Dalam Perjanjian Lama, ada tiga jabatan yang diberikan oleh Tuhan melalui pengurapan kepada orang yang dipilih-Nya di Israel untuk mengatur bangsa itu. Ketiga jabatan itu adalah nabi, raja, dan imam. Walaupun Alkitab tidak menulis secara eksplisit ketiga jabatan ini secara bersamaan, tetapi memang dalam narasi Perjanjian Lama kita akan menemukan tiga jabatan itu saja yang representatif. Hakim-hakim berfungsi seperti seorang nabi, maka tidak ada jabatan hakim karena seperti nabi.
Nabi adalah orang yang dipercayakan Tuhan untuk membawa firman-Nya. Dia harus menyampaikannya kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka tahu apa yang Tuhan inginkan bagi mereka. Nabi sering kali dikatakan sebagai orang yang merepresentasikan isi hati Tuhan. Misalnya ketika nabi Hosea disuruh Tuhan untuk menikahi Gomer si pelacur, hidupnya dipakai Tuhan untuk mengingatkan bangsa Israel yang hatinya suka melacur kepada allah lain, tetapi Tuhan tetap setia kepada mereka.
Kemudian, imam adalah orang yang dikhususkan oleh Tuhan untuk mempersembahkan apa yang sudah bangsa Israel lakukan. Jika bangsa itu berbuat salah atau dosa, imam harus mempersembahkan korban penghapus salah atau dosa. Jika bangsa Israel berbuat hal yang baik di mata Tuhan dan Tuhan akhirnya menyertai mereka, imam akan mempersembahkan korban syukur, dan banyak lagi tugas imam lainnya yang bersifat mempertanggungjawabkan apa yang bangsa Israel perbuat di hadapan Tuhan yang suci. Selain itu, karena imam di“khusus”kan, dia harus menjaga kesucian dirinya sendiri di hadapan Tuhan.
Jabatan terakhir, raja adalah orang yang dipercaya Tuhan untuk memimpin bangsa Israel di bumi, menjadi representasi dari Kerajaan Tuhan. Dia yang memutuskan bangsa Israel akan bergerak ke mana, menyerang ke mana, dan berkarya seperti apa. Raja yang dipakai Tuhan tidak sewenang-wenang dalam memerintah, tetapi mengikuti pimpinan yang Tuhan berikan. Misalnya Daud sewaktu akan perang, yang pertama kali dia pikirkan bukanlah bagaimana menyusun strategi perang yang canggih, melainkan menggenggam efod lalu bertanya kepada Tuhan apa yang harus dia lakukan.
Dalam pemerintahan Israel yang berkenan kepada Tuhan, ketiga jabatan ini tidak pernah terpisahkan, selalu berjalan bersamaan dan saling berkait satu dengan yang lain. Tuhan mengirim nabi-Nya, menyampaikan firman-Nya. Raja harus mendengarkan firman Tuhan itu dan memimpin bangsa Israel mewujudkannya. Pada akhirnya imam akan mempersembahkan apa yang sudah dikerjakan bangsa Israel di hadapan Tuhan.
Sekarang, mari kita bedakan antara “jabatan” dengan “fungsi”. Memiliki jabatan sebagai raja misalnya, berarti secara status institusional kita benar-benar menjadi raja, punya kekuasaan, punya rakyat yang diatur, contohnya seperti raja-raja Inggris atau Perancis. Berfungsi sebagai raja memiliki pengertian yang lebih bersifat prinsip. Tidak perlu menjadi raja secara eksplisit, tetapi siapapun yang memimpin apa yang harus dia pimpin, atau menaklukkan yang harus dia taklukkan, sedang menjalankan fungsinya sebagai raja.
Jabatan-jabatan secara eksplisit Tuhan keluarkan pada Perjanjian Lama mengingatkan kita bahwa kita memiliki fungsi-fungsi yang diwakili oleh jabatan tersebut. Pada awalnya, ketiga fungsi ini sudah Tuhan berikan kepada Adam waktu pertama kali dia diciptakan. Sewaktu Adam tinggal dalam Taman Eden, dia menerima firman Tuhan, knowledge dari Tuhan tentang ciptaan Tuhan dan apa yang harus dilakukannya terhadap ciptaan tersebut. Tuhan menyuruh Adam untuk mengusahakan bumi dan memenuhinya. Dalam hal berfungsi sebagai raja, memang benar seluruh alam sudah Tuhan tetapkan untuk tunduk di bawah Adam, tetapi bukan berarti dia boleh pakai dan gunakan seenaknya. Dia harus menjalankan seperti yang sudah diperintahkan oleh Tuhan, yaitu mengusahakan. Pada akhirnya ketika dia sudah melakukan pekerjaan dengan baik, dia akan persembahkan pekerjaannya di hadapan Tuhan, memuaskan hati Tuhan, di sinilah fungsi imamnya. Jadi, dalam menjalankan fungsi pun ketiganya tidak terpisah.
Setelah manusia jatuh dalam dosa, terjadi putusnya hubungan antara Tuhan dengan manusia. Segala visi hidup manusia yang harusnya dari Tuhan tidak lagi ada, digantikan dengan natur keberdosaan yang mengejar segala sesuatu yang membawa kematian dan kesia-siaan. Manusia tidak lagi bisa menundukkan alam, bahkan menguasai dirinya sendiri pun tidak. Segala persembahan manusia menjadi jahat di mata Tuhan, tidak ada yang bisa memuaskan kesucian-Nya, kecuali kita dimasukkan ke dalam neraka dan dihukum selamanya.
Akhirnya karena kasih-Nya, Tuhan berinisiatif untuk menolong manusia. Dia merencanakan keselamatan bagi umat manusia yang dipilih oleh-Nya. Tuhan di Taman Eden menyembelih binatang sebagai lambang bahwa akan ada yang tersembelih dan menghapuskan dosa mereka. Karena Kristus akan datang dan tersembelih bagi kita, Bapa menyabarkan diri-Nya dengan korban-korban yang selain Kristus, agar korban-korban itu juga terus mengingatkan manusia bahwa mereka sudah berdosa kepada Tuhan dan harus ada pertanggungjawaban.
Oleh sebab Kristus datang sajalah kita sebagai manusia berdosa boleh kembali memiliki ketiga fungsi tersebut. Kristus bukan hanya penolong kita dan penebus dosa kita, Dia adalah cerminan manusia sempurna. Di dalamnya baik jabatan maupun fungsi raja, imam, dan nabi terpenuhi secara sempurna. Kristus benar-benar tahu apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya dan apa yang harus Dia lakukan di dunia ini (fungsi nabi). Kemudian Dia bukan hanya tahu, tetapi juga melaksanakan seluruh kehendak Bapa dalam waktu yang setepat-tepatnya, menguasai dosa dan bukan sebaliknya, bahkan taat sampai mati (fungsi raja). Pada akhirnya mendamaikan Bapa dengan manusia (fungsi imam).
Kristus memiliki kesempurnaan true knowledge (Nabi), true righteousness (Raja) , dan true holiness (Imam) sekaligus. Kristus menjadi teladan bagi kita, orang yang diselamatkan oleh-Nya. Seluruh arah hidup kita tertuju kepada Kristus. Menjadi seperti Kristus adalah harapan dan tujuan kita satu-satunya. Tetapi apakah yang membuat kita bisa memiliki true knowledge, true righteousness, dan true holiness? Jika kita melihat uraian sebelumnya tentang manusia yang telah jatuh dalam dosa di paragraf ke delapan, manusia benar-benar tidak punya harapan. Dosa menelan habis manusia. Satu-satunya jalan agar manusia bisa kembali adalah Kristus yang mengalahkan kuasa dosa. Bagaimana Kristus mengalahkan kuasa dosa? Dengan hidup tanpa cacat dalam dunia berdosa ini, lalu melalui kematian-Nya di atas kayu salib Kristus membelenggu kuasa dosa. Lalu, kebangkitan Kristus menjadi konfirmasi bahwa Dia benar-benar menang dan hidup.
Jadi, hanya melalui kematian dan kebangkitan-Nyalah kita boleh kembali mencicipi true knowledge, true righteousness, dan true holiness dalam dunia berdosa. Ketika kita merayakan Paskah nanti, kita juga sebenarnya sedang merayakan pulihnya ketiga fungsi kita sebagai manusia yang utuh di dunia ini. Kita sekarang sudah tahu bahwa sebagai orang yang sudah ditebus Kristus harus meneladani Kristus dalam hidup, dengan kata lain kita harus menjalankan ketiga fungsi manusia itu, berusaha memaksimalkan ketiga fungsi itu berjalan dengan baik dalam hidup kita sehari-hari. Kalau sudah tahu, lantas apa yang kita kerjakan?
Meneladani Kristus dalam fungsi nabi berbicara tentang mengenal Kehendak Bapa. Kita mengarahkan hidup kita supaya makin hari makin kenal Kehendak-Nya. Bagaimana bisa kita makin kenal? Tuhan menyatakan diri-Nya melalui wahyu umum dan wahyu khusus. Terutama dalam Alkitab, kita diberi kesempatan untuk mengenal Tuhan jauh lebih jelas, di sana banyak hal yang tidak dapat kita temukan dalam wahyu umum. Namun bagaimanakah sikap kita terhadap anugerah Tuhan yang begitu besar ini? Seharusnya kita sedih ketika mendengar bahwa Alkitab adalah buku yang paling laris di dunia, tetapi yang paling banyak tidak dibaca juga oleh yang memilikinya.
Bukankah terasa aneh ketika kita tahu bahwa Alkitab itu satu-satunya kebenaran yang mutlak dan yang berhak menginterpretasikan keseluruhan dunia ciptaan ini, tetapi kita tidak mengejar pengertian akan firman Tuhan yang sedalam-dalamnya? Yang sering kali kita temui dalam kekristenan sekarang adalah orang-orang yang mendefinisikan dirinya sebagai “orang awam” akhirnya menjadikan label tersebut sebagai alasan untuk tidak mengejar pengertian akan firman Tuhan sedalam-dalamnya. Mereka mengira itu hanya menjadi tugas hamba Tuhan bergelar saja. Sudahkah kita melihat firman Tuhan sebagai hal yang begitu berharga untuk kita dapatkan? Yang mana yang lebih menggemparkan kita, ketika ada kesempatan belajar firman Tuhan atau kesempatan dapat uang yang besar jumlahnya? Kesempatan mendapat nilai dan kenyamanan dalam dunia ini lebih besarkah nilainya bagi kita daripada mendapat pengertian akan firman Tuhan? Mari kita hormati setiap kesempatan yang Tuhan berikan melalui wadah-wadah dan media yang sudah ada, mari berfungsi sebagai nabi dengan segenap kekuatan, hati, dan pikiran kita.
Berbicara tentang menjadi raja, sering kali yang terbayang dalam pikiran kita adalah raja yang punya teritori kekuasaan dan otoritas mutlak atas orang-orang yang diperintahnya. Di satu sisi memang ada benarnya bahwa seorang raja memiliki hak untuk mengatur dan mengendalikan apa yang harus dia kuasai. Tetapi konsep dunia tentang kerajaan sering kali membuat kita melupakan sisi lainnya, yaitu bahwa seorang raja pun dituntut untuk menguasai dirinya sendiri. Ketidakmampuannya dalam menguasai diri akan membawa kehancuran bagi seluruh kerajaannya. Maka, kita dalam menjalankan fungsi sebagai seorang raja juga tidak hanya dituntut untuk menguasai alam, tetapi juga menguasai diri, menaklukkan diri di hadapan Tuhan. Karena kita jatuh dalam dosa, tugas ini semakin berat, perlu perjuangan besar, serta tenaga yang tidak main-main untuk melakukannya. Dalam novel Narnia, seorang penyihir bernama Coriakin berkata, “Untuk menaklukkan yang di luar sana, kau harus menaklukkan dahulu yang ada di dalammu.”
Menaklukkan diri berarti kita berusaha mengarahkan keseluruhan keberadaan kepada apa yang harusnya kita lakukan. Baik rasio, emosi, maupun kehendak perlu kita taklukkan. Dalam hidup sering kali kita mudah sekali terganggu dengan hal-hal yang tidak penting dan akhirnya kehilangan fokus. Bukankah pernah terjadi pada kita: sekarang waktunya untuk baca firman Tuhan atau sekarang waktunya untuk berdoa, tetapi kita malah menyibukkan diri dengan hal-hal lain yang kelihatannya lebih menarik. Di sinilah contoh kegagalan kita menaklukkan kehendak kita.
Seiring dengan penaklukkan diri kita di hadapan Tuhan, kita berfungsi sebagai raja dalam konteks menaklukkan alam. Sebuah mandat yang Tuhan berikan pada Adam dan Nuh, yang kita kenal dengan “Mandat Budaya”. Dalam dunia ini kita mengelola dan mengembangkan ciptaan Tuhan dengan prinsip-prinsip yang Tuhan berikan dalam firman-Nya. Bagaimana kita bisa menjalankan hal ini jika fungsi kenabian kita tidak kita benahi? Walaupun kita mengetahui banyak prinsip firman Tuhan, namun bagaimana kita bisa bermandat budaya jika kita tidak mengenal dunia ini dengan baik (maksudnya, malas belajar)? Taklukkanlah ilah-ilahmu dan jangan biarkan ada yang menghalangimu untuk menjalankan Kehendak Tuhan dalam dunia ini.
Anggaplah kita sudah mengetahui Kehendak Tuhan, tahu banyak prinsip firman Tuhan, berusaha menguasai diri, tidak bermalas-malasan, tetapi untuk apakah semuanya itu jika seluruh keberadaan dan motivasi kita tidak ditujukan untuk kemuliaan Tuhan? Di sinilah fungsi imam memainkan perannya. Jika kita sedang mempersembahkan hidup yang utuh kepada Tuhan, artinya kita berbicara tentang arah hati kita, kepada siapa kita tujukan segala pekerjaan kita. Jangan kita pikir adalah suatu yang mudah untuk menjaga motivasi dan arah hati kita agar tetap tertuju kepada Tuhan. Apalagi kita sebagai orang Reformed, banyak sekali yang akhirnya terjebak untuk melayani rasio dan kepuasan pribadinya daripada melayani Tuhan. Memang benar yang kita pelajari adalah subjek-subjek theologis, prinsip-prinsip firman Tuhan, kita tidak bermalas-malasan, tetapi benarkah kita melakukan segalanya itu hanya untuk kemuliaan Tuhan saja? Kita perlu berhati-hati akan kepuasan pengetahuan kita, nama baik yang kita peroleh dari perilaku kita di hadapan publik, tren komunitas, dan banyak hal lainnya yang bisa saja dipakai Iblis untuk mengalihkan hati kita dari kemurnian untuk memuliakan Tuhan saja.
Perlu kita ingat lagi, bahwa kita melakukan ketiga fungsi ini dalam rangka meneladani Kristus, sebagai umat yang sudah ditebus oleh-Nya melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Kita juga harus ingat bahwa kita dipanggil sebagai Gereja, bukan individu-individu terpisah yang berjuang menurut kehendaknya masing-masing. Gereja bukan tempat berkumpulnya “Super Heroes”. Maka, komunitas orang percaya di mana kita ditempatkan harus menjadi tempat bagi kita untuk bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Kristus. Setiap anggota harus mendorong satu sama lain untuk berusaha mewujudkan ketiga fungsi ini dalam kehidupan masing-masing.
Lalu bagaimana kita memelihara kehidupan sehari-hari yang melaksanakan ketiga fungsi ini? Apakah kita sadar bahwa setiap kali kita bersaat teduh, kita sedang bertemu dengan Firman Tuhan? Berusahalah mendapat pengertian akan Firman Tuhan dan prinsip-prinsipnya. Carilah dengan segenap kekuatan dan akal budi kita. Jika kita tahu apa yang Tuhan firmankan pada kita di hari itu, laksanakanlah sebaik-baiknya dalam tiap konteks yang Tuhan izinkan terjadi sepanjang harinya. Teruslah mengevaluasi, benarkah kita lakukan semua itu untuk Tuhan saja? Pola hidup yang seperti ini membantu kita untuk melatih diri melaksanakan ketiga fungsi manusia, sehingga kita boleh lebih siap ketika diperhadapkan dengan konteks yang lebih luas dan besar lagi soal fungsi-fungsi itu.
Pada akhirnya, kita bersyukur karena Kristus sudah bangkit dan naik ke sorga, membuktikan Dia hidup, sehingga kita pun boleh menjadi manusia yang hidup, walaupun masih berada di dalam dunia yang berdosa. Jika Kristus sudah bangkit, sudah bangkit jugakah kita? Kristus mengajak kita untuk keluar dari keterpurukan kita dan mulai menjadi manusia seutuhnya, meneladani seluruh kehidupan-Nya. Kiranya artikel ini boleh mengingatkan kita untuk hidup sungguh-sungguh sebagai manusia yang hidup di hadapan Tuhan, sesuai dengan yang difirmankan oleh-Nya.
Rolando
Pemuda FIRES