“Religious knowledge of God, wherever existing, comes by revelation; otherwise we should be committed to the incredible position that a man can know God without His willing to be known.” – Hugh Ross Mackintosh
Tanpa pengenalan akan Allah yang benar, kita tidak akan memiliki pengenalan yang benar mengenai diri.[1] Pernyataan ini bukanlah suatu hal yang baru untuk kebanyakan dari kita. Kalimat yang terkenal ini diambil dari buku terkenal hasil karya John Calvin, Bapak Reformator di kota Jenewa, “Institutes of The Christian Religion”. Tiga kata-kata penting yang terkandung dalam pernyataan ini, yaitu Allah, diri sendiri, dan pengetahuan. Dua kata pertama, Allah dan diri, mengkontraskan perbedaan antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya. Allah adalah Allah yang berpribadi, bukan sekadar tenaga yang impersonal, Ia berbeda dengan manusia, Ia tidak berawal karena Ia bukanlah ciptaan. Ia menciptakan segala sesuatu di luar diri-Nya (langit, bumi, dan semua makhluk-makhluk) dari ketiadaan. Tapi Ia bukanlah sekadar Pencipta yang kreatif, tetapi juga Allah yang berelasi, yang secara aktif menyatakan diri-Nya untuk dikenal oleh manusia dan untuk memiliki persekutuan dengan manusia.[2] Tanpa kerelaan kehendak-Nya untuk menyatakan diri, manusia tidak mungkin mengenal sesuatu apapun tentang Allah. Kata ketiga dalam pernyataan Calvin adalah pengetahuan (khususnya pengetahuan tentang Allah), yang memungkinkan dan menekankan pentingnya wahyu dari Allah sebagaimana dinyatakan oleh Hugh Ross Mackintosh (1870-1936) di atas.
Wahyu Allah dalam Sejarah Theologi
Dalam kekristenan, wahyu adalah pernyataan diri Allah kepada manusia yang secara tradisional diklasifikasikan menjadi dua kategori: wahyu umum dan wahyu khusus. Klasifikasi ini tidaklah diterima secara luas oleh setiap orang dalam kalangan theologi. Stanley Grenz dalam Theology for Community of God membagi tanggapan manusia terhadap wahyu Tuhan, wahyu umum dan wahyu khusus, menjadi lima tanggapan dasar dari zaman yang berbeda.[3] Lima tanggapan tersebut bisa disederhanakan menjadi tiga kelompok dasar untuk tujuan dari makalah ini. Meskipun dalam buku ini, Grenz lebih menekankan kepada sikap terhadap wahyu umum, hal ini masih dapat digunakan untuk tujuan kita di sini.
1. 1. Penerimaan kedua wahyu umum dan khusus
Theolog terkenal dari Abad Pertengahan, Thomas Aquinas mengajarkan pemikiran bahwa wahyu umum memungkinkan manusia untuk mengenal Allah. Mereka berpendapat bahwa jejak Allah di alam dan dalam diri manusia terbuka bagi semua orang dan merupakan sarana yang cukup untuk membangun pengetahuan yang benar (meski terbatas) tentang Allah melalui kemampuan alami di dalam menggunakan rasio.[4] Meskipun adalah mungkin untuk membangun sebuah pernyataan proposisional yang benar melalui natural theology akan tetapi hal tersebut masih merupakan pengetahuan tentang Allah yang terfragmentasi (tidak utuh). Wahyu khusus Allah tetap diperlukan untuk mengetahui pengetahuan tentang Allah secara tuntas dan menyeluruh, khususnya misteri keselamatan. Dan wahyu khusus ini diperoleh bukan dengan kekuatan rasio, tetapi melalui penyataan Diri Allah dan diterima dengan iman.
Dalam abad ke-16, keberatan atas natural theology dari Abad Pertengahan disuarakan oleh para reformator, terutama John Calvin. Calvin menerima bahwa Allah sebagai Pencipta meninggalkan jejak-Nya di dalam ciptaan-Nya (alam dan hati nurani manusia), tetapi menolak kemungkinan manusia untuk mengenal Allah melalui kemampuan rasio semata-mata. Setelah kejatuhan manusia dalam dosa, ia berpendapat bahwa dosa telah mengganggu ordo-ordo penciptaan dan mengaburkan jejak Allah dalam alam. Selain itu, manusia sebagai gambar dan rupa Allah juga benar-benar tercemar oleh dosa. Oleh karena itu tidak hanya hati nuraninya saja yang terpengaruh, bahkan kemampuan rasionya untuk berlogika juga menjadi tercemar untuk mengenal Allah melalui pengamatan terhadap alam semata-mata. Wahyu khusus Allah maka diperlukan bukan hanya untuk mengenal misteri keselamatan saja, seperti yang sebelumnya diajarkan oleh natural theology, tetapi juga untuk membantu manusia mengenal Tuhan Sang Pencipta melalui alam.[5] Calvin lebih lanjut menjelaskan dengan menggunakan ilustrasi bahwa orang berdosa melihat alam seperti halnya seorang yang lanjut usia dengan mata rabun yang membaca sebuat karya tulisan yang indah. Meskipun orang tua itu dapat mengenali adanya tulisan-tulisan, namun ia tidak bisa membaca dan menafsirkan kata apapun. Kedua orang berdosa dan orang tua itu memerlukan alat bantu untuk melihat dengan jelas. Sebagaimana sepasang kacamata bagi seorang lanjut usia dapat membantu untuk membaca dengan jelas, Alkitab akan membantu kita orang berdosa dalam “mengumpulkan pengetahuan yang membingungkan tentang Allah di dalam pikiran kita, dan setelah memberikan penerangan kepada kita, kemudian dengan jelas menunjukkan siapakah Allah kita yang sebenarnya.”[6]
2. Penerimaan wahyu khusus atau umum
Sekitar dua abad setelah Reformasi, kekuatan rasio dan kemungkinan memperoleh kebenaran melalui alam mendapatkan perhatian yang paling menonjol dan bahkan menjadi lebih radikal daripada di abad pertengahan. Wahyu khusus dianggap bernilai lebih rendah daripada wahyu umum, dan bahkan ditolak sama sekali. Wahyu umum dianggap sudah cukup untuk memperoleh kebenaran tanpa bantuan wahyu khusus. Pandangan optimistik abad Pencerahan terhadap rasio manusia untuk mengenal kebenaran inilah kemudian menjadi fondasi untuk Theologi Liberal di abad ke-19.
Pada abad ke-20 theolog Swiss, Karl Barth, bereaksi terhadap Theologi Liberal. Meskipun awalnya ia belajar di bawah para theolog liberal terkemuka pada waktu itu, Adolf Von Harnack dan Wilhelm Herrmann, Barth kemudian secara radikal menentang pengajaran mantan guru dan para theolog lainnya yang liberal. Theologi Liberal, menurut Barth, tidak menganggap Alkitab dengan serius dan di sisi lain sangat bergantung pada dasar natural theology. Barth memulai perlawanannya dari perspektif theologi mengenai natural theology dengan mempertanyakan apakah wahyu umum dapat digolongkan sebagai wahyu Allah. Menurut Barth, wahyu bukanlah suatu penyataan kebenaran yang harus manusia temukan, melainkan adalah penyataan diri Allah kepada manusia dalam inkarnasi – Firman menjadi daging.
Dia menegaskan bahwa tidak ada wahyu di luar dari inkarnasi Allah menjadi daging. Pengertian radikal akan wahyu membawa Barth kepada kesimpulan bahwa wahyu umum bukanlah wahyu dari Allah melainkan hanyalah cahaya yang memancarkan kemuliaan Allah. Mengenal Allah berarti memiliki hubungan dengan-Nya dalam pengalaman keselamatan melalui Allah yang berinkarnasi, yang hanya dimungkinkan melalui wahyu khusus.
3. Penekanan kepada kesatuan/keutuhan wahyu Allah dengan menolak pemisahan wahyu Allah menjadi wahyu khusus dan wahyu umum.
Teori ini diperjuangkan oleh Wolfhart Pannenberg dalam abad ke-20. Menurut Pannenberg, wahyu adalah aktivitas pengungkapan diri Allah dalam kegiatan yang dapat diobservasi dan ditemukan oleh semua orang dalam keseluruhan sejarah umat manusia. Jikalau sejarah adalah aktivitas pewahyuan diri Allah (secara khusus) dan pada saat yang sama tersedia secara luas (secara umum), ia berpendapat bahwa pembagian antara wahyu umum dan wahyu khusus adalah tidak perlu dan pada kenyataannya tidak valid.
Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian tradisional mengenai wahyu dapat dibedakan menjadi dua macam: wahyu umum dan wahyu khusus. Menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita harus merespons teori-teori di atas yang menolak atau merendahkan baik itu wahyu umum ataupun wahyu khusus? Teori mengenai wahyu yang diusulkan oleh para theolog di abad Pencerahan tidak bersikap adil terhadap wahyu khusus karena sangat menekankan theologi antroposentris di mana manusia, bukan Tuhan, yang menjadi pusat dari theologi. Penolakan wahyu umum oleh Karl Barth dikarenakan pemahamannya yang radikal mengenai wahyu menyebabkan kesulitan untuk menerima pemahaman tradisional tentang wahyu.[7] Meski niatnya adalah untuk memulihkan sentralitas Kristologi dalam doktrin wahyu yang ditolak oleh banyak theolog liberal pada masanya, namun, sayang sekali penolakannya terhadap wahyu umum sebagai reaksinya terhadap Theologi Liberal menyebabkan pendulum bergeser ke arah ekstrem yang lain. Teori terakhir yang diusulkan oleh Pannenberg memberikan kerangka di mana wahyu dapat secara objektif diamati oleh semua orang. Ketika seseorang gagal untuk mengenal Allah lewat observasinya akan sejarah, itu adalah kesalahannya sendiri karena tidak menyadari aktivitas Allah dalam sejarah. Meskipun Pannenberg memiliki niat untuk menyusun konsep wahyu dalam ajaran Kristen yang objektif dan universal untuk semua orang yang mau akses sejarah, teori ini sayangnya merendahkan peran Roh Kudus dalam memahami wahyu itu, konsekuensi dari kejatuhan manusia, dan pentingnya wahyu khusus dalam memahami wahyu umum.
Hubungan antara Wahyu Umum dan Khusus
Lalu bagaimana seharusnya kita memahami wahyu umum dan wahyu khusus? Pertama-tama, baik wahyu umum maupun wahyu khusus berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Kedua, tujuan Allah mewahyukan diri-Nya adalah untuk menyingkap karakter-Nya, rencana-Nya, dan makna-Nya mengenai semua ciptaan kepada umat manusia. Dan ketiga, untuk mewahyukan diri-Nya, Allah memilih dua cara, yaitu melalui wahyu umum dan khusus. Wahyu umum adalah pengungkapan diri dan kebenaran Allah yang tersedia untuk semua orang, sepanjang waktu dan di semua tempat melalui seluruh ciptaan. Di sisi lain, wahyu khusus diwahyukan kepada sekelompok orang tertentu, dalam waktu tertentu dan di tempat tertentu.
Berdasarkan tiga poin di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah yang kita kenal melalui Alkitab adalah Allah yang bersedia mengungkapkan diri-Nya sendiri melalui dua cara, yang kemudian kita pahami sebagai wahyu umum dan wahyu khusus. Atau dengan kata lain, hanya ada satu wahyu (yaitu wahyu Allah) yang diberikan melalui dua cara yang masing-masing mempunyai maksud dan tujuannya sendiri. Dalam wahyu umum, Allah menyatakan dirinya kepada semua orang di dalam alam, hati nurani setiap manusia, dan juga sejarah, yang melaluinya semua orang harus mengakui bahwa Allah itu ada. Dalam wahyu khusus, Tuhan juga mengungkapkan diri-Nya secara supranatural untuk kaum pilihan-Nya, melalui Firman Hidup, Yesus Kristus, dan melalui firman Allah yang tertulis, Alkitab. Hanya melalui Alkitablah umat-Nya dapat mengetahui karya penebusan Allah dalam sejarah Israel yang memuncak dalam hidup dan karya Yesus Kristus – Allah yang menjelma menjadi manusia. Lebih dari sekadar pernyataan kebenaran, umat-Nya dapat berjumpa secara nyata dengan Allah melalui kuasa karya Roh Kudus.
Wahyu umum dan wahyu khusus, walaupun dapat dibedakan, tidak harus dipahami sebagai dua hal yang independen terhadap satu sama lain. Sebagaimana disebutkan di atas, tanpa bantuan dari wahyu khusus, manusia tidak bisa mengenal Allah dengan benar hanya melalui wahyu umum. Dosa menjadi penghalang bagi setiap orang yang ingin mendapatkan kebenaran dengan jalan mengamati alam atau sejarah saja. Meskipun semua orang dapat mengamati alam dan sejarah yang sama, kesimpulan dari pengamatan dapat bervariasi dari satu dengan yang lain. Leon Morris dengan akurat menunjukkan pentingnya wahyu khusus untuk mengerti wahyu umum:
It is special revelation that gives the key to general revelation. Gordon H. Clark reminds
us that ‘The ancient Babylonians, Egyptians, and Roman liked on the same nature that is
seen by the modern Moslem, Hindu, and Buddhist. But the messages that they purport to
receive are considerably different.’ He goes on to say, ‘What the humanist and logical
positivist see in nature is entirely different forms what the orthodox Christian believes
about nature.’ Without special revelation we would not know how to interpret general
revelation. With it to guide us we can discern God’s handiwork.[8]
Kesimpulan
Meminjam istilah yang dipakai oleh Francis Schaeffer “God Is There and He is not Silent”, Tuhan selalu ada dan Ia berbicara kepada umat manusia melalui dua cara, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Kedua wahyu tersebut meskipun dibedakan karena masing-masing memiliki tujuan yang berbeda dan cara yang berbeda, namun tidak boleh dilihat sebagai dua wahyu yang independen satu sama lain. Kedua wahyu tersebut menunjuk dan membawa kemuliaan kepada satu pribadi yang sama, yaitu Allah yang kita kenal melalui Alkitab. Sudahkah Saudara mengenal-Nya dengan benar melalui wahyu-Nya?
Wiryi and Selviana Aripin
[1] Translasi bebas penulis. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill (PA: Westminster Press, 1960), 37.
[2] Manusia diciptakan menurut gambar Allah itu sehingga ia dapat memiliki hubungan dan persekutuan dengan Allah. Seperti dikatakan di Westminster Confession of Faith Q1, tujuan akhir manusia adalah untuk memuliakan dan menikmati Tuhan selamanya.
[3] Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God (TN: Broadman and Holman Publishers, 1994), 173-178.
[4] Aquinas mengakui bahwa terdapat pengetahuan-pengetahuan akan Allah yang tidak mungkin dimengerti oleh manusia hanya melalui wahyu umum, misalnya pengertian akan Allah Tritunggal. Akan tetapi wahyu umum di dalam zaman ini mendapat perhatian yang sangat besar yang kemudian menghasilkan konsep natural theology yang mengagungkan kemampuan rasio manusia yang dianggap tidak terpolusi oleh kejatuhan manusia.
[5] Calvin membedakan pengetahuan akan Allah menjadi dua di dalam buku “Institutes of the Christian Religion”, pengetahuan akan Allah sebagai Pencipta dan Allah sebagai Penebus.
[6] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, 1.6.1, ed. John T. McNeill (PA: Westminster Press, 1960), 70.
[7] Mengenai hal ini dapat dibaca lebih lanjut dedalam G.C. Berkouwer, General Revelation (GI: Eerdmans, 1955), 87-114.
[8] Leon Morris, I Believe in Revelation (MI: Eerdmans Publishing, 1977), 42-43.