The Value of Theology for Young Generations

Value atau nilai adalah tolok ukur bagi pemuda saat ini. Sesuatu yang bernilai di mata generasi muda saat ini akan dengan cepat menarik perhatian mereka dan menjadi sesuatu yang viral. Misalnya saja dalam dunia kuliner, dalam beberapa tahun ini berbagai jenis kuliner ala luar negeri terus bergantian menjadi kuliner yang populer di kalangan generasi muda. Lalu di dalam dunia entertainment pun terus bergantian, mulai dari hiburan asal dunia Barat, Taiwan, Korea, bahkan hingga India. Semua hal ini digandrungi para pemuda karena hal-hal ini dianggap memberikan nilai atau nilai tambahan bagi hidup mereka. Namun, seluruh hal ini memiliki suatu kesamaan, yaitu tidak ada satu pun yang dapat bertahan lama. Satu per satu timbul-tenggelam mengikuti arus zaman atau tren kalangan anak muda. Efek sampingnya, setiap hal yang ingin merebut perhatian anak muda harus terus berubah mengikuti perkembangan tren tersebut agar tidak habis ditelan zaman. Hal ini berdampak juga terhadap gereja. Demi menarik perhatian anak muda, gereja rela berkompromi. Salah satu aspek yang paling banyak dikompromikan gereja adalah di dalam aspek pengajaran theologi.

Sering kali theologi dianggap sebagai hal yang terlalu kompleks dan tidak relevan bagi anak muda. Mereka memilih untuk mereduksi pengajaran theologi menjadi pengajaran etika atau moral saja, dan ketekunan belajar firman direduksi menjadi sekadar rutinitas membaca Alkitab. Hal ini memiliki konsekuensi yang begitu fatal bagi generasi muda. Ketika mereka tidak dididik di dalam theologi yang utuh, pengertian menjadi parsial, lalu lambat laun fondasi iman mereka menjadi rapuh dan mudah terbawa arus semangat dunia. Akibatnya, bukan hanya semakin hilangnya generasi muda dari gereja, tetapi juga gereja menjadi semakin kompromi terhadap dunia, dan secara perlahan menjadi wadah yang rapuh bahkan kehilangan arah. Gereja yang hampir tidak ada bedanya dengan diskotek, khotbah yang mirip dengan ceramah seorang motivator bahkan guyonan dari seorang stand-up comedian, dan aktivitas rohani yang tidak berbeda dengan wadah aktualisasi diri dari lembaga-lembaga sosial. Hal ini dikarenakan gereja tidak lagi menganggap pengajaran theologi yang utuh sebagai hal yang penting bagi generasi muda dan lebih memilih untuk mencari cara untuk mempertahankan pemuda di gerejanya.

Seperti yang dibahas pada artikel bulan lalu, theologi menjadi dasar bagi pemuda dalam membangun wawasan dunia mereka. Dengan wawasan dunia yang berdasarkan Alkitab, mereka akan memiliki kepekaan dan keteguhan ketika filsafat zaman menyerang atau mempertanyakan iman mereka. Pengajaran theologi yang diajarkan kepada generasi muda tidak seharusnya direduksi. Karena pengajaran theologi yang direduksi atau parsial tidak mungkin membawa mereka ke dalam pengertian kebenaran yang utuh. Kebenaran yang Tuhan nyatakan kepada manusia adalah kebenaran yang seharusnya kita terima dan pelajari di dalam keutuhan karena inilah natur dari manusia yang diciptakan sebagai wadah kebenaran Allah. Di dalam artikel ini kita akan mengulas secara singkat karakter dari manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah di dalam kaitannya dengan sifat kebenaran Allah yang luas tetapi juga utuh. Dengan mengaitkan kedua hal ini, kita akan melihat nilai dari theologi bagi generasi muda.

Man as the Container of God’s Truth
Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia diciptakan untuk menjadi wadah bagi kebenaran Allah dan menyatakan kebenaran ini melalui dirinya. Jikalau kita kembali mengingat akan fungsi manusia sebagai gambar Allah, maka kita akan kembali mengingat fungsi nabi, imam, dan raja. Ketiga fungsi ini adalah fungsi yang seharusnya manusia jalankan di dalam hidupnya.

•     Di dalam fungsi kenabiannya, manusia harus memiliki true knowledge atau kebenaran yang sejati. Setiap makhluk di dalam alam semesta ini Allah ciptakan untuk menyatakan kemuliaan dan sifat-sifat Allah. Namun tidak semua ciptaan diberikan kemampuan untuk menjadi wadah dari kebenaran Allah. Hal ini berarti manusia diciptakan dengan kemampuan untuk menerima kebenaran Allah secara utuh. Kebenaran yang dimaksudkan di sini adalah kebenaran yang secara umum Tuhan wahyukan melalui ciptaan-Nya dan juga kebenaran yang secara khusus Ia nyatakan melalui perantaraan nabi dan rasul. Seluruh wahyu Allah yang dinyatakan secara luas di dalam alam semesta ini harus manusia gali dan pelajari. Di sisi lain, kebenaran Allah melalui perantaraan nabi dan rasul pun harus manusia pelajari. Berarti segala kebenaran yang Tuhan nyatakan harus manusia tangkap dan pelajari. Hal ini juga berarti bahwa segala kemampuan manusia, baik rasio maupun kemampuan lainnya, Tuhan berikan bukan sebagai standar atau penentu kebenaran. Seluruh kemampuan ini berada untuk menerima kebenaran Allah dan menyatakannya kembali di dalam ciptaan ini. Sehingga sumber kebenaran bukanlah diri manusia itu sendiri melainkan Allah Sang Pencipta. Jikalau manusia bukan sumber kebenaran maka manusia harus menerima segala kebenaran Allah secara utuh dan tidak memilihnya berdasarkan keinginan diri.

•     Di dalam fungsi ke-raja-annya, manusia berada untuk memimpin alam semesta ini di dalam true righteousness, yaitu berdasarkan kebenaran yang Tuhan sudah nyatakan. Di satu sisi manusia berada sebagai the crown of creation atau ciptaan yang paling agung, tetapi di sisi lain manusia bukanlah keberadaan yang paling tinggi karena manusia harus tunduk kepada Allah dan memerintah alam semesta ini berdasarkan kebenaran dan kesucian Allah. Untuk memimpin alam semesta ini di dalam kebenaran dan kesucian yang sejati, maka manusia harus mengerti akan kebenaran Allah yang utuh. Kita harus benar-benar mengenal akan siapa Allah, dan melalui pengenalan ini kita merefleksikan sifat-sifat Allah ini melalui diri kita karena kita adalah gambar Allah.

•     Di dalam fungsi keimaman, manusia berada untuk mengembalikan segala kemuliaan kepada Allah di dalam true holiness. Hal ini berarti segala pencapaian, keberhasilan, maupun prestasi yang manusia peroleh, harus ia kembalikan kepada Allah di dalam kekudusan. Kudus berarti kehidupan yang secara utuh didedikasikan kepada Allah. Maka, kita tidak mungkin ingin menjadi seorang Kristen yang sejati tetapi di sisi lain kita tidak rela mempersembahkan seluruh aspek kehidupan kita secara utuh bagi Allah.

Dari ketiga fungsi gambar Allah ini kita dapat melihat bahwa manusia seharusnya hidup secara utuh. Manusia berada untuk secara utuh menerima kebenaran Allah, secara utuh menyatakannya di tengah-tengah dunia, dan secara utuh mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Allah. Keutuhan dan pertumbuhan organik dari ketiga fungsi ini adalah natur dari manusia. Sehingga meskipun manusia sudah jatuh ke dalam dosa, manusia tetap menjalankan ketiga fungsi ini secara natural, hanya di dalam fungsi yang sudah rusak. Manusia yang berdosa tidak lagi menjadi wadah bagi kebenaran Allah, melainkan membangun kebenarannya sendiri. Manusia yang berdosa tidak lagi memimpin dan menggarap alam semesta ini di dalam kebenaran dan keadilan, tetapi menjadi seorang raja yang lalim dan begitu rakus menggunakan alam ini untuk kepentingan diri yang egois. Manusia yang berdosa tidak lagi rela untuk mempersembahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan yang kudus, tetapi manusia mengambil seluruh kemuliaan itu bagi kemuliaan diri. Hanya melalui karya penebusan Kristus saja manusia dapat kembali menjadi gambar dan rupa Allah yang sejati.

The Vast but Intact Truth
Theologi Reformed membagi wahyu Allah di dalam dua kategori, yaitu wahyu umum dan khusus. Wahyu umum diberikan kepada setiap manusia tanpa terkecuali. Setiap manusia, dengan kemampuan dasarnya sebagai gambar Allah, mungkin mendapatkan wahyu umum di dalam setiap inci dari alam semesta ini. Hal ini berarti kebenaran Allah dinyatakan dengan begitu luas di dalam alam semesta ini. Di dalam setiap bidang studi terdapat kebenaran Allah yang harus kita pelajari sebagai manusia. Namun, konteks kejatuhan manusia ke dalam dosa merusak seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga manusia menjadi bodoh dan pengertian akan kebenaran Allah menjadi terdistorsi. Tanpa adanya intervensi Allah melalui wahyu khusus-Nya, manusia akan tersesat bahkan terhilang di dalam kebodohan dunia yang berdosa. Konsekuensinya, untuk mengerti wahyu umum Allah dengan tepat, manusia harus mengerti juga wahyu khusus. Tanpa wahyu khusus Allah, manusia akan melihat wahyu umum Allah di dalam kacamata orang berdosa. Oleh karena itu, secara utuh kita harus mengerti baik wahyu umum maupun wahyu khusus. Wahyu umum berada sebagai wadah di mana wahyu khusus itu dinyatakan, tetapi tanpa wahyu khusus kita tidak mungkin mengerti wahyu umum dengan benar. Inilah relasi dari kedua wahyu Allah tersebut.

Relasi dari kedua wahyu ini mencerminkan sifat dari kebenaran Allah yang dinamis. Suatu kebenaran tidak mungkin berada secara independen dari kebenaran yang lainnya. Semakin kita mempelajari suatu kebenaran, semakin kita mengerti akan kebenaran lainnya. Suatu kebenaran yang sejati akan memimpin kita untuk mengerti kebenaran yang lainnya. Semakin kita menangkap wahyu Allah di dalam suatu aspek kehidupan, semakin kita akan dicerahkan akan kebenaran di dalam aspek kehidupan yang lainnya. Kebenaran yang begitu luas dinyatakan di dalam setiap aspek kehidupan, tetapi di dalam keluasan ini kita akan disadarkan juga akan adanya keutuhan dari kebenaran, karena kebenaran ini terkait secara erat satu dengan yang lainnya. Inilah kebenaran Allah yang begitu dinamis karena kebenaran yang sejati adalah kebenaran yang hidup. Oleh karena itu, sebagai manusia kita harus mengerti kebenaran Allah di dalam keluasan tetapi juga di dalam keutuhan. Di dalam setiap pembelajaran kita akan kebenaran, kita perlu mengerti “the big picture of that truth” yang menjadi framework di dalam kita melihat aspek-aspek kebenaran yang lebih detail. Dengan mengerti aspek-aspek kebenaran yang detail, maka pengertian kebenaran kita akan semakin utuh.

Learn Theology Holistically
Berdasarkan pengertian akan natur manusia sebagai gambar Allah maupun sifat dari kebenaran Allah yang luas dan utuh, seharusnya kita menyadari bahwa pembelajaran kebenaran Allah yang tepat adalah dengan mempelajarinya dalam keutuhan. Justru tanpa pembelajaran yang utuh kita tidak akan dapat melihat nilai dari kebenaran Allah yang sesungguhnya bagi manusia. Hal ini pernah dikatakan oleh seorang theolog Reformed yang penting yaitu B. B. Warfield:

We do not possess the separate truths of religion in the abstract; we possess them only in their relations, and we do not properly know any one of them nor can it have its full effect on our life…. except as we know it in its relation to other truths, that is as systematized. What we do not know, in this sense, systematically, we rob of half of its power on our conduct, unless indeed we are prepared to argue that a truth has effect on us in proportion as it is unknown. To which may be added that when we do not know a body of doctrine systematically, we are sure to misconceive the nature of more or fewer of its elements; and to fancy that is true which a more systematic knowledge would show us to be false, so that our religious belief and therefore our religious life would become deformed and misshapen.”

Warfield memberikan penekanan yang sangat jelas. Tanpa pengertian kebenaran Allah yang utuh, kita sangat mungkin memiliki pengertian yang menyimpang bahkan memiliki konsekuensi yang fatal bagi kehidupan kita sebagai orang Kristen. Coba perhatikan sejarah gereja, ajaran-ajaran sesat lahir karena pengertian kebenaran yang timpang atau separuh-separuh. Benarlah kalimat yang pernah Pak Tong ucapkan di dalam khotbahnya, “Half-truth is very dangerous.”

Kebahayaan inilah yang sering kali tidak disadari oleh pemuda saat ini. Mereka berpikir pembelajaran firman yang minimalis atau seadanya sudah memadai bagi pembentukan rohani mereka. Mereka tidak menyadari akan kebahayaan yang ada di balik semangat pembelajaran yang seperti ini. Terkait hal ini, Van Til menyatakan demikian:

The unity and organic character of our personality demands that we have unified knowledge as the basis of our action. If we do not pay attention to the whole of biblical truth as a system, we become doctrinally one-sided, and doctrinal one-sidedness is bound to issue in spiritual one-sidedness. As human beings we are naturally inclined to be one-sided. One tends to be intellectualistic, another tends to be emotional, and still another tends to be activistic. One tends to be only prophetic, another only priest, and a third only a king. We should be all these at once and in harmony. A study of systematic theology will help us to keep and develop our spiritual balance. It enables us to avoid paying attention only to that which, by virtue of our temperament, appeals to us.”

Van Til memberikan peringatan yang kita sebagai pemuda harus benar-benar pikirkan pada zaman ini. Sebagai ciptaan kita adalah keberadaan yang tidak mungkin independen. Disadari atau tidak disadari kita selalu mencari keberadaan lain sebagai sandaran. Di dalam konteks penciptaan, secara natural kita seharusnya bergantung hanya kepada Allah sebagai sandaran yang paling ultimat dalam hidup kita. Di dalam konteks ini manusia memang memiliki natur one-sided, yaitu bersama dengan Allah. Namun, konteks keberdosaan mengalihkan hati manusia untuk mencari sandaran yang ia anggap baik atau sesuai dengan keinginan hati berdosa mereka. Inilah yang menjadikan manusia memiliki kecenderungan one-sidedness yang begitu berbahaya. Di dalam keberdosaannya, manusia terus mencari hal yang menguntungkan atau dapat memenuhi hasrat berdosa mereka. Bahkan, theologi atau kebenaran pun diseleksi dan hanya menerima bagian-bagian yang sesuai dengan keinginan hati kita. Kebenaran yang diseleksi berdasarkan keinginan hati bukanlah kebenaran yang sejati, tetapi kebenaran diri.

Semangat pembelajaran theologi yang minimalis tidak terhindar dari semangat one-sidedness ini. Di dalam artikel bulan lalu telah diulas sedikit mengenai semangat kaum Injili. Semangat pembelajaran theologi yang minimal demi pemberitaan Injil yang lebih luas memberikan sebuah konsekuensi yang berat bagi kekristenan. Lunturnya kesejatian iman dan kehancuran gereja karena pengajaran yang dikompromikan pada masa itu seharusnya menjadi sebuah pelajaran bagi kita betapa beratnya konsekuensi pembelajaran theologi yang parsial.

Untuk mencegah atau memperbaiki semua ini, Van Til mendorong kita untuk memiliki pembelajaran theologi yang sistematis atau dengan kata lain pembelajaran theologi yang utuh. Pembelajaran akan firman secara utuh di dalam konteks ini bukan sekadar mempelajari firman Tuhan secara akademis tetapi juga mempelajarinya dengan menjalankannya di dalam kehidupan kita demi kemuliaan Tuhan. Hal ini berkaitan dengan fungsi nabi, imam, dan raja di dalam kehidupan manusia sebagai gambar dan rupa Allah.

Di dalam fungsi kenabian, manusia dituntut untuk secara utuh menggali kebenaran Allah, baik yang terkandung di dalam alam semesta (wahyu umum) maupun mempelajari firman Tuhan (wahyu khusus). Bukan hanya dalam fungsi kenabian saja, kita pun perlu belajar menjalankan kebenaran ini secara utuh di dalam hidup kita di dalam fungsi sebagai raja. Segala sesuatu yang Tuhan percayakan (panggilan atau misi Tuhan bagi hidup kita), harus dengan gentar kita jalankan di dalam terang cahaya Alkitab. Segala kebenaran yang kita peroleh secara utuh dan kita nyatakan secara utuh di dalam kehidupan ini, harus juga kita kembalikan secara utuh kepada Tuhan. Di dalam fungsi kita sebagai imam, kita harus menyadari bahwa kebenaran yang utuh harus mendorong kita untuk mendedikasikan segala aspek kehidupan bagi kemuliaan Tuhan. Inilah pembelajaran akan theologi yang holistik.

Young Generations and Learning Theology
Pembelajaran theologi yang utuh berarti menjadikan Allah sebagai pusat dari segala sesuatu. Berkaitan dengan pelayanan yang God-centered, Van Til menyatakan demikian:

The history of the church bears out the claim that God-centered preaching is most valuable to the church of Christ. When the ministry has most truly proclaimed the whole counsel of God, the church has flourished spiritually. Then, too, it is well-rounded preaching of this sort that has kept the church from unhealthy otherworldliness. Well-rounded preaching teaches us to use the things of this world because they are the gifts of God, and it teaches us to possess them as not possessing them, inasmuch as they must be used in subordination to the one supreme purpose of man’s existence, namely the glory of God.”

Sebagai pemuda Reformed Injili kita dituntut untuk memiliki lima kebangunan, yaitu di dalam doktrin, epistemologi, etika, pelayanan, dan mandat budaya. Kutipan kalimat dari Van Til ini mengklarifikasi alasan mengapa kebangunan harus dimulai dari theologi (doktrin). Karena kebangunan doktrinal berarti menyadarkan dan mendidik para pemuda untuk memiliki kehidupan yang God-centered. Dengan mengerti firman Tuhan secara utuh, baik dari segi etika, yaitu hidup di dalam kekudusan, dan epistemologi, mengerti mana itu kebenaran dan mana yang ajaran sesat, kita didorong untuk melayani Tuhan dengan segala yang kita miliki dan menggunakan segala sesuatu di dalam dunia ini dengan tujuan bagi kemuliaan Tuhan. Tanpa adanya kebangunan di dalam aspek theologi, mustahil kita dapat memiliki kebangunan di dalam keempat aspek lainnya. Oleh karena itu, pembelajaran theologi yang utuh bagi generasi muda bukan sekadar kita tahu atau tidak tahu kebenaran, tetapi sebuah pertaruhan hidup atau mati seorang pemuda dalam membangun kehidupan yang didedikasikan kepada Allah.

Pemuda adalah generasi yang menjadi cerminan hari depan gereja maupun umat manusia. Ketika generasi muda gereja mengabaikan keutuhan theologi, maka gereja sangat mungkin untuk mengulangi kembali sejarah ketika gereja mulai mengalami kehancuran. J. I. Packer mengatakan demikian:

Theology is a cumulative enterprise in which each generation of thinkers stands on the shoulders of those who went before, and reflects on its intellectual legacy in the spirit of a grateful, though critical, trustee. This requires discernment and may call for a challenge to what is customary, for the church’s heritage contains, along with truth and wisdom, limitations and mistakes and anachronisms, so that it can not only inspire but also mislead our minds and put damaging blinders on them.”

Seorang pemuda yang memiliki kerinduan untuk meneruskan tongkat estafet iman kekristenan yang murni, pasti akan memiliki hati yang rela bahkan penuh semangat dalam mempelajari theologi secara utuh. Karena melalui pembelajaran inilah ia akan sadar bagaimana harus bersikap di tengah zaman ini. Melalui pembelajaran theologi yang utuh juga, kita akan mengetahui bagaimana memanifestasikan iman Kristen kita di tengah zaman ini, dengan berkaca terhadap sejarah. Sehingga, kita dapat melanjutkan kebijaksanaan yang Tuhan sudah tanamkan di masa lalu, maupun belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi.

Conclusion
Jikalau kita kembali kepada pertanyaan “Siapakah pemuda Reformed Injili yang sejati?”, jawaban pertama adalah: seorang pemuda yang sadar betapa bernilainya pembelajaran theologi yang utuh. Kesadaran akan nilai dari theologi ini tidak hanya ditunjukkan dari sekadar pernyataan setuju akan doktrin Reformed, tetapi juga kesadaran yang mendorong kita untuk terus mengejar pengenalan akan Allah maupun pergumulan di dalam menghidupi pengenalan tersebut. Maka pertanyaannya adalah: sejauh apa kita sudah menuntut pengenalan akan Allah? Sekeras apa kita bergumul untuk menyatakan Allah melalui hidup kita? Kiranya Allah menolong kita!

Simon Lukmana
Pemuda FIRES

Referensi:
[1] The Idea of Systematic Theology – B. B. Warfield.
[2] An Introduction to Systematic Theology – Cornelius Van Til.
[3] Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief – John Frame.