Tema wahyu dan Trinitas melibatkan tiga hal yang kompleks: Trinitas sebagai wahyu, Trinitas sebagai pewahyu, serta hubungan Kitab Suci dengan doktrin Trinitas dan wahyu Ilahi. Seperti yang René Latourelle nyatakan, “Pewahyuan adalah karya dari seluruh Trinitas. Firman Kristus berasal dari persekutuan antara Bapa dan Anak, dan Roh Kudus memperpanjang misi Kristus.” Latourelle menganggap bahwa Kristus yang mengajar dalam Injil, adalah Firman yang berinkarnasi yang “berbicara, berkhotbah, mengajar, dan bersaksi tentang apa yang telah dilihat dan didengar-Nya dari pangkuan Bapa”, dan karenanya, Dia berdiri sebagai “puncak dan kepenuhan wahyu Allah”.
Bagian pertama dari artikel ini akan berargumentasi bahwa Trinitas diwahyukan dalam Kitab Suci sehingga dapat dibaca sebagai kesaksian akan Trinitas. Dalam bagian kedua, kita akan melihat bagaimana Bapa Gereja Mula-mula melihat Alkitab sebagai pewahyuan akan Trinitas. Bagian ini akan berfokus pada theologi dan eksegesis biblika dari para theolog pro-Nicea seperti Gregorius dari Nazianzus, Basil Agung, Hilary dari Poitiers, dan Jerome. Bagian ketiga akan menyelidiki lebih dalam doktrin wahyu yang mengalir dari pembacaan Kitab Suci akan Tritunggal. Bagian ketiga dan terakhir ini mengeksplorasi ajaran Irenaeus dari Lyons tentang bagaimana menafsirkan wahyu Ilahi sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Suci.
Injil Matius dan Yohanes: Pewahyuan akan Bapa, Anak, dan Roh
Dalam kisah baptisan Yesus di Sungai Yordan, kita dapat melihat dengan jelas bahwa Trinitas mewahyukan diri-Nya. Penginjil Matius menggambarkan pemandangan itu dalam Matius 3:16-17. Di sini Roh Kudus mewahyukan status Anak yang dimiliki oleh Yesus dan meneguhkan proklamasi Bapa bahwa Yesus adalah Anak-Nya yang terkasih. Suara Allah Bapa mewahyukan Yesus sebagai Allah Anak. Di sini jelas wahyu Tuhan dipolakan sebagai tindakan Trinitas oleh Matius.
Bentuk pewahyuan akan Trinitas pun diindikasikan dalam bagian lain dalam Injil Matius. Misal, seorang malaikat Tuhan menyatakan kepada Yusuf bahwa anak Maria dikandung “dari Roh Kudus” (Mat. 1:20). Anak itu diberi nama Yesus, yang artinya “Tuhan yang menyelamatkan.” Konsepsi Yesus terjadi oleh kuasa Ilahi Roh Kudus mengindikasikan keilahian Sang Anak (Mat. 2:11). Dia mengusir setan dengan kekuatan yang hanya dimiliki oleh Yang Ilahi, sama seperti Dia mengampuni dosa dengan kekuatan Ilahi. Dia menegaskan hubungan-Nya yang unik dengan Bapa, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat. 11:27).
Mengulangi elemen-elemen dalam peristiwa baptisan-Nya, Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes ke atas gunung, lalu Dia berdiri dalam rupa transfigurasi, menyatakan kemuliaan-Nya. Dia dinaungi oleh “awan”—yang melambangkan Roh Ilahi (lih. 1Raj. 8:10)—dan Bapa menyatakan firman-Nya “dari awan”, “Inilah Anak yang Kukasihi” (Mat. 17:5). Mendekati kematian-Nya, Dia berdoa kepada Bapa-Nya. Setelah kebangkitan-Nya, Dia mengungkapkan rumusan Tritunggal, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Oleh karena itu, tampaknya jelas bahwa menurut Injil Matius, Bapa, Anak, dan Roh menyatakan Tritunggal melalui perkataan dan perbuatan.
Begitu pula Injil Yohanes menunjukkan pola Trinitas. Di awal Injil, penginjil menggunakan kategori yang diambil dari literatur Hikmat yang diterapkan kepada Kristus. Penginjil mengidentifikasi Firman sebagai pencipta, pemberi hidup, dan terang, dan Dia yang memiliki kuasa Ilahi untuk menjadikan kita sepenuhnya menjadi “anak-anak Allah” (Yoh. 1:12). Kristus menyatakan kemuliaan Ilahi, “kemuliaan … sebagai Anak Tunggal Bapa” (Yoh. 1:14). Sang Firman atau Anak, yang menjelma sebagai Yesus Kristus, memiliki keintiman mutlak dengan Bapa-Nya. Sang Anak “ada di pangkuan Bapa” dan Anak sendiri yang mewahyukan Bapa (Yoh. 1:18).
Kemudian dalam Injil, Yesus berkata, “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia” (Yoh. 14:7). Filipus secara eksplisit meminta Yesus untuk “[menunjukkan] Bapa itu kepada kami” (Yoh. 14:8). Yesus menanggapi dengan menyatakan bahwa diri-Nya merupakan wahyu Bapa (Yoh. 14:9-10). Yesus, Firman yang menjadi daging, menyatakan dan mewahyukan Bapa.
Bapa pun mewahyukan Anak dalam misteri Paskah—salib dan kebangkitan-Nya. Yesus menjelaskan hal ini ketika Dia berdoa dalam diskursus perpisahan-Nya, “Aku telah mempermuliakan Engkau [Bapa] di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (Yoh. 17:4-5). Tak lama setelah itu, Yesus mengucapkan doa serupa (Yoh. 17:24). Maksud dari semua ini adalah pewahyuan Bapa dan Anak, agar manusia dapat merasakan dan ikut mengambil bagian dalam kemuliaan Bapa dan Anak dengan mengikuti jalan kasih (Yoh. 15:9, 12).
Yesus juga berkata, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (Yoh. 14:16). Tak lama setelah itu, Yesus menjelaskan lebih jauh pekerjaan Roh (Yoh. 14:26). Yesus telah mengungkapkan Bapa; Roh akan mengajar para pengikut Yesus untuk memahami dan mengingat Anak dan wahyu-Nya tentang Bapa. Yesus menjelaskan lebih lanjut bahwa Roh akan bersaksi tentang Yesus, sama seperti Yesus bersaksi tentang Bapa. Di sini, Trinitas mewahyukan Trinitas.
Bapa Gereja Abad Keempat dan Allah Tritunggal
Namun pembacaan di atas tidaklah diterima secara umum pada zaman Bapa-bapa Gereja di abad keempat. Berbagai kontroversi mengenai status ontologis Anak dan Roh mencuat. Beberapa kaum mempermasalahkan teks-teks Kitab Suci yang dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa Anak dan Roh adalah Allah sepenuhnya dan setara. Sebagai pelindung dari ajaran gerejawi, Bapa-bapa Gereja pro-Nicea mengemukakan berbagai argumen sesuai dengan kesaksian Kitab Suci, yang implikasi metafisikanya dengan demikian menyingkapkan dan mempertahankan pewahyuan akan Trinitas.
Gregorius dari Narzianzus menegaskan keilahian Anak dengan mendasarkan argumennya pada Yoh. 1:1. Dia menegaskan bahwa tidak pernah ada masa ketika Anak absen dari dunia. Sang Anak secara kekal ada, tanpa subordinasi ontologis kepada Bapa yang melahirkan-Nya. Dia melawan kaum Eunomia, “Apa yang merupakan sifat unik dari keilahian Tuhan, engkau rampok dari Sang Anak dan menjadikan-Nya bawahan Bapa. Engkau memberi penyembahan dengan kualitas yang lebih rendah pada Sang Anak” dan “melakukan transisi yang tidak setia dari homonimitas yang mempertahankan kesetaraan Allah Anak”. Gregorius bersikeras pada kekuatan yang tak terelakkan dari ayat-ayat pertama Injil Yohanes. Demikian pula, Gregorius berkata bahwa Roh “harus dimengerti sebagai Tuhan”. “Suatu keberadaan” tidak dapat menjadi Tuhan sekaligus lebih rendah dari Tuhan; sesuatu yang kurang dari atau selain dari Tuhan adalah makhluk ciptaan belaka.
Basil Agung dalam “Homili tentang Permulaan Injil Yohanes”, mencoba memahami mengapa penginjil menamai Sang Anak sebagai “Firman”. Basil berpendapat bahwa “Firman” mengungkapkan “peranakan tanpa nafsu” dan menunjukkan bahwa “Bapa tidak kehilangan apa pun dalam melahirkan Firman”. Basil menemukan ayat pembuka Injil Yohanes, yang mengidentifikasi “Firman” sebagai “bersama-sama dengan Allah” dan “Allah”, sebagai ekspresi yang luar biasa dari perbedaan setara Anak dari Bapa dalam satu Allah.
Dalam homili yang lain tentang “Bukan Tiga Tuhan”, Basil menekankan kesatuan Allah yang sederhana. Dia menunjukkan bahwa iman kita kepada Bapa dan Anak tidak harus dimengerti sebagai iman pada keberadaan dua Allah; dan iman dalam Roh Kudus juga tidak berarti iman akan adanya tiga Tuhan.
Dalam “Homili yang Mengecilkan Hati Sabelian, Anomoian, dan Pneumatomakia”, Basil menuduh para Sabelian memperkenalkan kembali modalisme, yaitu pandangan bahwa satu Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam ekonomi keselamatan dalam tiga mode (Bapa, Anak, Roh); padahal sebenarnya tidak ada Pribadi yang berbeda dalam satu Tuhan. Kaum Anomoian berargumen bahwa Anak “tidak seperti” Bapa, dan kaum Pneumatomakia menolak kesetaraan keilahian Roh.
Menggunakan Yohanes 14:16, Basil menunjukkan bahwa tiga diungkapkan di sini, Anak yang berdoa, Bapa, dan Penghibur (Roh Kudus). Orang Sabelian, kemudian, harus berpendapat bahwa wahyu Trinitas ini hanyalah sebuah penamaan dari Pribadi Ilahi yang sama yang dimanifestasikan dalam ekonomi tiga mode. Basil menghukum orang Sabelian, “Bukankah ketidaktahuanmu jelas ketika, mendengar Aku tentang Anak, Dia tentang Bapa, dan yang lain tentang Roh Kudus, kamu mencampur semuanya, menggabungkan semuanya, dan menghubungkan semua nama dengan satu realitas?”
Kesimpulannya adalah bahwa Trinitas telah mengungkapkan diri-Nya dan, terlepas dari kejelasan wahyu ini, lawan Basil mengubah maknanya yang jelas daripada menerimanya sebagai kebenaran Ilahi tentang Tuhan.
Kitab Suci, Sejarah, Doktrin: Irenaeus dan Interpretasi Alkitab Kontemporer
Namun, jika Trinitas mengungkapkan Trinitas dalam Injil, mengapa ada kontroversi yang begitu kuat tentang apakah Anak dan Roh sepenuhnya Ilahi, dan tentang apakah Bapa, Anak, dan Roh benar-benar hanyalah tiga cara di mana Allah yang tidak terdiferensiasi dalam mengungkapkan diri-Nya dalam ekonomi keselamatan? Mengapa, misalnya Ambrose dan kongregasinya di Milan, yang termasuk ibu Agustinus, Monica, harus terus “berjaga-jaga dalam gereja, siap mati bersama uskup mereka” karena penganiayaan pada pertengahan 380-an yang dipimpin oleh Ratu Justina, seorang Arian?
Di sini perhatian harus diberikan pada doktrin wahyu. Para Bapa Gereja mengakui bahwa Kitab Suci telah diilhamkan oleh Roh Kudus untuk menyampaikan wahyu Allah kepada umat-Nya. Dalam Kitab Suci, orang percaya menemukan Tuhan berbicara. Bagi Bapa-bapa Gereja, firman dan perbuatan Tuhan yang dinyatakan dalam Kitab Suci berfungsi untuk mengomunikasikan kebenaran yang Tuhan ingin ungkapkan tentang diri-Nya. Namun Tuhan juga memperlengkapi Gereja-Nya dengan perangkat wahyu yang lebih luas. Hal ini dapat kita lihat dalam pembacaan oleh Irenaeus.
Irenaeus dari Lyons, dalam On the Apostolic Preaching, menekankan bahwa dalam Kitab Suci, kita dapat dengan jelas melihat bahwa “Bapa adalah Allah, dan Anak adalah Allah, karena Dia yang lahir dari Allah adalah Allah”. Anak yang berinkarnasi menggenapi Hukum Musa dan menggenapi apa yang telah diwahyukan oleh para nabi, dan dengan demikian menunjukkan kebenaran Kitab Suci Perjanjian Lama. Kristus mencurahkan “Roh Kudus Allah”, yang menunjukkan kebenaran Firman dan yang bergabung dengan Firman. Namun dalam Against Heresies, Irenaeus juga sadar bahwa banyak orang yang “memalsukan nubuat-nubuat Allah, dan membuktikan diri mereka sebagai penafsir-penafsir yang jahat dari wahyu yang baik”. “Wahyu yang baik” ini, menurut Irenaeus, seharusnya tidak dapat dengan mudah dipalsukan dan disalahartikan, karena banyak hal “secara jelas dan jelas dinyatakan dalam istilah-istilah dalam Kitab Suci”. Dia membandingkan pendekatan para bidat dengan penataan ulang sebuah mosaik, “Cara mereka membaca itu seolah-olah seseorang yang mendapatkan pahatan seorang raja yang indah dari permata berharga, lalu mereka memecahkan rupa raja ini menjadi potongan-potongan kecil, dan mengatur ulang sehingga membuatnya menjadi bentuk anjing,” dan mengeklaim bahwa mosaik anjing ini sebenarnya adalah potret yang dimaksudkan. Hasilnya dipertahankan oleh para Gnostik sebagai interpretasi yang benar dari wahyu alkitabiah, tetapi pada kenyataannya sistem mereka menunjukkan upaya mereka, “menarik diri dari koneksi yang tepat antarkata, ekspresi, dan perumpamaan yang ditemukan dalam Kitab Suci, untuk mengadaptasi nubuat Tuhan menjadi fiksi tak berdasar mereka”.
Irenaeus berpendapat bahwa solusi atas pertentangan iman ini terdiri dari pengakuan bahwa “Yesus yang menderita dan diam di antara kita adalah Firman Allah” serta kaidah penafsiran dalam pengakuan iman, atau “aturan kebenaran”, yang diterima dan ditegaskan orang Kristen dalam baptisan. Irenaeus kemudian menawarkan secara tepat kredo, atau aturan iman, yang didasarkan pada pengakuan akan Bapa, Anak, dan Roh Kudus dan “diterima dari para rasul dan murid-murid mereka” oleh Gereja di seluruh dunia. Dengan demikian Irenaeus membawa dua dimensi dalam pembacaan Kitab Suci kontemporer: teks dan pembacaan historis. Bagi Irenaeus, keberadaan “para penatua, para murid para rasul” menjadi tameng untuk menjaga kebenaran Kitab Suci dengan memerangi penafsiran yang salah dan mempromosikan penafsiran yang benar. Trinitas telah mengungkapkan Trinitas, tetapi wahyu ini haruslah dijaga oleh Gereja dengan bimbingan Roh Gereja.
Pembacaan Irenaeus ini seturut dengan pendapat R. B. Kuiper mengenai relasi wahyu dengan Gereja: Gereja adalah hasil, pembawa, penjaga, penginterpretasi, dan pewarta wahyu Allah. Kuiper meletakkan Gereja sepanjang sejarah sebagai dimensi pewahyuan dan menjadi rel bagi penafsiran pewahyuan. Pembacaan ini memiliki perbedaan dengan pandangan Katolik yang menyatakan Gereja sebagai penentu kebenaran. Di dalam pembacaan Kuiper, kitab-kitab dalam Alkitab menunjukkan perkembangan internal, karena teks-teks yang lebih tua ditafsirkan dalam teks-teks yang lebih baru, dan secara keseluruhan ditafsirkan dalam terang Yesus Kristus. Hal ini juga menunjukkan bahwa setiap ucapan penulis Kitab Suci dengan bobot tertentu mengandung nilai yang jauh lebih dalam daripada yang mungkin segera disadari oleh penulisnya pada saat itu. “Nilai yang lebih dalam” ini dapat dilihat sebagai proses pematangan yang terus terjadi sepanjang sejarah melalui penyelenggaraan Ilahi yang membimbing Gereja dalam menyaksikan realitas Tritunggal dalam Kitab Suci dan memastikan kehadiran di dalamnya realitas-realitas Ilahi. Maka, tiga “pembicara” atau “subjek” hadir dalam setiap teks alkitabiah: penulis, komunitas atau umat Allah di mana teks itu ditulis, dan Tritunggal yang “berada di tingkat terdalam yang berbicara”.
Perspektif ini pun berkembang dalam pembacaan Trinitarian kontemporer. Salah satu theolog pencetus pembacaan Trinitarian ini adalah Poythress. Bagi Poythress, Trinitas bukanlah satu aspek dari tiga subjek wahyu, melainkan dasar dari setiap pewahyuan dan memolakan relasi manusia dengan wahyu, termasuk bagaimana membaca dan berinteraksi dengan wahyu Allah.
Di dalam karyanya, Poythress menekankan Trinitas sebagai pola otoritas dan interpretasi dengan berbagai segitiga hermeneutika. Sebut saja salah satunya segitiga perspektif antara pembaca awal, Gereja sebagai wadah wahyu sepanjang sejarah, dan pembaca. Dari perspektif Poythress, perkembangan doktrinal yang kita temukan di Gereja harus merefleksikan ajaran Perjanjian Baru dan memahaminya dengan cara yang memperdalam, bukannya mendistorsi atau merusak ajaran itu. Pada saat yang sama, ajaran Perjanjian Baru sendiri tidak dapat dipisahkan dari gereja tempat Perjanjian Baru bersaksi. Jika tidak, penelitian sejarah akan membawa pada anggapan apriori bahwa pencurahan Roh dan pendirian Gereja Kristus bagi orang-orang yang setia yang menyampaikan Injil secara historis tidaklah nyata.
Dengan pembacaan demikian, kontroversi abad keempat tidak dimaknai sebagai kegagalan Trinitas untuk mewahyukan Trinitas, atau bahwa Perjanjian Baru telah gagal untuk mengungkapkan wahyu ini secara akurat. Sebaliknya, dengan pandangan demikian kita melihat bahwa meskipun Trinitas telah diungkapkan dalam teks suci dengan jelas, namun Roh Kudus tetap dibutuhkan untuk mewahyukan Trinitas kepada kita. Dan wahyu yang dicurahkan oleh Roh dimanifestasikan Gereja Kristus sepanjang sejarah ketika berperang melawan ketidakbenaran. Pada akhirnya, setiap peperangan ini akan membawa setiap orang Kristen melihat bahwa wahyu Trinitas tentang Trinitas tidak dapat dipisahkan dari iman dan dari Gereja-Nya.
Robin Gui
Pemuda FIRES