Pembelajaran dari Rasul Paulus: Refleksi Umum mengenai Penginjilan

Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.
(Rm. 1:1)

Introduksi

Untuk tahun depan (2021), Buletin PILLAR sedang dalam tahap perencanaan untuk membahas tema besar mengenai Rasul Paulus, baik dari sisi kehidupan, pertobatan, doktrin, filsafat, penginjilan, dampak, cara hidup, konteks historis, dan lain-lain. Tulisan ini merupakan persiapan awal dari penulis untuk membahas tema besar tersebut, dan dikaitkan dengan salah satu tema tahun ini (2020) mengenai penginjilan secara umum. Dalam artikel ini, penulis akan sedikit membahas dan merenungkan konteks penginjilan dari Rasul Paulus, terutama dari aspek kerinduan dan pendekatan dalam penginjilan.[1] Pembahasan lebih detail dan sistematis akan dilanjutkan oleh penulis dalam artikel-artikel untuk tahun depan.

Konteks Singkat mengenai Rasul Paulus

Bagi kebanyakan orang Kristen, seharusnya Rasul Paulus tidak perlu terlalu banyak diberikan introduksi lagi. Sangat mungkin, untuk konteks Perjanjian Baru, Rasul Paulus adalah tokoh yang paling dikenal dan berpengaruh nomor dua setelah Yesus Kristus.[2] Surat-surat dari Rasul Paulus juga menjadi bagian yang sangat signifikan dari Perjanjian Baru. Paulus (sebelumnya bernama Saulus) adalah orang yang sangat taat dan mendalami Yudaisme. Ia belajar dari Gamaliel, seorang guru yang sangat dikenal dan dihormati pada zaman itu. Selain mendalami agama, Paulus juga mempelajari dan mendalami filsafat, terutama filsafat Yunani. Sebagai ekspresi dedikasinya terhadap Yudaisme, ia dengan gencar menangkap dan menyiksa pengikut Kristus yang dianggap sebagai penyesat. Dalam proses ini, di suatu perjalanan ke Damsyik, Paulus mengalami peristiwa penglihatan yang mengubah hidupnya dengan begitu signifikan.

Setelah peristiwa ini, Paulus yang tadinya menganiaya pengikut Kristus, justru menjadi pengikut Kristus yang setia, gigih, dan berani. Ia memberitakan Injil dengan begitu giat ke berbagai kota dan daerah dalam beberapa kali perjalanan misinya.[3] Meskipun Paulus telah Tuhan pakai dengan begitu besar, ia terus merasa dirinya tidak layak. Beberapa kali dalam suratnya, ia menyatakan bahwa ia adalah rasul yang paling hina karena ia telah menganiaya umat Allah.

Paulus dan Penginjilan

Penulis secara pribadi memiliki kesan yang mendalam terhadap Rasul Paulus, terutama dalam aspek penginjilan. Dalam bagian ini, penulis akan sedikit menyinggung dari aspek kerinduan dan pendekatan Paulus dalam penginjilan. Penulis sengaja menampilkan cukup banyak ayat yang seharusnya sudah cukup jelas (self-explanatory) tanpa perlu elaborasi terlalu jauh. Penulis sangat mendorong pembaca Buletin PILLAR agar dapat menggali lebih jauh mengenai konteks dari ayat/pasal tersebut dengan lebih mendalam, kalau perlu dengan dukungan referensi beberapa commentary Alkitab. Dalam bagian refleksi, penulis akan merenungkan pembelajaran yang terkait dengan konteks hidup dan pelayanan pribadi dari penulis.

Kerinduan

Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar. Itulah sebabnya aku ingin untuk memberitakan Injil kepada kamu juga yang diam di Roma. (Rm. 1:14-15)

Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani. Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin! (Rm. 9:1-5)

Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. (1Kor. 9:19)

Tidak diragukan lagi, Paulus memiliki kerinduan yang begitu besar dalam penginjilan. Yang lebih mengagumkan, ia rindu untuk bisa menjangkau sebanyak mungkin lapisan masyarakat. Dalam istilah yang digunakan Pdt. Stephen Tong, Paulus memiliki cara pandang/pikir (mindset) Kerajaan Allah. Paulus tidak pilih-pilih untuk hanya melayani segelintir kelompok orang. Sebagai orang yang sangat terpelajar, baik dalam agama Yahudi maupun filsafat Yunani, Paulus sangat rindu untuk bisa menjangkau orang-orang Yahudi dan para filsuf dengan pemikiran yang mendalam. Sudah tentu ini adalah tantangan yang sangat rumit. Melayani orang yang sudah bercokol dalam konsep agama dan berakar dalam cara pikir filsafat tertentu akan memerlukan waktu dan keluasan pikiran untuk bisa menanggapi orang yang dilayani dan membawa mereka kepada Kristus. Namun tidak berhenti di kelompok tersebut, Paulus juga rindu untuk menjangkau orang yang tidak terpelajar (baca: barbar). Dalam konteks kita saat ini, ini mungkin adalah golongan orang yang tidak sekolah, cenderung kasar, pengangguran, pengemis, atau orang-orang di pelosok yang jauh dari konteks pendidikan dan teknologi. Dalam memberitakan Injil kepada golongan orang seperti ini, tentunya Paulus harus mampu menjelaskan keajaiban Injil yang begitu mendalam, namun harus bisa dikomunikasikan secara sederhana, mudah dimengerti, dan tetap tidak mengurangi esensi dari Injil keselamatan itu sendiri.[4] Terhadap golongan orang seperti demikian, Paulus menaruh perhatian yang tidak kalah dengan kaum agamawan dan orang terpelajar.

Sebagai orang yang pernah menganut Yudaisme dan kemudian bertobat, ternyata Paulus tidak memutuskan hubungannya dengan “rekan-rekan/saudara-saudara”-nya dari golongan Yudaisme. Ia justru memiliki perasaan yang sangat khusus dan bergejolak. Ia memiliki kerinduan yang sangat agar mereka boleh bertobat dan mengenal Kristus! Sebagai golongan orang Israel dan sudah mengenal Taurat, sunggut amat sayang jika mereka justru menolak Kristus yang dijanjikan. Namun, tentu Paulus tahu bahwa mereka juga akan sangat keras menolak dan menentang Injil, sama seperti dirinya sebelum bertobat. Perasaan Paulus begitu berkecamuk. Ia bahkan rela agar dirinya terkutuk dan terpisah dari Kristus asalkan saudara-saudaranya dari bangsa Yahudi boleh menerima Kristus. Dalam perjalanan pelayanan Paulus, kita bisa melihat bagaimana Paulus kerap berdiskusi dan memberitakan Injil di tempat-tempat ibadah Yahudi. Dengan cara pelayanan seperti demikian, Paulus beberapa kali menimbulkan keresahan masyarakat dan membuat nyawanya terancam.

Pendekatan

Aku berdoa, semoga dengan kehendak Allah aku akhirnya beroleh kesempatan untuk mengunjungi kamu. (Rm. 1:10)

Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci. (Kis. 17:2)

Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ. Dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa bersoal jawab dengan dia dan ada yang berkata: “Apakah yang hendak dikatakan si peleter ini?” Tetapi yang lain berkata: “Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa asing.” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan tentang kebangkitan-Nya. (Kis. 17:17-18)

“Percayakah engkau, raja Agripa, kepada para nabi? Aku tahu, bahwa engkau percaya kepada mereka.” Jawab Agripa: “Hampir-hampir saja kauyakinkan aku menjadi orang Kristen!” (Kis. 26:27-28)

Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya. Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus. (Kis. 28:30-31)

Mengenai pendekatan penginjilan, Paulus memiliki pendekatan yang fleksibel, variatif, kreatif, dan lincah. Paulus mampu memberitakan baik dalam konteks pribadi maupun umum kepada orang banyak, baik kepada orang berkuasa maupun kepada orang yang sederhana. Penulis percaya Paulus bisa memiliki pendekatan-pendekatan seperti demikian karena dorongan dari dalam hatinya yang begitu besar untuk bisa menjangkau sebanyak dan seluas mungkin orang. Pertama, Paulus memiliki pendekatan yang sangat personal (pribadi). Pendekatan personal ini tidak hanya tercermin dari aspek penginjilan, tetapi dari aspek lain dalam pelayanannya (pengajaran, penggembalaan). Dalam surat-suratnya, Paulus kerap memberitakan Injil secara pribadi, dan sangat rindu untuk bertemu muka dengan jemaat yang ia gembalakan. Bahkan ketika di dalam penjara, Paulus masih memberitakan kepada orang-orang di penjara (misalkan saja tahanan lain ataupun kepala penjara). Kedua, sebagai orang Yahudi, Paulus kerap memberitakan Injil kepada lingkaran ini. Beberapa kali dicatat bahwa Paulus datang ke rumah ibadat orang Yahudi, untuk kemudian bertukar pikiran dan memberitakan Injil di sana. Tidak jarang, ia memberitakan Injil dalam konteks proklamasi kepada pendengar umum/khalayak ramai. Ketiga, Paulus juga memberitakan Injil di tempat umum (public place). Ia dicatat melakukan tanya jawab di pasar dan berinteraksi dengan orang-orang yang ia temui di sana. Pada waktu itu, pasar merupakan tempat strategis di mana banyak kalangan bertemu dan berkumpul, misalkan saja para filsuf, pedagang, politikus, dan seniman.[5] Di tempat ini, Paulus memiliki pendekatan banyak mendengarkan dari lawan bicaranya, berusaha mengajak mendalami asumsi/presuposisi dari masing-masing pihak, kemudian memberitakan Injil yang sering kali masuk dari konteks budaya dan filsafat dari orang yang ia ajak bicara.[6] Di kota ini (Athena), Paulus memproklamasikan Kristus secara publik kepada orang Yunani yang menyembah kepada “allah yang tidak mereka kenal”. Keempat, Paulus tidak gentar untuk memberitakan Injil kepada orang berkuasa. Ketika di hadapan pemuka agama, pemimpin politik, termasuk Raja Agripa, Paulus menjelaskan kisah pertobatannya dan Injil dengan rinci, bertanggung jawab, dan sistematis, sampai bahkan dengan berani mengundang raja untuk percaya.[7] Kelima, penginjilan begitu melekat dalam keseharian Paulus. Dalam bagian akhir Kitab Kisah Para Rasul, dicatat ia tinggal di rumah yang ia sewa. Ia membuka rumahnya, menerima orang datang, dan kemudian memberitakan Injil Kristus.[8]

Refleksi

Dari berbagai aspek kerinduan dan pendekatan penginjilan Rasul Paulus, penulis pribadi sangat merenungkan satu bagian, yakni mengenai zona nyaman (comfort zone). Dalam perjalanan kehidupan dan spiritualitas penulis, ada masa-masa di mana sepertinya sudah cukup nyaman dalam konteks pelayanan (termasuk penginjilan) yang dijalani/diemban. Ada periode di mana penulis merasa cukup dalam memberitakan Injil dalam pelayanan di kampus dan lingkungan pekerjaan. Dalam masa-masa seperti ini, teladan Rasul Paulus menjadi dorongan agar penulis bisa menjangkau golongan orang yang benar-benar berbeda, misalkan saja pemulung, nelayan, buruh bangunan, narapidana, dan orang-orang sederhana yang ada di pelosok pulau di Indonesia. Teladan Paulus juga yang menjadi dorongan bagi penulis yang tinggal di Singapura, untuk bisa secara rutin pergi ke Batam dan melayani orang-orang di dalam penjara di Batam.

Dalam kehidupan kita, mungkin ada golongan orang-orang yang kita “hindari” dalam penginjilan. Orang ini bisa saja dari golongan, suku, latar pendidikan, status sosial, atau agama tertentu. Golongan orang ini sangat mungkin memiliki tradisi dan pemikiran yang sudah begitu berakar dan sangat sulit berubah. Kita sangat mungkin akan menghabiskan waktu begitu banyak namun tidak “melihat hasil” ketika melayani orang-orang seperti itu. Kembali belajar dari teladan Rasul Paulus, ini yang mendorong penulis untuk melayani orang-orang seperti demikian. Pendekatan penjelasan sistematis, dialog, dan tanya jawab dari Rasul Paulus menjadi pembelajaran inspiratif bagi penulis, terutama ketika Paulus memberitakan Injil di Athena dan dalam beberapa kasus persidangannya. Penulis kembali diingatkan oleh perkataan Pdt. Stephen Tong, “Orang yang paling keras dan menolak Injil, sangat mungkin adalah orang yang paling memerlukan Injil.” Jika Tuhan berkenan, Tuhan mampu mengubah hati orang yang begitu keras dan rumit untuk kembali kepada-Nya, seperti yang juga telah terjadi dalam kehidupan Paulus.

Penutup

Sebagai penutup, penulis hanya ingin mendorong dan mendoakan kehidupan penginjilan pembaca Buletin PILLAR. Semoga penjelasan singkat dari kehidupan Rasul Paulus bisa menjadi pembelajaran dan dorongan bagi pembaca untuk memberitakan Injil. Semoga kita bisa Tuhan pakai untuk membagikan terang Injil-Nya, baik melalui perkataan maupun perbuatan kita. Secara khusus, semoga melalui hidup kita, ada orang-orang yang tadinya begitu keras menolak Tuhan, mereka boleh datang dan mengenal Tuhan.

“Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (Rasul Paulus)

Juan Intan Kanggrawan

Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:

[1] Pembahasan lebih detail akan dilanjutkan di tahun 2021. Beberapa subtopik yang mungkin dibahas oleh penulis: perubahan paradigma Paulus dari konteks Yudaisme, perjalanan misi Paulus, pendekatan Paulus dalam melayani kota-kota besar/strategis pada waktu itu.

[2] Paulus menulis 13 dari 27 buku/kitab di Perjanjian Baru.

[3] Paulus melakukan tiga kali perjalanan misi yang mencakup berbagai kota/daerah di Asia dan Eropa.

[4] Sejalan dengan dorongan dari Pdt. Stephen Tong, penulis pribadi sangat menyarankan para pembaca untuk terlibat dalam pelayanan anak-anak untuk bisa belajar memberitakan Injil dengan sederhana dan tetap menyampaikan esensi penting. Penulis banyak dibentuk ketika terlibat dalam pelayanan anak-anak (umur TK-SD).

[5] Jika dibandingkan dengan konteks sekarang, Dr. Timothy Keller memberikan ilustrasi bahwa pasar pada waktu itu adalah bagaikan gabungan berbagai institusi penting di bidang politik (mis. kantor presiden, gedung dewan/legislatif), industri (mis. kantor pusat Google, Facebook, Bank raksasa), pendidikan (mis. Harvard, Yale, Oxford, Cambridge), hiburan (mis. Hollywood). Dalam konteks seperti ini, Paulus memberitakan Injil kepada mereka.

[6] Diduga, Paulus menggunakan pendekatan yang sangat mirip dengan Sokrates dalam melakukan dialog. Kontekstualisasi dalam pemberitaan firman dan mengabarkan Injil telah menjadi topik pembahasan panjang. Secara sederhana, pemberian contoh/ilustrasi adalah termasuk dalam aspek kontekstualisasi.

[7] Sebagai orang Kristen, sering kita malu/gentar untuk memberitakan Injil kepada orang yang memiliki kuasa (mis. bos kita di kantor, pemuka/petinggi dalam bidang pemerintahan, masyarakat, atau agama).

[8] Melalui ayat ini, penulis teringat konsep pelayanan L’Abri dari Francis Schaeffer di mana ia menerima orang-orang (terutama golongan muda yang skeptis) untuk menjawab pertanyaan/keraguan mereka dan membawa mereka kepada Tuhan.