Istilah TUHAN jika ditulis dalam huruf besar semua di dalam Alkitab LAI berarti merupakan terjemahan dari YHWH. Ini adalah nama pribadi Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Ini bukan seperti mengatakan, “Aku, bapakmu ini guru SKC.” Ini lebih mirip dengan perkataan, “Aku ini Ferguso, bapakmu.” Padanan untuk istilah TUHAN itu bukanlah “raja”, “tukang roti”, atau “direktur keuangan”; melainkan “Dagon”, “Asytoret” dan “Bel”—ketiga sebutan yang terakhir adalah nama-nama para dewa bangsa-bangsa asing. Dengan kata lain, ungkapan “Akulah TUHAN, Allahmu” adalah ungkapan yang sangat pribadi dari Allah Israel kepada umat-Nya. Dia bukan sekadar “Yang di Atas” atau “Sang Maha Kuasa” —tetapi Sang Ilahi yang kita sapa dengan Nama Pribadi-Nya. Belakangan kita bahkan dapat “melihat wajah-Nya” di dalam sosok Yesus dari Nazaret. Saya akan mulai dengan pembahasan mengenai mengalami Allah secara pribadi, baru kemudian pada bagian kedua saya akan membahas mengenai mengalami Allah secara benar, yaitu sebagai pribadi (perhatikan: penekanannya bukan pada mengalami Allah secara pribadi, melainkan sebagai pribadi).
Mengalami Tuhan secara Pribadi
Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari, yang keluar bagaikan pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya. Dari ujung langit ia terbit, dan ia beredar sampai ke ujung yang lain; tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya. Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar. Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadar. Lindungilah hamba-Mu, juga terhadap orang yang kurang ajar; janganlah mereka menguasai aku! Maka aku menjadi tak bercela dan bebas dari pelanggaran besar. Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku. (Mazmur 19)
Istilah “mengalami Tuhan secara pribadi” muncul ketika orang ingin menekankan sisi “pengalaman eksistensial” di dalam perjalanan kita mengenal dan berjalan di dalam jalan Tuhan. Allah tidak dapat “dikenal” tanpa “dialami” di dalam keterlibatan penuh komitmen dari segenap hidup kita. Orang percaya harus melangkah dari “mengetahui tentang Allah” (knowing about God) kepada “mengenal Allah” (knowing God). Di dalam tahapan “mengenal Allah” ini kita tidak hanya mengetahui bahwa Allah itu pencipta langit dan bumi, bahwa Ia ada sebagai Tritunggal yang kudus, ataupun bahwa Ia telah mengirim Putra Tunggal-Nya—Yesus Kristus—pada abad pertama ke dunia ini. Dengan kata lain, kita tidak sekadar mengetahui serangkaian informasi yang berkenaan dengan keberadaan Allah. Kita melangkah lebih lanjut kepada pengenalan secara pribadi. Ini mungkin mirip dengan pengenalanmu akan temanmu. Barangkali kamu akan menemukan cukup banyak informasi mengenai temanmu kalau kamu googling nama dia. Kamu dapat menemukan halaman Facebooknya, mungkin juga tulisan-tulisan yang pernah ia terbitkan, atau terkadang fotonya juga. Demikian dengan “mengetahui tentang Allah”, orang dapat menyelidiki Alkitab, mengkaji berbagai argumen mengenai hakikat dan keberadaan Allah, baik secara theologis, filosofis, historis, dan anthropologis, tetapi Anda tidak akan pernah “berjalan bersama dengan Allah yang hidup itu” tanpa melibatkan diri luar-dalam secara personal.
Penulis lagu He’s Everything to Me melukiskan perbedaan “mengetahui tentang Allah” dengan “mengenal Allah secara pribadi” secara sangat jelas. Pada bait pertama dan kedua ia menulis mengenai pengalamannya “mengetahui tentang Allah” tanpa “mengenal Dia secara pribadi”:
In the stars His handiworks I see
on the wind He speaks with majesty
tho’ He ruleth over land and sea
what is that to me?
I would celebrate Nativity
for it has a place in history
sure He came to set His people free
but what is that to me?
Ralph Carmichael membuka syairnya dengan menggambarkan pengakuannya akan Allah secara impersonal. Allah sebagai Yang Dahsyat, Pencipta langit dan bumi, bahkan Allah yang menyatakan diri-Nya secara khusus di dalam diri Anak-Nya yang Tunggal yang datang untuk membebaskan umat-Nya itu. Tetapi tanpa relasi dan komitmen secara pribadi dengan Allah yang dahsyat itu, pengakuan impersonal itu tidak membawa manfaat dan perubahan apa pun baginya.
Lalu pada bait ketiga ada titik balik:
Til’ by faith I met Him face to face
and I felt the wonder of His grace
then I knew that He was more than just a God who didn’t care
who live away up there and
He walks beside me day by day
ever watching o’er me lest I stray
helping me to find that narrow way
He’s everything to me!
Dalam bait ketiga ia melukiskan perbedaan yang dibawa oleh perjumpaannya secara eksistensial dengan Allah. Kini ia berjumpa muka dengan Penciptanya, ia mengalami sendiri secara pribadi kedahsyatan anugerah Allah, bahkan ia berjalan setiap hari bersama dengan Allah. Allah yang semula tidak ada artinya bagi dia, kini menjadi segala-galanya. Ada gerakan dari “mengetahui tentang Allah” kepada “mengenal Allah secara pribadi”. Bukankah ini terdengar indah dan puitis, tetapi bagaimanakah itu di dalam “kenyataannya”? Bagaimanakah kita bisa “berjumpa secara pribadi” dengan Allah? Bukankah Dia itu “tidak kelihatan”?
Semua orang tahu bahwa Allah itu tidak ada padanannya dengan apa pun juga. Dia itu “Das ganz andere”. Dengan apakah kita dapat memperbandingkan Allah? Tidak ada bahasa maupun konsep yang dapat mengekspresikan maupun menampung Allah secara komprehensif. Tentu saja pembicaraan kita tentang Allah tidak pernah dapat sama dengan Allah itu sendiri. Demikian juga dengan “mengalami Allah”. Orang tidak “mengalami Allah” secara sama dengan ia “mengalami perang” misalnya. Tentu saja orang dapat berbicara tentang “mengalami Allah” sebagai bentuk perjumpaan yang lebih personal dengan Allah dibandingkan dengan “berfilsafat tentang Allah”—seperti orang yang “mengalami Perang Kemerdekaan” memiliki perjumpaan yang lebih pribadi dengan perang itu, daripada orang-orang yang hanya “menyelidiki sejarah Perang Kemerdekaan” sebagai bagian dari kegiatan akademis. Tetapi, apakah kita dapat “mengalami Allah” seperti orang mengalami Perang Kemerdekaan, atau mengenal Allah seperti seorang istri “mengenal” suaminya? Dari mana kita tahu bahwa pengalaman kita itu sungguh “nyata”? Atau lebih jauh lagi, apakah memang Allah yang kita alami, ataukah hanya fenomena psikologis belaka? (Walau tentu saja ada dimensi psikologis dalam “pengalaman dengan Allah”—tetapi tentu saja “mengalami Allah” berbeda dari “mengalami delusi atau ilusi”). Bagaimanakah kita dapat membedakan mengalami Allah dengan sekadar “merasa mengalami Allah” padahal bukan Allah yang kita alami? Dengan kata lain, bagaimanakah membedakan pengalaman keagamaan yang benar dari yang salah? Atau dalam bahasa Alkitab: bagaimanakah caranya membedakan Roh? Hal ini akan kita bahas dalam bagian ketiga.
Pdt. Jadi S. Lima
Dosen STT Reformed Injili Internasional