Wahyu Tuhan? (Bagian 1)

Kamu pasti pernah mendengar ungkapan-ungkapan seperti begini, “Lalu Tuhan memimpin saya untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai dokter, lalu saya masuk ke sekolah theologi.” Atau, “Tetapi Tuhan katakan kepada saya bahwa dia itu bukan pasangan yang tepat bagi saya.” Atau, “Doakan ya, agar kita bisa lebih peka dengan pimpinan Tuhan pada momen-momen genting seperti ini.” Asumsi yang mendasari ungkapan-ungkapan ini adalah bahwa Tuhan masih dengan aktif berkomunikasi dengan manusia. Kita dapat “mengenali suara Tuhan”, walaupun tidak banyak orang yang mengeklaim “mendengar” suara itu secara audible seperti kita mendengar jingle iklan sebelum muncul tombol skip ad. 

Tentu saja tidak banyak orang yang menyangkal bahwa Tuhan masih dengan aktif bekerja, menopang kehidupan, dan memimpin zaman. Tetapi kita juga khawatir dan cenderung skeptis dengan laporan-laporan tentang orang yang “mendapat penglihatan dari Tuhan” atau “mendengar suara Tuhan”. Skeptisitas ini menurut saya memang berangkat dari keperluan yang nyata. Berhubung “otoritas Ilahi” itu amat powerful, tentu saja kita perlu berhati-hati untuk menggunakannya, walaupun bukan berarti tidak boleh sama sekali mengeklaimnya. Di dalam salah satu perintah dari 10 Hukum Allah, umat Tuhan diperingati agar tidak “menyebut nama Tuhan dengan sembarangan”. Menyebut nama Tuhan dengan sembarangan tentu termasuk bersumpah serapah dengan nama Tuhan, seperti yang sering terdengar dalam film-film dan musik-musik tertentu—tetapi tentu saja di dalam gereja yang lebih sering terjadi adalah orang menggunakan “nama Tuhan” dengan “sembarangan” secara lebih “halus” dan “terhormat”. Maksudnya adalah banyak orang yang walaupun bukan bersumpah serapah dengan nama Tuhan, tetapi mengeklaim otoritas Tuhan, dalam berbagai ragam bentuknya, dengan cara-cara yang jelas salah. Misalnya, mengatakan bahwa “Tuhan memimpin” atau “Tuhan memberiku otoritas maka engkau harus taat kepadaku”. Tentu saja ada tempat bagi ketaatan kepada otoritas yang terkandung dalam struktur gereja, keluarga, ataupun masyarakat. Kita melihat di dalam Surat Efesus adanya perintah Paulus bagi istri-istri untuk tunduk kepada suaminya, untuk anak-anak agar menghormati orang tuanya, dan bagi hamba-hamba untuk melayani tuan-tuan mereka—termasuk secara umum orang-orang Kristen sebagai warga Kerajaan Romawi untuk tunduk kepada “pemerintah yang di atas mereka” (Rm. 13:1).

Ketaatan yang dituntut kepada “otoritas yang di atasmu” tentu saja BUKAN ketaatan tanpa syarat dan tanpa batas. Orang harus tunduk secara mutlak kepada otoritas Tuhan, tetapi siapakah manusia atau lembaga dalam dunia ini yang dapat mengeklaim hak untuk mewakili “suara Tuhan” secara mutlak? Ada sebuah prinsip yang dikenal sebagai “prinsip Protestan” yang menegaskan bahwa “tidak satu pun lembaga dalam dunia ini (termasuk gereja Protestan) yang dapat mengeklaim otoritas mutlak bagi sesuatu yang relatif”. Seperti dikatakan Tillich, “The Protestant principle, in name derived from the protest of the ‘Protestants’ against decisions of the Catholic majority, contains the divine and human protest against any absolute claim made for a relative reality, even if this claim is made by a Protestant church. The Protestant principle is the judge of every religious and cultural reality, including the religion and culture which calls itself ‘Protestant’.”[1] Dengan demikian Tillich mengingatkan gereja untuk senantiasa kritis terhadap dirinya sendiri dan waspada terhadap klaim-klaim yang mengatasnamakan Tuhan, ataupun juga dalam beberapa konteks, mengatasnamakan “jemaat” atau “kebenaran” atau “kemajuan” atau “nama baik lembaga” atau apa pun—khususnya jika itu mengorbankan manusia.

Agama Perjanjian Lama dan juga agama Yudaisme amat menekankan keesaan Allah. Saya kira tentu kekristenan tidak kurang juga memegang hal ini. Keesaan Allah dapat menjadi salah satu pegangan untuk kita dapat “membedakan manakah kehendak Allah” itu—yakni Anda harus memegang, bersama dengan gereja Protestan, sebuah prinsip yang membuat kita waspada kepada klaim-klaim absolut mana pun yang diutarakan atas nama Tuhan. Tentu saja ini BUKAN hendak mengatakan bahwa yang absolut itu tidak ada. Tentu saja yang absolut itu ada. Tuhan itu absolut. Masalahnya adalah menempel-nempelkan keabsolutan Tuhan kepada realitas ciptaan mana pun tentu menyeret kita ke dalam bahaya penyembahan berhala. Rakyat Jerman pada era 1930-1940-an amat menyadari hal ini. Ideologi Nazi merembes masuk ke dalam gereja, dan di situ Tuhan pun direkrut masuk menjadi salah satu alat bagi kepentingan dan program partai buatan tangan manusia. Di sinilah orang harus mempertahankan dengan waspada, jarak antara program-program yang kita buat dan “gerakan Roh Kudus” yang tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya, antara theologi dan pemahaman doktrinal yang kita sepakati sejauh ini dengan “kebenaran firman Allah yang melampaui pikiran manusia”. Waspadalah terhadap penyembahan berhala. Menyebut nama Tuhan dengan sembarangan dapat dilakukan bukan hanya oleh anak-anak berandalan yang kurang ajar, tetapi juga oleh tuan-tuan theolog dan pendeta yang penuh sopan santun dan keanggunan itu.

OK, cukup. Saya sudah mengerti bahwa pemahaman kita akan pimpinan Tuhan tidak pernah dapat sempurna sehingga kita tak dapat mengeklaim secara mutlak bahwa keputusan A atau B adalah 100% merupakan “kehendak Tuhan” dan menentangnya berarti “menentang kehendak Tuhan”. Tetapi bagaimana dengan “komunikasi dengan Tuhan” yang lebih positif? Apakah kita akan menerima skenario Deistik, yakni Tuhan tidak lagi hadir dalam alam raya ini? Bahwa Dia sudah “pensiun” dari peran-Nya memimpin dan menopang keberadaan setelah Ia menciptakannya? Tentu tidak. Dalam Katekismus Heidelberg Q/A#27 diterangkan bahwa dalam providensia-Nya, “kekuatan Allah, yang Mahakuasa dan yang hadir di segala tempat” sedang “memelihara langit dan bumi serta semua makhluk seakan-akan dengan tangan-Nya sendiri, dan memerintahnya, sehingga daun dan rumput, hujan dan kemarau, masa kelimpahan dan kekurangan, makanan dan minuman, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, dan segala hal tidak menimpa kita secara kebetulan, tetapi datang dari tangan Bapa saja”. Segala yang terjadi, tanpa terkecuali, menyatakan pimpinan Tuhan yang hadir sepenuhnya di dalam setiap pojok alam semesta dan momen-momen hidup kita.

Hal ini selaras juga dengan apa yang kita baca di dalam Pengakuan Iman Belgia pasal 2, soal “sarana untuk mengenal Allah”. Dikatakan bahwa kita mengenal Tuhan melalui dua sarana, yakni pekerjaan Tuhan dalam alam raya dan Alkitab. “Pertama, melalui penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam. Sebab di depan mata kita, alam itu bagaikan buku yang indah, yang di dalamnya segala ciptaan Allah, baik yang besar maupun kecil, menjadi seperti huruf-huruf yang menyatakan kepada kita apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, menurut perkataan Rasul Paulus dalam Roma 1:20. Semua itu cukup untuk membuktikan kesalahan manusia sehingga mereka tidak dapat berdalih. Kedua, Dia memperkenalkan diri kepada kita dengan lebih jelas dan sempurna lagi oleh firman-Nya yang kudus dan Ilahi, yaitu sekadar kebutuhan kita dalam hidup ini, demi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan orang-orang milik-Nya.” Beberapa hal perlu ditegaskan di sini. Pertama, Guido de Bres, penulis Pengakuan Iman Belgia di sini tidak mengatakan bahwa kita dapat mengenal Tuhan “melalui alam raya” atau “penyelidikan sains” atas alam raya terlepas dari Tuhan. De Bres TIDAK memisahkan “alam raya” itu dari “tindakan Ilahi”. Asumsi yang terkandung di sini amatlah berbeda dari, misalnya, para penolak Tuhan yang melihat alam raya hanya sebagai “sesuatu” belaka. Jika orang melihat alam raya hanya sebagai sekumpulan materi, energi, gelombang, gaya, medan, atau apa pun, maka ia pun akan mentok kepada kesimpulan-kesimpulan yang tidak sampai kepada makna keberadaan dan adanya Tuhan Pencipta. De Bres tidak mengeklaim bahwa kalau kita menyelidiki butiran-butiran pasir, gerakan benda langit, dan sel-sel tubuh, kita akan pasti menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada, ataupun dapat menyimpulkan sesuatu soal seperti apa Tuhan itu. Yang dikatakan oleh de Bres adalah bahwa jika kita menelaah “penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam”, kita akan dapat “membaca” melaluinya “kekuatan dan keilahian Allah” yang kekal—yang tidak tampak di luar itu. Jelas di sini Pengakuan Iman Belgia bukan mengajarkan bahwa kita dapat “menyelidiki Tuhan” di luar pewahyuan-Nya lewat alam—barang kali seperti pada tahun 1970-an agen-agen FBI memburu, menyelidiki, dan menyingkapkan siapakah Frank Abagnale Jr. sebenarnya—tentu saja tanpa seizin dan sekehendak si Frank sendiri. Para filsuf, theolog, dan saintis tentu tidak dapat menyingkapkan rahasia diri Tuhan di luar pewahyuan-Nya. Itu sebabnya, de Bres dengan tepat mengatakan bahwa “buku pertama” yang dapat dibaca untuk mengenal Tuhan bukanlah “alam” itu sendiri, melainkan “penciptaan alam”, “pemeliharaan alam”, dan “pemerintahan alam” oleh Tuhan. Inilah wahyu umum Tuhan—yang BUKAN diberikan hanya kepada orang percaya, melainkan kepada semua orang. Semua orang, kata Rasul Paulus, mengenal Tuhan secara cukup melalui penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan alam raya, bahkan mengenal tuntutan-tuntutan moral-Nya kepada manusia, sehingga Tuhan memiliki dasar hukum yang jelas untuk dakwaan-Nya atas penolakan manusia (Rm. 1:18-21).

Lantas apakah kelebihan dari orang-orang percaya di dalam Kristus jika semua orang dapat mengenal Allah melalui penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan Tuhan atas alam raya? Barang kali terpesona dengan teknologi optik yang berkembang di Eropa pada zamannya, John Calvin menyebut buku Allah yang kedua ini sebagai “sepasang kacamata” yang membuat pandangan mata kita yang dikaburkan oleh dosa menjadi tajam kembali. Perhatikan di sini, penekanannya bukan pada “bacalah Alkitab sebab ia lebih jelas dan tinggi daripada penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan Tuhan atas alam raya” melainkan “bacalah Alkitab sebab melalui kacamata itu pandanganmu akan karya penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan Tuhan di dalam alam raya akan menjadi lebih tajam”.

For as the aged, or those whose sight is defective, when any book, however fair, is set before them, though they perceive that there is something written, are scarcely able to make out two consecutive words, but, when aided by glasses, begin to read distinctly, so Scripture, gathering together the impressions of Deity, which, till then, lay confused in our minds, dissipates the darkness, and shows us the true God clearly.[2]

Demikianlah para reformator TIDAK membenturkan wahyu umum dengan wahyu khusus, tindakan Tuhan melalui alam raya dan tindakan Tuhan melalui Yesus Kristus. Keduanya bukanlah ANTITESIS. Saya kira di zaman ini kita terlalu sering menganggap bahwa “pewahyuan Tuhan” atau “suara dan pimpinan Tuhan” adalah proses misterius dan rahasia yang somehow terjadi dalam batin kita masing-masing. Coba pikirkan apa yang sering kali secara typical dikaitkan dengan usaha untuk “mencari kehendak Tuhan” atau “mendengarkan pimpinan Tuhan”? Orang melakukan retret pribadi, berpuasa, berdoa, menyepi, membaca Alkitab sendiri, merenung dan memeriksa batin internalnya. Saya tidak sedang mengatakan bahwa hal-hal ini buruk atau tidak penting, atau bahwa Tuhan tidak memakai jalan-jalan demikian untuk menyatakan kehendak-Nya kepada seseorang atau sekelompok orang. Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa jalan-jalan solitude ini bukanlah satu-satunya jalan bagi Tuhan untuk mewahyukan atau menyatakan diri-Nya.

Pernyataan diri Tuhan bukan hanya di dalam batin nabi-nabi-Nya, di tengah kesunyian malam seperti yang terjadi pada Samuel kecil di kemah pertemuan, atau melalui “desiran angin” yang mengembusi tubuh Elia di sebuah pegunungan, atau kepada Musa dalam “semak yang menyala tetapi tak terbakar” di Midian. Pernyataan diri Tuhan juga terjadi melalui kemenangan perang (2Raj. 19:19), kekalahan perang (1Sam. 4:3), ketaatan (1Yoh. 2:3), pemberontakan (Yeh. 20:26), kesuksesan bisnis, kegagalan usaha (Ul. 28:20), kelimpahan (Kej. 41:47), kekurangan (Kej. 41:54), wabah penyakit (Ul. 28:22), dan lain-lain. Alkitab tidak pernah memberikan gambaran mengenal Tuhan yang melulu “secara langsung”—walau tentu saja Tuhan selalu bisa berbuat apa saja. Alkitab hampir selalu memberikan gambaran Tuhan yang mewahyukan diri-Nya melalui mediasi tertentu, baik itu peristiwa alam maupun peristiwa sejarah atau kebudayaan.

Pernyataan diri Allah lewat mediasi ini tidak lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada pernyataan Allah secara langsung. Keduanya adalah jalan untuk mengenal Tuhan dan kehendak-Nya. Namun demikian mengapakah tidak semua orang mengenal Tuhan dengan sama jelasnya? Bahkan beberapa orang, seperti misalnya Carl Sagan, Bertrand Russell, Richard Dawkins, atau Sam Harris, bersikeras mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, seberapa banyak pun petunjuk-petunjuk yang diajukan kepada mereka? Secara konsisten Paulus dan orang-orang Kristen setelahnya mengatakan bahwa penyebabnya ada pada subjek yang melihat itu, bukan pada pewahyuannya. Tuhan jelas menyatakan diri, tetapi orang dapat menolak untuk melihat-Nya. Selain itu, dosa juga telah sangat “mengaburkan pandangan” kita, sehingga apa yang ada tepat di depan batang hidung kita pun tak terlihat nyata. OK, baiklah, jelas sekarang bahwa pewahyuan Allah terjadi senantiasa, tepat di sekeliling kita, tidak terlepas dari mediasi alam dan hal-hal sehari-hari, tetapi bagaimanakah membedakan “suara Tuhan,” “kehadiran Tuhan,” “pimpinan Tuhan” yang sejati dengan “wishful thinking” atau “halusinasi” kita? Bagaimana membedakan, misalnya, “suara Tuhan” dengan “suara guru killer” kita—atau dalam istilah psikoanalisis, bagaimana membedakan “suara Tuhan” dengan Superego? Itu adalah topik untuk bagian berikutnya.

Pdt. Jadi S. Lima

Dosen STT Reformed Injili Internasional

Endnotes:

[1] Tillich, Paul, and James Luther Adams. The Protestant Era. 1948.

[2] John Calvin, Institutes, Book I. 6. 1. Dapat dibaca selengkapnya pada laman https://www.ccel.org/ccel/calvin/institutes.iii.vii.html.