Masa itu adalah masa kegelapan. Umat Allah, biji mata kesayangan-Nya, telah dibuang dan dipermalukan di hadapan bangsa-bangsa selama hampir 500 tahun. Pergolakan-pergolakan sosial terjadi untuk melawan berbagai bangsa yang menjajah Israel, namun tidak ada hasil yang signifikan.
Di zaman ketika umat Israel hampir sepenuhnya kehilangan harapan, ada orang-orang yang tersisa yang masih berharap kepada TUHAN. Salah satunya adalah Maria, seorang yang dipilih Allah yang melaluinya Tuhan kita, Yesus Kristus, dilahirkan. Maria adalah seorang yang takut akan TUHAN dan menyimpan janji-janji TUHAN di dalam hatinya.
Pada suatu hari malaikat Gabriel diutus oleh Allah ke Nazareth, satu kota di Galilea, untuk menyampaikan kabar kelahiran Mesias melalui rahim Maria. Maria begitu terkejut dan takut karena pesan yang disampaikan oleh Gabriel. Sekalipun ia bingung dan merasa sulit untuk percaya, namun Maria berkata, “Aku adalah hamba TUHAN, biarlah terjadi sesuai perkataanmu.”
Maria mengenal dirinya sebagai seorang yang rendah, tidak layak, dan berdosa. Hal tersebut dapat kita lihat dalam ungkapan sukacitanya sewaktu dia memuji Allah di rumah Elizabeth. “TUHAN merendahkan orang-orang yang tinggi, dan meninggikan orang-orang yang rendah.” Pengenalan akan dirinya yang rendah juga dibarengi dengan pengenalan akan TUHAN sebagai Allah yang dalam kedaulatan kasih karunia-Nya memilih untuk mengasihi umat-Nya yang rendah, tidak layak, dan berdosa.
Sewaktu Tuhan Yesus Kristus baru dilahirkan di Betlehem, para gembala datang untuk melihat kelahiran Sang Mesias. Mereka menceritakan bagaimana para malaikat memberitakan kepada mereka tentang kelahiran Kristus dan bagaimana mereka dipimpin untuk melihat Sang Bayi Kudus itu. Maria mendengarkan semuanya dengan seksama dan menyimpan semua yang telah didengarnya itu di dalam hatinya.
Pengharapan kepada Allah di masa yang sukar, ketaatan hati yang mutlak di dalam situasi yang menyulitkan, pengenalan akan diri dan pengenalan akan Allah yang benar, dan hati yang terbuka untuk merenungkan setiap firman dan pimpinan TUHAN dalam sejarah: semua membuat sosok Maria menjadi pribadi yang sangat unik untuk kita teladani.
Masa itu adalah masa kegelapan. Gereja, biji mata kesayangan Allah, sudah semakin merosot secara pengajaran dan praktek-praktek kerohaniannya selama hampir ratusan tahun. Pergolakan-pergolakan reformasi terjadi untuk membawa umat TUHAN kembali kepada isi hati TUHAN, namun tidak ada hasil yang signifikan.
Di zaman ketika umat Allah terbengkalai dari penggembalaan firman Allah, ada orang-orang yang tersisa yang masih berharap kepada TUHAN. Salah satunya adalah Yohanes Calvin, yang melaluinya kita sekarang dapat menikmati kelimpahan pengertian firman Allah dalam theologi Reformed. Yohanes Calvin adalah seorang yang takut akan TUHAN dan menyimpan segala firman TUHAN dalam hatinya.
Pada suatu hari, ketika Yohanes Calvin sedang melarikan diri dari Perancis dan hendak mengasingkan diri untuk lebih memperdalam pengertian theologinya, TUHAN mempertemukan dia dengan William Farel, seorang reformator di Jenewa. William Farel mendorong Yohanes Calvin untuk terjun di dalam perjuangan reformasi di Jenewa. Yohanes Calvin menolak pada awalnya. Namun William Farel mengutuk Calvin dengan keras jika ia tidak mau ikut berjuang dalam gerakan reformasi pada saat itu. Kutuk dari William Farel itu membuat nurani Calvin gemetar, dan pada akhirnya ia mengambil keputusan, “Aku adalah hamba TUHAN, biarlah terjadi sesuai perkataanmu.”
Yohanes Calvin mengenal dirinya sebagai seorang yang rendah, tidak layak, dan berdosa. Hal tersebut dapat kita lihat dalam bab Pengantar dari karya terbesarnya, Dasar-Dasar Kesalehan Kristen (Institutes of Christian Religion). Ia berkata bahwa ada kaitan yang erat antara pengenalan akan diri dengan pengenalan akan Allah. Hanya ketika kita mengenal diri dengan benar, yaitu sebagai orang yang rendah, tidak layak, dan berdosa, maka kita bisa mengenal Allah dengan benar, yaitu sebagai Pribadi yang dalam kedaulatan kasih karunia-Nya memilih untuk mengasihi umat-Nya yang rendah, tidak layak, dan berdosa. Tanpa pengenalan akan Allah sebagai Allah yang mengasihi dalam kasih karunia-Nya, tidak mungkin seseorang memiliki pengenalan pribadi yang benar akan Allah.
Seperti tercermin dalam karya-karyanya, Yohanes Calvin adalah seorang yang sungguh-sungguh menyimpan segala firman Allah di dalam hatinya. Ia bukanlah seseorang yang memilih-milih ayat mana yang ia suka dan membuang ayat-ayat yang sulit untuk diterima. Ia menyimpan semua firman itu dalam hatinya untuk dia gumulkan, bagaimanapun sulitnya. Dia membaca Alkitab dengan seksama dan merenungkannya siang dan malam, dan menyimpan semuanya di dalam hatinya.
Pengharapan kepada Allah di masa yang sukar, ketaatan hati yang mutlak di dalam situasi yang menyulitkan, pengenalan akan diri dan pengenalan akan Allah yang benar, dan hati yang terbuka untuk merenungkan setiap firman dan pimpinan TUHAN dalam sejarah: semua membuat sosok Yohanes Calvin menjadi pribadi yang sangat unik untuk kita teladani.
“For, if we are wise, it will be the chief employment, and the great object of our life, to consider with attention those works of God which build up our faith.”
– Calvin’s Commentary on Luke 2:19 –
Andi S. Rasak
Pemuda GRII Bandung