Di sepanjang sejarah, manusia berusaha menerka-nerka mengenai keberadaan Allah dan juga tentang siapa Dia. Pada dasarnya, manusia tidak bisa terlepas dari konsep agama atau kepercayaan mengenai keberadaan Ilahi. Calvin menyatakan bahwa hal ini adalah bagian dari diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Mereka diciptakan dengan memiliki sense of divinity. Sehingga di mana pun manusia berada, baik di kota yang sudah begitu maju maupun di pedalaman, mereka menyadari adanya keberadaan yang melebihi keberadaan dirinya, keberadaan supernatural, keberadaan yang memiliki kuasa untuk mengatur hal-hal yang natural. Naluri dasar inilah yang mendorong diri manusia untuk selalu mencari dan mengenal siapakah Allah.
Di dalam usahanya mencari atau mengetahui tentang keberadaan Allah, manusia mengembangkan berbagai macam metode. Secara mayoritas, manusia menggunakan metode subjektivitas di dalam mencari keberadaan Allah. Baik agama maupun segala bentuk kepercayaan lainnya menggunakan metode tersebut. Ajaran-ajaran ini lahir dari perenungan secara personal para pendiri agamanya. Mereka menggunakan berbagai macam bentuk subjektivitas, baik melalui observasi terhadap pengalaman hidupnya, maupun dengan perenungan atau rasionalisasi segala hasil pemikiran mereka. Ada juga yang menggunakan metode objektivitas sains—mereka melakukan berbagai penyelidikan, mengumpulkan data, dan mengujinya menggunakan berbagai metode yang diakui secara ilmiah. Walaupun mereka mengeklaim dirinya objektif, tetap saja mereka tidak bisa sepenuhnya keluar dari aspek subjektivitas diri, karena metode ilmiah sendiri pun bukan sebuah metode yang mutlak. Pada dasarnya, metode itu sendiri pun masih di dalam proses perkembangan.
Terkait dengan hal ini, Herman Bavinck di dalam bukunya Reformed Dogmatics mengatakan demikian:
Neither scientific objectivity nor complete subjectivity are possible. All knowledge is rooted in faith, and for faith to be real it must have an object that is knowable. This requires a divine revelation that is more than a fulfilment of subjective desire. Religion must be true and provide its own distinct path to knowledge and certainty. Christian theologians must place themselves within the circle of faith and, while using church tradition and experience, take their stand in the reality of revelation. Though dogmaticians are bound to divine revelation and must take seriously the confessions of the church, their work is also personal and contextual. Religious feeling cannot serve as the epistemic source of religious truth; divine revelation is needed. At the same time, this truth must be personally appropriated by faith.
Di dalam tiga kalimat awal dari kutipan di atas, kita dapat melihat penekanan dari Bavinck terhadap pentingnya divine revelation di dalam agama, atau tepatnya di dalam kita mengenal Allah. Metode yang lebih bersifat subjektif atau objektif secara ilmiah merupakan metode yang tidak tepat di dalam kita mengenal Allah, karena kedua metode tersebut hanya membawa kita kepada konsep allah-allah yang spekulatif (berhala). Bahkan Bavinck memberikan penekanan bahwa konsep Allah yang subjektif atau objektif secara ilmiah hanya membawa kita kepada allah-allah yang disesuaikan dengan keinginan hati masing-masing (subjective desire). Bukankah ini yang menjadi motivasi terselubung dari manusia berdosa? Bahkan ketika Adam dan Hawa memutuskan untuk memakan buah pengetahuan baik dan jahat, motivasi seperti ini sudah ada. Mereka memakan buah tersebut karena mereka ingin menentukan sendiri apa yang baik dan jahat. Begitu juga dengan agama-agama yang berkembang karena ada subjective desire tersebut. Baik pendiri maupun pengikutnya membentuk agama tersebut dengan motivasi yang terselubung sehingga konsep allah yang dibangun pun, baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan refleksi dari keinginan tersebut.
Oleh karena itu, kita harus dengan berani menyatakan bahwa agama yang sejati adalah agama yang berdasarkan pewahyuan Allah. Tanpa adanya wahyu, tidak mungkin manusia bisa mengenal Allah. Dalam kaitan dengan hal ini, Bavinck menekankan bahwa kita tidak bisa menggunakan metode dari bidang lain di dalam penyelidikan mengenai Allah. Kita harus mengikuti metode yang sesuai, yaitu dengan mendasarkan pembelajaran kita pada wahyu Allah (“take their stand in the reality of revelation”). Tetapi Bavinck tidak mengesampingkan aspek personal ataupun sejarah di dalam pembelajaran tentang Allah tersebut. Ia tetap menyatakan bahwa kebenaran yang diwahyukan tetap penting untuk diterapkan atau diaplikasikan secara personal. Sehingga aspek normatif dari pengenalan Allah adalah hanya dengan berlandaskan wahyu Allah. Tetapi di sisi lain, kita bisa melihat bahwa aspek personal dan warisan sejarah atau pemikiran orang lain pun menjadi aspek yang tidak boleh kita lupakan di dalam pembelajaran ini.
Pentingnya wahyu di dalam pengenalan kita akan Allah tidak terlepas dari siapa Allah itu sendiri. Karena Allah yang kita ingin kenal adalah Allah yang begitu transenden, melampaui kapasitas manusia untuk bisa mengenal-Nya. Tanpa Allah menyatakan diri-Nya, tidak mungkin manusia dapat mengenal Allah. Inilah latar belakang yang mendasari perbedaan paling fundamental antara agama yang berdasarkan wahyu dan agama yang tidak berdasarkan wahyu. Allah yang kita sembah adalah Allah yang melampaui kapasitas manusia bahkan alam semesta ini, karena Ia adalah Allah Sang Pencipta. Maka di dalam theologi, kita mengenal sebuah konsep yaitu divine condescension atau accommodation.
Divine Condescension
Salah satu doktrin yang paling utama di dalam Theologi Reformed adalah doktrin kedaulatan Allah. Secara sederhana, melalui doktrin ini, kita ingin menyatakan superioritas atau supremasi Allah di atas segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Seperti yang dinyatakan dalam Yesaya 55:9, “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Begitu juga dinyatakan dalam Roma 11:33-36, bahwa tidak ada satu pun yang dapat mengenal pikiran Allah, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi penasihat dari Allah. Pada naturnya, manusia tidak mungkin mengenal Allah sebagaimana Ia mengenal diri-Nya sendiri. Hal ini dinyatakan dengan jelas di dalam Westminster Confession of Faith, Chapter 7 Section 1:
The distance between God and the creature is so great, that although reasonable creatures do owe unto Him as their Creator, yet they could never have any fruition of Him as their blessedness and reward, but by some voluntary condescension on God’s part, which He has been pleased to express by the way of covenant.
Walaupun manusia memiliki kewajiban atau utang kepada Allah sebagai Pencipta, kita tidak mungkin mampu mengenal-Nya tanpa adanya inisiatif Allah untuk menyatakan diri-Nya. Sehingga secara sederhana divine condescension dapat dimengerti sebagai tindakan bebas atau belas kasihan Allah yang menyatakan diri-Nya. Di dalam pernyataan diri-Nya inilah kita mengenal Allah sebagaimana Ia menginginkan diri-Nya dikenal oleh ciptaan-Nya, dan di dalam interaksi-Nya dengan ciptaan lainnya. Semua ini Ia nyatakan di dalam konteks ikatan perjanjian-Nya dengan ciptaan-Nya. Implikasinya, kita perlu membedakan antara Allah sebagaimana Ia ada pada diri-Nya sendiri dan Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam ikatan perjanjian sebagai God’s condescension.
Di dalam konteks ini ada beberapa poin mengenai Allah yang bisa kita mengerti dengan lebih detail.
Pernyataan diri Allah sepenuhnya adalah inisiatif sukarela Allah.
Ada sekelompok orang yang memandang bahwa Allah menciptakan alam semesta ini karena adanya kebutuhan untuk berelasi. Ia memerlukan objek personal untuk menyatakan kasih-Nya. Pandangan ini seolah-olah menjadikan Allah memiliki utang kepada manusia karena mereka adalah objek kasih Allah. Namun, ini adalah pandangan yang salah karena Allah yang kita imani adalah Allah Tritunggal. Ia cukup pada diri-Nya sendiri karena Ia menyatakan kasih di dalam relasi antarpribadi Tritunggal tersebut. Tidak ada kebutuhan, keharusan, atau kewajiban Allah baik di dalam konteks penciptaan maupun pernyataan diri-Nya. Semua itu dilakukan-Nya sebagai tindakan sukarela agar kita dapat mengenal siapa Dia baik secara langsung maupun melalui perantaraan ciptaan-Nya.
Segala sesuatu yang dapat kita mengerti baik tentang Allah maupun karya-Nya ada di dalam ikatan relasi covenant.
Kita sering kali take it for granted untuk setiap pengertian atau pengetahuan kita. Kita berpikir bahwa semua itu adalah hasil kerja keras kita di dalam mempelajari sesuatu. Namun melalui konsep God’s condescension ini, kita seharusnya menyadari bahwa segala pengetahuan adalah tindakan sukarela Allah kepada kita. Tanpa adanya campur tangan Allah, tidak mungkin kita dapat mengerti setiap ilmu yang kita pelajari. Seluruh pengetahuan yang kita miliki saat ini bisa ada karena Allah yang merendahkan diri-Nya dan menyatakan-Nya kepada kita. Jikalau kita menganggap pengetahuan kita sebagai hasil kerja keras, sesungguhnya kita sedang mencuri kemuliaan Allah. Di dalam konteks inilah kita dapat mengerti alasan kita harus rendah hati akan pengetahuan yang kita miliki.
Manusia tidak mungkin mengenal Allah secara komprehensif.
Sekeras apa pun usaha kita di dalam mengenal Allah, kita tidak mungkin mengenal-Nya secara komprehensif. Jikalau kita mencoba untuk mengerti-Nya secara komprehensif, kita pasti akan terbentur dengan keterbatasan yang kita miliki. Salah satu contohnya adalah pengertian kita tentang kekekalan. Keterbatasan kita di dalam ruang dan waktu menjadikan kita mustahil untuk mengerti apa kekekalan itu. Kita tidak dapat mengerti bagaimana ada seseorang yang bisa berada sekaligus tidak berada di dalam konteks permulaan dan akhir waktu. Segala bentuk pengertian yang kita coba telusuri mengenai sesuatu di luar waktu sering kali berujung di dalam ikatan waktu itu sendiri. Kita sulit sekali untuk mengerti keberadaan sebelum permulaan waktu ataupun keberadaan sesudah waktu berakhir. Kita hanya dapat mengerti sekelebat saja mengenai hal ini. Karena kekekalan adalah konsep yang sepenuhnya berbeda dengan pengalaman yang kita rasakan di dalam dunia ciptaan ini. Oleh karena itu, kita hanya dapat mengenal Allah sejauh apa yang Ia nyatakan.
Aseity of God
Semua pengertian ini membawa kita kepada konsep aseity of God atau independence of God, yaitu pengertian yang sangat mendasar di dalam kita mengenal Allah. Tidak ada satu aspek pun di dalam diri Allah di mana Ia bergantung kepada keberadaan lain di luar diri-Nya. Karena seluruh keberadaan menjadi ada karena Allah yang menciptakannya dari tidak ada. Di dalam hal ini, Herman Bavinck di dalam bukunya Reformed Dogmatics menyatakan seperti demikian:
Now when God ascribes this aseity to Himself in Scripture, He makes Himself known as absolute being, as the one who is in an absolute sense. By this perfection, He is at once essentially and absolutely distinct from all creatures. Creatures, after all, do not derive their existence from themselves but from others and so have nothing from themselves; both in their origin and hence in their further development and life, they are absolutely dependent. But as is evident from the word “aseity,” God is exclusively from Himself, not in the sense of being self-caused but being from eternity to eternity who he is, being not becoming. God is absolute being, the fullness of being, and therefore also eternally and absolutely independent in His existence, in His perfections in all His works, the first and the last, the sole cause and final goal of all things. In this aseity of God, conceived not only as having being from Himself but also as the fullness of being, all the other perfections are included. They are given with the aseity itself and are the rich and multifaceted development of it.
Sehingga bagi Bavinck, aseity of God adalah atribut Allah yang paling dasar. Kita harus mengaitkan segala aspek pengenalan Allah lainnya dengan atribut ini. Karena ketepatan segala pengenalan kita tentang Allah bergantung kepada pengertian kita tentang aseity of God. Segala bentuk pengenalan akan Allah yang mengompromikan doktrin ini sudah dipastikan sebagai pengajaran yang sesat, yang tidak sesuai dengan Alkitab. Karena Allah yang tidak berada, penuh, dan lengkap pada diri-Nya sendiri sudah dapat dipastikan sebagai allah yang palsu.
Knowing God Only Through His Revelation
Maka pertanyaan dasarnya adalah yang mungkin sudah bosan kita dengar, “Sejauh apa kita giat di dalam belajar firman Tuhan?” Kita begitu bosan dengan segala nasihat tentang membaca Alkitab setiap hari, atau tentang pentingnya belajar theologi bagi kaum awam. Jikalau kita mengerti dengan baik mengenai God’s condescension, seharusnya kita menyadari bahwa belajar firman Tuhan adalah satu-satunya jalan kita dapat mengenal siapa Allah. Tanpa pembelajaran akan firman Tuhan, tidak mungkin kita dapat mengenal Allah yang sejati. Hal ini pun akan berimplikasi terhadap pembelajaran kita di dalam aspek-aspek kehidupan lainnya. Tanpa kita mengenal Allah yang sejati, tidak mungkin kita dapat mengenal dengan tepat segala kebenaran yang Allah sudah berikan di dalam alam semesta ini. Karena segala kebenaran adalah kebenaran Allah.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES