Pada abad ke-19 muncul filsafat yang sangat berpengaruh yang disebut filsafat eksistensialisme. Filsafat ini terdiri dari dua bentuk dasar, tergantung pada hubungannya dengan wawasan dunia sebelumnya. Bentuk pertama yaitu dari sayap atheisme dan bentuk kedua yaitu dari sayap theisme. Dalam pembahasan ini, kita akan berfokus pada pemikiran filsafat eksistensialisme atheistik.
“Setiap hal yang eksis terlahir tanpa alasan.” Ini merupakan kutipan dari perkataan Jean-Paul Sartre seorang tokoh eksistensialis atheistik yang terkemuka. Dia berpendapat bahwa dunia dengan segala keberadaannya ada begitu saja tanpa ada suatu makna apa pun terlepas dari segala hukum alam yang mengatur dunia ini. Manusia juga sama dalam hal ini. Manusia eksis tanpa memiliki makna dan tujuan dalam hidupnya. Tetapi manusia entah bagaimana mempunyai kesadaran dan determinasi diri. Manusia mempunyai kesadaran mengenai hal-hal yang sedang terjadi dalam dunia dan hidupnya. Manusia memiliki rasa ingin tahu dan hidup mencari makna bahkan sampai menciptakan allah-allah untuk disembah. Manusia dapat menilai dan membuat sesuatu menjadi bernilai. Manusia menjadi penentu makna hidupnya sendiri.
Bagi filsafat ini, kepentingan keberadaan kita sebagai manusia tidak ditentukan oleh keberadaan di luar diri kita. Jadi, tidak penting untuk mengetahui asal mula keberadaan kita. Tidak penting untuk mengetahui ke mana dunia ini bergerak. Yang penting adalah bagaimana kita secara subjektif menentukan makna dalam hidup kita. Pemikiran dalam filsafat ini sebenarnya tetap mengandung sikap pesimis terhadap hidup. Dunia tidak memiliki dan menjelaskan makna apa pun kepada manusia, karena itu untuk setidaknya dapat bertahan hidup dan mengisi kekosongan diri kita akan makna, maka manusia menciptakan makna bagi diri mereka sendiri.
Kalau sekilas kita melihat, bukankah ada pemikiran yang cukup mirip dengan apa yang tertulis dalam Kitab Pengkhotbah? Bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini adalah sia-sia. Bahwa segala sesuatu yang dikerjakan di bawah matahari adalah tidak berguna. Bahkan Pengkhotbah pun memulai tulisannya dengan “vanity of vanities” dalam bahasa Inggrisnya yang berarti hanya kesia-siaan belaka, kesia-siaan secara total. Apakah Pengkhotbah penganut eksistensialisme? Atau filsafat eksistensialisme yang pemikirannya mengakar pada ajaran Kitab Pengkhotbah?
Pada waktu kita hidup di tengah-tengah dunia ini, kita tidak terlepas dari pekerjaan. Ada yang masih menjalani studi, ada yang sudah bekerja baik di bidang politik, kedokteran, bisnis, teknik, dan sebagainya. Tetapi kalau benar segala sesuatu hanya mengarah pada kesia-siaan, mengapa kita mengerjakannya? Mengapa kita mengejarnya? Benarkah bahwa dunia ini tidak ada maknanya sama seperti yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir eksistensialisme atheistik?
Kita sebagai orang Kristen tentu tidak berpikir demikian. Kita percaya dunia ini diciptakan Tuhan dengan tujuan yang telah ditetapkan-Nya sejak semula dan Tuhan dengan kedaulatan-Nya tetap memerhatikan dan memelihara dunia ini. Apalagi berkali-kali dalam Kitab Pengkhotbah diingatkan akan keberadaan Pencipta dan kita harus mencari Dia, mengingat Dia, dan tunduk pada segala perintah-Nya, serta memercayai waktu-Nya yang terjadi. Di hadapan Tuhan yang demikian, tentu akan menjadi aneh dan salah kalau kita mengatakan dunia ini diciptakan tanpa makna dan tujuan. Maka, Pengkhotbah tentunya bukan penganut eksistensialisme. Kalau demikian apa yang dimaksudkan oleh Kitab Pengkhotbah mengenai segala sesuatu adalah sia-sia? Bagaimana kita dapat memahami kaitannya dengan pekerjaan di tengah-tengah dunia ini?
Pengkhotbah ingin mengajarkan kepada kita hikmat dalam menjalani hidup. Jika kita perhatikan, Pengkhotbah tidak menjelaskan apa pun mengenai keadaan kita di akhir zaman. Seakan-akan ada suatu tapal batas yang menutup kita untuk melihat keluar dunia, melihat apa yang terjadi setelah kita mati, apa yang terjadi setelah dunia berakhir. Doktrin akhir zaman mengajarkan pada kita bahwa umat Tuhan akan diperhadapkan pada akhir yang penuh sukacita. Tangisan dan penderitaan akan berakhir. Kejahatan akan dibuang dari hadapan Tuhan untuk selama-lamanya. Yerusalem yang baru akan tiba dan umat Tuhan akan tinggal bersama-sama dengan Bapa di Sorga di dalam relasi yang sempurna penuh selama-lamanya. Bukankah ini akhir yang baik? Kalau kita melihat akhir yang demikian, tentu kita tidak akan mengatakan bahwa segala sesuatu berujung pada kesia-siaan. Tetapi di sini Pengkhotbah menutup mata kita sejenak untuk tidak melihat pada keadaan kita setelah mati. Seakan-akan kematian menjadi sebuah misteri dan memang benar kita tidak memahami kematian secara sempurna selain mengetahui sedikit dari keadaan kita maupun dunia sebagaimana yang dicatat dalam Alkitab. Di sini misteri kematian membawa kita kembali melihat hidup dan menjalaninya dengan penuh hikmat. Walaupun paradoks, keseimbangan ini membuat kita mampu menjalani hidup dengan lebih baik di dunia ini.
Dengan demikian, Pengkhotbah ingin menantang kita dalam menghadapi hidup walaupun berujung pada kesia-siaan. Setelah mengetahui bahwa semuanya sia-sia, dia tidak mengizinkan kita untuk lari darinya, tetapi untuk menghadapi dan menjalani hidup dengan hikmat. Tetapi kelihatannya aneh jika dikatakan berujung pada kesia-siaan sedangkan kita mengetahui keadaan kita nantinya sebagai umat Tuhan. Tentu Pengkhotbah tidak sedang berasumsi atau mengada-ada dengan mengatakan segala sesuatu hanya kesia-siaan belaka. Pasti ada maksud yang perlu kita pahami lebih lanjut.
Pengkhotbah memberi gambaran kesia-siaan seperti usaha menjaring angin. Kata menjaring angin ini lebih tepat diterjemahkan sebagai “menggembalakan” angin, shepherding the wind. Angin dapat digambarkan seperti uap. Angin datang dan bertiup dan tidak kembali lagi, seperti uap yang muncul, lenyap, dan tidak kembali lagi. Angin ini menjadi gambaran dunia ini. Zaman terus bergerak dan terus berubah sepanjang waktu. Walaupun kelihatannya ada zaman yang membangkitkan kembali zaman sebelumnya, tetapi itu pun sudah mengalami perubahan atau evolusi dari zaman sebelumnya. Inilah yang menjadi panggilan kita sebagai orang Kristen yaitu untuk menggembalakan angin. Kita dipanggil untuk peka melihat apa yang sedang terjadi dalam zaman ini. Melihat semangat zaman yang dimiliki di tengah-tengah generasi kita. Menggembalakannya sesuai dengan prinsip firman Tuhan. Suatu zaman akan datang dan kemudian pergi. Inilah yang dimaksudkan oleh Pengkhotbah dengan sia-sia karena walaupun kita menggembalakannya, zaman ini akan tetap berlalu. Meskipun demikian, bukan berarti kita duduk diam dengan kepasifan kita dan membiarkan zaman ini berlalu begitu saja, tetapi kita justru dipanggil untuk memerhatikan, menganalisis, mengoreksi, memimpin, dan mengarahkan zaman ini.
Segala sesuatu ada waktunya. Setiap zaman yang datang dan pergi pun ada waktunya. Inilah hikmat yang sejati, yaitu pada waktu kita mampu melihat waktunya, tahu keadaan zaman kita saat ini dan tahu untuk menggembalakan zaman ini sesuai panggilan yang diberikan Tuhan kepada kita masing-masing. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah. Pengkhotbah sudah mencatat bahwa ini adalah pekerjaan yang diberikan Allah kepada kita untuk melelahkan diri kita (Pkh. 3:10). Tetapi di tengah-tengah segala kelelahan menjalani panggilan ini, Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya.
Dengan demikian, pada waktu kita menggumuli dan mengerjakan pekerjaan kita, seharusnya yang kita lihat adalah apa yang Tuhan inginkan untuk kita kerjakan dalam menggembalakan dunia tempat kita berada saat ini. Jika Anda masih studi, bagaimana Anda menggembalakan studi Anda? Jika Anda bekerja sebagai engineer, bagaimana Anda menggembalakan dunia teknologi atau rekayasa saat ini? Jika Anda bekerja sebagai pengusaha, bagaimana Anda menggembalakan dunia usaha saat ini? Jangan terjebak untuk berpikir soal hasil karena kehidupan orang Kristen seharusnya adalah kehidupan yang berbicara soal fulfillment dan bukan achievement. Tuhan yang tahu dengan jelas arus dunia dan apa yang sedang terjadi serta apa yang baik bagi dunia yang diciptakan-Nya. Untuk itu, kita mengelola dan menggembalakan dunia dalam kerangka penggenapan dan bukan pencapaian.
Selanjutnya, perlu pemahaman Christian worldview yang tepat dalam menggembalakan dunia sehingga kita tidak terbawa oleh arus zaman, tetapi justru mampu dengan tajam melihat zaman di dalam terang firman Tuhan. Christian worldview paling umum dijabarkan dalam empat kerangka pikir, yaitu Creation, Fall, Redemption, dan Consummation. Kita akan melihat satu per satu secara singkat.
Dalam Creation, ada meaning dan ada structure. Tuhan menciptakan dunia ini tidak hanya dalam kerangka/structure, yaitu dunia dengan segala isinya, tetapi juga meaning-nya. Meaning ini yang seharusnya pertama-tama dipahami di dalam Creation. Ini berlawanan dengan pemikiran eksistensialis bahwa dunia ini ada tanpa makna. Kalau konsep Creation sebagai meaning diabaikan, maka hidup di tengah-tengah dunia ini sebenarnya menjadi meaningless. Maka percuma kalau manusia berpikir untuk menentukan makna bagi diri mereka sendiri kalau makna itu sejak dari semula tidak ada. Kekristenan menawarkan hal yang berbeda, yaitu sejak dari semula Creation adalah meaning itu sendiri. Pada waktu Tuhan berfirman, maka dunia jadi. Tuhan menaungi dunia ini dengan Roh-Nya. Tuhan memberkati dunia dan mengatakan semuanya sungguh baik adanya. Ini semua berkaitan dengan kebergantungan kepada Tuhan. Kalau bukan karena Tuhan, maka semua ini tidak ada, sehingga kebergantungan kepada Tuhan memberi keadaan yang meaningful. Ini pun berlawanan dengan pemikiran eksistensialis atheistik bahwa manusia adalah pencipta makna. Seharusnya Tuhanlah pencipta makna dan manusia hidup berhadapan dengan dunia yang sejak semula adalah meaningful. Inilah pemahaman Creation sebagai meaning.
Hanya keadaan berikutnya yaitu Fall yang ditandai dengan kejatuhan manusia pertama dalam dosa membutakan mata manusia untuk melihat meaning dalam dunia. Manusia pun telah kehilangan meaning dalam hidupnya. Ini yang membuat munculnya pemikiran-pemikiran seperti filsafat eksistensialisme. Manusia dalam keadaan tidak lagi mengerti apa yang harus dikerjakan dalam dunia ini. Manusia dalam keadaan yang sudah rusak total dan tidak berada dalam keadaan sebagaimana diciptakan sejak semula. Di sini manusia perlu pertolongan Tuhan. Manusia hanya mampu untuk melihat dengan pertolongan Roh Kudus. Manusia tidak akan pernah selamat dan mengerti bagaimana menjalani hidup kalau tidak ada belas kasihan Tuhan dan iluminasi dari Roh Kudus.
Di sini kita berangkat pada pemahaman mengenai Redemption. Pengertian akan meaning dalam Creation yang sudah dilupakan dibukakan kembali kepada manusia melalui firman Tuhan. Pengertian ini tidak terlepas dari pekerjaan Roh Kudus dan awal dari semua pengertian itu adalah takut akan Tuhan karena sebagaimana telah dinyatakan dalam Alkitab bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat. Ini juga yang disampaikan beberapa kali dalam Kitab Pengkhotbah yaitu untuk takut akan Tuhan. Ini yang memberi kita pengertian kembali akan meaning sehingga di tengah menjalani panggilan kita menggembalakan angin, kita diberi hikmat dan pengertian dalam mengerjakannya.
Di bagian ini, kita juga dipanggil untuk menggali meaning itu dalam setiap aspek hidup maupun bidang pekerjaan kita. Walaupun manusia bukanlah pencipta meaning, tetapi manusia tidak dipanggil untuk berdiam diri. Manusia dipanggil menjadi meaning-unfolder, menemukan dan membukakan kembali pengertian akan meaning. Dengan pengertian akan meaning itu, maka saat kita menjalankan panggilan kita dalam menggembalakan angin, kita mengetahui ke mana zaman ini harus digembalakan. Inilah yang menjadi panggilan kita selama kita hidup dalam dunia sampai tiba kesudahannya di mana Tuhan akan menghakimi dan menyempurnakan semuanya sesuai rencana-Nya. Itulah yang kita sebut sebagai titik penyempurnaan atau Consummation.
Akhirnya, gambaran besar ini menjembatani kita dalam menjalani panggilan menggembalakan angin dengan terang firman Tuhan. Sebagai Gereja Tuhan, kita harus sadar panggilan dan terus menggumuli panggilan yang spesifik dalam hidup kita masing-masing. Kalau dunia ini tidak ada makna, maka Tuhan tentu tidak perlu mengizinkan dunia masih ada sampai saat ini. Tetapi faktanya karena dunia masih ada dan dunia diciptakan sejak semula meaningful, kita harus hidup menggenapi panggilan Tuhan. Mengembalikan dunia ini kepada meaning-nya yang semula sejak penciptaan. Orang Kristen sering hidup tanpa makna dan tujuan, tidak ada gairah dalam menjalani hidup, hanya sebatas rutinitas sehari-hari sehingga hidup dengan membosankan. Hidup yang demikian sangat meaningless. Gereja harus sadar bahwa dunia ini termasuk kita adalah pemberian Tuhan. Semuanya bergantung kepada Tuhan dan diberi-Nya makna sejak semula. Selain itu, ada panggilan yang Tuhan berikan untuk mengelola dunia ini. Pengkhotbah membukakan kepada kita panggilan kita yaitu untuk menggembalakan angin. Panggilan sekalipun berat dijalani, tetapi sebenarnya memberi meaning dalam hidup kita, karena itulah misi yang diberikan Allah kepada kita dalam Kerajaan-Nya. Saat kita sudah menjalaninya dengan setia dengan memiliki sikap takut akan Tuhan dan taat kepada segala perintah-Nya, maka hidup ini akan menjadi meaningful karena mission accomplished.
Wilson Mario Pramudita
Pemuda GRII Bandung