Pendahuluan
Agama merupakan salah satu aspek yang paling mendasar di dalam kehidupan manusia. Disadari atau tidak disadari, setiap individu memiliki kepercayaan yang bersifat religius. Seseorang bisa memiliki berbagai kepercayaan akan adanya Tuhan, mulai dari keberadaan Allah yang transenden sampai kepercayaan bahwa setiap benda di bumi merupakan bagian dari “tuhan”. Seorang theolog Kristen bernama John Frame mendefinisikan agama sebagai pengamalan perbuatan yang timbul dari iman (the practice of faith), seperti yang dinyatakan secara implisit dalam Yakobus 1:26-27. Oleh sebab itu, tidak ada agama yang tidak nyata buahnya dalam kehidupan praktis pemeluknya. Sehingga, keragaman di dalam iman kepercayaan ini juga menyebabkan perbedaan di dalam aspek-aspek kehidupan seperti perbedaan dalam pandangan politik dan sosial, sampai perbedaan pandangan dalam hal seni dan hiburan. Keragaman di dalam agama merupakan suatu hal yang dihargai dan dilindungi oleh hukum di banyak negara yang menjunjung kebebasan beragama. Namun sayangnya, tidak jarang kebebasan beragama ini diguncang oleh karena perbedaan pandangan politik dan sosial yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan.
Kebebasan beragama masih menjadi salah satu hal yang paling banyak diperbincangkan dan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh masyarakat dunia. Contohnya adalah kasus-kasus berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang merebak di Indonesia belakangan ini dan juga penganiayaan-penganiayaan yang dialami oleh umat beragama di berbagai belahan dunia. Artikel ini akan membahas tentang kontribusi Reformasi dalam perkembangan konsep kebebasan beragama, konsep kebebasan beragama dalam menangani radikalisme, dan peran gereja di dalam menangani radikalisme.
Kontribusi Reformasi dalam perkembangan konsep kebebasan beragama
Secara umum kebebasan beragama diartikan sebagai kebebasan seorang individu untuk memeluk agama tanpa adanya paksaan dari pemerintah, sekelompok individu, maupun individu lain. Kemudian, kebebasan ini dibagi di dalam 2 wilayah yaitu kebebasan beragama secara internal (forum interum) dan eksternal (forum eksterum). Kebebasan beragama secara internal merujuk pada kebebasan hati nurani untuk meyakini, menganut, dan berpindah agama serta hak untuk mempertahankan keputusan seseorang untuk menganut/meninggalkan suatu agama. Kebebasan ini tidak bisa dibatasi oleh undang-undang. Sedangkan, kebebasan beragama secara eksternal adalah kebebasan individu/sekelompok individu untuk menunjukkan agama dalam bentuk pengajaran, pengamalan, ibadah, dan penataannya baik di ranah publik maupun pribadi. Hak untuk mendirikan tempat ibadah, menggunakan simbol-simbol agama, merayakan hari besar agama, menetapkan pemimpin agama, mengajarkan dan menyebarkan agama, hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya, hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi keagamaan juga termasuk di dalam kebebasan beragama secara eksternal. Kebebasan ini dapat dibatasi undang-undang atas dasar keamanan publik (public safety), kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), ketertiban publik (public order), dan hak dasar orang lain (Laporan KBB, 2015). Melalui pembahasan di bawah, artikel ini akan menunjukkan bahwa definisi kebebasan yang dipakai KBB banyak dipengaruhi oleh pemikiran pada zaman Reformasi.
Reformasi menekankan bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat dan berotoritas atas segala ciptaan-Nya. Maka dari itu, hal ini mendorong manusia untuk kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi yang mengatur kehidupannya. Kemudian dari prinsip ini, berkembanglah berbagai macam konsep yang memungkinkan adanya kebebasan beragama di ranah publik.
Pertama, Reformasi menekankan kebebasan yang dimiliki manusia secara inheren sebagai gambar dan rupa Allah. Allah sebagai Pribadi yang mempunyai kebebasan menciptakan manusia sebagai gambar-Nya; maka manusia sebagai makhluk yang diciptakan sebagai pribadi juga mempunyai kebebasan yang serupa dengan Allah. Dalam pengertian inilah manusia mempunyai kebebasan, meskipun kebebasan Allah dan manusia mempunyai perbedaan secara kualitas, di mana kebebasan manusia adalah kebebasan yang dicipta sehingga bergantung kepada kebebasan Allah Sang Pencipta. Namun, kebebasan ini nyata adanya karena kebebasan ini merupakan analogi dari kebebasan Allah. Hal ini berarti setiap individu mempunyai kebebasan yang dibatasi oleh kehendak Tuhan sebagai Sang Pemberi kebebasan yang dinyatakan melalui hukum-hukum-Nya. Karena Tuhan yang memberi kebebasan ini, maka kebebasan ini tidak boleh diganggu oleh pihak lain seperti negara, institusi, ataupun individu lain kecuali Tuhan melalui hukum-Nya di dalam Alkitab memberi otoritas kepada pihak-pihak ini. Para Reformator meyakini bahwa Tuhan tidak memberi hak kepada negara untuk mengatur individu di dalam beragama dan tidak memberi wewenang kepada gereja untuk menggunakan cara-cara yang bersifat koersif untuk memaksa individu dalam memeluk agama tertentu. Maka dari itu mereka memperjuangkan kebebasan individu dalam memeluk agama di dalam konteks menginterpretasi Alkitab secara berbeda dari Roma Katolik tanpa gangguan dari penguasa.
Kedua, Reformasi mendorong pembatasan terhadap negara di dalam menjalankan kedaulatannya. Reformasi menegakkan kedaulatan Allah yang absolut sehingga tidak ada institusi di dalam dunia yang berhak mengklaim kekuasaan secara absolut, dan menekankan bahwa otoritas negara berasal dari Allah (Rm. 13:1-7). Tentu hal ini berarti ada bagian di mana negara tidak boleh menjalankan kedaulatannya. Apakah Alkitab mengizinkan negara untuk menjalankan otoritasnya di dalam kehidupan beragama? Jika kita melihat dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel diharuskan menghukum penyembahan kepada ilah (misal di Ulangan 13) bukan di dalam otoritas Israel sebagai satu negara tetapi karena bangsa Israel adalah replika dari kekudusan Allah di bumi (Kel. 19:5-6). Kemudian, dalam Perjanjian Baru kita tahu bahwa kekudusan bangsa Israel adalah bayang-bayang dari kekudusan Kristus yang adalah Sang Israel sejati. Terlebih lagi, jika kita melihat bagian Alkitab seperti 1 Korintus 1:2, 1 Korintus 3:17, dan 1 Petrus 2:1-5, 9-10, maka kekudusan ini sekarang dimiliki dan dinyatakan melalui gereja-Nya. Kekudusan Allah tidak dimiliki dan dinyatakan oleh negara. Hal ini berarti secara negatif negara tidak diberikan hak oleh Tuhan untuk menghukum penyembahan kepada ilah apa pun, dan secara positif negara harus menegakkan prinsip kebebasan beragama.
Sehingga, Roma 13:1-7 bisa dimengerti bahwa Tuhan hanya mengizinkan negara untuk memberi hukuman kepada pelanggaran yang dilakukan satu manusia kepada manusia lain dan bukan pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap Tuhan. Terlebih lagi, pelanggaran yang dilakukan satu manusia kepada manusia lain ini pun harus bersifat konkret dalam arti kerusakan yang ditimbulkan kepada pihak lain bersifat langsung dan jelas. Langsung dan jelas di sini didefinisikan sebagai pelanggaran yang menimbulkan dampak secara langsung kepada manusia dan dampak tersebut nyata secara eksternal, mengingat kapasitas penilaian manusia (yang merupakan agen penegak hukum negara) sering kali hanya bisa secara akurat menghakimi hal-hal yang dampaknya nyata secara eksternal dan bukan kepada apa yang ada di dalam hati manusia (bdk. 1Sam. 16:7). Kesimpulan ini ditarik karena dalam Perjanjian Lama tidak ada hukum yang jelas bagi negara untuk menghukum dosa iri hati karena dosa ini tidak menimbulkan kerugian yang bersifat konkret, meskipun dosa ini menyebabkan berbagai macam dosa yang menimbulkan kerugian yang bersifat konkret (Mat. 15:18-20, 1Tim. 6:10).
Meskipun kebebasan beragama berpotensi memberikan dampak negatif bagi masyarakat (seperti seseorang diizinkan percaya kepada satu tuhan yang mendukung pembunuhan dan pemerkosaan sebagai jalan menuju kebahagiaan), negara tidak boleh menghukum seseorang berdasarkan apa yang ia percaya bahkan ketika itu menyebabkan orang tersebut ingin untuk melakukan hal yang merugikan orang lain secara konkret (seperti pembunuhan dan pemerkosaan) ataupun menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Tetapi, negara hanya boleh menghukum seseorang ketika ia melakukan hal yang menyebabkan kerugian yang bersifat konkret terhadap sesamanya. Adalah tugas gereja untuk memberi terang komunitas ini dengan firman Tuhan sehingga pemeluk agama ini boleh bertobat dan kembali kepada rancangan Tuhan dalam mengasihi
sesama manusia.
Ketiga, Reformasi mendorong pemisahan kekuasaan antara gereja sebagai lembaga agama dan negara. Reformator Yohanes Calvin menekankan perbedaan antara gereja dan negara karena kedua institusi ini mempunyai peran dan hak yang berbeda, sehingga ia sendiri pun tidak memperbolehkan gereja di Geneva untuk menjadi identik secara organisasi dengan badan
pemerintahan setempat.
Terlebih lagi Kristus berkata bahwa ada perbedaan antara Kerajaan-Nya dan kerajaan dunia ini, di mana Kerajaan Kristus bersifat spiritual (Yoh. 18:36-37). Ini berarti Kerajaan Kristus tidak memakai kekerasan untuk memperluas Kerajaan-Nya. Hal ini juga berarti Kerajaan Kristus tidak memakai cara-cara yang digunakan oleh kerajaan dunia untuk memperluas Kerajaan-Nya. Meskipun Kristus adalah Tuhan atas gereja dan negara, Kristus memilih cara yang berbeda dari kerajaan dunia untuk memperluas Kerajaan-Nya yaitu dengan doa, pemuridan, dan penginjilan (Mat. 28:18-20). Oleh sebab itu gereja tidak memakai cara-cara yang dilakukan oleh kerajaan dunia untuk menarik orang-orang memercayai Kristus (misalnya dengan memengaruhi negara untuk membuat hukum yang mengharuskan semua warga negara menjadi orang Kristen ataupun melakukan perang yang bersifat fisik untuk menyebarkan kekristenan).
Di dalam konteks yang lebih luas, kekristenan mengajarkan pemisahan kekuasaan antara negara dan lembaga agama karena adanya keterbatasan dalam kedaulatan suatu negara maupun lembaga agama. Lembaga agama dan lembaga negara tidak boleh melebur menjadi satu demi tidak melampaui batas kedaulatan yang Tuhan berikan kepada masing-masing lembaga. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak boleh dijadikan otoritas tertinggi dalam pembuatan hukum suatu negara. Malahan sebaliknya, Alkitab haruslah menjadi otoritas tertinggi suatu negara karena baik negara maupun gereja sejatinya adalah hamba Tuhan dengan peran yang berbeda.
Keempat, Reformasi membuat orang sadar bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh melalui iman kepada Kristus yang semata-mata adalah anugerah dari Tuhan. Ini berarti keselamatan hanya bisa diperoleh melalui kekuatan yang bersifat spiritual (kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus) dan bukan kekuatan yang bersifat duniawi (misal paksaan dari negara melalui hukum). Ini mendorong gereja untuk tidak menggunakan negara sebagai alat dalam menyebarkan agamanya tetapi menggunakan cara yang diperintahkan oleh Kristus sendiri, yaitu melalui doa, penginjilan, dan pemuridan.
Jadi Reformasi mendorong munculnya kebebasan beragama di ranah publik dan pribadi karena:
Memberi pandangan biblika terhadap natur dari manusia di mana manusia memiliki kebebasan yang terbatas dan sejati (poin pertama).
Pandangan yang biblika terhadap natur dari negara di mana kedaulatan negara itu terbatas sehingga hanya diperbolehkan memberi hukuman terhadap pelanggaran kepada sesama manusia yang kerugiannya bersifat konkret (poin kedua).
Pandangan yang biblika terhadap natur gereja sehingga melarang gereja untuk menggunakan cara-cara tertentu untuk menjalankan tugasnya (poin ketiga).
Natur dari tugas gereja yang hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang bersifat spiritual (poin keempat).
Kebebasan beragama Kristiani
Kemudian kita juga bisa bertanya, “Ekspresi kebebasan beragama seperti apa yang didukung oleh kekristenan?” Dari poin-poin di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa kekristenan mendukung ekspresi kebebasan beragama apa pun selama tidak menimbulkan kerugian kepada sesama manusia yang bersifat konkret. Ini berarti semua orang diizinkan untuk mengamalkan agamanya baik di ranah pribadi dan publik. Namun, hal ini juga berarti berlakunya batasan pada perilaku orang yang beragama, sehingga orang tidak bisa bertindak semena-mena atas dasar kebebasan beragama. Terlebih lagi, batasan ini mempunyai dasar yang kukuh karena negara dimandatkan oleh Tuhan untuk menghukum pemeluk agama yang melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian yang bersifat konkret menurut standar yang dinyatakan dalam Alkitab. Dengan demikian, aktivitas seperti diskusi kritis antara satu kepercayaan dan kepercayaan yang lain, mendirikan sekolah yang didasari oleh kepercayaan tertentu, berdoa di tempat umum, mengekspresikan keyakinan seseorang di dalam pekerjaan adalah hal yang diizinkan selama itu tidak menimbulkan kerugian yang bersifat konkret kepada sesama manusia. Maka kita melihat sekarang bahwa definisi kebebasan beragama yang dipakai KBB banyak dipengaruhi oleh pemikiran Reformasi. Sehingga nyatalah pengaruh Reformasi kepada masyarakat bahkan hingga saat ini.
Kebebasan beragama Kristiani dan beberapa alternatif lain dalam menghadapi radikalisme
Selanjutnya artikel ini akan terlebih dahulu membahas dua pemikiran non-Kristen di dalam menegakkan kebebasan beragama di tengah bahaya radikalisme, kemudian memaparkan konsep kebebasan beragama Kristiani dalam menangani bahaya radikalisme.
Pemikiran pertama adalah privatisasi agama, yaitu satu pandangan yang melarang individu dalam mengekspresikan iman kepercayaannya di ranah publik. Salah satu dampak pemikiran ini adalah individu dilarang untuk menyatakan nilai-nilai agamanya dalam bidang politik, edukasi, dan lain sebagainya. Konsekuensinya, kerap pemikiran ini memaksakan warga negaranya menghidupi iman kepercayaan sekuler di ranah publik. Sehingga meskipun pandangan ini bisa menekan bahaya radikalisme karena seseorang tidak diperbolehkan mengamalkan nilai agamanya di ranah publik, pandangan ini menghancurkan kebebasan beragama seseorang secara otomatis karena ia tidak bisa menyatakan buah agama dalam segala aspek kehidupannya.
Pemikiran kedua adalah pluralisme, yaitu satu pandangan yang mau memberikan ekspresi kebebasan beragama yang sebesar-besarnya. Dasar dari pemikiran ini adalah bahwa setiap agama mempunyai kebenaran. Namun, jika pandangan ini diaplikasikan secara konsisten, pandangan ini tidak bisa membendung satu agama untuk mengaplikasikan kepercayaannya yang menimbulkan kerugian yang bersifat konkret kepada orang lain (contoh: kepercayaan yang menyatakan bahwa membunuh orang yang memeluk agama tertentu adalah satu cara untuk mencapai kesucian). Pandangan ini seharusnya tidak bisa membendung hal ini karena mengasumsikan bahwa semua agama mempunyai kebenaran, sehingga kepercayaan seperti ini pun harus dinilai sah. Kita bisa merasakan konsekuensi dari pemerintah yang mempunyai semangat pluralisme yang sangat kental ketika pemerintah segan untuk bertindak tegas di dalam mengadili perbuatan yang menimbulkan kerugian secara konkret kepada satu pihak atas nama agama. Hal ini justru merusak kebebasan beragama secara luas karena umat-umat beragama tidak merasa aman di dalam mengekspresikan agamanya di ranah publik.
Lalu bagaimana dengan prinsip kebebasan beragama Kristiani? Kita bisa meringkas prinsip-prinsip kebebasan beragama Kristiani menjadi 2 poin berikut:
Alkitab memberi dukungan kepada setiap individu untuk mengekspresikan agamanya baik di ranah pribadi maupun publik, karena Alkitab mengatakan manusia adalah gambar dan rupa Allah sehingga memiliki kebebasan dan sekaligus membatasi kuasa pemerintah dalam mengatur iman kepercayaan penduduknya.
Alkitab memberi batas pada ekspresi kebebasan beragama seorang individu karena Alkitab meneguhkan identitas manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada Tuhan sebagai gambar dan rupa-Nya dan melarang tindakan yang menimbulkan kerugian yang bersifat langsung dan eksternal dengan memberi mandat kepada pemerintah untuk menegakkan keadilan Tuhan sesuai dengan porsi yang diberikan.
Berdasarkan 2 poin di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa prinsip kebebasan beragama Kristiani dapat menangani bahaya radikalisme karena memberikan pemerintah hak untuk menghukum perilaku seseorang yang menimbulkan kerugian yang bersifat konkret; termasuk ketika perilaku ini dilakukan atas nama agama. Namun, prinsip ini juga tidak menghancurkan kebebasan beragama karena memberi hak kepada setiap individu untuk mengekspresikan nilai-nilai agama baik di ranah publik maupun pribadi selama tidak menimbulkan kerugian yang bersifat konkret.
Peran gereja dalam menyelesaikan problema radikalisme
Permasalahan radikalisme, sama halnya dengan segala kejahatan, pada akhirnya adalah permasalahan spiritual yang timbul dari hati yang berdosa. Sehingga, pedang yang disandang pemerintah tidak memadai pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan problema ini karena pedang ini tidak mampu untuk mengubah hati yang berdosa. Oleh sebab itu gereja, yang kepadanya Tuhan berikan pedang Roh yang adalah firman Tuhan, perlu berperan dengan memberitakan Injil kepada setiap orang terutama kepada orang yang dipengaruhi oleh paham radikalisme. Sehingga mereka boleh mendengar dan percaya kepada Kristus yang adalah satu-satunya Pribadi yang melalui-Nya mereka bisa mendapatkan pengampunan dari Tuhan, kelepasan dari keberdosaan hati mereka, dan mendapatkan hati yang baru untuk mengasihi Allah dan sesama manusia.
Mungkin orang jatuh kepada paham radikalisme dengan harapan boleh mencapai hidup yang lebih berarti dan merasakan sukacita yang lebih penuh. Kalau memang demikian, maka gereja harus menyatakan kepada mereka bahwa sukacita dan kepuasan manusia yang paling dalam hanya bisa ditemukan di dalam Kristus. Sehingga setiap orang harus sungguh-sungguh beriman bahwa Kristus adalah Tuhan dan meninggalkan dosa-dosa mereka kalau mereka ingin mendapatkan sukacita yang sejati ini. Gereja harus memberitakan Kristus yang adalah Roti Hidup sehingga barang siapa yang percaya kepada-Nya tidak akan lapar dan haus lagi (Yoh. 6:35). Adalah peran kita yang adalah gereja untuk mau rela mengasihi mereka dengan memberitakan Injil kepada mereka.
Penutup
Reformasi telah memberi dampak yang begitu besar dalam perkembangan konsep kebebasan beragama dengan menyatakan hak dan limitasi dari hak warga negara, institusi agama, dan pemerintah di dalam mewujudkan masyarakat yang bebas dan teratur. Hal ini dimungkinkan karena Reformasi mendorong manusia untuk rela tunduk kepada Tuhan di dalam segala sesuatu, di mana hal ini dinyatakan dalam semangat sola scriptura. Konsep kebebasan beragama ini juga dapat menangkal bahaya dari radikalisme tanpa berkompromi baik terhadap kebebasan individu (seperti halnya dalam privatisasi agama) maupun pemerintah (seperti halnya dalam pluralisme), karena konsep ini menyatakan hak dan limitasi dari hak warga negara, institusi agama, dan pemerintah secara jelas dan koheren. Selain dari pemerintah, gereja mempunyai peran yang krusial di dalam menyelesaikan problema radikalisme karena kepada gereja dianugerahkan berita Injil yang adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya (Rm. 1:16).
Gereja memiliki peranan yang sangat penting di dalam masyarakat, yaitu menyatakan Injil kepada masyarakat yang dapat membawa mereka kepada pertobatan. Di satu sisi negara hadir untuk menyatakan keadilan Allah, tetapi pernyataan ini dijalankan dengan menggunakan kuasa baik politik, ekonomi, maupun militer. Namun otoritas Allah yang diberikan kepada negara tidak dapat membawa mereka untuk hidup sungguh-sungguh beribadah kepada Allah, karena itu bukan peranan dari negara. Di sisi lain gereja hadir untuk menyatakan kasih Allah yang diwujudkan melalui hadir-Nya Sang Anak dalam menggenapi karya penebusan Allah. Kristus hadir dengan tidak membawa pedang, militer, kuasa politik, maupun ekonomi. Ia tidak hadir dengan kekerasan yang memaksa manusia untuk bertobat, tetapi Ia hadir dengan kasih yang Ia nyatakan melalui kayu salib. Ia hadir dengan menyatakan kabar keselamatan bagi umat-Nya. Aspek mengenai Injil pun adalah aspek yang sangat penting dalam Gerakan Reformasi. Inilah yang menjadi keunikan dan pentingnya Reformasi.
Reformasi adalah sebuah gerakan yang secara komprehensif ingin mengembalikan seluruh umat manusia kembali kepada Allah, mulai dari gereja hingga memberikan dampaknya bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, di dalam momen Natal ini, kita kembali mengingat bahwa semangat perjuangan Reformasi adalah semangat perjuangan yang sangat penting dan krusial bagi zaman ini. Semangat yang mengembalikan kekristenan berpusat kepada Kristus yang diberitakan di dalam Alkitab dan memanifestasikan penebusan ini ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam konteks kebebasan beragama.
David Hartana, David Sukuandi, Jack Setio, Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne
Endnotes:
1. Calvin, J. and Battles, F. (1995). Institutes of the Christian Religion. Grand Rapids, Mich.: H.H. Meeter Center for Calvin Studies.
2. Frame, J. (2015). A History of Western Philosophy and Theology. Phillipsburg, N.J.: P & R Pub.
3. Hall, D. and Padgett, M. (2010). Calvin and culture. Phillipsburg, N.J.: P & R Pub.
4. Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. (2015). “Utang” Warisan Tak Kunjung Terlunasi. The Wahid Institute.
5. Poythress, V. (1995). The Shadow of Christ in the Law of Moses. Phillipsburg, N.J.: P & R Pub.
6. Poythress, V. (2016). The Lordship of Christ. Phillipsburg, N.J.: P & R Pub.