Pada zaman modern ini kita mulai menemukan kecenderungan negara-negara maju di Barat memisahkan religi dari ranah publik. Dengan mengedepankan kebebasan manusia sebagai seorang individu yang berhak atas segala hal berkenaan dengan diri mereka sendiri (termasuk kepercayaan), aktivitas religius diekskomunikasikan kepada wilayah privat. Menyatakan kepercayaan/iman pada wilayah publik akhirnya menjadi salah satu daftar pelanggaran tindak pidana di dalam pengadilan negara. Suatu hal yang mungkin ironis ketika menelusuri betapa religiusnya dahulu negara dan pendiri-pendiri mereka. Di sisi lain, negara-negara di Timur yang kental dengan tradisi agamais memiliki kecenderungan yang berbeda. Dominasi kepercayaan tertentu akhirnya memakai kekuatan hukum negara untuk menindak ranah privat yang tidak mau sesuai dengan kepercayaan publik. Memiliki kepercayaan pribadi yang berbeda dengan agama/kepercayaan negara menjadi sebuah kejahatan yang tidak jarang berujung pada hukuman mati. Dari sini kita melihat bahwa separasi maupun dominasi agama/iman di dalam sektor publik menjadi sebuah pendulum tatanan masyarakat yang menyetir kebijakan/hukum pada negara-negara tersebut. Kenyataan bahwa kebijakan hukum yang mengatur hidup orang banyak tidak pernah terlepas dari pengaruh kepercayaan masyarakat pembentuk tatanan tersebut tidak bisa kita abaikan. Sekalipun dunia Barat melakukan separasi ekstrem pada apa yang mereka kategorikan sebagai agama, kebijakan-kebijakan publik mereka tidak pernah lepas dari “agama-agama” dalam bentuk yang berbeda (baik itu humanisme, liberalisme, naturalisme, materialisme, dan sebagainya). Yang menjadi pertanyaan kita lebih lanjut, memang apa masalahnya? Meresponi pertanyaan tersebut, kita akan mencoba menelusuri fungsi dan peranan hukum ketika Allah memberikannya kepada bangsa Israel di Gunung Sinai. Dari sini kita akan mencoba menjawab perihal “Adakah dunia alternatif ketiga selain dua titik ayunan pendulum di atas?” Jikalau ada, bagaimana dunia tersebut mengaitkan agama, hukum, tatanan masyarakat, dan terutama pengejaran terhadap keadilan yang sosial di tengah-tengah masyarakat yang plural?
Kitab Keluaran: Latar Belakang Epistemologi dan Apologetika Sosial, Sebuah Dasar
Kitab Keluaran menjadi salah satu bagian penting di dalam pembentukan sosial-budaya dan keagamaan bangsa Israel. Kitab tersebut memberikan latar belakang sejarah bagaimana Israel dikeluarkan dari Mesir dan bagaimana Allah memberikan sepuluh hukum serta ketetapan-ketetapan lainnya. Melalui Musa, Tuhan menyatakan penggenapan dan kelanjutan janji Allah terhadap nenek moyang bangsa Israel. Musa digambarkan secara jelas sebagai satu sosok representasi/perwakilan bagi umat Israel di dalam menghadap Allah. Fungsi representasi/kepala perwakilan inilah yang menjadi salah satu kunci bagi figur penting Alkitab dan di sepanjang sejarah untuk membawa hukum Tuhan dan mendorong segenap bangsa berjalan berdasarkan hukum tersebut. Ketika figur ini datang kepada Allah dan membawa hukum/kebijakan dari Allah, serta membawa seluruh rakyat untuk taat kepada Allah, maka Alkitab menyaksikan bahwa sebuah tatanan masyarakat yang demikian dapat membawa perbaikan. Apakah kepentingan dari hadirnya hukum Allah tersebut? Apakah tatanan hukum pada masyarakat sekitar Israel merupakan hukum-hukum yang gagal? Jikalau iya, mengapa mereka bertumbuh menjadi bangsa besar dengan peradaban yang maju?
Permasalahan yang dihadapi bangsa Israel setelah keluar dari tanah Mesir adalah sinkretisme budaya dan agama. Karena hidup di tengah-tengah bangsa yang sedemikian maju dan kuat,[1] bagaimana mungkin mereka tidak kagum melihat kebesaran bangsa Mesir? Mesir pada zaman tersebut merupakan bangsa besar yang maju dalam peradaban sekaligus kuat dalam militer. Pula sebagai budak, bangsa Israel akhirnya terdidik sebagai sekelompok masyarakat yang melihat keagungan budaya bangsa lain, termasuk kebesaran dari dewa-dewa mereka. Tidak heran kelak di kaki Gunung Sinai, mereka mengadakan ritual penyembahan terhadap anak lembu emas, seekor dewa dengan ritual penyembahannya yang mereka kenal di tanah Mesir. Sinkretisme budaya dan agama ini menjadi salah satu konteks yang mewadahi diberikannya hukum Taurat. Budaya lama yang rusak dimatikan, sekaligus ketetapan baru diberikan untuk membangun tatanan keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang baru. Dua hal mendasar dibangun melalui pernyataan dari hukum-hukum tersebut, yaitu perihal hakikat keagamaan dan ketetapan-ketetapan mengenai relasi sosial-kemasyarakatan. Secara vertikal, Allah menyatakan bahwa tidak ada Allah lain selain YHWH, hal ini terlihat jelas dari empat perintah pertama pada sepuluh hukum Taurat. Enam hukum berikutnya mengatur tatanan hidup masyarakat secara horizontal. Dua bagian ini menggambarkan dasar dari dua institusi besar yang tidak pernah bisa lepas dari peradaban manusia, institusi keagamaan dan institusi pemerintahan politik. Sebelum kita melangkah lebih jauh pada pembahasan dua institusi ini, kita akan masuk terlebih dahulu pada elaborasi konteks kebudayaan Mesir dan keberadaan Israel di tengah-tengah mereka pada masa itu.
Di dalam penelusuran sejarah dan arkeologi, diperkirakan bahwa peristiwa keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir mengambil waktu dan tempat pada masa pemerintahan Ramses II,[2] yaitu pada masa The New Kingdom[3] dari kronologi dinasti kerajaan Mesir. Di sepanjang sejarah bangsa Mesir, mereka dikenal sebagai bangsa besar yang religius. Ini tidak lepas dari konteks dunia Timur Dekat Kuno yang sangat kental dengan budaya religius pagan. Kebudayaan masyarakat Mesir memiliki luas rentang theologi mulai dari bagaimana dunia ini diciptakan sampai dengan hidup/dunia setelah kematian. Mesir memiliki berbagai macam dewa untuk disembah dengan segala ritual yang ada. Dan di sepanjang perjalanan dinasti kerajaan Mesir, terjadi berbagai perkembangan terhadap dewa-dewa yang mereka sembah, sehingga satu dewa pada satu masa dapat identik dengan dewa lain pada masa selanjutnya. Bahkan tidak jarang terjadi penggabungan dua dewa tertentu membentuk satu dewa lain yang baru. Tetapi pada konteks ini kita akan mempersempit fokus kita kepada beberapa dewa, terutama pada tokoh yang sudah sangat kita kenal yaitu anak lembu emas.
Bangsa Israel dikelilingi oleh berbagai macam epistemologi (dasar kebenaran) tentang keberadaan Allah, manusia, dan dunia. Dikelilingi oleh bangsa-bangsa besar berkebudayaan maju, pola pikir Israel di dalam mengerti realitas ilahi dan duniawi sangat dipengaruhi oleh kepercayaan pagan di sekitar mereka. Beberapa peradaban[4] besar menelan bangsa Israel di dalam hal ini. Secara khusus yang akan kita bahas adalah kebudayaan di sepanjang Sungai Nil, yang dikenal sebagai Mesir kuno. Menurut catatan kebudayaan Mesir yang ditemukan pada reruntuhan kota kuno Heliopolis[5], bangsa Mesir memiliki tradisi kosmologi/penciptaan dunia yang dimulai dari keberadaan dewa Atum[6] sebagai yang awal dari segala yang ada. Dunia tercipta melalui proses masturbasi[7] dewa Atum yang memunculkan dewa Shu dan Tefnut (dewa udara dan kelembaban). Sepasang dewa-dewi ini di dalam relasi suami-istri mereka memunculkan dewa Geb (bumi) dan Nut (langit), yang kelak (lagi-lagi) melalui relasi seksual[8], melahirkan empat dewa/i bersaudara yaitu Isis, Osiris, Seth, dan Nephthys. Dalam hal ini, perilaku seksual sudah menjadi suatu pola yang lumrah di antara tatanan para dewa. Implikasinya, perilaku tersebut pun diadopsi ke dalam ritual pemujaan para dewa/i yang dilakukan oleh masyarakat Mesir kuno. Model ketuhanan dan proses ritual yang demikian menjadi dasar theologi dunia Timur Tengah. Maka tidak heran di dalam Keluaran 32:6 bangsa Israel dicatat melakukan imoralitas seksual[9] di dalam perayaan penyembahan terhadap patung anak lembu emas. Anak lembu emas di dalam tradisi keagamaan pagan Mesir sangat erat kaitannya dengan kesuburan. Dewa tersebut dikenal dengan sebutan Apis, yang pada era The New Kingdom dikaitkan dengan banyak dewa bernuansa kesuburan dan kejantanan. Salah satu dewa yang dikaitkan erat dengan Apis adalah salah satu dewa tertua yang eksis bahkan sebelum masa dinasti kerajaan Mesir, yaitu dewa Min. Bentuk ritual keagamaan dari pemujaan terhadap dewa Min berupa penyembahan terhadap alat kelamin pria dewa Min yang digambarkan dengan banyak bentuk oleh bangsa Mesir. Kenapa alat kelamin pria? Karena theologi yang mendasari penciptaan dunia bangsa Mesir adalah dewa yang bermasturbasi, dan spermanya menjadi cikal-bakal manusia dan dunia. Sperma dari pria menjadi awal dari segala sesuatu, awal dari mahluk hidup. Lalu mengapa Harun memilih dewa Apis dan membuat patungnya sebagai objek penyembahan? Karena di dalam kepercayaan Mesir pada era The New Kingdom, Apis dipercaya sebagai pengantara manusia satu-satunya kepada dewan dewa-dewa tertinggi. Di bawah kaki gunung Tuhan, Israel kembali mengingat dan merindukan kehidupan ritual Mesir. Dalam hal ini, mungkin mereka lebih merindukan prosesi ritualnya ketimbang dewanya sendiri, karena sedari dahulu hingga sekarang, bukankah agama selalu diperalat demi memuaskan gairah dan hawa nafsu manusia berdosa (dengan berbagai bentuk, tidak harus berupa relasi seksual)? Sekarang kita tahu kenapa anak lembu emas dan kenapa ritual pagan Mesir selalu melibatkan hubungan seks. Lagipula dewa/i tersebut digambarkan persis seperti manusia yang memerlukan banyak kebutuhan, dapat berbuat salah dan bahkan ditipu! Tetapi mereka tetap dianggap memiliki kekuatan supranatural yang jauh melampaui manusia biasa.[10]
Dalam ranah inilah, Tuhan melalui lima kitab Taurat dan sepuluh hukum, menaruh dasar epistemologi yang sejati. Manusia dan dunia bukan berasal dari sperma dewa yang sedang ingin bermasturbasi! Juga bukan Tuhan yang dapat ditipu. Tuhan mewahyukan kebenaran yang sejati sebagai pemahaman theologis yang sebenarnya. Taurat menjadi revelasi Allah yang dengan jelas menyatakan kosmologi dunia ciptaan, antropologi, serta eskatologi. Hukum Taurat menjadi dasar theologis (pemahaman tentang siapa Allah) yang membangun basis bagi kosmologi (asal-usul keberadaan dunia ciptaan), theologi menjadi basis bagi antropologi (asal usul dan relasi kemanusiaan), dan theologi menjadi basis bagi eskatologi (tujuan hidup dan kehidupan setelah kematian). Lima kitab Musa, dan secara khusus pada bagian ini adalah Kitab Keluaran menjadi sebuah catatan sejarah bagi identitas generasi selanjutnya dari bangsa Israel. Untuk meletakkan dasar epistemologi dari dunia yang sesungguhnya, menjadi apologetika melawan epistemologi sesat kepercayaan peradaban pagan, serta membangun identitas bangsa yang berakar dari fakta sejarah Tuhan di masa lampau. Hukum-hukum tersebut yang nantinya menjadi dasar penentu segala tatanan masyarakat, baik itu ritual keagamaan, maupun politik-budaya dan pemerintahan bangsa Israel. Karena Israel yang dikhususkan bagi Allah harus berbeda dari dunia, dan bukan sekadar berbeda, mereka harus kudus dan benar di hadapan Allah. Menjawab pertanyaan pada awal artikel ini: Apa permasalahan dari dibangunnya dunia di atas epistemologi yang salah? Segala sesuatu ketika dibangun di atas epistemologi yang salah akan berujung pada kerusakan masyarakat secara masif. Karena bukan bangsa yang besar atau yang maju peradabannya yang akan tetap bertahan, melainkan bangsa yang disertai/diperkenan oleh Allah. Maka dari itu hukum Taurat diberikan. Hukum yang makna nilainya bersifat kekal, yang di mana kebenarannya tetap untuk selama-lamanya dan melampaui setiap zaman, sekaligus menjawab konteks lokal pada saat dinyatakan di dalam kesementaraan.
Sebagai kesimpulan dari bagian pertama ini, satu isu yang hendak dikemukakan sebagai yang utama yaitu, di sepanjang zaman pada perkembangan kemanusiaan di dalam peradaban mereka, hanya ada dua bangunan yang dibangun di atas dua basis berbeda. Di atas kebenaran Allah atau di atas kebenaran dunia. Dua basis ini terus menjadi seteru pada panggung peradaban manusia yang implikasinya merambah pada semua bidang (politik, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, budaya, musik, dan sebagainya). Bagaimanakah kiprah anak-anak Allah di sepanjang sejarah? Masih kokohkah mereka atau malah tertelan oleh dunia?
John Calvin di Ranah Publik: Sebuah Pemikiran Sosial Politik-Religius
Konteks peperangan perihal basis epistemologi yang terjadi dari zaman kuno bukan sesuatu yang hanya ada pada zaman kuno yang sudah lampau. Di sepanjang sejarah, pola yang sama dipastikan ada[11] sampai dunia ini selesai. Maka di dalam sejarah, kita akan kembali melihat figur-figur yang Tuhan bangkitkan sekali lagi memimpin umat Allah untuk hidup benar di hadapan Allah berdasarkan basis epistemologi yang sudah Tuhan wahyukan, disertai dengan pemahaman baru yang Tuhan bukakan pada konteks zaman tersebut. Salah satu tokoh tersebut adalah John Calvin[12]. Dengan memulai basis pemikiran berdasarkan wahyu Allah, Calvin melihat tatanan masyarakat, baik di dalam institusi agama maupun di dalam institusi pemerintahan politik sudah sama-sama rusak oleh karena kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kerusakan dua institusi ini terlihat begitu jelas di dalam konteks dunia ketika Calvin hadir. Latar belakang sejarah Gereja dan pemerintahan dunia Eropa di dalam seribu tahun terakhir menjadi momok yang sangat kelam[13] bagi kekristenan sendiri. Di dalam konteks yang demikian, Calvin mendapat peran sebagai salah satu tokoh Reformasi garis utama bersandingan dengan raksasa-raksasa iman yang lain. Di dalam kesempatan yang demikianlah, hasil karyanya berkenaan kekristenan bertahan selama ratusan tahun. Salah satu pokok pembahasan Calvin berkenaan tentang kaitan antara hukum Taurat dan tatanan sosial masyarakat. Hukum Taurat sebagai rahmat Allah untuk mengatur manusia dan menahan kerusakan yang lebih parah dari masyarakat dibaca Calvin di dalam tiga fungsi.
Calvin melihat fungsi hukum Taurat yang pertama berada di dalam peranan pedagogik[14]. Tentu tidak ada penjelasan yang lebih baik perihal apa yang Calvin nyatakan selain daripada penjelasan yang ia berikan sendiri mengenai fungsi yang ia nyatakan tersebut. Demikian penjelasan yang ia berikan di dalam bukunya Institutio:
“Kesalahan dan penghukuman kita yang dibuktikan dan disingkapkan oleh kesaksian Taurat bukanlah dimaksudkan untuk membuat kita putus asa dan patah semangat sehingga membiarkan diri kita hancur. Hal ini tidak akan terjadi jika kita dapat memanfaatkan kesadaran tersebut untuk kebaikan kita. Memang benar bahwa orang-orang fasik membuat diri mereka sendiri patah semangat, tetapi hal itu terjadi karena kekerasan hati mereka sendiri. Tetapi anak-anak Allah pasti sampai pada kondisi yang berlawanan, yaitu mendengarkan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus, yang juga mengakui bahwa kita semua terkutuk di bawah Taurat, sehingga setiap mulut hanya bisa terdiam dan semua mata memandang kepada Allah. Namun di bagian lain rasul Paulus mengajarkan semua orang di dalam ketidakpercayaan, bukan untuk menghancurkan mereka atau membiarkan mereka terhilang, tetapi untuk memberi rahmat kepada mereka semua, yaitu dengan tujuan, agar sesudah mereka membuang semua kebanggaan yang sia-sia atas kebaikan mereka, mereka dapat menyadari bahwa sesungguhnya mereka semua ditopang oleh tangan-Nya. Bahkan terlebih lagi, setelah menyadari kondisinya yang papa dan tidak berdaya, mereka mau kembali ke dalam rahmat-Nya.”―Dikutip dari Institutio oleh Francois Wendel di dalam bukunya “Calvin, Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya”, (Momentum, 2010). hlm. 219-220.
Fungsi yang kedua bersifat umum dan memiliki cakupan yang lebih luas, bukan hanya berlaku bagi orang percaya, namun juga berlaku bagi orang yang tidak percaya. Dalam hal ini, Taurat dinyatakan dan menjadi ketetapan bagi masyarakat umum untuk dilaksanakan demi menahan kejahatan manusia, sekalipun mereka menjalankan hukum-hukum tersebut di dalam keadaan terpaksa. Pada konsep inilah, Calvin menyatakan fakta bahwa kebenaran memiliki sifat umum dan dapat menjadi pedoman bagi seluruh kalangan serta lapisan masyarakat. Berikut ini pernyataan Calvin perihal fungsi Taurat yang kedua:
“Dan bukan hanya hati mereka masih tetap jahat, mereka juga memiliki kebencian yang begitu mendalam terhadap hukum yang Allah berikan, dan karena Allah adalah pencipta hukum-hukum tersebut, mereka mencaci-maki Dia…. Perasaan seperti ini tampak lebih kentara pada sejumlah orang, dan lebih tersembunyi pada sebagian lainnya, namun perasaan ini pasti ada pada semua orang yang belum dilahirkan kembali…. Kebenaran yang melalui kekangan paksa semacam ini, niscaya bagi masyarakat manusia, bagai perdamaian yang diberikan oleh Juruselamat kita dengan mencegah agar jangan sampai segala sesuatu dikacaubalaukan, yang bisa terjadi jika setiap orang bebas berbuat sesuka hati.” ― Dikutip dari Institutio oleh Francois Wendel di dalam bukunya “Calvin, Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya”, (Momentum, 2010). hlm. 220-221.
Pada fungsi kedua yang dinyatakan Calvin, kita dapat menangkap dua buah dasar pengertian. Pertama, penjelasan bagi pernyataan Alkitab yang menyatakan bahwa keselamatan bukan datang dari pelaksanaan terhadap hukum Taurat, karena nyata bahwa ketaatan manusia terhadap hukum tersebut hanya akibat paksaan atau takut menghadapi konsekuensi dari pelanggaran hukum tersebut. Bagaimana bila hukum atau sanksi tak ada? Apakah mereka tetap mencintai kebenaran dan melakukannya? Karena itu, menaati Taurat tidak menjadikan manusia lebih benar di hadapan Allah. Kedua, Calvin menyatakan sebuah fondasi pemahaman Kristen di dalam membangun kebijakan-kebijakan yang dapat diterapkan pada masyarakat plural tanpa menyimpang dari dasar epistemologi yang Tuhan nyatakan. Dengan basis kebenaran bahwa Allah yang sejati merupakan Allah atas semua orang, sekalipun banyak yang tidak mengakui Ia sebagai Allah mereka, Calvin mengedepankan pemerintahan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat. Abraham Kuyper[15] menjelaskan bagian ini dengan begitu jernih, demikian penjelasan beliau di dalam salah satu tulisannya:
“The Calvinistic confession of the sovereignty of God holds good for all the world, is true for all nations, and is of force in all authority which man exercises over man…. It is therefore a political faith which may be summarily expressed in these three theses: 1. God only, and never any creature, is possessed of sovereign rights, in the destiny of nations, because God alone created them, maintains them by His Almighty power, and rules them by His ordinances. 2. Sin has, in the realm of politics, broken down the direct government of God, and therefore the exercise of authority, for the purpose of government, has subsequently been invested in men, as a mechanical remedy. 3. In whatever form this authority may reveal itself, man never possesses power over his fellow man in any other way than by the authority which descends upon him from the majesty of God.” ― Dikutip oleh David W. Hall pada bukunya Calvin in the Public Square, (P&R Publishings, 2009) dari tulisan Abraham Kuyper pada buku Lectures on Calvinism, (Grand Rapids: Eerdmans, 1953). Penjelasan Kuyper membukakan kepada kita perihal pengaruh theologi yang benar terhadap pemerintahan yang adil.
Oleh karena tiga poin penjabaran yang dilakukan oleh Kuyper terhadap pemikiran Calvin, kekristenan memiliki posisi yang jelas sebagai anti dari pemerintahan absolut yang meniadakan hak konstituen/rakyat, yang ketetapan-ketetapannya diatur secara konstitusional. Kekristenan mengambil posisi ini bukan karena suara populer yang mendukung pandangan ini, ataupun karena mengedepankan humanisme (pengagungan terhadap kemanusiaan), melainkan karena melihat bahwa otoritas pemerintahan mengalir dan dituntut pertanggungjawabannya dari Sang Khalik yang berdaulat mutlak.[16] Calvin melihat fungsi pemerintahan sipil ini sebagai salah satu dari dua sisi pemerintahan mulia (pemerintahan gereja dan pemerintahan sipil) yang dinyatakan oleh Allah, dan dipakai/memiliki fungsi sebagai “pendiri keadilan dan moralitas sosial”.[17] Calvin membagi elemen pembentuk pemerintahan ini ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Aparatur negara/hakim yang diberi predikat sebagai pelindung dan penjaga hukum-hukum; 2. Hukum/kebijakan-kebijakan; 3. Rakyat/masyarakat[18]. Calvin pun menegaskan identitas aparatur negara yang berakar pada dasar religius yang benar. Ia menyatakan dengan begitu indah dan sangat jernih bagi kita untuk dapat menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya esensi keagamaan yang benar tidak bisa lepas dari peranan pemerintahan publik. Karena esensi keagamaan yang benar pasti membawa kebaikan publik lintas etnis, ras, latar belakang kepercayaan, dan sebagainya. Demikian kutipan dari penjelasan Calvin:
“Magistrates may hence learn what their vocation is, for they are not to rule for their own interest, but for the public good; nor are they endued with unbridled power, but what is restricted to the well-being of their subjects; in short, they are responsible to God and to men in the exercise of their power. For as they are deputed by God and do His business, they must give an account to Him: and then the ministration which God has committed to them has a regard to the subjects, they are therefore debtors to them”-Dikutip oleh David W. Hall pada bukunya Calvin in the Public Square, (P&R Publishings, 2009), hlm 76 dari Calvin’s Commentary on Romans.
Maka, adalah sebuah kesalahan terbesar ketika kita mengira bahwa pemerintahan berdasarkan prinsip kristiani hanya membawa kebaikan bagi kalangan nasrani saja dan akan bersifat diskriminatif terhadap kepercayaan yang lain. Juga merupakan ketidakmengertian terhadap iman mereka ketika aparat negara berlatar belakang nasrani bertindak semena-mena karena berkuasa atau merupakan mayoritas. Dalam hal ini Calvin bukan menyatakan kesatuan institusi antara gereja dengan negara, melainkan kesatuan esensi. Bukan kesatuan institusi antara gereja dan negara seperti yang terjadi pada zaman Medieval yang Calvin maksud, melainkan kesamaan esensi yang sebenarnya menjadi basis dari berdirinya kedua institusi tersebut, yaitu melayani Allah dan takut terhadap Dia.
Fungsi terakhir dari hukum Taurat yang dinyatakan Calvin berbicara secara khusus bagi orang-orang percaya. Di dalam hukum Taurat, terdapat sarana terbaik bagi umat Allah untuk dapat mengenal kehendak-Nya, sekaligus sarana pengudusan kehidupan Kristen di hadapan Allah. Ketaatan terhadap Taurat oleh orang-orang percaya bukan lagi dikarenakan paksaan, oleh sebab Roh Allah telah berada di dalam mereka, dan kecintaan terhadap Allah terekspresikan melalui kecintaan mereka terhadap hukum-hukum-Nya. Pembebasan dari hukum Taurat[19] tidak dimengerti sebagai bentuk antinomian (lawless atau hidup tidak berhukum), melainkan berbicara tentang kebebasan dari paksaan melakukan hukum Taurat sebab kita sekarang melakukannya dengan rela.[20] Calvin juga bukan menyatakan ketaatan terhadap hukum ini dalam bentuk legalisme (ketaatan terhadap hukum tanpa mengerti esensi hukum tersebut). Calvin mengerti betul seperti yang Kristus, Tuhannya nyatakan perihal esensi dari hukum Taurat, yaitu “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatan”. Taurat “… akan menjadi dorongan yang terus-menerus untuk menjaganya agar tidak tertidur atau menjadi malas”.[21] Berikut ini kutipan langsung dari Calvin:
“Meskipun orang beriman memiliki Taurat yang ditulis di dalam hati mereka oleh jari Allah, atau dengan kata lain, meskipun mereka mungkin memiliki afeksi itu oleh pimpinan Roh Kudus, sehingga mereka rindu untuk mengutamakan Allah, mereka tetap memperoleh berkat ganda dari Taurat, sebab Taurat adalah sarana yang sangat berguna bagi mereka, untuk membuat mereka mendengar dengan lebih baik dan lebih pasti dari hari ke hari tentang apa yang merupakan kehendak Allah yang menjadi aspirasi mereka dan meneguhkan mereka dalam pengetahuan tentang kehendak-Nya itu… Selain itu, karena kita membutuhkan bukan hanya pengajaran tetapi juga nasihat, seorang hamba Allah dapat menggunakan Taurat ini sedemikian rupa sehingga melalui perenungan yang sering mengenai Taurat ia akan didorong di dalam ketaatan kepada Allah, dan diteguhkan di dalamnya dan dijauhkan dari melakukan berbagai kesalahan.”-Disadur dari buku Francois Wendel, Calvin Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya (Momentum, 2010). hlm 222. yang mengutip tulisan Calvin di dalam Institutio.
Demikianlah kita melihat keluasan dan kelimpahan dari prinsip-prinsip kebenaran Tuhan yang Ia nyatakan kepada manusia. Sebagai kesimpulan dari bab dua ini, fakta bahwa Tuhan di dalam sejarah terus menyatakan kejelasan prinsip dan keluasan implikasi dari firman yang Ia nyatakan tidak bisa kita abaikan. Melalui figur-figur besar yang Allah bangkitkan di sepanjang masa, kita menemukan kekayaan warisan iman Kristen (dan masih banyak lagi di masa yang akan datang). Dari Calvin dan diteruskan melalui orang-orang yang mengasihi Allah, nyata bagi kita bahwa esensi institusi keagamaan dan esensi institusi pemerintahan sipil tidaklah terpisah. Fakta bahwa kedua lembaga ini memiliki peranan sebagai “orang tua” yang mengatur bidang-bidang kemasyarakatan[22] lain tidak dapat kita pungkiri. Dua lembaga tertua tersebutlah yang mengarahkan peradaban manusia selama ini. Sekalipun instansi mereka terpisah dan memang tidak boleh disatukan, peran dan fungsi kedua lembaga tersebut pada hakikatnya adalah sama, yaitu: Kasihilah Tuhanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Calvin dan Calvinisme: Pengembangan Pemikiran Calvin di Era Modern
Tetapi bukanlah dunia jika penerapan prinsip firman Tuhan tidak mengalami tantangan. Pada era modern, ketika tokoh-tokoh besar sudah harus pergi menghadap Tuhan, dan konteks yang baru Tuhan munculkan, dunia kita saat ini begitu miskin, terutama kekristenan. Kekristenan seperti kehilangan figur dan kehilangan suara. Dasar epistemologi dari firman Allah yang sudah ternyata jelas menjadi fondasi dan yang tak bisa diceraikan dari proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik menemukan perlawanan terhadap penetrasinya kepada lini-lini sosial. Tetapi warisan-warisan kebenaran iman di masa lampau tidak mungkin hilang oleh karena kesetiaan Tuhan di dalam memelihara apa yang dahulu pernah Ia nyatakan. Kita dapat menemukan beberapa pengembangan lanjutan perihal pemikiran Kristen yang dikaitkan dengan dunia pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan bidang-bidang lain. Tetapi musuh yang nyata pun tidak pernah berhenti berkembang. Pada ranah yang menguasai kehidupan sosial masyarakat, arus pemikiran filsafat ternyata sudah menemukan tempat mereka bercokol selama ribuan tahun. Bahkan pemikiran dari filsuf-filsuf besar di masa lampau masih terus menghantui orang-orang pada era modern tanpa mereka sadari. Dan celakanya adalah ketika orang-orang yang dipengaruhi epistemologi demikian mengambil peranan penting di dalam tatanan masyarakat, serta berbagian di dalam proses melahirkan kebijakan publik. Kita menemukan peperangan epistemologi di dalam medan intelektual. Salah satu kisah sejarah yang akan kita soroti dalam hal ini adalah konteks kolonialisme Belanda di Indonesia.
Konteks dan tokoh yang akan kita soroti kali ini adalah Herman Bavinck[23] dengan mempersempit kajian konteks kepada bidang pendidikan. Ternyata pergumulan kekristenan pada masa itu tidak terlepas dari tanah kelahiran kita, Indonesia. Pada salah satu esai[24] yang ditulis dan dikemukakan di hadapan parlemen Belanda, Bavinck memperjuangkan tetap dipertahankannya penyampaian prinsip-prinsip Kristen yang menjadi dasar pendidikan Belanda selama ini. Latar belakangnya adalah, ketika kumpulan surat dari Raden Ajeng Kartini yang dikenal dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” menggemparkan negeri tulip ini, parlemen Belanda mulai serius memikirkan perihal pengadaan pendidikan yang layak bagi daerah-daerah koloni mereka. Problemnya adalah Indonesia dihuni mayoritas bukan oleh masyarakat berlatar belakang kepercayaan nasrani. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1911, di mana kondisi keuangan Dutch East Indies[25] dibahas oleh parlemen Belanda. Salah satu poin pembahasan adalah pertimbangan untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi kaum pribumi. Pemerintah Belanda melalui parlemen sedang melakukan musyawarah tentang kebijakan pendidikan bagi koloni mereka. Salah satu pertanyaan yang penting disampaikan pada rapat dengar pendapat tersebut adalah “What is to be the foundation of the education of the natives? Is it to be based on religion or on general humanism? Is it to be confessional or neutral?”[26]
Alasan yang dikemukakan oleh C. Th. Van Deventer di depan parlemen mengedepankan alasan humanis-religius, yaitu bagaimana kondisi masyarakat yang akan sulit menerima iman mereka. Orang tua dari anak-anak pada koloni sangat senang jika anak-anak mereka menerima pendidikan bermutu dari negara kincir angin tersebut, tetapi menjadi hal yang menyinggung mereka bila iman yang tidak sesuai dengan tradisi leluhur diajarkan kepada keturunan mereka. Adalah tidak adil secara sosial bila kepercayaan Kristen harus dipaksakan kepada orang lain. Van Deventer berargumentasi bahwa pendidikan perihal ilmu pengetahuan alam (natural science) dapat berdiri sendiri tanpa membawa pemahaman iman Kristen. Lagi pula di dalam pembahasan dari natural science, aspek supranatural yang berada di dalam kepercayaan agama (dalam konteks ini adalah kekristenan) tidak diperlukan, bahkan cenderung berbahaya. Van Deventer mencapai satu kesimpulan pada pemaparannya bahwa pendidikan berbasis kekristenan hanya membawa oposisi dari pihak non-Kristen yang menerima pendidikan tersebut. Proses kristenisasi pada koloni mayoritas berbasis non-Kristen hanya menjadi sebuah usaha yang sia-sia.[27]
Meresponi hal di atas, Bavinck menyatakan argumentasi yang menjawab inti permasalahan. Problematika kristenisasi daerah koloni bukanlah topik yang terutama, dan tujuan dari pendidikan Kristen memang bukanlah hal tersebut. Demikian kutipan argumentasi Bavinck di dalam menghadapi usaha membangun pendidikan berdasarkan basis humanis:
“Christian theology did not deny these things. On the contrary, following the example of the Scripture, it has always emphatically upheld the natural order and the casual nexus of the phenomena. It is not true that Christianity with its supernaturalism was hostile to the natural order and made science impossible, as Draper, for example, and others have sought to demonstrate with such relish. Much more in line with the facts is the judgment of Du-Bois-Reymond when he wrote: ‘Modern natural science, however paradoxical this may sound, owes its origin to Christianity’. In any case, Christianity made science –specifically natural science- possible and prepared the ground for it. For the more natural phenomena are deified –as in polytheism- and viewed as the visible images and bearers of deity, the more scientific inquiry is made impossible since it becomes automatically a form of desecration that disturbs the mystery of deity. But Christianity distinguished God and the world, and by its confession of God as the Creator of all things, separated God from the nexus of nature and lifted Him far above it. The study of nature, therefore, is no longer a violation of deity”. ― Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008). hlm. 86.
Bavinck menyatakan bahwa aspek supranatural tidak mengganggu proses pembelajaran ilmu natural, sekaligus aspek supranatural harus dibawa ke dalam pembelajaran natural karena Alkitab menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan dunia natural. Pada akhir dari esai tersebut, Bavinck menyatakan bahwa alam pun adalah buku Tuhan, tetapi usaha manusia di dalam mempelajarinya tanpa revelasi dari Tuhan hanya akan berujung kepada kesia-siaan[28]. Lagi pula, dengan memegang argumentasi Calvin pada bab sebelumnya, usaha pengembangan pada sektor publik justru mendapat kekuatan yang berdasar kokoh pada semangat mengenal Allah, mengasihi Allah, dan takut terhadap Allah, sehingga manusia dituntut mengusahakan kebaikan terhadap sesamanya. Dan, pertama, fondasi Kristen dalam peran pedagogik pada sektor publik bukan dibaca di dalam bentuk pemaksaan yang buruk (karena kebenaran memang sering harus dipaksakan kepada orang yang tidak mau taat di tengah-tengah ketidakmengertian, maupun ketidaksetujuan mereka, perhatikan fungsi kedua dari tiga aspek Taurat yang dikemukakan Calvin). Kedua, perihal kepercayaan terhadap Kristus, doktrin Reformed menyatakan dengan jelas bahwa penerimaan terhadap Kristus dikerjakan oleh Allah Roh Kudus yang melahirbarukan seseorang.
Kesimpulan Reflektif: Panggilan Kekristenan Tiap Zaman
Dari salah satu kasus yang dihadapi Bavinck, tampak sekali bagaimana pola yang serupa muncul dari zaman ke zaman. Epistemologi Kristen dirasa tidak diperlukan, karena dunia dapat berdiri tanpanya. Dan kembali bahwa sektor publik tidak memerlukan campur tangan keagamaan, apalagi menjadi basis dari pengembangannya. Bagaimanakah menjawab tantangan-tantangan tersebut? Dari pemaparan singkat tiga bagian ini, pembelajaran theologi yang mendalam demi membangun dasar epistemologi yang kokoh tidak dapat terelakkan jikalau kekristenan tidak ingin habis hilang ditelan dunia. Pembelajaran theologis bukanlah sesuatu yang sering difitnah sebagai sarana menjadi “ahli farisi” dalam nada yang miring (walau ada konteks yang harus kita pertimbangkan sebagai bahan koreksi, tetapi sering kali pernyataan tersebut tidak berbasis dan hanya menjadi sebutan umum yang dangkal). Kembali menjawab kaitan antara iman dan lini-lini sosial lain, kita tidak akan pernah bisa mengintegrasikan apa yang sedari awalnya adalah satu dari Tuhan jikalau kita tidak kembali kepada wahyu Allah yang sedalam-dalamnya. Hukum Tuhan, prinsip kebenaran-kebenaran Tuhan dan bagaimana Tuhan memunculkan pengertian-pengertian-Nya di dalam setiap zaman melalui konteks yang Ia munculkan adalah hal yang harus menjadi basis epistemologi kita. Kenapa? Bukan karena kekristenan egois, tetapi karena memang kebenarannya adalah demikian. Pada akhirnya, setuju ataupun tidak, pengharapan dunia untuk dapat mencapai tatanan masyarakat sosial yang adil hanyalah ketika kita kembali kepada kebenaran Allah yang Ia wahyukan. Karena bukankah tatanan masyarakat “dunia alternatif ketiga” tersebut memang ada? Tatanan masyarakat umat Allah ketika waktunya tiba, Yerusalem yang baru itu turun dari sorga. Amin.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Referensi:
1. Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008).
2. David W. Hall, Calvin in the Public Square (P&R Publishing, 2009).
3. Francois Wendel, Calvin Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya (Momentum, 2010).
4. Margaret R. Bunson, Encyclopedia of Ancient Egypt (Facts on File, Inc. 2002).
5. Richard L. Pratt, Jr., NIV Spirit of the Reformation Study Bible (Zondervan, 2003).
6. Barbette Stanley Spaeth (editor), The Cambridge Companion to Ancient Mediterranean Religions (Cambridge University Press, 2013).
7. James K. Hoffmeier, Israel in Egypt (Oxford University Press, 1999).
Buku-Buku Rekomendasi:
1. J.I. Packer, Kristen Sejati: 10 hukum (Momentum).
2. David W. Hall, Marvin Padgett, Calvin and Culture (P&R Publishing, 2010).
Endnotes:
[1] Penegasan ini dapat kita lihat pada akhir Kitab Kejadian, di mana oleh karena tangan Allah menyertai Yusuf, bangsa Mesir menjadi bangsa yang bertahan selama bencana kelaparan hebat terjadi. Mesir menjadi pusat perdagangan dunia Timur Dekat Kuno (Ancient Near East). (Kej. 41:55-57). Dan juga oleh karena bencana kelaparan tersebut, Mesir kuno yang tadinya terbagi ke dalam beberapa daerah tuan tanah yang otonom menjadi satu di bawah kekuasaan Firaun (Kej. 47:13-26).
[2] Melalui penelusuran catatan sejarah, para ahli berargumen dan menarik kesimpulan bahwa Ramses II adalah Firaun tanpa nama yang dicatat pada Kitab Keluaran ketika Musa meminta supaya Ia membebaskan bangsa Israel untuk beribadah kepada Allah YHWH. Masa pemerintahan Ramses II diperkirakan berlangsung pada tahun 1278-1213 SM, yaitu pada masa The Nineteenth Dynasty di era The New Kingdom. Sumber: James K. Hoffmeier, Israel in Egypt (Oxford University Press, 1999) hlm. 107-126.
[3] Sejarawan membagi kronologi dinasti kerajaan Mesir menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Masa Old Kingdom (dinasti ke 3-6), rentang waktu keberadaan diperkirakan dari tahun 2700-2190 SM;2. First Intermediate Period (dinasti ke 7-11), rentang waktu keberadaan diperkirakan dari tahun 2190-2106 SM; 3. Masa Middle Kingdom (dinasti ke 11-12), rentang waktu keberadaan diperkirakan dari tahun 2106-1786 SM;4. Second Intermediate Period(dinasti ke 13-17), rentang waktu keberadaan diperkirakan dari tahun 1786-1550 atau 1539 SM, di dalam masa ini terdapat masa yang disebut The Hyksos Period(dinasti ke 15-16) dengan rentang waktu keberadaan diperkirakan dari tahun 1648-1550 atau 1540 SM; 5. Masa The New Kingdom(dinasti ke 18-20), rentang waktu keberadaan diperkirakan dari tahun 1550 atau 1539-1069 SM, masa ini dibagi ke dalam tiga periode dinasti, yaitu: The Eighteenth Dynasty (1550 atau 1539-1295 SM), The Nineteenth Dynasty (1295-1186 SM), The Twentieth Dynasty (1186-1069 SM). Sumber: James K. Hoffmeier, Israel in Egypt (Oxford University Press, 1999).
[4] Israel dihimpit oleh dua peradaban besar yaitu peradaban Sungai Nil, diwakili oleh bangsa Mesir dan peradaban dari Sungai Tigris-Efrat yang diwakili oleh bangsa Mesopotamia. Satu lagi adalah peradaban Syria-Kanaan yang merupakan persilangan/percampuran antara dua kebudayaan besar lainnya. Sumber: Barbette Stanley Spaeth (editor), The Cambridge Companion to Ancient Mediterranean Religions (Cambridge University Press, 2013).
[5] Heliopolis merupakan salah satu kota tertua di dalam peradaban Mesir kuno. Merupakan ibukota dari provinsi ke-13 dari region “Lower Egypt” (seperti region Jawa, atau Kalimantan, dan seterusnya) dan merupakan pusat politik, keagamaan, dan penyembahan terhadap dewa Ra serta Atum, yang dijadikan satu dengan sebutan Ra-Atum. Kota ini diperkirakan sudah berdiri bahkan sebelum zaman dinasti kerajaan Mesir dimulai (sekitar tahun 3000 SM). Di dalam tulisan Perjanjian Lama, kota ini dikenal dengan sebutan “On”. Sumber: Margaret R. Bunson, Encyclopedia of Ancient Egypt (Facts On File, Inc. 2002); http://www.ancient-wisdom.co.uk/egyptheliopolis.htm – Diakses pada 25/04/2014.
[6] “Atum: A primordial god who existed alone at the beginning of the world. In the tradition of Heliopolis, he is credited with creating the first generation of gods.”-Sumber: Emily Teeter, The Cambridge Companion to Ancient Mediterranean Religions (Cambridge University Press, 2013). hlm. 30.
[7] “A variety of myths recount the creation of the gods and the world. The version from Heliopolis relates that the god Atum, through an act of masturbation (because he had no female counterpart), created the gods Shu and Tefnut, who represent air and moisture. They in turn bore Geb and Nut (earth and sky) and their offspring, the siblings Isis, Osiris, Seth, and Nephthys. Each god personified a paired and contrasting aspect of the world. In the tradition of Memphis, Ptah created the gods through his heart (intellect) and his speech.”–Sumber: Emily Teeter, The Cambridge Companion to Ancient Mediterranean Religions (Cambridge University Press, 2013). hlm. 16.
[8] Sedikit selingan, kisah percintaan dewa Geb dengan saudarinya Nut digambarkan dengan cukup mengharukan. Alkisah ketika dewa Atum (yang adalah “kakek” dari mereka berdua) mengetahui hubungan cinta terlarang antarkeluarga sedarah ini, Atum memerintahkan Shu untuk memisahkan mereka berdua. Akhirnya, akibat cinta terlarang ini, Nut diasingkan dari Geb untuk selamanya dan ditaruh sebagai langit. Apa mau dikata, kekuatan cinta tak selalu bisa meniadakan realitas, Geb yang hanyalah “anak” harus rela ditempatkan sebagai bumi oleh ayahnya. Kesedihan yang begitu mendalam akibat terpisah dari Geb membuat Nut tak kuasa menahan tangis. Tangisan dan air mata duka dari Nut terus menetes memenuhi bumi sehingga menjadi lautan dan samudra. Geb yang memandang duka-lara dari sang pujaan hati pun tak kuasa menahan kepedihan karena harus terpisah untuk selamanya. Menatap tanpa dapat menggapai, Geb tenggelam dalam nestapa yang takkan pernah usai, tangisannya menjadi cikal-bakal aliran-aliran sungai yang mengalir dari pegunungan menuju lautan lepas. Sungguh, kisah cinta para dewa begitu mengharukan bukan?-Sumber: Margaret R. Bunson, Encyclopedia of Ancient Egypt (Facts On File, Inc. 2002)-dengan sedikit pembahasaan ulang.
[9] NIV Study Bible: Spirit of the Reformation footnotes (hlm. 148). Bandingkan dengan Keluaran 24:11 ketika mereka melakukan makan bersama di hadapan Allah Yahweh.
[10] “The myths and iconography indicate that the gods were conceived of in human terms. They required sustenance, exhibited a range of emotions, and were negatively affected by the acts of other gods-if one failed to perform his divine duties, all suffered. The gods were neither omniscient nor omnipotent, but made mistakes and were capable of being deceived. Still, they possessed a wisdom and power that was far above that of man. The level of wisdom and power varied widely depending on each deity’s status within the pantheon, which itself often depended on the importance of the natural phenomenon that that deity represented.”-Sumber: Emily Teeter, The Cambridge Companion to Ancient Mediterranean Religions (Cambridge University Press, 2013). hlm. 98.
[11] “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”-Kejadian 3:15; Indonesia Terjemahan Baru.
[12] John Calvin (1509-1564) adalah salah satu tokoh Kristen terbesar di sepanjang sejarah. Seorang theolog, pastor, sekaligus negarawan yang bukan saja ahli di bidang theologi, melainkan juga ahli di bidang hukum. Pada kesempatan kali ini pokok bahasan akan berfokus pada tokoh tersebut dan perkembangan pemikiran besarnya yang bertahan selama ratusan tahun. Bukan berarti sebelum Calvin tidak ada tokoh Kristen besar lain yang berpengaruh begitu hebat di dalam dunia sehingga tokoh ini dipilih, melainkan karena banyak dan luasnya pemikiran tokoh-tokoh tersebut di dalam sejarah, sehingga bahasan tokoh akan dipersempit kepada satu tokoh ini saja.
[13] Untuk pemahaman perihal kondisi Gereja yang menjadi konteks bagi para Reformator tidak akan dibahas di dalam artikel ini. Salah satu sumber pembelajaran yang baik mengenai hal ini dapat pembaca temukan pada tulisan Dr. Jack L. Arnold pada thirdmill.org dengan tema “Church History”.
[14] “Fungsi pertama adalah dengan mendemonstrasikan kebenaran Allah yang berarti apa yang menyenangkan hati-Nya, Taurat menegur setiap manusia atas ketidakbenaran masing-masing, serta meyakinkan manusia tentang ketidakbenarannya dan hukuman yang akan menimpanya…. Taurat berfungsi seperti cermin di mana kita pertama-tama merenungkan kelemahan dan pelanggaran yang kita perbuat. Seperti ketika di depan cermin, kita melihat kotoran di wajah kita.” Dikutip dari Institutio oleh Francois Wendel di dalam bukunya “Calvin, Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya”, (Momentum, 2010). hlm. 219.
[15] Abraham Kuyper (1837-1920) adalah salah satu tokoh Kristen Reformed besar yang Tuhan bangkitkan, dan berpengaruh luas, baik bagi kekristenan maupun dunia sekuler. Dia adalah seorang politikus Belanda, jurnalis, negarawan dan theolog. Dia pernah menjabat sebagai perdana menteri Belanda pada tahun 1901 hingga 1905.
[16] David W. Hall, Calvin in the Public Square (P&R Publishing, 2009). hlm. 74.
[17] Ibid; Roma 13:4.
[18] Ibid.
[19] “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.”-Roma 7:6, Indonesia Terjemahan Baru.
[20] Francois Wendel, Calvin Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya (Momentum, 2010). hlm. 226.
[21] Francois Wendel, Calvin Asal-usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya (Momentum, 2010). hlm. 222. Wendel mengutipnya dari buku Institutio 2.7.12.
[22] Yang saya maksud dalam hal ini adalah pendidikan, perekonomian, seni, sastra, ilmu pengetahuan, militer, dan bidang-bidang lain yang mungkin terlupakan untuk disebut.
[23] Herman Bavinck (1854-1921) adalah salah satu tokoh Reformed Belanda, seorang theolog, politikus, dan rohaniwan. Seorang intelektual Reformed yang aktif di parlemen Belanda dan tergabung di dalam partai politik yang didirikan oleh Abraham Kuyper. Salah satu magnum opus-nya yang terkenal adalah “Reformed Dogmatics”.
[24] Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008). Esai berjudul “Christianity and Natural Science”.
[25] Atau yang kita kenal dengan sebutan “Kompeni”, itu adalah “Vereenigde Oostindische Compagnie”, biasa disingkat menjadi V.O.C. Sebuah perusahaan privat multinasional yang didirikan pada tahun 1602. Perusahaan ini dari tahun 1602 hingga tahun 1796 tercatat melakukan transaksi jual beli lebih dari 2,5 juta ton barang di daerah Asia. Sebagai pembanding, saingan terdekat mereka, yaitu perusahaan dagang milik Inggris, selama 300 tahun hanya melakukan transaksi jual beli seperlima dari apa yang V.O.C. kerjakan. Pada abad ke-17, V.O.C. mendapat keuntungan yang sangat besar dari monopoli perdagangan rempah-rempah. Perusahaan raksasa ini juga diberikan otoritas untuk menjalankan sebagian fungsi yang dimiliki pemerintahan sipil dan militer, seperti mengadakan perang, membuat perjanjian sebagai negara, membuat mata uang sendiri dan membangun koloni. Tahun 1800 perusahaan ini bangkrut dan diakuisisi pemerintah Belanda.-Sumber: Wikipedia.
[26] Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008). hlm. 81.
[27] Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008). hlm. 82-83.
[28] Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008). hlm. 104; Roma 1:19-20.