Problem of Evil: A Biblical Response

Selama ribuan tahun sejak hari kelahirannya, kekristenan telah menghadapi banyak serangan. Di antara serangan-serangan yang ada, fakta mengenai adanya kejahatan sering dianggap sebagai serangan yang paling sulit untuk ditangani. Serangan yang kemudian disebut sebagai “Masalah Kejahatan” (Problem of Evil) dirumuskan oleh David Hume sebagai berikut:

“Apakah Dia mau mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu? Maka Dia tidak Mahakuasa. Apakah Dia mampu, tetapi tidak mau? Maka Dia jahat. Apakah Dia mampu dan mau? Lalu dari mana kejahatan itu muncul?”

dan

“Mengapa di dunia ini ada kejahatan? Tentu saja bukan karena kebetulan. Pasti ada penyebabnya. Apakah kejahatan berasal dari niat Allah? Tetapi Dia sangat baik hati. Apakah kejahatan bertentangan dengan niat-Nya? Tetapi Dia Mahakuasa. Tidak ada yang dapat menggoyahkan alasan (untuk menolak Allah) yang sangat kuat ini: begitu singkat, begitu jelas, begitu tegas.”[1]

Hume dan para filsuf lain menuntut jawaban atas pertanyaan ini: Jika Allah benar-benar baik dan Mahakuasa seperti yang dipercaya oleh orang Kristen, mengapa dunia ini dipenuhi dengan kejahatan? Mengapa Allah mengizinkannya? Para theolog dan filsuf Kristen di sepanjang sejarah telah bergumul untuk memberikan jawaban yang komprehensif dan memuaskan untuk masalah ini. Namun permasalahan ini tidak hanya menjadi kesulitan bagi para akademisi. Siapa di antara kita yang tidak pernah bertanya, “Ya Tuhan, mengapa ini terjadi?” ketika kita mengalami musibah, penyakit, atau kehilangan orang yang kita kasihi? Ketika kita menonton televisi, mendengar radio, dan membaca surat kabar, kita melihat bagaimana dunia ini dipenuhi dengan kekerasan, terorisme, genosida, wabah, penyakit, dan kelaparan. Kita merasa karakter Allah yang kita imani tidak sesuai dengan realitas yang menyedihkan di sekitar kita. Kita menanyakan pertanyaan yang secara esensi sama dengan para filsuf, “Jika Allah Mahakuasa dan Mahabaik, mengapa Ia membiarkan semua kejahatan ini terjadi?” Bagi orang yang tidak percaya, masalah kejahatan adalah bukti terkuat untuk menolak Allah Kristen, dan bagi orang Kristen, masalah kejahatan adalah sengat yang melemahkan dan mematikan iman.

Apakah kita memiliki jawaban untuk semua masalah ini? Hal itu bergantung kepada apa yang kita maksud dengan jawaban. Jika yang dimaksud adalah pembenaran mengenai semua tindakan Allah dalam setiap kejadian kejahatan, atau teori komprehensif yang menjelaskan kaitan antara kemahakuasaan dan kebaikan Allah dengan kejahatan, kemungkinan besar kita tidak akan pernah menemukannya. John Frame dalam bukunya Apologetics: A Justification of Christian Belief menguraikan 9 model jawaban bagi masalah kejahatan: The Unreality-of-Evil Defense, The Best-Possible-World Defense, The Free-Will Defense, The Character-Building Defense, The Stable-Environment Defense, The Divine-Weakness Defense, The Indirect-Cause Defense, The Ex Lex Defense, The Ad Hominem Defense)[2]. Meskipun jawaban-jawaban ini membantu dalam aspek tertentu, jawaban-jawaban ini sering kali mengompromikan ajaran Alkitab mengenai karakter Allah demi mendapatkan penjelasan yang memuaskan hasrat manusia.

Namun jika jawaban yang dimaksud adalah dorongan untuk berjalan di tengah segala kejahatan, kita memilikinya di dalam Alkitab dan Alkitab menyediakannya dalam jumlah yang berlimpah. Kita sering menganggap “Masalah Kejahatan” adalah masalah yang hanya dialami oleh orang modern sehingga kita tidak mencari solusi di dalam Alkitab. Namun sepertinya tidak ada manusia modern mana pun yang lebih mengerti mengenai masalah kejahatan seperti Ayub, Paulus, para pahlawan iman dalam Ibrani 11, atau bahkan Yesus Kristus sendiri. Alkitab berbicara banyak mengenai masalah kejahatan dan bahkan kita dapat mengatakan bahwa seluruh Alkitab berbicara tentang masalah kejahatan. Alkitab adalah kisah tentang kejahatan yang memasuki dunia yang baik dan bagaimana Allah memperoleh kemenangan atas kejahatan di dalam Yesus Kristus.

1. Let Man Be Man, Let God Be God!

Alkitab tidak pernah berasumsi bahwa Allah harus menjelaskan setiap tindakan-Nya kepada kita, betapa pun besarnya keingintahuan kita akan tindakan Allah yang terlihat mencurigakan dan membingungkan. Hal ini adalah tema utama dari kisah Ayub. Seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan, namun mengalami penderitaan yang sangat berat: kehilangan seluruh harta dan sepuluh anak, dikecewakan oleh istri dan sahabat, dan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan bisul. Ayub yakin bahwa penderitaannya tidak adil dan karena itu dia ingin melakukan tanya jawab dengan harapan akan memperoleh pembenaran dari Allah. Ayub memperoleh kesempatan tersebut, tetapi tanya jawab ini tidak berjalan seperti yang dia harapkan. Bukan Ayub, tetapi Allahlah yang bertanya:

Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?

Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!

Siapakah yang telah menetapkan ukurannya?

Bukankah engkau mengetahuinya? (Ayb. 38:4-5)

Inti dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk menunjukkan ketidaktahuan Ayub akan kebesaran karya Allah sehingga dia tidak berhak untuk mempertanyakan tindakan Allah dalam mendatangkan kebaikan dan kejahatan. Ayub kalah telak: dia membungkam mulutnya dan mengakui keberdosaannya karena menganggap dirinya tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya dia ketahui. Akhir cerita, Allah menyelesaikan penderitaan Ayub dan memulihkan keadaannya tanpa menjelaskan mengapa Ayub harus menderita. Kita tahu lebih banyak karena kita dapat membaca prolog dari kisah ini, tetapi Ayub tidak.

Inilah obat pahit yang harus kita minum: kita tidak memiliki hak dan kualifikasi untuk mengajukan keberatan kepada Allah. Alkitab memang memberi ruang bagi kita untuk berkeluh-kesah, namun ketika keluh-kesah ini menimbulkan keraguan kepada Allah, kita sudah berdosa. Allah tidak memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan yang memuaskan untuk setiap tindakan-Nya dan Dia menginginkan kita untuk percaya kepada-Nya. Ini bukanlah iman yang buta karena Allah memberikan firman-Nya sebagai standar. Meskipun demikian, sekalipun iman tidak buta, iman tetaplah berbeda dengan melihat. Natur dari iman adalah bertekun sekalipun kita tidak mengerti secara utuh. Ketika kita berhadapan dengan masalah kejahatan, kita harus mengingat siapa diri kita dan siapa Allah. Kita tidak berhak untuk menjadi hakim atas Allah. Allah adalah Allah, inilah jawaban pertama.

2. Redemptive History

Masalah kejahatan menyatakan bahwa terdapat kontradiksi di dalam diri Allah, antara kemahakuasaan-Nya dengan kebaikan-Nya. Hal serupa dapat kita lihat di dalam sejarah penebusan ketika Allah berada dalam dialektika antara keadilan dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah menuntut bahwa manusia berdosa harus dihukum, tetapi Allah berjanji untuk menyatakan kebaikan-Nya dalam menebus umat-Nya dari dosa. Jika Allah menebus, Ia harus menutup mata terhadap dosa; jika Ia menghakimi, Ia harus mengingkari janji penebusan-Nya. Masalah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan karena kalaupun kita dapat membuktikan keadilan Allah, kita akan secara otomatis menyangkal kebaikan-Nya, dan sebaliknya.

Begitulah tampaknya bagi kebijaksanaan manusia. Manusia tidak akan pernah bisa membayangkan cara untuk menyelesaikan masalah ini. Namun Allah menemukannya: di atas salib Yesus Kristus, di mana keadilan Allah (penghukuman atas dosa) telah lunas dibayar, dan karena Kristus menanggung hukuman di tempat umat-Nya, mereka menerima anugerah pengampunan. Melalui salib Kristus, Allah menunjukkan keadilan dan kebaikan-Nya; tanpa ada salah satu yang dikompromikan dan dalam derajat yang tidak terbatas.

Sejarah penebusan ini memang tidak menjawab semua pertanyaan mengenai masalah kejahatan. Bagaimana dengan genosida? Bagaimana dengan anak-anak yang kelaparan? Bagaimana dengan kesulitan yang kita hadapi saat ini? Ketika pertanyaan-pertanyaan ini muncul, pikirkanlah kembali salib Kristus. Jika Allah dapat mempertahankan keadilan dan kebaikan-Nya ketika kedua hal ini tampak mustahil untuk dipertahankan dan Ia melakukannya dengan cara yang melampaui pengharapan dan pengertian kita, tidakkah kita dapat percaya bahwa Ia mampu dan mau menyelesaikan semua kejahatan, baik pada saat ini maupun pada masa yang akan datang?

3. The Greater-Good

Masalah kejahatan mempertentangkan kemahakuasaan dan kebaikan Allah dengan fakta kejahatan yang ada di dalam dunia, tetapi narasi Alkitab justru menyatakan bahwa kemahakuasaan Allah memampukan-Nya untuk mendatangkan kebaikan dari kejahatan. Kejahatan tidak pernah menghalangi, bahkan justru dipakai oleh Allah untuk mencapai tujuan dan maksud-Nya melalui berbagai cara:

  1. Menarik perhatian: Dosa membuat kita terlelap di dalam kesalahan. Allah memakai kejahatan (penderitaan, bencana) untuk menyadarkan kita akan kesalahan dan membangkitkan kebutuhan kita akan Allah yang akan membawa kita kepada pertobatan.
  2. Sarana disiplin: Allah menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita menjadi kudus. Tiap-tiap ganjaran pada waktu diberikan tidak mendatangkan sukacita tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih oleh Allah.
  3. Penebusan: Penderitaan Kristus membawa kebaikan bagi manusia dan ciptaan. Penderitaan Paulus membawa orang-orang untuk menerima keselamatan, membangun gereja Tuhan, dan membuat jemaat-jemaat yang dilayani-Nya bertumbuh.

Kita tidak selalu dapat memahami mengapa Allah memakai kejahatan untuk mencapai tujuan baik-Nya, tetapi kita tahu bahwa Allah tidak pernah menetapkan sesuatu tanpa suatu tujuan yang baik (Rm. 8:28). Allah selalu memiliki alasan untuk setiap tindakan-Nya dan setiap tindakan-Nya merefleksikan hikmat-Nya yang begitu berbeda dengan hikmat kita (Yes. 55:9). Alkitab berkali-kali memperlihatkan Allah yang mampu mendatangkan kebaikan dari kejahatan. Tidakkah kita dapat percaya, di tengah segala kejahatan yang tak terjelaskan ini, bahwa Allah memiliki tujuan di dalam kedalaman hikmat-Nya?

4. The End of History

Sampai hari ini Allah terus bekerja melalui segala sesuatu untuk menggenapi tujuan baik-Nya, tetapi tujuan itu belum tergenapi secara sempurna. Kita masih harus menunggu dan waktu terus menguji kesabaran kita. Penantian yang panjang di dalam penderitaan terus menggoda kita untuk meragukan Allah. Namun Alkitab memberitahukan bahwa akan datang suatu hari ketika kita akan sepenuhnya dibebaskan dari kejahatan, ketika kita mampu melihat segala tindakan Allah di dalam sejarah adalah benar dan baik, yaitu ketika kita berdiri di hadapan takhta-Nya dan menyanyikan pujian:

“Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan yang tidak memuliakan nama-Mu? Sebab Engkau saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah nyata kebenaran segala penghakiman-Mu.” (Why. 15:3-4)

Inilah saat ketika tidak ada yang akan mengeluhkan setiap tindakan Allah di dalam sejarah. Tidak ada seorang pun yang tidak akan berkata bahwa setiap jalan Allah adalah benar dan adil. Apakah ini berarti kita akan menerima jawaban yang pasti, lengkap, dan menyeluruh? Tidak tentu. Keluhan dan keraguan kita dapat saja hilang seketika ketika kita berhadapan muka dengan muka dengan Pribadi yang sepenuhnya dapat dipercaya itu; tidak akan ada lagi baik keraguan maupun keluhan. Kalaupun masih terdapat ketidakmengertian, kita akan bersukacita bahwa kita pernah hidup bersama dengan ketidakmengertian itu. Ketika hari itu tiba, kebaikan dan kebenaran Allah di dalam Kristus akan begitu meliputi kita, sehingga kita tidak akan pernah dapat membayangkan bahwa Allah dapat melakukan sesuatu yang jahat. Roh Kudus akan mengubah hati kita sehingga seluruh sistem nilai kita akan berbeda. Kita akan melihat bahwa di dalam diri Allah hanya terdapat kekudusan, kebenaran, dan kebaikan, atau dengan kata lain, kita akan melihat-Nya seperti apa adanya Dia. Jika kita percaya saat-saat seperti itu akan tiba, tidakkah hal ini cukup untuk membuat kita tenang pada saat ini?

Seperti yang telah kita antisipasi, Alkitab tidak menawarkan jawaban dan solusi filosofis untuk masalah kejahatan. Alkitab menawarkan jaminan dan kekuatan untuk tetap percaya dan taat kepada Allah di tengah segala kejahatan. Cornelius Van Til, dalam artikelnya Why I Believe in God[3], menggambarkan hal ini melalui kisah tentang seorang anak yang berjalan di tengah hutan bersama dengan ayahnya. Anak itu tidak takut, bukan karena ia mengetahui seluk-beluk hutan tersebut, melainkan karena ia percaya bahwa ayahnya mengetahui semuanya dan mampu menangani setiap situasi. Orang Kristen harus siap untuk mengakui bahwa ada beberapa “kesulitan” yang tidak dapat dipecahkan sehubungan dengan kepercayaan kepada Allah dan wahyu-Nya. Faktanya, akan selalu terdapat misteri di dalam semua yang kita hadapi karena semua fakta memiliki penjelasan akhir di dalam Allah yang pikiran-Nya lebih tinggi dari pikiran kita dan jalan-Nya lebih tinggi daripada jalan kita. Allah seperti inilah yang kita butuhkan. Tanpa Allah yang seperti ini, tanpa Allah yang berkuasa, yang mandiri, dan karenanya tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia, tidak akan ada alasan untuk hal apa pun. Tidak ada manusia yang dapat menjelaskan karena tidak ada manusia yang mampu melihat semua hal, tetapi hanya dia yang percaya kepada Allah yang memiliki hak untuk yakin bahwa terdapat penjelasan akan semua hal yang terjadi.

5. Hati yang Baru

Sebagian orang mungkin berkata, “Ya.. Baiklah.. Saya dapat menerima penjelasan-penjelasan ini dengan pikiran saya, tetapi tidak dengan hati saya.” Alkitab juga mengerti kebutuhan ini karena Allah memang menginginkan kita mengerti bukan hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan hati kita. Bagaimana Allah melakukannya? Lihatlah Roma 5:3b-5:

Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. (Rm. 5:3b-5)

Allah akan memberikan kita hati yang baru sehingga kita dapat bersukacita di tengah segala kesengsaraan (kejahatan) karena kesengsaraan (kejahatan) akan menghasilkan ketekunan, tahan uji, dan pengharapan. Kejahatan tidak pernah menghancurkan kekristenan, melainkan justru menolong mereka untuk bertumbuh di dalam kekudusan. Bagaimana kita dapat memiliki sikap seperti ini? Melalui Roh Kudus, yang Allah berikan kepada kita. Inilah jawaban final bagi masalah kejahatan: Hati yang begitu dipenuhi Roh Kudus sehingga percaya dengan segenap hati bahwa segala jalan Allah adalah benar dan terbaik (Rm. 8:28-38).

Konklusi

Saudara dan saudari sekalian, bagi kita yang percaya kepada Yesus Kristus, inilah pesan bagi kita yang hidup pada masa ketika banyak orang sedang tertekan. Banyak orang mencari jawaban untuk penderitaan dan rasa sakit yang mereka alami, tetapi hanya di dalam Allah kita memiliki dasar untuk hal yang baik dan jahat. Hanya di dalam Kristus kita dapat melihat bahwa kejahatan akan diatasi dan hati kita dibebaskan untuk bersukacita karenanya. Bagi kita yang sekarang belum mengenal Yesus Kristus dengan cara ini, mari kita segera berpaling kepada-Nya untuk menerima keselamatan dari hukuman dosa (yang juga menghasilkan kejahatan) dan sebagai penghiburan bagi kita di dalam masa-masa sulit ini.

Marthin Rynaldo

Pemuda MRII Bogor

Pustaka:

[1] David Hume. Dialogues Concerning Natural Religion, pp. 88, 91.

[2] John Frame. 2015. Apologetics: A Justification of Christian Belief. US: P&R Publishing.

[3] Cornelius Van Til. Why I Believe in God. Diakses dalam: reformed.org.