Salah satu ciri orang Kristen sejati adalah penaklukkan dirinya kepada otoritas wahyu Allah. Kita memandang bahwa wahyu Allah adalah pernyataan diri dan kehendak Allah kepada manusia. Sebagai ciptaan-Nya, sudah sepatutnya kita hidup takluk kepada wahyu Allah. Namun efek dosa membawa manusia untuk memberontak terhadap Allah dan mencari hal lain di dalam dunia ciptaan untuk menggantikan posisi Allah. Salah satu yang menjadi tantangan bagi supremasi wahyu adalah rasio. Semangat meninggikan rasio bukan hanya terjadi pada zaman modern saja tetapi juga terjadi pada zaman pre-Socratic philosophy. Sekitar tahun 600 SM, bangkit sekelompok pemikiran Ancient Greek yang mengesampingkan agama dan tradisi demi mengerti dunia ini dengan lebih baik, dan mencoba untuk bergantung kepada rasio manusia. Mereka mencoba untuk membangun ide-ide yang lebih konsisten dengan klaim otoritas rasio manusia. Mereka percaya bahwa rasio manusia yang difungsikan secara murni, tanpa bantuan dari agama dan tradisi, mampu untuk mengerti alam semesta ini. Namun di dalam perjalanan untuk mengerti dunia ini, mereka menjumpai berbagai masalah. Lalu mereka menarik kesimpulan bahwa masalahnya bukan pada rasio manusia, tetapi karena dunia ini sendiri tidak sepenuhnya rasional. Jadi masalah dari Greek philosophy adalah usaha manusia di dalam menerapkan skema intelektual yang rasional kepada dunia yang tidak rasional.
Namun, kegagalan Greek philosophy di dalam menegakkan supremasi rasio tidak membuat manusia menyerah. Usaha untuk menggantikan otoritas wahyu dengan rasio terjadi kembali di zaman modern, terutama di zaman Enlightenment. Pada artikel ini kita akan sedikit membahas sekilas mengenai filsafat zaman Enlightenment di dalam pengaruhnya terhadap theologi, dan kita akan melihat bagaimana seharusnya rasio manusia difungsikan di dalam kaitannya dengan wahyu.
The Enlightenment, the Age of Reason
Zaman Enlightenment (1650-1800) adalah periode di mana mainstream philosophy menolak secara radikal worldview dari Alkitab dan meninggikan otoritas dari rasio manusia. Banyak orang berpikir bahwa zaman ini memberikan kesegaran bagi intelektual manusia, karena manusia bisa menyingkirkan segala bentuk takhayul dan menggali potensi dari rasio. Bagi mereka, rasio manusia memiliki otoritas di dalam menjawab berbagai pertanyaan dan kesulitan yang timbul di dalam kehidupan. Bahkan mereka menjadikan rasio manusia sebagai otoritas paling ultima di dalam menentukan kebenaran, menentukan mana yang benar dan salah di dalam setiap aspek kehidupan. Pengaruh dari pemikiran abad ini masih terlihat hingga zaman ini, khususnya di dalam bidang akademis. Kita akan melihat salah satu arus pemikiran yang memiliki pengaruh besar bahkan hingga saat ini, yaitu mengenai rasionalisme dan empirisme.
Rationalism and Empiricism
Kedua arus pemikiran ini menjadi filsafat yang sangat berpengaruh di awal zaman modern. Filsafat ini memiliki pengaruh yang besar khususnya di dalam bidang epistemologi, atau theory of knowledge. Kedua arus ini dibagi berdasarkan human faculties: reason dan sense experience. Sense experience adalah apa yang kita lihat, dengar, kecap, dan rasakan, atau sederhananya adalah apa yang kita rasakan secara indrawi. Sedangkan reason atau rasio adalah fungsi dari pikiran yang mengklasifikasi, mengatur, mengategorikan, dan mengerti setiap pengetahuan yang kita peroleh baik dari pengalaman maupun sumber pengetahuan lainnya. Setiap filsuf memiliki perbedaan di dalam struktur, prioritas, relasi, dan fungsi dari kedua human faculties tersebut.
Ketika terjadi konflik di antara dua fungsi tersebut (reason dan sense experience), seorang rationalist akan menyelesaikannya berdasarkan reason mereka, sedangkan seorang empiricist akan menyelesaikannya berdasarkan sense experience mereka. Bagi seorang empiricist, metodologi pengetahuan yang paling utama adalah induktif, yaitu dengan mengumpulkan fakta atau data yang diperoleh melalui sense experience. Bagi seorang rationalist, metodologi pengetahuan yang utama adalah proses deduktif, yaitu mencari kesimpulan dari kebenaran yang self-evident dengan mengikuti kaidah logika. Bagi seorang empiricist, pengetahuan itu bersifat a posteriori, atau informasi itu diperoleh melalui cara empiris. Sedangkan bagi seorang rationalist, pengetahuan itu bersifat a priori, yaitu bahwa prinsip-prinsip dasar pengetahuan itu sudah ada di dalam diri kita dan hal inilah yang mengarahkan segala pencarian kita akan pengetahuan. Maka rationalist percaya bahwa seluruh manusia sudah memiliki pengetahuan dasar di dalam dirinya, sedangkan empiricist memandang manusia sebagai tabula rasa, bagaikan kertas kosong atau polos yang akan diisi oleh informasi yang didapatkan melalui pengalaman indrawi. Kedua kubu ini memiliki pengertian “reason” yang berbeda. Bagi kaum rationalist, reason itu bertolak belakang dengan sense experience. Bagi kaum empiricist, reason itu berdasarkan sense experience. Meskipun keduanya terlihat bertolak belakang, namun keduanya sama-sama meninggikan diri manusia sebagai yang berotoritas di dalam menentukan kebenaran, bukan berdasarkan otoritas wahyu Allah.
Pengaruh dari dua arus ini masih dapat kita rasakan hingga saat ini. Jikalau kita melihat dunia akademis hari ini, masih banyak sekolah dan perguruan tinggi yang dengan ketat ingin memisahkan iman dari ilmu pengetahuan. Mereka menetapkan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dikaitkan dengan iman, dan dengan tegas kedua bidang ini dipisahkan. Bahkan iman dipaksa untuk dikekang di dalam aspek privat dan tidak boleh dibawa ke publik. Hal ini membawa efek samping yang, baik disadari maupun tidak, begitu negatif terhadap perkembangan umat manusia itu sendiri. Bahkan segala yang dianggap sebagai perkembangan oleh manusia saat ini justru menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Segala perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak disertai dengan kebijaksanaan dari Allah, Sang Pencipta dan Penguasa sejarah, hanya akan mendatangkan celaka bagi manusia. Inilah yang kita masih saksikan hingga saat ini.
The True Reason
Maka sekarang pertanyaannya adalah, “Apakah ada cara yang benar di dalam menggunakan rasio?” Rasio itu sendiri adalah anugerah Allah bagi manusia. Rasio diberikan Allah kepada manusia sebagai bagian dari gambar dan rupa Allah. Hal ini diberikan oleh Allah untuk manusia gunakan di dalam mengerti atau menangkap kebenaran yang Allah wahyukan, lalu dengan rasio ini juga manusia menerapkan kebenaran ini di dalam kehidupannya untuk membangun budaya yang memuliakan Tuhan.
Di dalam Alkitab sendiri, kita bisa mempelajari berbagai pengertian di dalam penggunaan istilah “reason”. Allah memberikan penjelasan (reasoning) mengenai perintah-Nya. Salah satu contohnya adalah surat Paulus yang banyak menggunakan istilah “therefore” (oleh karena itu atau maka), seperti di Roma 8:1 dan Roma 12:1. Paulus menggunakan istilah ini untuk mengindikasikan alasan kepada umat Allah mengapa harus berharap dan taat kepada-Nya. Oleh karena itu, ibadah kepada Tuhan adalah ibadah yang juga melibatkan rasio kita. Ibadah menggunakan baik kepala maupun hati. Maka siapa pun yang tidak percaya dan tidak taat kepada-Nya adalah orang yang tidak rasional atau bodoh.
Bukan hanya itu, Alkitab juga dengan jelas membedakan reasoning yang benar dari yang salah. Di dalam perumpamaan talenta, kita bisa melihat ada hamba yang tidak setia, yang menyembunyikan talentanya dengan alasan atau reasoning yang salah (Mat. 25:25). Allah dengan tegas menyatakan hukuman-Nya kepada si hamba yang tidak setia tersebut. Oleh karena itu, kita perlu menyadari bahwa rasio yang merupakan anugerah Allah juga adalah rasio yang sudah jatuh dan tercemar oleh dosa.
Rasio adalah salah satu aspek kehidupan manusia yang Tuhan berikan agar manusia bisa mengetahui mana yang benar dan salah. Namun ketika rasio ini menjadi penentu yang benar dan salah dengan menggeser otoritas wahyu Allah, maka hal ini akan menjadi masalah besar bagi manusia. Di dalam cara pandang Alkitab, rasio yang benar adalah rasio yang mempresuposisikan Allah sebagai the author and ultimate standard of logical truth and all human rationality. Tanpa adanya presuposisi ini, sudah dipastikan bahwa seluruh buah pemikiran rasio kita hanya akan dipenuhi oleh kecacatan dan keberdosaan.
Alkitab tidak melarang kita untuk menguji kebenaran yang dinyatakan. Bahkan Allah mengatakan dengan jelas di dalam Alkitab agar kita menggunakan akal budi kita untuk membedakan mana yang benar dan salah. Bahkan kita diminta untuk menguji roh, untuk membedakan yang mana Roh Sejati (Roh Kudus) dan mana yang palsu. Kita perlu dengan jelas mengerti bahwa penggunaan rasio yang benar akan mengevaluasi setiap kebenaran yang dinyatakan. Namun pengujian ini seharusnya memimpin manusia untuk percaya kepada kebenaran yang sejati tanpa keberatan apa pun.
Masalah utama dari rasio bukanlah ketidaksesuaiannya di dalam menguji wahyu Allah, tetapi masalahnya adalah kerusakan rasio karena dosa. Manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa berusaha untuk menggunakan rasio ini secara otonom, terlepas dari Allah. Mereka tidak mendasarkan pemikiran ini kepada Allah sebagai pribadi yang berhak menentukan mana yang benar dan salah. Sebagai orang Kristen sejati, kita seharusnya tidak membuang rasio atau menekan penggunaan fungsi rasio, tetapi kita harus menaklukkan rasio kita ke bawah kebenaran Allah.
Namun, kita pun tetap perlu mengerti bahwa rasio kita terbatas. Kita hanya bisa mengerti wahyu atau kebenaran sejauh yang Allah nyatakan kepada kita. Kita tidak bisa mengenal Allah secara utuh sebagaimana Allah mengenal diri-Nya sendiri. Kita hanya bisa mengenal-Nya sejauh yang Ia nyatakan kepada umat manusia. Oleh karena itu, penggunaan rasio yang benar adalah rasio yang juga menyadari akan keterbatasan diri kita sebagai ciptaan Allah. Ketika kita membantah atau tidak bisa menerima hal ini, kita sedang membantah otoritas Allah sebagai penentu kebenaran.
Perjuangan kehidupan orang Kristen bukanlah perjuangan iman yang buta. Kita tetap dituntut untuk menjadi orang Kristen yang “cerdik seperti ular”. Kita dituntut untuk menggunakan setiap aspek yang Tuhan berikan kepada kita sebagai gambar dan rupa Allah. Rasio termasuk di dalam aspek yang harus kita gunakan dengan seoptimal mungkin di dalam kita mengerti kebenaran Allah dan menggumulkannya untuk kita jalankan di dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, penaklukkan diri kita kepada wahyu Allah bukanlah sebuah pembodohan. Justru sebaliknya, ketika kita menaklukkan rasio kita kepada wahyu Allah, kita akan dimampukan untuk menggunakan rasio ini secara benar untuk kemuliaan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Kita akan mengenal kebenaran yang sesungguhnya!
Simon Lukmana
Pemuda FIRES