What Did You Expect?

Beberapa tahun belakangan ini, kita sering menjumpai gambar di Facebook ataupun situs internet lainnya yang melukiskan banyaknya pandangan di dunia ini dari perspektif orang yang berbeda-beda. Misalnya, jikalau seseorang bekerja sebagai seorang arsitek, di dalam gambar tersebut terdapat foto-foto dengan judul: What your parents think you do, What your friends think you do, What the others think you do, What you think you do, What you actually do. Biasanya, kontras yang paling menyolok dan yang paling lucu adalah antara What you think you do dan What you actually do. Mereka berbeda 180 derajat! Sering kali kita dikecewakan karena realitas yang ada sangatlah berbeda dengan harapan (expectation) yang kita terus impikan. Demikian juga orang Israel tidak dapat menerima Yesus sebagai seorang Mesias karena Yesus bukanlah Mesias yang didambakan oleh mereka. Apa yang menjadi harapan mereka? Mengapa Tuhan memilih untuk datang sebagaimana yang telah dilakukan-Nya? Apa yang dapat kita pelajari? Artikel singkat ini akan mengupas beberapa pandangan orang Israel akan Mesias dan apa yang Tuhan nyatakan dalam sejarah serta pengertian Rasul Paulus akan semuanya ini.

Harapan Orang Israel
Orang Ancient Near East (Timur Dekat Kuno) memiliki cara pandang yang sangat berbeda dari cara pandang dunia modern. Pada zaman tersebut, setiap bangsa menyembah allah mereka sendiri, dan ketangguhan masing-masing negara merefleksikan kekuatan allah mereka. Setiap peperangan yang terjadi antara satu bangsa dengan bangsa yang lain merupakan peperangan antara allah satu bangsa dengan allah bangsa yang lain. Tuhan (Yahweh) mendapatkan kemuliaan ketika bangsa Israel memenangkan pertempuran melawan bangsa-bangsa yang menyembah allah palsu. Di Perjanjian Lama, ketika orang Filistin menang terhadap orang Israel, tabut Allah diletakkan di kuil Dagon untuk menjadi simbol bahwa Dagon telah menaklukkan Yahweh. Akan tetapi, keesokan harinya, tampaklah patung Dagon terjatuh dengan mukanya ke tanah di hadapan tabut tersebut. Kejadian tersebut terulang keesokan harinya dengan lebih parah lagi: kepala Dagon dan kedua belah tangannya terpenggal (1Sam. 5). Tema utama dari Perjanjian Lama adalah bagaimana Tuhan menyatakan kepada bangsa Israel dan semua bangsa lainnya bahwa Ia adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Pada zaman Yesus, bangsa Israel mengerti tujuan dari semua pekerjaan Allah adalah untuk memperluas kerajaan-Nya di dunia sampai suatu hari tidak ada allah lain yang disembah: “Maka TUHAN akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu TUHAN adalah satu-satunya dan nama-Nya satu-satunya” (Za. 14:9). Dalam satu doa orang Yahudi, Aleinu, yang telah diucapkan sejak zaman Yesus sampai hari ini, harapan tersebut diungkapkan:

“Oleh karena itu kita menunggu Engkau, ya Tuhan, Allah kami, untuk segera melihat kemuliaan-Mu, ketika Engkau akan menghapus kekejian dari bumi, dan berhala akan engkau musnahkan; ketika dunia akan dibuat ulang oleh kerajaan Yang Mahakuasa, dan semua anak manusia memanggil nama-Mu; ketika semua orang fasik di bumi akan berbalik kepada-Mu. Kemudian semua penduduk dunia akan memandang dan mengakui bahwa kepada-Mu setiap lutut harus bertelut, dan segala lidah akan mengaku. Sebelum Engkau, ya TUHAN, Allah kita, mereka akan berlutut dan tersungkur, dan demi nama-Mu yang mulia memberikan kehormatan. Mereka akan menerima kuk kerajaan-Mu, dan Engkau akan menjadi Raja atas mereka dengan cepat dan selamanya. Engkaulah yang empunya kerajaan, dan untuk selamanya memerintah dalam kemuliaan, seperti yang tertulis dalam Taurat-Mu: ‘Tuhan akan memerintah selama-lamanya’. Juga ada tertulis: “Dan Tuhan akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada hari itu Tuhan akan menjadi Satu dan nama-Nya menjadi satu.””[1]

Selain itu, banyak sekali orang yang berpikir bahwa Tuhan akan mengutus seorang raja Israel untuk memerintah seluruh dunia. Raja tersebut adalah Mesias (atau Kristus) dan banyak sekali nubuat-nubuat yang ada dalam Perjanjian Lama. Sebagian di antaranya:

Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa. (Kej. 49:10)

Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya [Mesias]: “Marilah kita memutuskan belenggu-belenggu mereka dan membuang tali-tali mereka dari pada kita!” Dia, yang bersemayam di sorga, tertawa; Tuhan mengolok-olok mereka. Maka berkatalah Ia kepada mereka dalam murka-Nya dan mengejutkan mereka dalam kehangatan amarah-Nya: “Akulah yang telah melantik raja-Ku di Sion, gunung-Ku yang kudus!” (Mzm. 2:2-6)

Jika demikian, bagaimana Allah mendirikan kerajaan-Nya? Salah satu kesimpulan logis adalah bahwa Mesias akan berperang melawan bangsa-bangsa penyembah berhala dan menghancurkan orang-orang berdosa di antara orang Yahudi. Kebanyakan orang Isreal pada zaman Yesus berpandangan seperti ini. Beberapa nubuat dalam Kitab Suci dipakai untuk mengonfirmasi ide-ide mereka. Misalnya, Mesias adalah “Anak Daud” (keturunan Raja Daud), sehingga orang-orang mengharapkan seperti halnya Daud telah memperluas and mengukuhkan Kerajaan Allah dengan berperang, Sang Mesias akan melakukan hal yang sama. Mereka juga mencari seorang figur seperti Musa, yang mengalahkan Mesir dan menjadikan mereka sebagai bangsa yang besar di Sinai. Gagasan bahwa Sang Mesias akan memimpin pemberontakan besar-besaran adalah harapan utama setiap orang Israel pada zaman Yesus.

Inauguration of the Kingdom
Meskipun sebagian orang berpendapat bahwa Mesias dalam Kitab Suci adalah seorang pemimpin perang, ayat-ayat lain memberikan gambaran yang sangat berbeda. Lebih dari satu bagian menggambarkan seorang raja yang datang dalam damai untuk memerintah atas bumi, bukan di perang:

Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi. (Za. 9:9-10)

Yesus datang memasuki Yerusalem menunggangi seekor keledai. Pemenuhan nubuat ini menunjukkan bahwa Ia tidak datang untuk berperang seperti yang dipercayai oleh mayoritas pada zaman itu. Ia memenuhi Yesaya 53, yang menggambarkan seorang “hamba” yang datang dan menanggung semua dosa orang-orang pada diri-Nya sendiri, yang menderita dan mati bagi dosa-dosa mereka untuk memberikan pengampunan bagi mereka. Yesus datang untuk memperluas Kerajaan Allah di seluruh dunia dengan mengumumkan pengampunan bagi semua orang yang mau bertobat, bukan menghakimi orang-orang berdosa.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. (Yoh. 3:16-17)

Murid-murid Yesus pun tidak mengerti akan hal ini. Setelah Yesus mati di atas kayu salib, bangkit pada hari yang ketiga, dan sebelum Ia naik ke sorga, murid-murid-Nya bertanya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kis. 1:6). Mereka masih memiliki mindset tentang Mesias yang akan memiliki kekuatan militer, yang akan memimpin seluruh bangsa Israel lepas dari jerat kekuasaan kerajaan Romawi.

Tuhan berhak memilih dengan cara apa Ia datang dan yang dipilih-Nya adalah untuk menebus dosa manusia di atas kayu salib. Hal ini sungguh bertentangan dengan pemikiran mayoritas orang Yahudi pada zaman Yesus. Orang-orang yang berteriak “Hosana” pada hari Minggu ketika Yesus memasuki Yerusalem menunggangi seekor keledai, mereka jugalah yang berteriak “Salibkan Yesus” beberapa hari kemudian. Mengapa mereka bisa berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat? Mesias yang datang kepada mereka bukanlah Mesias yang mereka harapkan. Mereka mengharapkan ada seorang raja yang akan datang dengan kemegahan dan kereta kuda, tetapi yang datang adalah seorang tukang kayu dari kota Nazaret yang begitu rendah serta menunggangi seekor keledai.

Pandangan Paulus
Akan hal ini, Rasul Paulus pernah menulis. Di surat kepada jemaat di Korintus Paulus berdebat, dengan dukungan Perjanjian Lama, tentang apa yang Allah selalu rencanakan dan bahwa Allah telah menyempurnakan apa yang telah dinyatakan oleh nabi-nabi melalui salib:

Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Karena ada tertulis: “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan? Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil. Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia. (1Kor. 1:18-25)

Orang “Yahudi” dan “Yunani” di sini mengilustrasikan dua berhala dasar manusia. Mereka, dan juga kita, menginginkan Allah untuk mengikuti cara pandang kita tentang bagaimana “Allah yang masuk akal” mengerjakan pekerjaan-Nya di dunia. Kita tidak lagi ingin ikut jalan yang Tuhan kehendaki tetapi kita mengharapkan Tuhan bekerja sebagaimana seharusnya, menurut pengertian kita. Mari kita simak lebih lanjut apa yang diharapkan orang Yahudi dan orang Yunani.

“Orang-orang Yahudi menghendaki tanda.” Hal ini merefleksikan harapan tentang Mesias orang Yahudi yang telah dibahas secara singkat dalam artikel ini. Terlebih lagi, orang Israel juga meminta tanda mujizat yang dapat dikerjakan Sang Mesias. “Tunjukkan kepada kami lagi, perkenalkan diri-Mu; buktikan bahwa engkaulah Mesias dengan keajaiban dan mujizat” merupakan permohonan orang Israel kepada Yesus yang terus-menerus diulang (Mat. 12:38-39; Mrk. 8:11; Luk. 11:16; Yoh. 6:30). Mereka telah menjadi rendah dan berada di bawah kekuasaan dunia untuk waktu yang sangat panjang. Mereka pernah dibuang ke negeri asing, dan mereka sekarang berada dalam pemerintahan kerajaan Romawi. Mereka merindukan satu orang penyelamat yang perkasa, yang akan membebaskan dan memulihkan kembali kerajaan Israel yang megah. Terlebih lagi, mereka mengerti bagaimana Allah bekerja sebelumnya – dengan tangan-Nya yang berkuasa dan teracung. Berhala mereka adalah bahwa mereka pikir mereka telah benar-benar memahami Allah dan menurut mereka, Ia akan mengulang kejadian Keluaran dengan kemegahan yang lebih besar lagi. Mari kita simaki hidup kita. Apakah ada pemikiran seperti ini. “Tuhan telah bekerja dengan demikian kuat sebelumnya dalam hidupku, sekarang pun Ia ‘pasti’ akan bekerja lagi.” Bukankah kita sedang memerintah Tuhan, dan bukan Tuhan yang berkuasa akan hidup kita?

“Orang-orang Yunani mencari hikmat.” Hikmat adalah salah satu karakteristik bangsa Yunani. Mereka memiliki kemajuan kebudayaan yang tidak pernah ada sebelumnya. Dari Socrates, Plato dan Aristoteles, sampai kepada Pythagoras dan Herakleitos, bangsa Yunani merupakan bangsa yang identik dengan sophia (hikmat). Sebenarnya, kepesatan dalam perkembangan pembelajaran menjadikan mereka pergi meninggalkan dewa-dewa tradisional mereka (Zeus, Apolo, Atena, dan lain-lain) dan datang kepada sophia. Berhala mereka adalah untuk melihat Allah sebagai hikmat yang utama (ultimate reason), yang masuk kepada cara pemikiran kita tentang Allah. Iya, Allah itu hikmat yang paling tinggi, yang paling hebat tetapi “hikmat yang tertinggi” ini pun berada dalam kotak pemikiran mereka akan bagaimana seharusnya “Allah” bekerja dalam dunia ini; terlebih lagi bagaimana Allah seharusnya memperlakukanku. Bagaimana dengan hidup kita? Apakah kita memiliki pandangan kita sendiri akan bagaimana seharusnya “Allah” bekerja?

“Tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan.” Sebenarnya, “Kristus yang disalibkan” merupakan satu frasa yang berkontradiksi, selayaknya “es goreng”. Seseorang boleh memiliki Mesias, atau yang lainnya boleh memiliki salib; tetapi seseorang tidak boleh memiliki keduanya bersamaan. Mesias berarti kuasa, kemegahan, kemenangan; salib berarti kelemahan, rasa malu, kekalahan. Tidak heran bahwa orang Yahudi dan Yunani tersinggung dengan cerita orang Kristen. Pada zaman bangsa Romawi, salib merupakan hukuman yang paling besar, yang hanya dipakai untuk pemberontak dan budak. Yesus mati sebagai seorang penjahat, seorang skandal kepada orang Yahudi, orang Yunani, dan juga kepada orang Kristen. Dari cara pandang manusia, Injil dan Kristus yang disalibkan akan selalu terlihat bodoh. “Tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1Kor. 1:24). Di surat yang lain, Paulus berkata,

“Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.”” (Rm. 1:16-17)

Penutup
Sebagai penutup, penulis ingin setiap pembaca untuk merenungkan seluruh kisah akan Inauguration of Christ’s Kingdom through the Cross sekali lagi. Kalau kita adalah orang Israel pada zaman Yesus, dapatkah kita mengenali Yesus sebagai Mesias yang telah lama dijanjikan? Ataukah kita akan bersama orang banyak berteriak, “Salibkan Yesus”? Dapatkah kita menerima Yesus yang tersalib? Pada zaman ini pun demikian. Pandangan mayoritas akan Allah sering kali bertentangan dengan apa yang sebenarnya Tuhan kerjakan. Apakah Tuhan pernah mengecewakan kita? Apakah yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita berbeda dengan apa yang sebenarnya kita harapkan selama ini? Di tengah banyaknya ide tentang Allah yang ada dalam dunia ini, sudahkah kita mengenal tentang Injil yang sejati? Rasul Paulus berkata, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1Tim. 4:16). Apa yang sebenarnya kita harapkan dan nanti-nantikan dalam hidup ini? Sejalankah dengan apa yang Tuhan kehendaki?

Ezra Yoanes Setiasabda Tjung
Pemuda PRII Hong Kong

Endnotes:
[1] Terjemahan bebas oleh penulis. “Therefore do we wait for Thee, O Lord our God, soon to behold Thy mighty glory, when Thou wilt remove the abominations from the earth, and idols shalt be exterminated; when the world shall be regenerated by the kingdom of the Almighty, and all the children of flesh invoke Thy name; when all the wicked of the earth shall be turned unto Thee. Then shall all the inhabitants of the world perceive and confess that unto Thee every knee must bend, and every tongue be sworn. Before Thee, O Lord our God, shall they kneel and fall down, and unto Thy glorious name give honor. So will they accept the yoke of Thy kingdom, and Thou shall be King over them speedily forever and aye. For Thine is the kingdom, and to all eternity Thou wilt reign in glory, as it is written in Thy Torah: ‘The Lord shall reign forever and aye.’ And it is also said: ‘And the Lord shall be King over all the earth; on that day the Lord shall be One and His name be One.’”

Reference:
– Fee, G. D. (1987). The First Epistle to the Corinthians. Grand Rapids, MI: W.B. Eerdmans Pub. Print.
– Tverberg, L. (2005). “Jesus’ Messianic Surprise: A Kingdom of Mercy”. Web. Available at: http://www.egrc.net/articles/director/articles_director_0605.html