Kita telah mempelajari di dalam artikel sebelumnya bahwa, bagi orang Kristen, wahyu bersifat personal dan memiliki ikatan perjanjian di dalamnya. Sebagai bagian dari ikatan perjanjian ini, kita harus berespons terhadap wahyu yang dinyatakan kepada kita. Apa pun yang menjadi respons kita, baik taat maupun memberontak, pasti akan memiliki konsekuensinya, karena kita berada di dalam ikatan perjanjian. Bukan hanya itu, kita pun perlu menyadari bahwa kita berespons bukan kepada satu set peraturan yang impersonal, tetapi kepada Allah itu sendiri. Kita tunduk bukan kepada aturan-aturan yang impersonal, tetapi kepada Allah yang berotoritas mutlak dan personal. Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat zaman ini yang tidak mau tunduk kepada otoritas. Sehingga mereka membangun suatu konsep wahyu yang berbeda dengan yang dinyatakan oleh Alkitab. Mereka menolak otoritas absolut yang dinyatakan oleh Alkitab dan mengeklaim otonomi manusia di dalam area pengetahuan. Maksudnya, manusia memiliki hak untuk mencari pengetahuan di dalam dunia ini tanpa harus tunduk kepada wahyu Allah. Inilah cara pandang dunia modern terhadap konsep wahyu.
Walaupun pemikiran manusia sering kali dikatakan berkembang di zaman modern, sebetulnya asal mula pemikiran ini adalah dari awal peradaban manusia, yaitu dari zaman Adam dan Hawa. Kita mengerti di dalam Kejadian 3 bahwa manusia memilih untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Tindakan manusia pertama ini merupakan sebuah keputusan hidup mereka untuk memberontak atau melawan perintah atau wahyu Allah. Dan dengan tindakan ini mereka menyatakan otonomi mereka dan lepas dari otoritas Allah.
Semangat otonomi tersebut mewarnai setiap tindakan berdosa manusia. Van Til sering kali mengatakan tindakan manusia berdosa ini sebagai tindakan yang irasional. Seperti yang dikatakan dalam Roma 1:18-32, manusia yang mengenal Allah secara jelas melalui wahyu-Nya, memilih untuk menindas pengetahuan tersebut dan menggantikannya dengan kebohongan atau muslihat. Ini adalah sebuah tindakan yang mutlak irasional. Bagaimana mungkin seorang manusia atau ciptaan melawan Allah atas alam semesta ini? Ini merupakan sebuah kebodohan terbesar yang mereka anggap sebagai sebuah tindakan bijaksana, padahal mereka sedang dibodohi oleh tipu muslihat si Iblis.
Di dalam kebodohan ini, manusia sedang menolak God’s Lordship. Mereka menolak otoritas Allah atas alam semesta ini, mereka menolak Allah yang berkuasa mengontrol segala sesuatu di dalam alam semesta ini, dan mereka menolak Allah yang juga hadir di dalam ciptaan ini. Mereka menggantikan Dia dengan hal yang lain sebagai tuhan mereka. Mereka membantah keberadaan Allah. Mereka menolak segala otoritas wahyu yang Allah nyatakan, entah dengan menolak adanya keberadaan yang ultima di dalam alam semesta ini atau dengan menaklukkan diri kepada hal lain yang mereka anggap berotoritas seperti Allah. Keduanya sama-sama mengeklaim otonomi mereka atas pengetahuan mereka akan kebenaran, bukan tunduk kepada otoritas mutlak dari wahyu Allah. Pola inilah yang terjadi di dalam setiap tindakan berdosa umat manusia. Mereka menolak adanya otoritas kebenaran yang dinyatakan melalui wahyu Allah, dan mereka menggantikan otoritas itu dengan hal lain sesuai dengan keinginan hati mereka. Inilah semangat otonomi yang terjadi di sepanjang sejarah pemikiran umat manusia. Kita akan melihat secara singkat beberapa titik sejarah pemikiran yang memiliki pengaruh yang signifikan bagi umat manusia.
Greek Philosophy
Di sepanjang sejarah peradaban hingga sebelum 600 SM, mayoritas umat manusia didominasi oleh penyembahan kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai keberadaan yang Ilahi, tetapi memiliki kontrol dan otoritas yang terbatas. Hingga di sekitar 600 SM terjadi suatu perubahan yang cukup drastis. Mereka menjadi kelompok orang yang menempatkan otonomi di dalam intelektual. Mereka menolak otoritas agama dan tradisi, lalu menjadikan rasio manusia sebagai otoritas tertinggi yang menentukan kebenaran. Secara umum mereka tidak mau menerima apa pun dari tradisi. Tokoh seperti Plato pun, yang sering membahas mitos-mitos yang ada, menyatakan bahwa mitos tidak cukup rasional sehingga menjadi kedua terbaik. Baginya, yang terutama adalah manusia. Sehingga bagi Greek philosophers, rasio harus otonom dan menjadi standar kebenaran yang menentukan mana yang benar dan salah. Dari rasio, manusia dapat memperoleh kebijaksanaan dan kebenaran yang dapat ia hidupi. Jadi Greek philosophy menjadi sebuah terobosan di dalam dunia pemikiran yang membawa umat manusia untuk berangkat dari tradisi atau pemikiran mitos-mitos agama kepada penggunaan rasio sebagai standar kebenaran. Melalui cara pandang inilah, manusia dibawa makin menjauh dari ketertundukan kepada otoritas wahyu.
Middle Ages
Pasca-Greek philosophy, sejarah pemikiran manusia didominasi oleh percampuran antara pemikiran Kristen dan filsafat Yunani. Banyak tokoh Kristen yang mencoba menjawab segala tantangan dari filsafat Yunani. Bahkan mereka menggunakan filsafat ini untuk mengembangkan pemikiran Kristen. Namun, banyak yang pada akhirnya terjebak di dalam konsep berpikir filsafat Yunani dan akhirnya mengompromikan konsep Alkitab. Salah satu contohnya adalah pemikiran dari Thomas Aquinas (1225-1274). Dia membuat pemisahan yang cukup tegas antara filsafat yang mengatur wilayah “natural reason”, dan theologi yang berurusan dengan “divine revelation”. Sehingga Aquinas membagi wilayah otonomi dari rasio dan wahyu. Untuk hal-hal yang bersifat supernatural yang memiliki otonomi adalah wahyu dan iman, sedangkan untuk wilayah natural yang berotonomi adalah rasio manusia. Sehingga di dalam pemikiran ini, kita dibawa untuk menjalankan kehidupan dualisme. Di dalam hal-hal yang bersifat natural, kita tidak perlu tunduk kepada otoritas wahyu Allah; cukup dengan mengandalkan rasio manusia, kita bisa memperoleh pengetahuan dari alam ini. Sedangkan untuk wilayah supernatural, kita tidak bisa menggunakan rasio yang terbatas ini, sehingga kita memerlukan iman agar dapat mengerti wahyu Allah kepada kita. Begitu juga dengan tokoh-tokoh lain pada zaman ini, mereka mencoba mengintegrasikan pemikiran Kristen dengan filsafat Yunani, tetapi pada akhirnya mereka akan jatuh kepada dualisme rasio dan wahyu atau iman, atau mereka akan membangun theologi yang berkompromi sehingga tidak lagi setia kepada pemikiran Alkitab.
Modern Ages
Memasuki zaman modern, kita mengenal seorang filsuf yang bernama René Descartes (1596-1650). Demi mencapai kepastian yang absolut, Descartes meragukan segala sesuatu yang ia secara pribadi sulit untuk menyatakan dengan yakin bahwa itu benar. Baginya semua ajaran gereja dan filsafat perlu untuk diragukan. Satu-satunya ide yang menurut dia jelas dan pasti benar adalah kenyataan bahwa dirinya sedang berpikir. Maka lahirlah sebuah kalimat yang begitu terkenal, “Cogito ergo sum” (I think therefore I am). Di atas dasar kebenaran inilah Descartes membangun kebenaran yang ia dapat yakini validitasnya. Sehingga di bawah pemikiran Descartes, ia membangun pemikiran otonomi manusia di atas wahyu. Kembali di dalam zaman ini, rasio manusia menjadi dasar utama di dalam menentukan kebenaran. Begitu juga dengan Baruch Spinoza (1634-1677) yang memperjuangkan kebebasan dalam berpikir dan melawan segala bentuk takhayul. Ia menekankan kebebasan rasio, sehingga Alkitab dianggap sebagai salah satu tulisan kuno yang harus ditaklukkan kepada rasio manusia. Baginya, firman Allah adalah semua bentuk konklusi pemikiran manusia yang disetujui oleh Allah, sehingga rasio tetap memiliki otonomi yang lebih tinggi daripada wahyu.
The Rise of Liberalism
Di bawah pengaruh dari zaman modern ini, manusia diarahkan untuk menerima prinsip-prinsip otonomi rasio di dalam berbagai bidang, khususnya di dalam area-area yang dekat dengan dunia akademis. Mereka tidak lagi memikirkan atau merenungkan apakah benar bagi seorang manusia untuk menggunakan rasionya tanpa tunduk kepada otoritas wahyu Allah. Secara otomatis, dunia akademis dianggap sebagai dunia yang harus bebas dari pengaruh wahyu Allah; hanya rasio yang diperbolehkan untuk “bersuara” di dalam dunia ini. Bahkan di dalam dunia theologi pun, pengaruh dari otonomi rasio ini merebak dan menimbulkan sebuah gerakan yang dinamakan liberalisme. Di bawah pengaruh liberalisme inilah iman kekristenan digerogoti dari dalam. Segala kepercayaan yang dianggap tidak rasional, dinilai sebagai mitos dan perlu di-“demitologisasi” agar kita mengerti makna di balik tulisan atau kisah tersebut. Kelahiran dari anak dara, Allah Tritunggal, berbagai bentuk mujizat, hingga natur Kristus sebagai Allah, semua dianggap sebagai mitos. Semua harus ditaklukkan di bawah supremasi rasio manusia.
Present Age
Bagaimana dengan tantangan yang kita hadapi saat ini di zaman postmodern? Zaman ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya. Pada dasarnya, dunia ini tetap menolak otoritas wahyu Allah. Hanya saja setiap zaman memiliki hal yang berbeda-beda sebagai pengganti otoritas tersebut. Di dalam zaman postmodern, yang berotoritas adalah self atau subjektivitas setiap orang. Rasio yang selama ini dianggap sebagai supremasi tertinggi mulai diragukan oleh banyak orang. Karena seolah-olah hal ini membuat manusia harus tunduk kepada otoritas di luar dirinya. Maka pada zaman postmodern ini, manusia dibawa untuk lepas dari segala otoritas dan hidup sebebas-bebasnya dengan mengikuti apa yang menjadi “kata hati” atau “passion” dari diri. Maka, diri memiliki otoritas atas diri sendiri. Inilah yang menjadi tawaran dari dunia pada zaman ini: meninggikan diri di atas segala keberadaan yang lain, termasuk Tuhan.
Di tengah tantangan zaman seperti ini, kita perlu menyadari bahwa menegakkan kembali otoritas wahyu Allah adalah hal yang sangat sulit. Kita tidak bisa hanya dengan “buta” mengatakan bahwa wahyu Allah adalah yang paling berotoritas. Tantangan zaman ini menuntut kita untuk menunjukkan otoritas ini baik di dalam dunia pemikiran, penerapannya ke dalam bidang-bidang lain, dan di dalam etika kehidupan kita. Sehingga sebagai orang Kristen kita dituntut untuk hidup secara utuh di bawah otoritas wahyu, dan menunjukkan kepada dunia ini bahwa kehidupan di bawah otoritas wahyu Allah adalah kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh manusia sejati. Kita akan membahas hal-hal ini secara lebih detail di dalam artikel-artikel selanjutnya, mengenai bagaimana seharusnya kita mengaitkan wahyu Allah dengan rasio, pengalaman hidup, dan lain-lain.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES