Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan jika kita mengerti paradoks, hidup kita akan lebih bahagia. Paradoks adalah satu kata yang sering kita dengar lewat khotbah-khotbah di gereja kita namun terkadang tergelitik satu pikiran di otak saya, apakah paradoks itu betul ada ataukah hanya satu konsep untuk mempersatukan yang kontradiksi sehingga kita bisa menerima keduanya? Apakah memang betul konsep paradoks itu berlaku untuk menjelaskan natur Kristus? Pdt. Billy Kristanto pernah berkata dalam salah satu khotbah beliau bahwa Kristus adalah paradoks terbesar. Dari arti katanya, paradoks berarti pernyataan yang kontradiksi bahkan tidak masuk akal tetapi dalam kenyataannya mengekpresikan apa yang benar-benar terjadi. Apakah karena kita tidak mengerti bagaimana menyatukan dua konsep yang kontradiksi tetapi harus mempertahankan keduanya, kita menggunakan konsep paradoks? Lalu prinsip-prinsip mana yang bisa dikatakan sebagai paradoks dan mana yang memang betul-betul berlawanan dan tidak bisa disatukan (kontradiksi)?
Dalam mengerti Kristologi, ada orang-orang yang lebih menekankan kepada Christ of faith (Kristus menurut iman). Millard Erickson memberi istilah Christology from above (Kristologi dipandang dari atas) dan tidak terlalu peduli dengan historical Jesus (Yesus di dalam sejarah) sebagai keberadaan pribadi Yesus secara fisik yang betul-betul berjalan-jalan di Palestina 2000 tahun yang lalu. Kesulitannya kemudian adalah bahwa orang-orang ini mungkin tidak akan bisa membedakan apakah iman mereka kepada Kristus yang mereka percaya adalah iman kepada Kristus yang sama yang telah menginjak bumi di Palestina di dalam daging sebagai manusia. Kelompok ini menitikberatkan kepada pemikiran Søren Kierkegaard, yang sebetulnya implikasi dari pemikiran Plato bahwa materi itu jahat, sedangkan yang spiritual itu lebih tinggi.
Di sisi lain, sekelompok orang menekankan historical Jesus (Yesus di dalam sejarah) sebagai pendekatan yang lebih akurat dan objektif. Masalahnya, kadang kita sudah mempresentasikan Yesus Kristus dengan begitu akurat, tapi toh tetap ada orang yang tidak percaya dan menganggap bukti-bukti tersebut tidak cukup. John Wesley mengatakan, “Orthodoxy, or right opinion, is, at best, a very slender part of religion. Though right tempers cannot subsist without right opinions, yet right opinions may subsist without right tempers. There may be a right opinion of God without either love or one right temper toward Him. Satan is a proof of this.” Jadi, masalahnya di sini adalah soal iman. Orang dipresentasikan hal yang sama, kadang bisa percaya, kadang tidak bisa, padahal betul-betul satu fakta yang sama. Dua-duanya mungkin saja melihat, tapi mempunyai sikap yang berbeda terhadap kebenaran. Millard Erickson memberikan istilah untuk model ini sebagai Christianity from below (Kristologi dipandang dari bawah).
Model yang pertama terlalu menekankan sisi iman dan model kedua terlalu menekankan rasio. Ada model ketiga yaitu konsep paradoks yang merupakan pendekatan Augustinian (Agustinus). Pendekatan ini memakai dua hal yang terlalu dititikberatkan pada dua model di atas, yaitu iman kepada Kristus memang mendahului tetapi kemudian rasio dan pengertian yang objektif mengikuti supaya kita mengerti apa yang kita percaya. Konsep ini adalah both faith and understanding. Menurut Millard Erickson, model ini yang bisa menerangkan mengapa kita sulit melihat kelogisan dua natur yang sepertinya tidak bisa disatukan: mana bisa yang tidak terbatas bergabung dengan yang terbatas?—tidak “logis,” tetapi inilah doktrin dua natur Kristus.
Salah satu komentar Millard Erickson dalam membicarakan dua natur ini yaitu seringkali kita berangkat dari poin yang salah sehingga mempengaruhi pola kita berpikir tentang suatu fakta. Objektivitas fakta itu satu hal tetapi memakai kacamata yang mana untuk memandang dan memulai dari mana, ini akan memberikan hasil yang berbeda. Karena itu, model ketiga membawa dua hal yang kita tahu tidak bisa menjadi satu, yaitu iman (yang subjektif) dan fakta (objektif), dalam mengerti hal ini. Kesulitan melihat secara paradoksikal dalam Kristologi terbukti dalam sejarah dari banyaknya bidat-bidat tentang ajaran dua natur Kristus.
Kita mulai dengan mereka yang tidak mampu melihat bahwa Kristus adalah Allah. Pertama yaitu Ebionisme. Mereka memegang teguh monoteistik absolut Allah, yang sebetulnya adalah perpanjangan dari Yudaisme. Ajaran ini tidak bisa menerima Yesus juga adalah Allah. Ajaran ini mengakui Yesus adalah manusia, mungkin super power, super man, seseorang yang mendapatkan power dari Allah, yang melampaui manusia biasa, dengan tujuan untuk menjadi contoh bagi pengikut-pengikut-Nya. Akan tetapi, Yesus bukanlah pribadi Allah, dan yang ada di dalam diri Yesus hanya kuasa Allah saja. Mereka juga menolak Yesus lahir dari anak dara, kelahiran Yesus adalah kelahiran biasa, seperti anak-anak manusia lainnya. Tetapi Ebionisme telah menyingkirkan banyak bagian dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Yesus juga berada dalam kekekalan bersama-sama dengan Allah, baik secara kualitas dan juga fungsi.
Kelompok kedua adalah Arianisme, ini perkembangannya sampai sekarang masih ada, yaitu yang kita kenal sebagai Saksi Yehovah. Alasannya adalah Allah itu transenden dan unik secara absolut. Satu-satunya yang tidak dicipta adalah Allah Pencipta. Allah itu tidak bisa membagi keilahiannya kepada yang lain dan cuma Allah yang punya atribut-atribut ilahi. Kalau Dia bisa terbagi atau membagi bagian dari diri-Nya, Dia bukan Allah. Maka Arianisme (berasal dari nama Bapak Gereja Arius) menolak Allah Tritunggal. Arius berpendapat bahwa Alkitab menunjukkan bahwa Firman (Kristus) itu diciptakan. Kristus tidak mempunyai keberadaan pada Diri-Nya. Dan jika memang Kristus mempunyai keberadaan awal di dalam kekekalan bersama Allah, maka ada dua pribadi yang keberadaannya pada Diri-Nya. Ini menentang dari thesis mereka tentang Allah yang monoteistik dan tidak menerima doktrin Allah Tritunggal. Argumen mereka adalah ayat-ayat seperti Kolose 1:15, “yang sulung dari semua yang diciptakan,” lalu doa Tuhan Yesus di Injil Yohanes 17:3, “Inilah hidup kekal itu, bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus,” di mana memberikan kesan bahwa yang adalah Allah hanyalah Allah Bapa saja. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Kristus inferior dari Allah Bapa misalnya Yohanes 14:28: “… sebab Bapa lebih besar dari Aku,” juga misalnya tentang kapan akhir zaman itu tiba, Kristus mengatakan Dia tidak tahu, hanya Bapa yang tahu.
Millard Erickson memberikan argumen untuk Arianisme, bahwa dalam Kolose 1:15, arti sesungguhnya dari “yang sulung, yang pertama dari semua yang diciptakan,” bukan yang pertama diciptakan tapi lebih utama atau superior dari segala yang diciptakan. Yohanes 14:28 harus dilihat bahwa ketika Kristus mengatakan ini Dia ada dalam inkarnasi sehingga dalam pelayanan-Nya di dunia, Kristus taat mutlak kepada Bapa-Nya. Pernyataan-pernyataan seperti, “Bapa dan Aku adalah satu,” menunjukkan ke-satu-an antara Yesus dengan Allah Bapa.
Ada juga kelompok yang gagal melihat bahwa Kristus adalah manusia. Pertama adalah Docetisme. Mereka banyak terpengaruh oleh Plato yang mengajarkan bahwa roh itu baik dan materi itu jahat. Akibatnya, Kristus yang adalah Allah tidak mungkin mempunyai tubuh materi. Tubuh materi Kristus hanyalah seakan-akan (kelihatannya) seperti manusia, padahal tidak. Tampaknya Kristus makan, tapi sebetulnya tidak demikian. Memang kelihatannya bisa menyelesaikan ketegangan dari ke-Tuhan-an dan kemanusiaan Kristus, tetapi yang sedang dipakai adalah filsafat Yunani. Ketika Kristus adalah Allah, yang Roh adanya, kemanusiaan-Nya itu cuma sebuah penampakan saja seperti hologram.
Yang kedua yaitu Apollinarianisme. Jika Docetisme tidak melihat Kristus adalah manusia, maka golongan yang menganut Apollinarianisme malah kebablasan menekankan kemanusiaan Kristus. Jadi keilahian Kristus adalah tambahan dari manusia Yesus. Kristus, walaupun manusia, bukan manusia biasa. Formula mudahnya, manusia Yesus terdiri dari tiga, yaitu tubuh, jiwa, dan Logos. Logos merupakan keilahian yang ditambahkan kepada manusia Yesus yang terdiri dari tubuh dan jiwa.
Kemudian, terdapat kelompok yang gagal melihat hubungan dari dua natur ini. Mereka adalah Nestorian dan Eutychianism. Nestorian tidak bisa melihat bagaimana dua natur ini bersatu, sehingga memberi kesan adanya keterpisahan, walaupun tidak terlalu tegas menekankan hal ini. Sedangkan Eutychianism tidak menganggap kemanusiaan Kristus sebagai hal yang penting, sehingga ke-Tuhan-an-Nya bisa menyerap kemanusiaan-Nya, dan akhirnya cuma ke-Tuhan-an-Nya yang tersisa. Konsep ini agak mirip dengan Docetisme.
Salah satu kutipan Agustinus yang menghantui saya adalah “Pray as though everything depended on God, work as though everything depended on you.” Saya tidak bisa mengerti hal ini. Biasanya yang terjadi adalah kerja sekeras-kerasnya dan segala sesuatu bergantung kepadamu, bagaimana dengan doa? Lupa tuh. Tidak butuh juga. Kan segala sesuatu bergantung pada saya? Atau, berdoalah sekeras-kerasnya karena saya ini terbatas atau sudah tidak bisa apa-apa lagi. Jadi kesimpulannya adalah apa gunanya doa sekenceng-kencengnya jika sayalah yang bekerja sekeras-kerasnya? Doa cuma berguna kalau segala sesuatu sudah tidak bisa lagi tergantung pada saya, ketika saya lemah dan tidak berguna, itulah gunanya doa. Tetapi Agustinus tidak mengatakan demikian. Bekerja sekeras-kerasnya dan doa sekenceng-kencengnya adalah yang seharusnya terjadi dalam satu pribadi pada keadaan dan saat yang sama.
Mengapa kita susah mengerjakan dua hal ini dalam waktu yang bersamaan dan dalam satu pribadi? Karena kita menganggap bagaimana dua hal yang “kontradiksi,” berada dalam kutub yang “berlawanan,” bisa bersatu dalam diri kita dalam waktu yang sama? Ini tidak mungkin bisa.
Beberapa hal di Alkitab merupakan dua hal yang kelihatannya berada di dua kutub yang berlawanan tetapi terjadi dalam satu babak cerita. Misalnya, bagaimana bisa terjadi, bagaimana bisa menerangkan dua doktrin yang selalu susah diterima orang tetapi dijalankan sehari-hari, yaitu sovereignty of God dan free will of man? Kita selalu berpikir, kalau Tuhan berdaulat penuh, maka manusia tidak punya pilihan. Kalau manusia punya pilihan, maka Tuhan tidak berdaulat penuh. Tetapi yang terjadi di dalam realita justru dua-duanya.
Cara berpikir kita ini adalah konsep dualisme. Konsep ini berakar pada pemikiran Anaximenes, yang mengajarkan bahwa semua berasal dari udara. Udara, sebagai satu substansi, ketika panas mengembang, dan sebaliknya, ketika dingin, menyusut. Dua hal ini tidak bisa terjadi dalam keadaan yang bersamaan. Konsepnya adalah ‘either or.’ Either udara dingin dan menyusut or udara panas dan mengembang. Satu substansi hanya bisa bereaksi secara bergantian dan tidak bisa bersatu. Mungkin saja udara bisa jadi panas atau dingin. Tapi tidak bisa menjadi panas dan dingin di waktu yang sama. Plato kemudian mengembangkan bagaimana dunia kekal dan dunia yang sementara tidak bisa disatukan. Dua dunia tidak bisa disatukan. Materi dan non-materi, bagaimana bisa bersatu? Maka cuma bisa dipisahkan, hanya bisa either or, entah yang ini atau yang itu.
Profesor James Houston pernah mengatakan bahwa terkadang kita mengira cara berpikir kita Kristiani, tetapi sebetulnya mengikuti paham Yunani kuno. Gereja Tuhan harus berpikir paradoks, yaitu Kristus tidaklah kurang kemanusiaan-Nya dan juga tidaklah kurang keilahian-Nya. Kekurangan salah satu atau, lebih tepatnya, bergeser sedikit dari apa yang diajarkan Alkitab, baik dalam natur-Nya maupun dalam hal relasi antar natur Kristus, akan membawa kita kepada kesesatan.
Tanpa menjadi Allah sejati, bagaimana Kristus bisa menanggung dosa kita? Dan tanpa menjadi manusia sejati, bagaimana Kristus dapat menanggung dosa menggantikan kita? Alkitab dengan jelas memperlihatkan kedua natur ini tanpa kebingungan.
Kitab Yohanes dalam pembukaannya sudah sangat jelas: “In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God.” Dalam Ibrani 1:1-4, Dia lebih tinggi dari malaikat, dan di pasal 3, lebih tinggi dari Musa, dan pasal 4, lebih tinggi dari imam besar, karena Dia adalah Allah. Dari tulisan-tulisan Paulus, Kolose 1:15-20, the image of the invisible God, dan juga Kolose 2:9, “in Christ all the fullness of the Deity lives in bodily form.”
Demikian juga, pertama, Dia dilahirkan; Dia tidak turun dari langit langsung jadi Yesus yang dewasa. Alkitab mencatat kelahiran-Nya. Bahkan ada silsilah atau family tree. Juga dicatat pertumbuhan fisik-Nya (Lukas 2:52), tambah besar dan tambah dewasa. Dia bukan superman yang punya kekuatan untuk angkat mobil. Tuhan Yesus haus, lapar, dan capek (Yohanes 4:6). Dia sungguh-sungguh mati di kayu salib; tombak ditikam ke lambungnya, dan keluar darah dan air (Yohanes 19:34). Secara emosi, Tuhan Yesus sepenuhnya manusia; perkataan-perkataan-Nya penuh dengan gambaran kesusahan hati, kesedihan, belas kasihan, dan amarah. Tapi emosi-emosi ini belum sepenuhnya menyatakan bahwa Kristus adalah manusia karena Allah yang adalah pribadi juga punya emosi seperti demikian. Satu emosi yang menunjukkan emosi manusia ditunjukkan ketika Tuhan Yesus Kristus bergumul di taman Getsemani karena harus menyelesaikan misi-Nya.
Millard Erickson berkata dalam Christian Theology bahwa gereja juga secara tidak langsung mendapatkan jawaban dari kebingungan ini. Dua natur Kristus ada di dalam diri Kristus, tidak berganti-gantian muncul dan juga tidak ada kebingungan atau kekacauan dalam diri-Nya. Walaupun gereja tidak sepenuhnya mengerti dua natur Kristus, tidak berarti Ia harus diragukan dwi natur-Nya. Kesulitan gereja menerima konsep paradoks dua natur Kristus menjadi fatal ketika bergeser dari apa yang dikatakan oleh Alkitab. Pergeseran inilah yang menghasilkan bidat-bidat Kristologi dalam sejarah, karena gereja hanya bisa melihat dua natur Kristus sebagai kontradiksi dan bukan paradoks. Paradoks adalah sebuah kebenaran yang kelihatannya ada dua kutub yang saling bertentangan di dalam dirinya, tetapi sesungguhnya di dalam realita justru mengekpresikan apa yang benar (tidak kontradiksi).
Banyak kesulitan di dalam konsep kekristenan kita disebabkan karena kita mencoba mendekatinya dengan prinsip dualisme ketimbang paradoks. Misalnya, apakah mau menjadi tim doa yang terus-terusan doa atau menjadi tim lapangan yang bekerja siang malam. Kita menjadi bingung setengah mati bagaimana menjalankan keduanya dan mau memilih yang mana. Padahal, kita tidak usah memilih salah satu. Dua hal itu berdiri sebagai konsep paradoks dan kita tidak perlu memilih. Kiranya konsep paradoks dalam dwinatur Kristus dapat menuntun kita kepada cara pandang dan hidup yang benar sesuai Alkitab.
Yenty Rahardjo Apandi
Pemudi GRII Singapura