Reformasi dan semangat sola scriptura (Back to the Bible) tidak mungkin dipisahkan. Semangat untuk kembali kepada ajaran Alkitab adalah salah satu pilar dalam menopang Gerakan Reformasi yang terjadi 500 tahun yang lalu. Bahkan semangat sola scriptura ini adalah semangat yang mendasari keempat sola lainnya (sola fide, sola gratia, solus Christus, soli Deo gloria). Sehingga kegagalan dalam menjaga semangat ini akan menuntun kita kepada kegagalan semangat Reformasi lainnya. Kalau kita menelusuri sejarah, sola scriptura adalah salah satu semangat yang dengan sengitnya diserang oleh berbagai pengajaran dunia. Bahkan hal ini sudah berlangsung sejak manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Pembelajaran mengenai hal ini akan membawa kita kepada pembelajaran akan relasi manusia dengan kebenaran.
Pergumulan Kebenaran di Sejarah Singkat Perjanjian Lama dan Baru
Sejak manusia pertama kali jatuh ke dalam dosa, natur manusia selalu ingin membangun kebenarannya sendiri. Keputusan Adam dan Hawa untuk mengambil lalu memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat, adalah sebuah bukti nyata pemberontakan mereka terhadap kebenaran yang Allah sudah nyatakan. Hal ini mereka lakukan dengan intensi ingin menentukan sendiri mana yang baik dan jahat, bukan menaati prinsip yang Allah sudah berikan. Lalu Alkitab juga mencatatkan kisah menara Babel. Menara ini adalah sebuah icon di dalam Kitab Kejadian, yang menjadi manifestasi keangkuhan sekaligus perlawanan manusia secara eksplisit kepada Allah. Mereka berpikir dengan menara yang menjulang tinggi, mereka dapat menunjukkan supremasi dan kehebatan diri. Lalu pada bagian selanjutnya kita pun melihat bukan hanya bangsa kafir yang secara terang-terangan melawan Allah, bangsa Israel pun pada masa-masa tertentu menjadi bangsa yang melawan kepada Allah. Ironisnya, pemberontakan ini dilakukan walaupun mereka sudah menjadi bangsa yang menerima Hukum Taurat. Penolakan bahkan pembunuhan terhadap nabi-nabi yang Allah kirim, menjadi bukti nyata bahwa bangsa Israel pun adalah bangsa yang menolak dan tidak menyukai kebenaran. Hanya karena anugerah Tuhan saja, pada masa tertentu, bangsa ini dapat menerima kebenaran dan hidup sesuai dengan kehendak Allah. Sejarah Perjanjian Lama menjadi gambaran dari perlawanan manusia berdosa pada masa sebelum Sang Kebenaran itu hadir secara langsung dan berada di antara manusia.
Pada masa selanjutnya, di dalam Perjanjian Baru, hal yang serupa pun terus terjadi. Pada masa inilah puncak perlawanan manusia terhadap Allah dengan gamblang ditunjukkan. Manusia secara terang-terangan menolak Sang Kebenaran, yaitu Yesus Kristus, bahkan menyalibkan-Nya. Ini menjadi bukti nyata bahwa manusia di dalam dosa tidak pernah menyukai kebenaran. Kristus, Sang Firman, hadir di dalam dunia ini untuk menjalankan kehendak Bapa dan menjadi puncak dari pewahyuan Allah kepada manusia. Tetapi manusia yang hidup di dalam kegelapan, menolak terang kebenaran itu. Mereka lebih memilih untuk terus menikmati hidup di dalam kegelapan dan kubangan dosa. Mereka menolak kebenaran demi memenuhi nafsu kedagingan. Para rasul dan jemaat Gereja Mula-mula, sebagai kelompok yang ditebus menjadi umat Allah untuk memberitakan Sang Kebenaran, juga mengalami penolakan dari orang-orang yang belum percaya. Satu per satu rasul harus meneteskan darahnya yang terakhir, dalam perjuangan memberitakan Sang Firman, di tangan orang-orang yang membenci kebenaran. Sejarah Perjanjian Baru memberikan sejarah Sang Kebenaran dan umat tebusan-Nya yang berjuang menyatakan kebenaran Allah di tengah penolakan dari manusia berdosa.
Pergumulan Kebenaran di Kekristenan Abad Awal dan Pertengahan
Pada abad-abad awal, kekristenan diwarnai dengan perjuangan memformulasikan doktrin-doktrin yang sesuai dengan Alkitab maupun proses kanonisasi Alkitab. Para Bapa Gereja dibangkitkan Tuhan untuk berjuang mempertahankan dan memformulasikan kebenaran yang Allah sudah wahyukan melalui nabi, rasul, dan Sang Anak. Selain tokoh-tokoh seperti Justin Martyr, Irenaeus of Lyons, Clement of Alexandria, dan Origen of Alexandria, salah satu tokoh yang cukup kita kenal adalah Athanasius. Ia berjuang menghadapi Arianisme, di dalam memperjuangkan ajaran Tritunggal. Tokoh lain yang sangat terkenal pada masa ini adalah Agustinus. Ia adalah seorang Bapa Gereja yang pemikiran-pemikirannya sangat memengaruhi pemikiran Martin Luther maupun John Calvin. Di dalam zamannya, ia bertarung dengan sengit melawan Manichaeism, sebuah ajaran yang percaya bahwa kebaikan dan kejahatan berseteru secara kekal. Selain itu, Agustinus juga adalah pemimpin dari konsili-konsili pada akhir abad keempat hingga awal abad kelima, yang berkaitan dengan proses kanonisasi Alkitab. Proses kanonisasi Alkitab berlangsung selama berabad-abad dan menghadapi berbagai perbedaan pendapat. Mereka harus memilah kitab mana saja yang bisa masuk menjadi bagian di dalam Alkitab, ini adalah sebuah perjuangan yang sangat berat, menuntut konsistensi dan presisi. Walaupun kisah perjuangan secara individual di dalam proses kanonisasi tidak banyak dibahas, tetapi proses ini pasti memiliki tantangan dan kesulitan tidak kecil. Inilah beberapa gambaran perjuangan bagi kebenaran pada masa Bapa-bapa Gereja. Perjuangan ini bukan hanya menghadapi tantangan orang-orang yang tidak menyukai kebenaran dari luar gereja tetapi juga menghadapi intrik internal, khususnya menghadapi pengajaran sesat yang beredar di dalam gereja.
Abad Pertengahan adalah masa kekristenan mendapatkan angin segar dan kenyamanan. Selain kanonisasi Alkitab yang sudah selesai (walaupun perdebatan masih terus terjadi), kekristenan juga diakui menjadi agama negara sejak Kaisar Constantine bertobat dan menjadi Kristen. Kekristenan membudaya selama berabad-abad tetapi ironisnya, iman dan perjuangan mereka menjadi luntur dan semakin suam. Jikalau pada abad awal theologi Kristen sangat berkembang maka pada Abad Pertengahan perkembangan theologi Kristen hampir tidak ada hingga sekitar abad ke-11 muncul Anselm of Canterbury dan Thomas Aquinas sekitar abad ke-13. Meskipun pada abad ini kekristenan mendapatkan banyak kenyamanan dan sangat minimnya tantangan dari luar, tantangan terhadap kebenaran tetap menjadi isu penting. Perbedaannya, pada masa ini tantangan yang mereka hadapi lebih banyak dari dalam tubuh kekristenan itu sendiri. Minimnya tantangan menyebabkan kekristenan tidak lagi merasa perlu memperjuangkan dan akhirnya minim dalam penyelidikan kebenaran. Akibatnya, banyak ajaran yang tidak berdasarkan Alkitab berkembang pada zaman ini. Gereja yang lebih mementingkan kepemilikan akan relikui (benda-benda yang dianggap sakral, seperti potongan kayu yang dipercaya sebagai bagian kayu salib Tuhan Yesus, kain yang pernah dipakai Tuhan Yesus, dan lain-lain) dibanding pengajaran Kitab Suci. Pada masa ini juga berkembang pemikiran yang menyatakan bahwa tradisi dan gereja (Paus), memiliki otoritas yang setara, bahkan beberapa mengatakan lebih tinggi, dibanding otoritas Alkitab. Pengajaran menjadi salah satu topik yang sangat diperdebatkan pada masa Reformasi. Maka, Abad Pertengahan adalah abad di mana kebenaran mendapatkan perlawanan dari dalam. Pengajaran gereja bukan diserang dari luar tetapi justru digerogoti dari dalam.
Pergumulan Kebenaran di Masa Reformasi
Abad Pertengahan merupakan abad di mana banyak orang yang buta akan kebenaran. Selain akses terhadap Alkitab yang begitu terbatas karena kendala bahasa dan eksklusivitas, masyarakat pun didoktrinasi untuk lebih tunduk kepada otoritas gereja dan tradisi dibanding tunduk kepada otoritas Alkitab. Mereka tidak diajar bahkan tidak diperbolehkan untuk memberikan kritik terhadap gereja. Sehingga, jikalau bangkit orang-orang yang menyatakan argumentasi terhadap otoritas gereja, mereka akan dianggap sebagai bidat dan harus mendapatkan hukuman yang berat. Hal ini terlihat di dalam pernyataan dari Sylvester Prierias (seorang theolog Dominican yang ditunjuk oleh Leo X), “He who does not accept the doctrine of the Church of Rome and pontiff of Rome as an infallible rule of faith, from which the Holy Scriptures, too, draw their strength and authority, is a heretic.” Pernyataan ini ia kemukakan sebagai reaksinya terhadap 95 tesis dari Martin Luther. Dari kalimat Prierias, kita bisa melihat sebuah kepercayaan yang kukuh akan ketidakbersalahan dan keabsahan dari seorang Paus atau yang dikenal dengan dogma “ex cathedra”.
Kurang lebih 100 tahun, sekitar tahun 1400-an, sebelum terjadinya puncak peristiwa Reformasi (31 Oktober 1517), Jan Hus sudah memperjuangkan otoritas Alkitab. Perjuangan Jan Hus sangat dipengaruhi oleh ajaran Wycliffe, yang mendorongnya untuk menempatkan otoritas Alkitab melebihi otoritas gereja apalagi Paus. Keputusan hati Hus ini menyebabkan dirinya diekskomunikasi dari gereja. Selanjutnya, ia berjuang melalui tulisan-tulisannya yang mengkritisi Paus, dan mengatakan bahwa Kepala Gereja bukanlah Paus melainkan Kristus. Bahkan dengan berani ia berkata bahwa memberontak kepada Paus yang sesat adalah bentuk ketaatan kita kepada Kristus. Pernyataannya yang keras ini mengakibatkan dirinya ditangkap lalu pada tahun 1415, ia dibakar hidup-hidup karena tidak mau menyangkali imannya.
Semangat yang berkobar di dalam diri Hus tidak padam. Semangat ini diteruskan oleh Luther di dalam menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi. Salah satu perdebatan sengit dari Martin Luther dengan Katolik adalah saat ia berdebat dengan seorang yang bernama Johannes von Eck. Ia mengatakan, “I see that you are following the damned and pestiferous errors of John Wycliffe, who said, ‘It is not necessary for salvation to believe that Roman Church is above all others.’ And you are espousing the pestilent errors of John Hus, who claimed that Peter neither was nor is the head of Holy Catholic Church.” Menanggapi kalimat dari Eck, Luther mengatakan:
“I assert that a council has sometimes erred and may sometimes err. Nor has a council authority to establish new article of faith. A council cannot make divine right out of that which by nature is not divine right. Councils have contradicted each other, for the recent Lateran Council has reversed the claim of the councils of Constance and Basel that a council is above a pope. A simple armed with Scripture is to be believed above a pope or a council without it. As for the pope’s decretal on indulgences say that neither the Church nor the pope can establish articles of faith. These must come from Scripture. For the sake of Scripture we should reject pope and councils.”
Dari perdebatan ini, kita bisa melihat perbedaan stand point antara Eck yang berpegang pada kedaulatan otoritas Paus dibanding dengan Luther yang berpegang kepada otoritas Alkitab. Inilah pergumulan kebenaran yang terjadi di masa Reformasi, yaitu pergumulan menghadapi otoritas Paus dan gereja yang pada saat itu disalahgunakan. Di tengah krisis inilah semangat sola scriptura lahir. Semangat yang ingin membawa seluruh gereja kembali kepada otoritas kebenaran yang autentik, yang Allah sendiri sudah nyatakan bagi kita yaitu Alkitab.
Selain Luther, kita juga mengenal Zwingli dan Calvin yang juga menghadapi tantangan pada zaman mereka. Salah satu kisah yang cukup menarik perhatian adalah perdebatan antara Zwingli dan Johannes Fabri yang menjadikan otoritas Alkitab sebagai topik utamanya. Salah satu isu yang diangkat adalah mengenai doktrin “Intercession of the saints and Mary”. Fabri berkata bahwa kebenaran doktrin ini didasarkan kepada tradisi dan otoritas dari konsili, sedangkan Zwingli meminta Fabri untuk membuktikannya berdasarkan yang Alkitab katakan. Zwingli menyatakan argumentasinya karena ia percaya Alkitab diinspirasikan oleh Allah, sehingga tidak ada kesalahan dan memiliki otoritas yang final. Ia juga mengatakan bahwa Alkitab seharusnya dimiliki oleh setiap orang awam, tidak hanya diklaim bagi biarawan saja. Inilah semangat sola scriptura. Dan pada akhir perdebatan ini Zwingli ditanya oleh seorang biarawan mengenai apakah ini berarti kita harus meninggalkan semua ajaran para Bapa Gereja dan hanya berpaut kepada Alkitab saja. Zwingli memberikan jawaban bahwa kita tetap mempelajari ajaran Bapa Gereja, hanya jikalau kita menemukan ajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab, kita harus mengoreksi ajaran Bapa Gereja tersebut. Hal ini berarti bahwa sola scriptura bukanlah nuda scriptura, sebuah ajaran yang hanya mau mempelajari Alkitab saja dan membuang semua ajaran lain yang merupakan warisan sejarah gereja.
Sekitar bulan Maret tahun 1539, seorang Cardinal bernama Jacopo Sadoleto menuliskan sebuah surat untuk magistrates dan rakyat Geneva. Surat ini dikirimkan sebagai kesempatan yang Sadoleto lihat setelah pengusiran John Calvin dan Guillaume Farel dari kota itu karena konflik dengan pemerintahan setempat. Tetapi ironisnya, Genevan Magistrates akhirnya menunjuk Calvin sebagai theolog yang harus berespons kepada surat Sadoleto. Di dalam surat itu Sadoleto berkata bahwa Geneva sudah meninggalkan Gereja yang sejati dan baginya Calvin serta para reformator sudah merobek ikatan persaudaraan di dalam Kristus. Meresponi surat ini, Calvin dengan tegas berkata bahwa Sadoleto telah salah mengerti mengenai relasi antara Roh Kudus, Firman, dan Gereja. Calvin berkata, “The Spirit goes before the Church, to enlighten her in understanding the Word, while the Word itself is like the Lydian Stone, by which she tests all doctrines.” Gereja tidak menciptakan Firman, tetapi justru Firman, dengan kekuatan dari Roh Kudus, menciptakan Gereja. Sehingga seharusnya Gereja menguji setiap kebenaran doktrin berdasarkan otoritas firman. Pemikiran Calvin menegaskan perjuangannya dalam menegakkan kembali otoritas Alkitab, berbeda dengan Sadoleto yang menganggap otoritas gereja sama dengan Alkitab. Lalu Calvin mematahkan argumentasi Sadoleto dengan membongkar kebobrokan gereja pada saat itu. Calvin memberikan argumen yang sangat keras berkaitan dengan hal ini, Calvin mengatakan:
“The purity of the gospel has been compromised through seed of superstition, sown by monsters of impiety. The Church has been robbed and devoured by its own leaders. The Sacred Super has been replaced by a sacrifice, by which the death of Christ is emptied of its virtues. Indulgences have been crept in with fearful dishonour to the cross of Christ. And the church is now characterized by accursed worship of images. For the sake of human traditions, Christian liberty has been crushed and destroyed. All in all, the light of divine truth has been extinguished, the word of God buried, the virtue of Christ left in profound oblivion, and the pastoral office subverted.”
Dari beberapa kisah perjuangan Jan Hus, Martin Luther, John Calvin, dan Huldrych Zwingli, kita bisa melihat bahwa pada masa Reformasi, pergumulan kebenaran adalah pertentangan antara otoritas Alkitab dengan otoritas gereja yang disalahmengerti dan disalahgunakan.
Belajar dari Pergumulan Kebenaran di dalam Sejarah
Manusia tidak mungkin hidup tanpa kebenaran tetapi manusia tidak suka kebenaran, yang mereka suka adalah kebenaran yang mereka bangun sendiri. Manusia bisa berdalih dan berpura-pura hidup berjuang demi kebenaran, tetapi jikalau motivasinya dibongkar, jelaslah intensi kebusukan yang ada di dalam hati mereka. Hanya karena anugerah Allah saja, kebusukan hati ini dapat diredam, sehingga kehidupan umat manusia masih diwarnai dengan kebaikan yang relatif. Ini adalah realitas yang tidak bisa lagi kita pungkiri dan dengan jelas dicatatkan di dalam Alkitab maupun sejarah orang Kristen.
Pengajaran Calvin mengenai sola scriptura dapat disarikan menjadi 4 poin besar, yaitu:
– Alkitab adalah firman Allah.
– Alkitab mendapatkan otoritasnya bukan dari gereja tetapi dari Allah.
– Kredibilitas Alkitab tidak bergantung kepada pemikiran manusia tetapi pada kesaksian Roh Kudus.
– Hanya Alkitab saja yang infallible [and inerrant].
Keempat poin ini seharusnya menyadarkan kita bahwa semangat sola scriptura ingin membawa kita kembali kepada kebenaran yang sejati. Kita harus berhati-hati dengan dua ekstrem berkaitan dengan hal ini. Yang pertama, meragukan otoritas Alkitab sehingga berusaha untuk menggeser otoritas ini dan menggantikannya dengan kebenaran lain. Kedua, meninggikan otoritas Alkitab tetapi membuang kebenaran Allah yang ada di dalam aspek lain seperti sejarah, ilmu pengetahuan, dan lain-lain, atau yang dikenal sebagai konsep nuda scriptura. Konsep sola scriptura ingin mengembalikan semua kebenaran kepada otoritas yang tidak terbantahkan lagi, sehingga kita didorong untuk mempelajari kebenaran yang Tuhan nyatakan melalui media lain (wahyu umum) tetapi semua kebenaran ini harus sesuai dengan kebenaran Alkitab sebagai otoritas tertinggi di dalam seluruh aspek kehidupan orang Kristen.
Pada artikel ini kita baru melihat survei singkat pergumulan kebenaran dari Perjanjian Lama hingga masa Reformasi. Pada artikel selanjutnya kita akan melihat pergumulan kebenaran di zaman modern dan post-modern, khususnya kita akan melihat pergumulan yang kita hadapi pada masa ini. Lalu kita akan sama-sama merenungkan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai pemuda di dalam Gerakan Reformed Injili ini.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES