Pemberontakan Israel, Kesetiaan Allah, dan Pembenaran Kita

Setelah Firaun membiarkan bangsa itu pergi, Allah tidak menuntun mereka melalui jalan ke negeri orang Filistin, walaupun jalan ini yang paling dekat; sebab firman Allah: “Jangan-jangan bangsa itu menyesal, apabila mereka menghadapi peperangan, sehingga mereka kembali ke Mesir.” Tetapi Allah menuntun bangsa itu berputar melalui jalan di padang gurun menuju ke Laut Teberau. Dengan siap sedia berperang berjalanlah orang Israel dari tanah Mesir. (Kel. 13:17-18)

Rencana Allah
Kedua penggalan ayat di atas adalah pembuka dari perikop di dalam Keluaran 13 dengan judul yang diberikan oleh LAI “Allah menuntun umat-Nya”. Konteks dari perikop ini adalah persiapan keluarnya bangsa Israel dari tanah perbudakan Mesir. Sangat jelas dikatakan bahwa perjalanan bangsa Israel di padang gurun adalah inisiatif dari Allah sendiri. Tetapi kita harus teliti bahwa ketika dikatakan di dalam ayat 18 “Allah menuntun bangsa itu berputar melalui jalan di padang gurun…”, ini bukanlah pengembaraan Israel di padang gurun selama 40 tahun yang sering kali kita dengar ceritanya. Kita akan melihat nanti bahwa berputar-putarnya bangsa Israel selama 40 tahun di padang gurun adalah akibat dosa mereka sendiri.

Di sini jelas dikatakan bahwa Allah sendiri yang memutar rute perjalanan Israel. Perjalanan Israel ke tanah perjanjian sebenarnya sangat dekat jikalau melewati “jalan negeri orang Filistin” (ay. 17) atau yang disebut sebagai “Way of the Land of the Philistines”. Kita akan menggaruk-garuk kepala dan bertanya mengapa Allah sengaja memutar perjalanan bangsa Israel? Alasannya tidak dijelaskan secara mendetail di dalam perikop ini. Tetapi Musa mencatat perkataan Allah sendiri,“Jangan-jangan bangsa itu menyesal, apabila mereka menghadapi peperangan, sehingga mereka kembali ke Mesir” (ay. 17).

Kita dapat membayangkan bahwa Israel yang baru saja keluar dari Mesir itu ibaratnya masih kanak-kanak secara rohani. Selama perbudakan di Mesir, bangsa ini belum pernah melihat pekerjaan TUHAN selain dari kesepuluh tulah. Bahkan firman Allah kepada Israel yang menyatakan “Akulah TUHAN” tidak terlalu digubris oleh mereka (Kel. 6:8). Sungguh Israel tidak mungkin siap menghadapi kesulitan dan bahaya besar yang menanti mereka. Mereka pasti akan begitu mudah meninggalkan Allah yang memanggil mereka keluar dari Mesir. Di sini kita dapat belajar tentang kasih Allah yang dinyatakan di dalam rencana-Nya yang sering kali tidak dapat kita selami. Rencana Allah begitu mendetail sehingga Dia tahu jalan mana yang seharusnya dilalui Israel.

Tetapi kita juga tidak perlu memiliki pembacaan bahwa Allah mau menghindarkan bangsa Israel dari berbagai kesulitan atau ujian karena kita akan melihat bahwa di dalam rute yang panjang dan berputar ini pun Israel banyak mengalami ujian. Juga tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam tiap ujian tersebut Israel meneriakkan sungut-sungut mereka di hadapan Allah. Allah begitu mengasihi anak-anak-Nya yang lemah dan justru Allah yang mengasihi mereka yang lemah ini juga adalah Allah yang mau agar mereka bertumbuh melalui ujian-ujian. Tetapi Allah tahu saat yang tepat untuk memberikan ujian-ujian tersebut. Dia tahu takaran iman anak-anak-Nya. Allah tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Ada kalanya Tuhan membawa kita masuk ke dalam ujian yang relatif lebih “sederhana/mudah” sebelum masuk ke dalam ujian yang lebih “besar/sulit”. Baik itu ujian yang mudah atau sulit, Allah mau kita belajar bergantung dan beriman kepada Dia, karena kita begitu lemah dan mudah meninggalkan Dia. Kita akan melihat respons Allah ketika Israel masuk ke dalam ujian demi ujian dan sungut-sungut yang diteriakkan mereka di padang gurun.

Perjalanan Pertama dan Pernyataan Kasih Allah
Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru kepada TUHAN, dan mereka berkata kepada Musa: “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir.Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.” (Kel. 14:10-12)
Ini adalah ujian dan sungut-sungut yang pertama ketika Israel baru saja keluar dari tanah Mesir dan ketika Israel dikejar oleh pasukan Mesir hingga ke tepi Laut Teberau. Mereka begitu ketakutan dan memilih untuk berada di Mesir ketimbang mati di padang gurun. Bukankah mereka baru saja melihat kekuatan tangan TUHAN yang diacungkan kepada bangsa Mesir? Bukankah mereka seharusnya percaya bahwa TUHAN yang membawa mereka keluar dari Mesir adalah TUHAN yang sama yang akan memimpin perjalanan hidup mereka seterusnya? Kita melihat bahwa TUHAN tidak menghukum Israel yang tidak tahu diri ini. Bahkan Musa mencatat bahwa TUHAN yang berperang bagi Israel dan Israel akan diam saja (Kej. 14:14).

Sampailah mereka ke Mara, tetapi mereka tidak dapat meminum air yang di Mara itu, karena pahit rasanya. Itulah sebabnya dinamai orang tempat itu Mara. Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa, kata mereka: “Apakah yang akan kami minum?” (Kel. 15:24)

Ujian dan sungut-sungut kedua Israel terjadi di Mara setelah mereka menyeberangi Laut Teberau dan melewati Padang Gurun Syur. Persoalan kali ini adalah masalah air. Jutaan manusia yang dipimpin Musa begitu kehausan dan membutuhkan air minum. Tetapi yang mereka temukan di Mara hanyalah air pahit yang tidak dapat diminum. Sekali lagi kita melihat bahwa TUHAN tidak menghukum Israel yang menjerit-jerit, seolah-olah Dia tidak tahu masalah Israel. Sebaliknya TUHAN memberikan sepotong kayu sehingga air di Mara itu menjadi manis dan dapat mereka minum.

Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun; dan berkata kepada mereka: “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.” (Kel. 16:2-3)

Ujian dan sungut-sungut yang ketiga berbeda dari yang pertama dan yang kedua. Di dalam perjalanan mereka di Padang Gurun Sin, bangsa Israel teringat akan makanan yang dapat mereka nikmati ketika mereka masih berada di tanah Mesir. Tidak heran Israel begitu rela diperbudak di Mesir, asalkan mereka bisa makan daging dan roti sampai kenyang. Inilah hidup kita, rela untuk diperbudak oleh dosa, asal kita bisa menikmatinya selagi bisa. Lagi-lagi TUHAN tidak geram dan bahkan tidak menghukum Israel. Dia begitu sabar menghadapi kekanak-kanakan Israel. Bahkan Allah menurunkan manna dan burung puyuh. Tuhan memberikan roti dan daging untuk dimakan, bukan daging saja ataupun roti saja. Dan mulai saat itulah Tuhan menurunkan manna untuk dimakan oleh bangsa Israel sampai mereka tiba di perbatasan tanah Kanaan (Kej. 16:35).

Jadi mulailah mereka itu bertengkar dengan Musa, kata mereka: “Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum.” Tetapi Musa berkata kepada mereka: “Mengapakah kamu bertengkar dengan aku? Mengapakah kamu mencobai TUHAN?” Hauslah bangsa itu akan air di sana; bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa dan berkata: “Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?” (Kel. 17:2-3)

Dinamailah tempat itu Masa dan Meriba, oleh karena orang Israel telah bertengkar dan oleh karena mereka telah mencobai TUHAN dengan mengatakan: “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” (Kel. 17:7)

Israel lupa bahwa sebelumnya TUHAN pernah mengubah air yang pahit menjadi manis sehingga dapat diminum. Kehausan Israel di Rafidim (Masa dan Meriba) mengaburkan berkat TUHAN yang pernah mereka terima di masa lampau. Hidup kita yang penuh ujian juga dapat mengaburkan pengenalan kita akan TUHAN yang memberi berkat. Sama seperti Israel, bahkan ujian yang berat dapat membawa kita bertanya “Adakah Tuhan di tengah-tengah kita?” untuk mencobai kesetiaan-Nya. Begitu mengherankan bahwa sampai saat ini pun TUHAN tidak memukul mati orang-orang yang berulang kali mencobai Dia (ay. 2). Musa mencatat bahwa sekali lagi TUHAN memberikan air minum dari batu yang dipukul dan memancarkan air.

Cara Allah Mendidik Umat-Nya
Dicatat bahwa Israel tiba di Gunung Sinai setelah 3 bulan keluar dari tanah Mesir. Di tempat inilah bangsa Israel beribadah kepada TUHAN dan kepada mereka diberikan Hukum Taurat dan berbagai jenis peraturan. Kita juga tahu bahwa di tempat yang sama bangsa Israel berbuat dosa yang sungguh-sungguh menyakiti hati TUHAN, yaitu ketika mereka membuat dan menyembah anak lembu emas.

Ketika bangsa itu melihat, bahwa Musa mengundur-undurkan turun dari gunung itu, maka berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya: “Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir–kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia.” (Kel. 19-32)

Setelah sebelumnya 4 kali dicobai oleh bangsa Israel, kali inilah kemurkaan TUHAN ditunjukkan. Kira-kira 3.000 orang dari bangsa Israel dimatikan oleh TUHAN melalui Bani Lewi yang memihak kepada-Nya. Kita dapat belajar satu hal bahwa TUHAN menghukum Israel bukan karena Dia sudah disakiti berulang-ulang kali, tetapi karena TUHAN telah memberikan hukum-Nya yang suci tetapi masih saja dilanggar.

Kita akan setuju kalau hukuman itu sebenarnya lebih pantas diberikan kepada orang yang sudah tahu apa yang benar dan yang seharusnya dia perbuat dibandingkan dengan orang yang tidak tahu apa-apa tentang kebenaran. Kita juga setuju jikalau seorang kakak yang sudah lebih dewasa dihukum lebih berat dibandingkan adik yang masih kecil yang berbuat salah. Memang kedua-duanya salah karena melakukan pelanggaran dan pantas mendapatkan hukuman, tetapi yang sudah mengetahui kebenaran akan dihajar setimpal dengan pengertiannya akan kebenaran yang dilanggar.

Begini juga cara Allah mendidik kita. Semakin kita mengenal Dia, Dia tidak lagi mendidik kita dengan cara anak kecil. Semakin kita dewasa secara rohani, Dia akan mendidik kita dengan cara yang terkadang menyakitkan. Tetapi itu semua dilakukan bukan karena Dia yang mendendam dan mau membalas kepada kita, tetapi karena Dia itu kasih adanya.[1] Allah kita bukanlah Allah yang dapat berubah dalam karakter kasih-Nya. Tetapi kita juga harus sadar bahwa Allah kita bukanlah robot yang diam saja ketika didukakan. Allah kita adalah Allah yang relasinya dapat berubah oleh karena keberdosaan kita. Ini juga dibuktikan ketika kita melihat adanya perubahan respons Allah terhadap sungut-sungut Israel di dalam perjalanan berikutnya.

Perjalanan Kedua dan Pernyataan Keadilan Allah
Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan. Lalu berteriaklah bangsa itu kepada Musa, dan Musa berdoa kepada TUHAN; maka padamlah api itu. Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara mereka. (Bil. 11:1-3)

Setelah diam selama hampir 2 tahun di Gunung Sinai (Bil. 10:11), Israel melanjutkan perjalanan mereka menuju ke tanah perjanjian. Tidak berapa lama dari “pendidikan” di Gunung Sinai, Israel kembali lagi mengeluh tentang nasib buruk mereka di hadapan TUHAN di Tabera. Tetapi di sini kita melihat perubahan respons TUHAN terhadap bangsa Israel yang bersungut-sungut. Dia tidak lagi diam, tetapi menyatakan murka-Nya terhadap kedegilan Israel, meskipun saat itu tidak ada orang yang sampai mati dimakan api TUHAN.

Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: “Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.” (Bil. 11:4-6)

Ini bukanlah pertama kalinya Israel bersungut-sungut tentang makanan. Di benak orang-orang Israel masih muncul angan-angan akan kenikmatan makanan di tanah Mesir. Di Kibrot-Taawa lagi-lagi bangsa Israel bersungut-sungut akan makanan yang selama ini TUHAN berikan. Manna begitu membosankan dan mengikut TUHAN tidak lebih baik daripada tinggal di Mesir. TUHAN tidak menolak permintaan mereka dan bahkan kembali memberikan burung puyuh. Tetapi kali ini murka-Nya bangkit oleh karena Israel menolak-Nya (ay. 20) dan TUHAN memukul Israel dengan tulah oleh karena nafsu rakus mereka (ay. 33).

Lalu segenap umat itu mengeluarkan suara nyaring dan bangsa itu menangis pada malam itu. Bersungut-sungutlah semua orang Israel kepada Musa dan Harun; dan segenap umat itu berkata kepada mereka: “Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini! Mengapakah TUHAN membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan istri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?” (Bil. 14:1-3)

Peristiwa di Kadesh-Barnea ini merupakan peristiwa yang sangat terkenal di dalam sejarah perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Inilah saat di mana 10 pengintai membawa kabar busuk tentang negeri yang diintai mereka (Bil. 13:32). Oleh karena peristiwa inilah Israel harus mengembara 40 tahun di padang gurun. TUHAN tidak mengizinkan orang-orang yang memberontak saat itu untuk masuk ke tanah Kanaan. Justru TUHAN sengaja membuat mereka berputar-putar sehingga generasi lama mati dan generasi baru yang akan melihat tanah perjanjian.

Jikalau dengan sungut-sungut yang sama dulunya TUHAN begitu bersabar, kali ini Dia harus menghukum agar Israel tahu siapa Allah yang mereka hadapi. Dia bukan hanya Allah yang kasih dan sabar, tetapi juga Allah yang suci dan adil. Bilangan 14:18 mengatakan, “TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.”

Pada suatu kali, ketika tidak ada air bagi umat itu, berkumpullah mereka mengerumuni Musa dan Harun, dan bertengkarlah bangsa itu dengan Musa, katanya: “Sekiranya kami mati binasa pada waktu saudara-saudara kami mati binasa di hadapan TUHAN! Mengapa kamu membawa jemaah TUHAN ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ? Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minumpun tidak ada?” (Bil. 20:2-5)

Peristiwa di Padang Gurun Zin ini mirip sekali dengan peristiwa di Rafidim ketika Israel bersungut-sungut masalah air. Menariknya, kali ini yang mendapatkan hukuman TUHAN bukan hanya orang-orang Israel tetapi juga Musa dan Harun, pemimpin mereka sendiri. Musa dan Harun gagal menjalankan perintah TUHAN dan akhirnya dilarang masuk ke tanah Kanaan. Mereka bukannya berbisik kepada bukit batu tetapi malah memukulnya dengan tongkat. Nampaknya mereka hanya salah menjalankan perintah TUHAN yang sederhana, tetapi hukumannya seolah-olah begitu tidak setimpal. Tetapi begitu jelas dikatakan di ayat 12 bahwa “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel…”

Masalah utamanya bukan melanggar perintah yang sederhana atau tidak sederhana, tetapi tidak percaya kepada Allah dan tidak menghormati kekudusan Allah. Di sini kita tidak hanya melihat dosa orang-orang yang dipimpin (Israel), tetapi juga dosa orang-orang yang memimpin (Musa dan Harun). Bagaimana kita memimpin umat Allah yang bersungut-sungut di hadapan kita? Bukankah kita perlu belajar menyerahkan setiap perkara kepada Allah dan bukan dengan kekuatan dan pengertian kita sendiri?

Sementara Israel tinggal di Sitim, mulailah bangsa itu berzinah dengan perempuan-perempuan Moab. Perempuan-perempuan ini mengajak bangsa itu ke korban sembelihan bagi allah mereka, lalu bangsa itu turut makan dari korban itu dan menyembah allah orang-orang itu. Ketika Israel berpasangan dengan Baal-Peor, bangkitlah murka TUHAN terhadap Israel; lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Tangkaplah semua orang yang mengepalai bangsa itu dan gantunglah mereka di hadapan TUHAN di tempat terang, supaya murka TUHAN yang bernyala-nyala itu surut dari pada Israel.” (Bil. 25:1-4)

Peristiwa ini adalah penyembahan berhala yang kedua yang dilakukan bangsa Israel. Di Sitim, bangsa Israel berzinah dengan perempuan-perempuan Moab yang membawa mereka menyembah kepada Baal-Peor. Murka TUHAN bangkit dan Dia membasmi setiap orang yang berpasangan dengan Baal-Peor dan sebanyak 24.000 orang mati kena tulah.

Tiga Masalah Utama
Semua ini mungkin hanyalah sebagian kecil dari sungut-sungut Israel yang dicatat oleh Musa. Mungkin sekali masih ada banyak sungut-sungut yang tidak dicatat. Tetapi dari sini kita bisa belajar bahwa sungut-sungut yang disebutkan di atas dapat dikategorikan menjadi tiga permasalahan utama:

Craving for physical needs
       Air, roti, daging, dan burung puyuh menjadi lambang Israel yang tidak percaya akan pemeliharaan Tuhan atas kebutuhan jasmani, meskipun Tuhan telah berulang kali memberikan persediaan fisik yang cukup bagi mereka. Sungut-sungut Israel yang berulang-ulang mengenai hal ini seolah-olah Tuhan tidak tahu mencukupkan kebutuhan Israel. Tentu Tuhan tidak selalu memberikan apa yang Israel inginkan, tetapi Dia selalu memberikan apa yang Israel butuhkan.

Testing God
       Keluhan-keluhan Israel akan nasib buruk mereka di padang gurun dan keinginan mereka untuk kembali ke Mesir menjadi lambang Israel yang mencobai Allah, seolah-olah Allah tidak tahu apa yang terbaik bagi umat-Nya.

Worshipping false god
Penyembahan kepada anak lembu emas dan Baal-Peor menjadi lambang Israel yang bodoh dan bahkan tidak tahu siapa yang seharusnya mereka sembah, padahal sudah begitu jelas bahwa TUHAN-lah yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir dan yang kepada-Nya saja Israel harus menyembah.

Tiga masalah utama ini sesungguhnya juga adalah masalah yang kita miliki. Ketidakpercayaan Israel melambangkan ketidakpercayaan kita. Kedegilan Israel melambangkan kedegilan kita. Kebodohan Israel melambangkan kebodohan kita.

Israel – Tipologi Kristus
Israel tidak belajar akan kesetiaan Allah yang sudah memimpin perjalanan mereka keluar dari Mesir. Israel juga tidak ingat bahwa ujian demi ujian yang mereka hadapi adalah supaya mereka dapat belajar bergantung kepada Allah.

Sama seperti Israel yang diuji di wilderness, Kristus pun melewati beberapa pencobaan di wilderness. Kristus dicobai di wilderness bukan semata-mata untuk mempersiapkan diri-Nya masuk ke dalam pelayanan yang dikehendaki Bapa-Nya, tetapi sesungguhnya juga untuk menggenapi apa yang tidak mampu dikerjakan oleh Israel di
wilderness.[2] Penggenapan ini perlu sehingga melalui ketaatan-Nya yang sempurna Kristus dapat menjadi Juruselamat Israel dan juga Juruselamat kita. Kita mengingat bahwa Kristus pun pernah mengalami hal serupa yang dialami oleh bangsa Israel, bedanya Kristus berhasil taat menjalankan kehendak Bapa.

Matius 4:1-10 mencatat tentang Yesus yang dicobai di padang gurun. Dan jawaban Yesus terhadap pencobaan yang dialami-Nya menjadi sebuah penggenapan akan apa yang tidak mampu dijalankan Israel:
Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. (ay. 4)
Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu! (ay. 7)
Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti! (ay. 10)

Kita bisa melihat paralel dari apa yang dialami Israel dan Yesus. Melalui ketaatan-Nya, ketiga permasalahan utama Israel dibayar lunas. Dan kita dapat belajar bahwa Israel tidak mampu berlaku setia, tetapi Yesus setia menjalankan kehendak Bapa. Dan kitalah gambaran Israel yang tidak setia itu tetapi yang tetap dikasihi Allah. Terpujilah Tuhan kita Yesus Kristus yang telah mengerjakan tuntutan Allah dengan setia akan segala perintah Allah yang tidak mampu dan tidak akan pernah sanggup kita kerjakan dengan sempurna, demi pembenaran kita, demi keselamatan kita. Bagi Dia kemuliaan sampai selama-lamanya!

Kurniawan Prasetya Pieth
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] Ibrani 12:5-8.
[2] A Lent That’s Not For Your Spiritual Improvement.