dalam diri kita. Implikasi ekstrem dari cara pandang ini bahkan melepaskan manusia dari konteks biologisnya untuk menentukan identitas gender, yang terus menerus beranak-pinak dari LGBT menjadi LGBTQIA2s+, dan seterusnya. Paradigma yang sebenarnya absurd ini sudah menjadi paradigma yang dihidupi sehari-hari, dan paradigma yang sama inilah yang membuat banyak orang melakukan eisegesis ke dalam Alkitab.
Eisegesis adalah proses interpretasi Alkitab dengan cara mengambil ayat-ayat Alkitab, merobeknya dari setiap konteksnya, lalu menggunakannya untuk mengonfirmasi atau menyampaikan ide yang sebelumnya sudah kita pegang. Proses interpretasi yang tepat, eksegesis, seharusnya menggali keluar apa yang ada di dalam teks di dalam segala rajutan konteksnya, dan dari proses itulah kita mendapatkan firman Allah yang indah dalam segala kemurniannya.
Sebagai domba-domba yang dikasihi oleh Sang Gembala Agung, kita dikaruniai padang yang berumput hijau, yakni kelimpahan hidangan rohani untuk mengenyangkan jiwa kita yang lapar. Sang Firman Hidup menganugerahkan kepada kita firman-Nya yang memandu kita ke dalam hidup yang berkelimpahan. Firman itu diintisarikan bagi kita dalam bentuk teks, yakni Alkitab, yang diembuskan makna oleh Roh Allah sehingga bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik kita dalam kebenaran (2Tim. 3:16). Namun sayangnya, teks Alkitab seringkali kita selewengkan, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, sehingga teks tersebut tidak mengenyangkan jiwa kita sebagai domba-domba Allah ataupun memandu anak-anak Allah ke dalam hidup yang berkelimpahan.
Itulah sebabnya ketika Rasul Paulus meminta Timotius untuk mempercayakan pengajaran yang murni yang telah ia terima kepada orang-orang yang dapat dipercaya dan cakap mengajar (2Tim. 2:1), Rasul Paulus memperingatkan agar orang-orang ini tidak bersilat kata menggunakan ayat-ayat Kitab Suci dan malah mengacaukan pengertian jemaat (2Tim. 2:14): silat kata yang demikian adalah omongan yang kosong dan tak suci, yang hanya akan menambah kefasikan (2Tim. 2:16). Rasul Paulus mendorong agar orang-orang ini dengan benar menafsirkan sabda kebenaran bagi jemaat Allah (rightly handle the word of truth, 2Tim. 2:15), agar sabda kebenaran itu sungguh-sungguh berdampak pada pengudusan kita.
Firman itu diintisarikan bagi kita dalam bentuk teks, yakni Alkitab, yang diembuskan makna oleh Roh Allah sehingga bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik kita dalam kebenaran (2Tim. 3:16).
Kunci utama (master key) untuk menafsirkan Alkitab, dan sebenarnya juga untuk menafsirkan semua teks, adalah konteks. Seperti satu pepatah yang mengatakan,
“A text without a context is a pretext for a proof-text.” Dengan kata lain, sebuah teks yang disajikan tanpa konteks adalah sebuah alat pembenaran untuk menyampaikan makna yang lain daripada yang sesungguhnya teks tersebut suguhkan. Bukankah itu yang seringkali kita dapati ketika kita mendengarkan khotbah di gereja, membaca renungan, ataupun menyimak sharing yang diberikan oleh kakak-kakak rohani di kelompok-kelompok pemuda? Satu ayat dikutip, dirobek paksa dari tenunan indah keutuhan Kitab Suci, lalu ditempel paksa untuk menyampaikan tema dan agenda yang sudah terlebih dahulu ditentukan oleh si pengajar. Misalnya, Filipi 4:13, “Aku dapat melakukan segala sesuatu melalui Dia yang memberikan kekuatan kepadaku,” seringkali dikutip sebagai ayat motivasional yang menjamin anak-anak Allah bisa sukses dalam apa pun yang mereka lakukan. Padahal, ayat itu sedang menyatakan bagaimana Paulus dapat melewati kelimpahan maupun kekurangan karena merasa puas ketika bersandar kepada kekuatan Allah di dalam Kristus. Praktik-praktik penyelewengan teks demikianlah yang membuat jemaat tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Allah ataupun bijaksana sorgawi. Oleh karena itu, marilah kita belajar untuk mencerna teks Alkitab dengan kearifan (discernment), yakni dengan memahami setiap konteks yang menjadi fondasi makna dari setiap teks di dalam Alkitab.
Berikut ini adalah panduan singkat yang perlu kita perhatikan untuk menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci dengan arif:
- Bacalah Kitab Suci dengan kegentaran dan hormat terhadap firman Allah
Sikap mula-mula kita terhadap Kitab Suci menentukan cara kita menafsir. Dengan sikap yang gentar dan hormat, kita akan terus-menerus sadar bahwa kita tidak boleh sembarangan menafsir: teks Alkitab bukan untuk kita permainkan. Firman Allah berotoritas di atas kita untuk terus-menerus mengoreksi pengertian kita.
Ketika kita menafsir, kita sedang berada di dalam satu siklus hermeneutik: TUHAN Allah memberikan firman-Nya dalam bentuk teks, kita mendekati teks dengan pengertian mula-mula kita (pra-pengertian), kemudian proses pembacaan teks melakukan koreksi terhadap pra-pengertian kita, yang kemudian kita pakai kembali untuk membaca teks secara lebih tepat, dan seterusnya.
- Lakukanlah analisis genre
Kita tentu tahu dalam keseharian kita bahwa cara membaca berita tentu saja berbeda dengan cara membaca puisi, cara membaca artikel eksposisi berbeda dengan cara membaca opini argumentatif, cara membaca sejarah dan seterusnya. Maka, sebelum kita mulai membaca dan menafsirkan, kita perlu membuat dugaan sementara mengenai genre dari teks yang kita baca, untuk kemudian kita benturkan dengan keutuhan teks yang kita baca untuk menguji apakah dugaan kita mengenai genre teks tersebut sudah tepat. Tanpa interpretasi genre yang tepat, tidak mungkin kita mendapatkan penafsiran teks yang tepat.
- Bacalah satu kitab dalam keutuhannya
Agar kita tidak merobek ayat Kitab Suci dari konteksnya, kita perlu belajar disiplin untuk melihat satu kitab dalam keutuhannya. Misalnya, Surat Paulus kepada Jemaat Efesus kita baca secara utuh terlebih dahulu sebelum kita mengambil kesimpulan mengenai makna yang tepat dari satu ayat di kitab tersebut.
Pada saat kita membaca satu kitab secara utuh, kita perlu mencari berbagai informasi berikut:- Penulis kitab dan pendengar mula-mula yang dituju oleh penulis teks (original audience)
- Konteks sejarah dari penulisan kitab tersebut
- Tujuan penulisan teks
- Alur dari berbagai gagasan pokok yang disampaikan
- Lakukanlah analisis historis dan budaya
Alkitab adalah sekumpulan kitab-kitab yang ditulis dalam konteks sejarah, budaya, dan linguistik yang spesifik, untuk menyampaikan sabda TUHAN Allah kepada pendengar mula-mula pada konteks tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami teks dengan lebih tepat, kita perlu memperhatikan aspek sosial-budaya dan linguistik di konteks ketika teks yang kita baca mula-mula diwahyukan. Roh Kudus mewahyukan teks Kitab Suci bukan secara mekanik: seolah-olah penulis Kitab Suci dirasuk, lalu tanpa sadar menuliskan hal-hal esoterik yang tidak ia sadari. Sebaliknya, Roh Kudus mewahyukan dengan inspirasi, sehingga para penulis Kitab Suci sadar penuh akan pesan yang akan ia sampaikan kepada pembaca atau pendengar mula-mula. Kesadaran penulis Kitab Suci itu berimplikasi bahwa ia memasukkan rajutan konteks hidup yang ia hidupi pada saat penulisan teks tersebut.
Wah, jika demikian sulit proses untuk menafsirkan teks Alkitab, bagaimana kita dapat membaca Alkitab dengan pengertian yang tepat dalam kehidupan sehari-hari? Pada saat ini sudah banyak Study Bible yang baik untuk memandu kita dengan informasi-informasi yang sudah digali terlebih dahulu oleh para peneliti Alkitab. Gunakanlah interlinear di HP untuk mengecek bahasa asli dan variasi terjemahan yang mungkin. Bandingkanlah Alkitab dalam beberapa terjemahan bahasa. Ini semua akan menjadi rel yang membatasi kita dari penafsiran Alkitab yang liar yang dapat menyesatkan baik kita maupun jemaat TUHAN Allah. Dan kiranya kita bersama-sama dengan Paulus “meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar, dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga.” (Ef. 1:17-20)