Wahyu dalam Konteks Perjanjian Lama

Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. (Mzm. 19:10-11)

Introduksi

Tahun ini Buletin PILLAR sedang mengupas tema mengenai wahyu (revelation). Dalam rangkaian artikel dari penulis, kali ini penulis akan membahas mengenai “Wahyu dalam Konteks Perjanjian Lama”. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai aspek-aspek yang bisa kita perhatikan terkait wahyu di Perjanjian Lama. Dalam kesempatan ini, kita akan melihat tiga aspek dasar, yakni: (i) nabi, (ii) frekuensi dan waktu (timing), dan (iii) sifat progresif.

Nabi

Tetapi TUHAN berfirman kepadaku: “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau, demikianlah firman TUHAN.” (Yer. 1:7-8)

Di Perjanjian Lama, nabi memiliki peran khusus untuk menyampaikan perkataan Tuhan kepada umat-Nya. Penyampaian isi hati Tuhan melalui perantaraan nabi adalah cara yang paling umum dan dominan ditemui dalam konteks Perjanjian Lama. Memang ada cara-cara lain seperti melalui mimpi, bencana atau penghakiman, ataupun theophany (Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Malaikat dan berinteraksi langsung dengan manusia). Namun cara-cara ini lebih sedikit/jarang dibandingkan dengan penyampaian melalui para nabi. Pesan teguran dan penghakiman melalui para nabi kerap kita temui dalam kitab-kitab nabi besar dan nabi kecil.

Menjalankan peran nabi tidaklah mudah. Seorang nabi harus memiliki kepekaan untuk membedakan suara Tuhan dari suara-suara lain. Suara lain bisa saja berasal dari diri sendiri, setan, ataupun pengaruh lingkungan sekitar. Hal ini merupakan sesuatu yang serius. Jika seorang nabi menyampaikan nubuat atas nama Tuhan dan ternyata tidak terjadi, nabi itu bisa dinyatakan sebagai nabi palsu dan harus dirajam sampai mati. Jika Tuhan sudah memberikan pesan yang jelas kepada seorang nabi, ia juga harus menyampaikan pesan tersebut tanpa mengurangi atau menambah isi pesan. Tidak jarang, pesan yang keras dari para nabi membuat para nabi harus menderita kesulitan, kecaman, dan beragam tindak kekerasan.

Frekuensi dan Waktu (Timing)

Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering. (1Sam. 3:1)

Dari sudut pandang waktu, kita kembali disadarkan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat. Kita tidak bisa sesuka hati meminta Tuhan untuk menyampaikan firman-Nya! Ada masa-masa di mana firman Tuhan begitu jarang, misalkan saja yang dicatat dalam Kitab 1 Samuel. Ada juga masa-masa “gelap” di mana Tuhan sama sekali tidak berfirman, misalkan saja pada periode setelah Nabi Maleakhi sampai kelahiran Yesus Kristus.

Jika kita bandingkan dengan Perjanjian Baru atau periode setelah ada Alkitab yang lengkap, tentu kita bisa setuju kalau firman Tuhan di Perjanjian Lama lebih “jarang/sedikit”. Meskipun demikian, hal ini sama sekali tidak mengurangi keseriusan dan otoritas firman Tuhan di Perjanjian Lama. Dalam hal ini, penulis teringat penjelasan Pdt. Dr. Stephen Tong mengenai sosok Abraham. Salah satu perbedaan Abraham dengan kita sekarang adalah: ketika Abraham mendengarkan satu kata atau kalimat dari Tuhan, ia begitu meyakini dan memegang teguh firman Tuhan. Saat ini kita sudah memiliki wahyu tertulis Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, namun kita begitu lalai dalam memperhatikan dan memegang teguh firman Tuhan!

Sifat Progresif

Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. (Ibr. 1:1-2)

Tuhan memang telah berbicara dengan banyak cara di Perjanjian Lama, baik melalui perantaraan nabi, penglihatan, mimpi, mujizat/tanda ajaib, dan lain-lain. Kadang hal tersebut bisa sangat menakjubkan dan menggetarkan, misalkan saja ketika Tuhan “berbicara” di Gunung Sinai sampai menimbulkan gempa dan gemuruh. Namun kita tidak boleh lupa, wahyu Tuhan di Perjanjian Lama masih bersifat progresif dan akan memuncak sampai kepada Kristus. Terutama nantinya di Injil Matius, kita bisa melihat bagaimana Kristus adalah Sang Anak Allah yang memiliki otoritas untuk berfirman dan bahkan memberikan interpretasi yang sesungguhnya dari berbagai ayat di Perjanjian Lama.

Melalui Theologi Reformed, kita juga sadar bahwa wahyu khusus tertulis sudah utuh dan lengkap dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tidak perlu ada wahyu baru ataupun tambahan kitab-kitab lain untuk membuat Alkitab “lebih sempurna”. Meskipun sudah lengkap, itu bukan berarti tidak ada kesegaran dan kebaruan dalam hidup orang Kristen. Hari demi hari, orang Kristen (termasuk kita di zaman ini) masih perlu terus meminta pimpinan Roh Kudus dalam memahami kedalaman firman Tuhan dan menerapkannya dalam konteks perjalanan kehidupan sehari-hari. 

Penutup

Semoga artikel singkat ini bisa memberikan gambaran dan poin mendasar mengenai wahyu Tuhan dalam konteks Perjanjian Lama. Dalam bulan-bulan ke depan, penulis akan menuliskan artikel serupa untuk konteks Perjanjian Baru. Penulis berharap agar pembaca Buletin PILLAR bisa makin menghayati keindahan firman Tuhan dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari.

Juan Intan Kanggrawan

Redaksi Bahasa PILLAR

Rekomendasi buku untuk pembelajaran lebih jauh mengenai wahyu di Perjanjian Lama

Berikut beberapa usulan buku dari penulis bagi pembaca Buletin PILLAR yang ingin memahami lebih jauh mengenai topik wahyu dalam konteks Perjanjian Lama:

God’s Glory as an Integrating Perspective on Reformed Theology, Timothy Yates.

Reformed Systematic Theology, Volume 1: Revelation and God, Joel Beeke & Paul Smalley.

• Sepuluh Hukum Allah, Stephen Tong.

The Reformation of Prophecy: Early Modern Interpretations of the Prophet & Old Testament Prophecy, Sujin Pak.

The Reluctant Prophet: Jonah Through New Eyes, Uri Brito & Rich Lusk.