Alkitab adalah firman Allah, Pencipta langit dan bumi. Dengan iman kita berpegang kepada Alkitab, Alkitab tidak mungkin dilampaui oleh apa pun. Benarkah itu? Benarkah Alkitab selalu menjadi otoritas tertinggi dalam kehidupan kita? Alkitab menyatakan, bahwa sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia tidak lagi rela tunduk di bawah otoritas Kebenaran Sejati, yaitu Sang Allah Pencipta langit dan bumi itu. Manusia lebih suka membangun dan menentukan otoritas bagi dirinya sendiri. Alkitab tidak lagi dianggap sebagai otoritas yang kepadanya setiap manusia perlu menundukkan dirinya. Jadi, apakah Alkitab itu bagi Anda?
Otoritas dalam Jemaat Perjanjian Lama
Sejak awal di Taman Eden, Tuhan telah berkomunikasi dengan umat-Nya [1]. Komunikasi ini merupakan pernyataan Allah bahwa otoritas tertinggi yang menaungi dunia ini ada pada firman Allah – yaitu kehendak-Nya sendiri, dan semua ciptaan termasuk umat manusia wajib tunduk di bawah otoritas firman-Nya. Karena itu, manusia terus dilatih untuk mengerti kehendak Allah lewat perkataan yang keluar langsung dari mulut Allah. Namun, Kejadian 3 menyatakan bagaimana manusia memberontak terhadap otoritas Tuhan. Manusia ingin menjadi otoritas tertinggi di antara ciptaan, sesamanya manusia, bahkan di dalam seluruh tatanan keberadaan, termasuk lebih tinggi dari Tuhan [2]. Di sinilah manusia jatuh, yakni ketika manusia ingin naik menjadi otoritas tertinggi. Hubungan manusia dengan Allah pun terputus. Namun, pernyataan otoritas Allah tetap berlangsung bagi manusia generasi selanjutnya baik kepada keturunan manusia yang taat maupun yang terus memberontak kepada-Nya.
Otoritas Allah diteruskan dalam tradisi oral hingga pada zaman Musa. Pada zaman ini, akhirnya ada suatu bentuk permanen yang pertama-tama ditulis oleh Allah sendiri di atas loh batu [3] dan dilanjutkan dalam bentuk tulisan lengkap mengenai kisah umat Allah dalam setiap zaman. Di sini, kita bisa melihat bahwa sebelum adanya otoritas yang berbentuk tulisan ini, otoritas Allah tersebut sudah diperdengarkan terus-menerus melalui budaya oral yang menjadi bagian hidup jemaat Allah. Bahkan, keberadaan tulisan Musa ini sama sekali bukan untuk meniadakan kebiasaan bercerita seorang ayah kepada anaknya. Lebih dari itu, Tuhan memerintahkan dengan jelas untuk mengulang-ulang semua cerita yang tertulis itu di mana pun dan kapan pun [4].
Selain itu, kita bisa melihat bahwa peran seorang pribadi yang dijadikan panutan itu sangat penting dalam membawa otoritas Allah. Walau Israel sudah mendapatkan otoritas Allah dalam bentuk tulisan, tidak serta-merta mereka mengikutinya begitu saja. Terlihat dari masa sepeninggal Yosua dan generasinya, dituliskan bahwa Israel hidup menurut otoritasnya masing-masing dan tidak menghormati otoritas Allah [5]. Dalam perkembangan kisahnya, kita bisa membaca bahwa ini semua terjadi karena bangsa Israel merasa tidak ada otoritas yang jelas atas mereka yang dilambangkan oleh hadirnya seorang raja (otoritas) atas Israel. Benar bahwa Tuhan sudah menurunkan imam, hakim, dan juga nabi sebagai pribadi yang membawa otoritas Allah. Namun, bagi Israel, seorang raja tetap dibutuhkan untuk mewakili otoritas Allah dalam memerintah dan memimpin mereka. Pada puncaknya, kita membaca bagaimana saat seorang raja itu hadir di Israel, maka terasa lengkap sudahlah moda otoritas Allah kepada umat-Nya, yakni lewat tulisan dan juga lewat pribadi yang memanggul tulisan tersebut [6]. Namun, tetap saja dosa begitu merajalela dan menyebabkan jatuhnya para pemanggul otoritas dari Allah tersebut. Raja, imam, dan nabi justru memimpin umat Allah berzinah pada ilah yang lain [7]. Tulisan yang berotoritas tersebut malah dilupakan dalam beberapa generasi. Hanya dalam anugerah Tuhan, tulisan tersebut kembali dihadirkan ke tengah umat Allah. Jadi, kita melihat maksud segala sesuatu ini dicatat, yaitu supaya ada bentuk otoritas dari Tuhan yang tidak berubah walaupun manusia yang membaca, menceritakan, dan melakukannya ini bisa berubah.
Saat Israel kembali dari pembuangan, mereka begitu serius ingin menegakkan kembali otoritas Allah dalam hidup mereka [8]. Kita tentu pernah mendengar tentang kisah kaum Farisi yang begitu murni dan taat ingin kembali kepada otoritas Allah melalui setiap tulisan-tulisan yang Israel punya sejak tulisan Musa, Yosua, para nabi, Mazmur, dan kitab-kitab sejarah. Mereka meyakini bahwa dengan demikianlah mereka bisa disebut sebagai umat Allah. Dengan ini juga kita bisa mengerti bahwa orang Saduki juga ingin hidup sebagai umat Allah namun mereka mengakui bahwa hanya kitab Musalah yang berotoritas dalam hidup mereka. Dalam konteks seperti inilah, Yesus datang ke dalam dunia beberapa ratus tahun kemudian setelah pembuangan untuk menjalankan misi-Nya yang sejati.
Otoritas dalam Gereja Mula-mula
Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Pribadi yang berotoritas penuh sebab Ia adalah Sang Raja, Imam, dan Nabi yang sejati, yang menggenapi segala otoritas tertulis yang sudah diberikan Allah. Inilah puncak yang tertinggi dari puncak yang pernah dicapai Israel pada masa kejayaan kerajaannya. Dalam konteks seperti inilah gereja lahir, yaitu saat Sumber Otoritas utamanya, Yesus Kristus, hadir sebagai otoritas Allah.
Sampai masa Tuhan Yesus ini, budaya oral yang kita sebutkan di awal itu tetaplah menjadi moda utama transmisi pengertian otoritas Allah [9]. Semua ini sangat bergantung pada siapa yang mengerjakan transmisi tersebut. Maka tidak heran jika kita membaca di kitab Injil bahwa orang-orang jauh lebih kagum terhadap Yesus yang berkata-kata dengan kuasa Allah daripada rabi-rabi mereka yang mungkin biasa-biasa saja. Hal ini sama sekali tidak meniadakan keberadaan penting dari otoritas yang berbentuk salinan-salinan kitab yang Yesus pun baca dan pelajari selayaknya kita semua.
Budaya menulis ini pun yang akhirnya dilanjutkan oleh gereja sebagai alat transmisi otoritas perkataan Yesus yang lebih luas lagi setelah Ia kembali ke sorga. Memang betul budaya oral dan budaya menulis ini berjalan bersamaan, sebagaimana kita baca dalam tulisan Lukas bahwa ia menulis berdasarkan apa yang ia bisa kumpulkan dari budaya oral gereja yang memang mengakar kuat saat itu [10]. Apa yang para penulis Injil ini tuliskan adalah kesaksian langsung dari orang-orang yang pernah melihat Yesus dan hidup bersama mereka. Jadi ada pengaruh dari budaya oral menjadi tulisan, dan juga ada pengaruh budaya tulisan dalam apa yang mereka bicarakan.
Dalam proses penulisan ini, kita mengerti satu poin yang ditegaskan oleh Paulus bahwa setiap tulisan yang diilhamkan oleh Allah itu sangat bermanfaat [11]. Lebih lanjut lagi, kita mengetahui bahwa Roh Kuduslah yang berperan aktif mengilhami para penulis sebagai otoritas utama mereka. Jadi, sejak tulisan Musa sampai tulisan-tulisan para rasul saat itu, semuanya diilhamkan oleh Oknum berotoritas yang sama, yakni Roh Kudus. Sehingga, otoritas tersebut bukanlah otoritas yang bersifat impersonal dan mati, melainkan otoritas yang bersifat pribadi. Demikianlah kita sama sekali tidak memisahkan tentang isi perkataan dengan si pembicara perkataan itu, atau dengan kata lain antara otoritas tertulis dan pribadi yang memanggul otoritas tersebut.
Setelah gereja melalui masa-masa penganiayaan di abad ke-4, gereja mulai merasa perlu menentukan tulisan-tulisan manakah yang memang selama ini mereka anggap sebagai otoritas penuh dari Allah [12]. Hal ini menangkal anggapan bahwa gereja membuat-buat Alkitab apalagi mengarangnya jauh setelah Yesus disalib. Apa yang dilakukan gereja di abad keempat adalah pendaftaran tulisan-tulisan mana saja yang selama ini kita percaya berotoritas. Singkatnya, dari sekian banyak usulan-usulan daftar kitab-kitab yang berotoritas, hadirlah kanon Alkitab yang kita tahu saat ini. Secara harfiahnya, kanon berarti alat pengukur atau standar, yakni alat yang dengannya kita mengukur dan menentukan iman gereja.
Walau demikian, bukan berarti gereja tidak mempunyai ajaran yang konsisten sampai kanon Alkitab dibakukan [12]. Gereja melalui Bapa-bapa Apostoliknya tetap mengajarkan tentang perjamuan kudus, baptisan, pengertian dosa, penebusan Kristus, dan lain-lain. Apa yang mereka tulis seakan berkembang tanpa tuntunan Alkitab yang kita punya saat ini. Namun, perlu diingat bahwa para Bapa Apostolik ini mendengar langsung dari para rasul, mempunyai gulungan surat-surat rasul, dan juga budaya oral yang hadir kental dalam hidup mereka. Dalam perkembangannya, kita pun melihat adanya ciri khas dari masing-masing kelompok dalam cara mereka menghayati setiap pengajaran dalam konteks mereka masing-masing. Salah satunya, kita bisa melihat dua kubu yang kadang sering dibenturkan dalam gaya mereka memahami arti tulisan di Alkitab yakni gaya literal kubu Antiokhia dan gaya alegori kubu Aleksandria [13].
Otoritas dalam Gereja Menjelang Abad Kegelapan sampai Abad Skolastik
Agustinus adalah seorang tokoh Bapa Gereja yang hadir dalam gereja Barat saat akhir kanonisasi Alkitab [14]. Ia hadir di masa transisi sebelum Kerajaan Romawi runtuh oleh orang barbar dan saat akhir Alkitab dikanonkan. Apa pengaruhnya bagi gereja? Agustinus hidup dalam masa yang relatif damai di mana ia bisa mengembangkan pengertiannya akan Alkitab dengan lebih mendalam. Dalam karya-karya agungnya seperti City of God dan Confessions, ia mencurahkan pergumulan dia akan Alkitab yang otoritasnya ia akui melalui khotbah di dalam gereja.
Orang sering mengutip ucapan Agustinus dengan lepas yang mengatakan, “I would not have believed the Gospel unless the authority of the Catholic Church moved me.” Hal ini seolah-olah menunjukkan bahwa Agustinus memercayai otoritas tertinggi ada pada Gereja Katolik. Padahal, yang ia maksudkan adalah otoritas Injil itu ada pada Alkitab yang dipakai gereja sebagai dasar untuk berkhotbah [15]. Jadi, otoritas gereja yang dia maksudkan adalah otoritas turunan sama seperti saat seorang pendeta itu berotoritas atas jemaatnya sendiri selama ia bersandar pada Alkitab.
Setelah Eropa masuk ke dalam Abad Kegelapan, kita melihat bagaimana gereja itu berubah menjadi perkumpulan biarawan-biarawan yang lebih kita sebut sebagai kaum skolastik [14]. Di masa itu, ilmu membaca hanya dimiliki oleh sekelompok orang, akses akan Alkitab pun terbatas hanya untuk kalangan terpelajar karena hanya merekalah yang mengerti. Mereka inilah yang menjadi harapan otoritas para jemaat untuk mengetahui apa kehendak Tuhan yang tertulis lewat Alkitab. Saat itu, biarawanlah orang-orang terpelajar yang menjadi pejuang melawan bidat-bidat di gereja. Di saat Bapa-bapa Gereja berargumen melawan bidat, para biarawan inilah yang memelihara hasil perdebatan itu dalam tembok biara sesuai kelompok mereka masing-masing. Mereka ini jugalah yang menjadi cikal bakal dari kolese-kolese yang bergabung menjadi universitas seperti di kota Oxford. Namun, karena bahasa pengantar yang mereka gunakan adalah bahasa Latin, akhirnya jemaat pun tidak begitu memahami apa isi dari Alkitab yang mereka bahas.
Kita bisa mencoba mengerti kekhawatiran mereka, yakni jika jemaat awam diberikan akses pada Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. “Imajinasi mereka bisa menjadi liar, siapa yang bisa menjamin pengertian mereka benar?” kira-kira begitu tanggapan para penentang orang-orang seperti John Wycliffe, Thomas Linacre, John Colet, dan William Tyndale [16]. Dipelopori oleh John Wycliffe, Oxford memiliki perjuangan menentang organisasi Gereja Katolik yang cukup mapan saat itu. Dengan pengaruh Wycliffe, Gereja Katolik sering dibandingkan dengan apa yang tertulis di Alkitab [17]. Wycliffe sendiri sangat mengkritik gaya hidup para klerik yang sangat glamor dan bertentangan dengan Kristus yang menderita. Setelah membandingkan pengertian Alkitab Latin dan Alkitab dalam bahasa Yunani, Thomas Linacre bahkan pernah mengatakan, “Pilihannya hanya dua, antara Alkitab itu salah atau hidup kita selama inilah yang tidak Kristen.” Sedemikian rusaknya kehidupan gereja saat itu dan orang-orang tidak bisa berbuat apa-apa karena otoritas sepertinya dimiliki oleh gereja yang menguasai Alkitab. Dalam konteks seperti inilah Gerakan Reformasi Gereja terjadi.
Otoritas dalam Gereja Reformasi
Dibekali perkembangan teknologi cetak, para Reformator mempunyai tujuan yang cukup serempak di daratan Eropa, yakni menghadirkan Alkitab dalam bahasa awam sehingga semua orang bisa membacanya [18].
William Tyndale di Oxford memulai (melanjutkan gerakan Wycliffe) proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris yang saat itu bahkan belum berbentuk baku sama sekali. Dengan jerih lelahnya, Tyndale hanya ingin setiap orang bisa mengerti Alkitab dalam bahasa yang mereka pahami sehingga mereka bisa bersandar penuh pada otoritas yang langsung dari Tuhan. Bisa dikatakan bahwa bentuk bahasa Inggris yang kita ketahui saat ini adalah hasil keringat Tyndale yang memantapkan bentuk bahasa dengan struktur tata bahasa yang jelas.
John Colet, seorang profesor di Oxford, menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris untuk para muridnya supaya mereka bisa membacanya. Walau ia diancam mau dibunuh, ia tetap berkhotbah dengan lantang di St. Paul Cathedral, London supaya setiap orang bisa mengerti ajaran gereja yang sesungguhnya dan mengembalikan otoritas kepada Tuhan [16]. Demikianlah juga yang dilakukan oleh para Reformator lainnya seperti Luther, Hus, Calvin, dan lainnya. Inti perjuangan mereka adalah menghadirkan Alkitab sebagaimana mestinya ke dalam hidup jemaat dan menjadikan itu sebagai otoritas tertinggi di dalam kehidupan mereka.
Apa yang sebenarnya salah dalam gereja saat itu? Sesungguhnya, pengertian gereja secara formal tidaklah jauh dari apa yang dituntut oleh para Reformator, yakni otoritas tertinggi adalah Alkitab. Bahkan, ada benarnya juga bahwa tidak sembarang orang bisa membaca Alkitab dan mengartikannya sesuai imajinasi mereka. Namun, solusi dari para Reformator ini bukanlah dengan memberikan tembok penghalang akses kepada Alkitab dan menyerahkan itu sebagai tugas para biarawan saja. Tyndale sendiri sangat percaya bahwa dengan membaca dan terus membacalah, kita akan dicelikkan matanya dan mengerti apa kehendak Tuhan [16]. Tyndale berjuang agar setiap orang membaca Alkitab dengan cara yang mudah dan tidak rumit seperti para biarawan itu membaca.
Prinsipnya, Alkitab harus dihadirkan dalam rumah tangga sehingga sang ayah bisa mengajarkan pada anak tentang janji dan harapan dari Tuhan. Inilah prinsip otoritas mula-mula yang dikehendaki Tuhan sejak mula lewat tulisan Musa. Ia tidak takut orang menjadi liar sebab Tuhan menjaga setiap orang melalui Roh Kudus dalam hati mereka. Wycliffe pun berargumen bahwa dengan hidup sucilah, kita bisa mengerti Alkitab sebagaimana yang Tuhan mau. Jadi, jelas di sini bahwa para Reformator tidak membiarkan jemaat awam membaca Alkitab dengan tidak bertanggung jawab.
Otoritas dalam Hidupku
Prinsip membaca Alkitab itu sendiri, sebenarnya baru hadir di abad ke-16 saat Reformasi Gereja besar-besaran terjadi [14]. Hal ini diperuntukkan supaya jemaat bisa mempunyai alat di tangan mereka untuk menggali sendiri kebenaran Alkitab yang seharusnya berotoritas penuh. Apa yang selama ini dinikmati oleh para biarawan, akhirnya mau tidak mau harus dihadirkan ke dalam rumah-rumah jemaat. Jika sebelumnya ada prinsip quadriga (interpretasi 4 lapis) milik para penggiat skolastik ini, apakah jemaat harus juga mengikuti cara mereka tersebut? Apakah kita harus mengerti bahasa asli sebelum kita merasa yakin bisa mendalami tulisan yang menjadi otoritas dalam hidup kita ini?
Pada prinsipnya, sola scriptura bukanlah berarti bahwa kita hanya boleh membaca Alkitab supaya mengerti tentang Alkitab. Prinsip ‘Alkitab menjelaskan Alkitab’ sebenarnya ada dalam konteks menjelaskan otoritas. Namun dalam proses kita belajar tentang Alkitab, kita tentu tidak boleh membuat ruang vakum di sekitar kita dan hanya berfokus pada diri dan Alkitab semata.
Sebagai bentuk afirmasi otoritas Alkitab, ada beberapa prinsip umum yang dapat kita terapkan untuk membaca Alkitab. Pertama, meskipun manusia mengalami kerusakan perspektif otoritas karena kejatuhan dalam dosa, Tuhan memberikan penebusan dalam Yesus Kristus. Hal ini yang pertama-tama membuat kita memiliki keyakinan bahwa hati dan pikiran kita diperbarui oleh Roh Kudus sehingga kita pasti dipimpin-Nya untuk mengerti firman. Namun, hal kedua yang harus diingat pula, selama masih hidup di dunia, secara de facto kita masih orang berdosa yang dapat salah merespons pimpinan Tuhan, baik dalam mental dan intelektual, sehingga kita tidak boleh berhenti pada poin ini.
Ketiga, Allah sejak awal mendesain kita untuk memiliki relasi dengan orang lain. Lewat interaksi dengan sesama, kita dapat memperkaya pengertian Alkitab kita. Bahkan, Alkitab sejak semulanya dihadirkan dalam konteks komunal di mana setiap orang saling berbagi akan apa yang ia mengerti dari gulungan-gulungan kitab tersebut. Hal inilah yang harus kita cermati dalam keseharian kita. Sangat tepat jika kita rajin berdoa dan saat teduh di pagi hari dengan membaca Alkitab. Namun, kita juga tidak boleh menjauhkan diri dari pertemuan ibadah kita supaya pengertian kita tidaklah hadir dari karangan bebas kita sendiri.
Keempat, pembelajaran dari orang lain termasuk mempelajari tradisi dari generasi sebelumnya. Orang-orang suci di masa lampau pun dipimpin Roh Kudus untuk mengenal Allah. Akan tetapi, kita harus tetap kritis menyadari bahwa orang lain dan tradisi dalam keberdosaannya pun dapat salah. Terakhir, kita dapat menggunakan referensi seperti commentaries, study Bible, kamus Alkitab, dan sumber lainnya untuk membuat kita semakin limpah dan tepat membaca Alkitab [19].
Di atas segala kemahiran interpretasi dan banyaknya referensi Alkitab yang kita miliki, ke-Tuhan-an Kristus menjadi kunci terpenting dalam bagaimana kita mengerti Alkitab dan menyusun hierarki otoritas dalam hidup kita. Selama Kristus belum menjadi yang terutama dalam hati, maka segala pengertian kita akan tertuju kepada tuhan yang salah, atau meskipun benar, akan tetap merupakan kesia-siaan karena bukan untuk mempermuliakan Kristus. Pengenalan akan Allah, di dalam Tuhan kita Yesus Kristus, melalui Alkitab, sesungguhnya semata-mata hanya untuk menjadikan diri kita manusia yang semakin taat kepada-Nya untuk menjalankan kehendak-Nya di dalam menghadirkan kerajaan-Nya. Tidak ada jalan lain, selain melalui pengenalan akan Allah di dalam Alkitab, dan tidak ada tujuan lain, selain untuk menghadirkan kehendak dan kerajaan-Nya yang lebih besar di dunia ini, sekarang dan sampai selama-lamanya. Kiranya Kristus sungguh menjadi Tuhan atas seluruh hidup kita, sehingga otoritas tertinggi dalam hidup kita adalah firman-Nya. Sola scriptura. Soli Deo gloria.
Patricia Rachel Manurung
Pemudi GRII Bandung
Referensi:
[1] Kejadian 1.
[2] Kejadian 3.
[3] Keluaran 25.
[4] Ulangan 6:7.
[5] Hakim-hakim 2:10-11.
[6] 1 & 2 Samuel.
[7] 1 & 2 Raja-raja.
[8] The Dead Sea Scrolls: A New Historical Approach. Roth, Cecil. 1965.
[9] Memory, Tradition, and Text: Uses of the Past in Early Christianity. Kirk, Alan; Thatcher, Tom. 2005.
[10] Kitab Lukas.
[11] 2 Timotius 3:16-17.
[12] “For it is Written” [electronic resource]: Essays on the Function of Scripture in Early Judaism and Christianity. Dochhorn, Jan; Rosenau, Malte. 2011.
[13] The School of Antioch: Biblical Theology and the Church in Syria. Hovhanessian, Vahan S. 2016.
[14] The Bible in the Churches [electronic resource]: How Various Christians Interpret the Scriptures. Hagen, Kenneth. 1994.
[15] Holy Scripture and the Quest for Authority at the End of the Middle Ages. Levy, Ian Christopher. 2012.
[16] Reformation. Tyndale Society. 1996.
[17] Wycliffe and The Christian Life. Levy, Ian Christopher. 2006.
[18] Scripture, History, and Polemic in the Early English Reformation: The Curious Case of Robert Barnes. Korey D. Maas. 2009.
[19] Reading the Word of God in the Presence of God. Poythress, Vern S. 2016.