Di dalam artikel sebelumnya kita sudah membahas mengenai Allah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia, atau dikenal juga sebagai God’s condescension atau accommodation. Melalui pengertian ini, kita mengenal Allah sebagai keberadaan yang transenden, yang melampaui kapasitas kita untuk mengerti atau mengenal-Nya. Tanpa tindakan aktif Allah yang menyatakan diri-Nya, kita tidak mungkin dapat mengenal-Nya sama sekali. Dengan pengertian ini, kita perlu menyadari bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang melampaui segala kemampuan hikmat manusia. Jikalau kita ingin mengerti-Nya dengan mengandalkan rasio atau logika manusia, kita pasti akan menemui jalan buntu. Ia hanya dapat dikenal melalui rasio yang sudah dicerahkan oleh kebenaran wahyu-Nya. Tanpa ada penaklukkan diri dan rasio kita kepada wahyu Allah, kita tidak mungkin dapat mengenal Allah dan kebenaran-Nya secara tepat.
Dari pengertian ini, kita melihat adanya otoritas yang begitu tinggi, bahkan yang tertinggi, dari wahyu Allah tersebut. Hal ini karena wahyu tersebut datang dari Allah yang berdaulat penuh atas seluruh alam semesta ini. Kedaulatan-Nya adalah kedaulatan yang absolut, yang tidak mungkin ditandingi. Seluruh keberadaan di luar keberadaan Allah adalah keberadaan yang diciptakan oleh Allah, karena itu berada di bawah kedaulatan-Nya. Oleh karena itu, wahyu Allah memiliki otoritas melampaui diri kita sebagai ciptaan-Nya.
Di dalam artikel kali ini, kita akan melihat dua karakteristik dari wahyu Allah yaitu personal dan covenantal. Hal ini penting untuk kita mengerti karena ini akan menentukan bagaimana seharusnya kita berespons terhadap wahyu Allah tersebut, khususnya di dalam konteks zaman ini. John Frame di dalam bukunya The Doctrine of the Word of God mengatakan, “What distinguishes modern views of revelation from orthodox views is their affirmation of human autonomy in the realm of knowledge. Intellectual autonomy is the view that human beings have the right to seek knowledge of God’s world without being subject to God’s revelation.” Semangat modern ini ingin lepas dari kedaulatan Allah dan menjadikan rasio sebagai otoritas penentu kebenaran. Mereka membantah Allah sebagai otoritas tertinggi dan menjadikan ciptaan Allah sebagai yang berotoritas di dalam menentukan kebenaran.
God’s Revelation Is Personal
Karakteristik pertama dari wahyu Allah adalah wahyu itu dinyatakan oleh Allah secara langsung, seperti ketika kita berbicara dengan manusia lainnya. Ketika kita berdialog dengan seseorang, pasti terdapat respons dari kedua pribadi yang sedang berdialog; begitu juga dengan wahyu Allah. Ia berfirman agar kita dapat mengenal-Nya dan berespons dengan tepat terhadap-Nya. Alkitab mencatat berbagai macam respons dari orang-orang yang menerima wahyu Allah seperti percaya, taat, bertobat, tertawa, bersedih, bersukacita, dan sebagainya. Setiap kualitas yang terdapat di dalam komunikasi antarmanusia juga terdapat di dalam komunikasi Allah dengan kita, bahkan sebenarnya komunikasi Allahlah yang menjadi dasar dari komunikasi antarmanusia. Oleh karena itu, kita perlu melihat bahwa wahyu Allah adalah komunikasi Allah secara personal kepada kita.
Salah satu contoh yang kita dapat lihat di dalam kisah Alkitab adalah ketika Abraham diperintahkan oleh Allah untuk mempersembahkan Ishak di atas sebuah gunung sebagai korban persembahan kepada-Nya (Kej. 22). Jikalau saat ini, secara mendadak, kita mendapatkan perintah dari Allah untuk membawa anak kita ke sebuah gunung dan mempersembahkannya bagi Allah, akankah kita melakukan hal tersebut? Mungkin hal pertama yang muncul di pikiran kita adalah meragukan validitas perintah atau si pembawa perintah itu. Kita mungkin akan membantah bahwa perintah itu datang dari Allah karena Allah tidak mungkin memberikan perintah seperti itu. Namun, di dalam Kejadian 22, Abraham tidak memberikan bantahan atau bahkan mempertanyakan perintah itu. Ia mengetahui bahwa Allah telah berbicara kepadanya, dan ia benar-benar mengetahui bahwa Allah menginginkannya untuk mempersembahkan Ishak. Respons Abraham ini menyatakan bahwa ia mengenal Allah secara personal. Ia tahu bahwa yang berbicara itu adalah Allah, walaupun perintah yang diberikan begitu sulit untuk diterima. Abraham, di dalam imannya kepada Allah, taat kepada perintah-Nya tanpa sedikit pun keraguan. Respons seperti Abraham ini seharusnya menjadi respons kita sebagai umat Allah. Ketika Allah berbicara, seharusnya kita percaya, patuh, bertobat, atau berdukacita, tanpa adanya sedikit pun keberatan di dalam hati kita.
Mengenai pentingnya kita mengerti wahyu Allah sebagai pernyataan diri Allah secara personal, John Frame, di dalam bukunya The Doctrine of the Word of God, menyatakan demikian:
The idea that God communicates with human beings in personal words pervades all of Scripture, and it is central to every doctrine of Scripture. If God has, in fact, not spoken to us personally, then we lose any basis for believing in salvation by grace, in judgment, in Christ’s atonement, indeed for believing in the biblical God at all. Indeed, if God has not spoken to us personally, then everything important in Christianity is human speculation and fantasy.
Tanpa adanya pernyataan diri Allah secara personal kepada manusia, tidak mungkin kita dapat mengenal-Nya. Oleh karena itu kita harus berespons terhadap wahyu Allah sebagai pernyataan diri-Nya secara personal yang berdaulat. Satu-satunya cara agar kita dapat mengerti wahyu Allah dan berespons dengan tepat adalah dengan menaklukkan diri kita sepenuhnya kepada Allah.
God’s Revelation Is Covenantal
Sebagaimana yang pernah kita bahas, relasi Allah dengan manusia adalah relasi kovenan. Seperti yang Ia nyatakan kepada bangsa Israel di dalam Keluaran 10:2, “…. supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN.” Di dalam kacamata bagian ini, kita dapat mengatakan bahwa salah satu pesan utama Perjanjian Lama adalah, “God is the Lord.” Dan salah satu pesan utama dari Perjanjian Baru adalah, “Jesus Christ is Lord.” Ketika kita mengatakan bahwa Allah itu adalah Tuhan atas diri kita, maka secara tidak langsung kita juga sedang mengatakan bahwa diri kita adalah hamba-hamba-Nya. Kita harus tunduk kepada otoritas-Nya sebagai Tuhan atas diri kita. Inilah relasi kovenan antara Allah dan manusia.
Di dalam pemikirannya, John Frame menyebutkan bahwa ada tiga atribut atau aspek utama dari God’s Covenant Lordship:
• dengan kebesaran kuasa-Nya, Allah mengendalikan seluruh yang ada di dalam dunia ciptaan ini;
• setiap perkataan yang Ia ucapkan adalah perkataan yang memiliki otoritas yang tertinggi dan absolut; dan
• sebagai Covenant Lord, Ia memimpin ciptaan-Nya ke dalam relasi khusus yang akan memberikan berkat bagi yang taat dan kutuk bagi yang memberontak.
Dari pengertian ini, kita belajar bahwa wahyu Allah bukan hanya menyatakan otoritas Allah saja, tetapi juga menyatakan kuasa Allah di dalam mengontrol segala yang terjadi di dalam sejarah manusia serta mengontrol alam semesta. Di dalam Alkitab kita melihat banyak peristiwa di mana Allah menyatakan kuasa-Nya melalui firman-Nya. Di dalam penciptaan (Kej. 1), setiap kali Allah menciptakan sesuatu selalu dimulai dengan, “Berfirmanlah Allah.” Hal ini menunjukkan kuasa di dalam perkataan Allah di dalam menjadikan segala sesuatu di dalam dunia ciptaan ini. Setelah penciptaan, Allah tetap memimpin ciptaan ini dengan firman-Nya (Mzm. 29). Firman Allah berkuasa baik di dalam penciptaan maupun pemeliharaan dunia ini. Kuasa firman Allah pun ditunjukkan di dalam penghakiman yang Ia nyatakan bagi orang-orang berdosa. Di dalam Surat 2 Petrus 3:5-6 dikatakan bahwa dengan firman Allah menjadikan dunia ini ada, tetapi dengan firman-Nya juga Allah memusnahkan ciptaan di bumi ini dengan air bah (hal ini merujuk kepada kisah Nuh). Lebih lanjut lagi, firman Allah pun berkuasa di dalam menyelamatkan umat pilihan-Nya.
Selain menyatakan kuasa dan otoritas-Nya, firman Allah pun menyatakan relasi perjanjian-Nya dengan umat-Nya. Wahyu-Nya menyatakan kehadiran-Nya di tengah-tengah kita. Hal ini dengan jelas dinyatakan di dalam Yohanes 1:1-3. Firman itu adalah Allah. Puncak pernyataan dari firman Allah adalah inkarnasi Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal. Kehadiran-Nya di tengah-tengah manusia merupakan pernyataan diri Allah yang tertinggi dan teragung bagi manusia. Melalui Kristus, kita dapat mengenal Allah yang sejati. Melalui Kristus, kita dapat ditebus dan direkonsiliasi untuk berelasi kembali dengan Allah. Kristus menjadi bukti dari janji Allah yang akan menyertai kita.
Melalui kedua karakteristik wahyu Allah ini, kita dapat melihat bahwa wahyu Allah bukan hanya sekadar perkataan seperti hukum atau aturan yang tidak berpribadi. Wahyu Allah adalah komunikasi personal Allah yang menyatakan kuasa, otoritas, dan relasi kovenan-Nya dengan manusia. Oleh karena itu, kita harus berespons dengan tepat terhadap wahyu Allah tersebut. Bukan dengan menaklukkannya ke bawah rasio kita, tetapi sebaliknya, kita yang harus menaklukkan rasio kita di bawah wahyu Allah. Tanpa adanya penaklukkan diri seperti ini, tidak mungkin kita bisa mengerti kebenaran yang Ia nyatakan dengan tepat dan sebagaimana wahyu ini harus dimengerti. Tanpa adanya penaklukkan diri kita terhadap wahyu Allah, tidak mungkin kita dapat mengenal Allah yang sejati.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES