I. Pendahuluan
Belakangan ini tema mengenai Kristologi kembali banyak dibahas kalangan Kristen di Indonesia, terutama setelah adanya pernyataan kontroversial dari seorang pendeta yang cukup terkenal. Di dalam salah satu pemaparannya, pendeta tersebut mengatakan bahwa Yesus bukan juruselamat dan bahkan bukan Allah, tentunya hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan. Di dalam berbagai media digital muncul respons-respons dari pendeta-pendeta lain yang mencoba menjawab pernyataan tersebut. Hal ini makin menunjukkan bahwa pembahasan mengenai pribadi Kristus masih tetap penting dan relevan untuk dibahas sampai saat ini. Kristologi bukanlah tema yang baru di dalam kekristenan, namun tema ini adalah tema yang sangat sentral di dalam iman kepercayaan orang Kristen. Oleh karena itu, saya tergerak untuk membahas Kristologi di dalam sebuah surat dalam Perjanjian Baru, yaitu Surat Ibrani. Di dalam Surat Ibrani, terdapat kekayaan pemahaman Kristologi yang menjadi dasar kepercayaan iman Kristen yang sangat penting.
Tema Kristologi sebetulnya tersebar luas di dalam Perjanjian Baru, dari yang paling jelas terdapat pada kitab-kitab Injil, surat-surat Paulus sampai kepada Kitab Wahyu. Di antara kitab-kitab dan surat-surat yang ada di Perjanjian Baru, salah satu yang paling unik dalam membahas Kristologi adalah Surat Ibrani. Jika dibandingkan dengan dokumen Perjanjian Baru yang lain, Udo Schnelle mengatakan bahwa Surat Ibrani adalah surat yang paling dekat mengidentifikasikan Yesus sebagai Anak dari Allah Bapa.[i] Dari status Yesus sebagai Anak Allah Bapa, akan muncul pengertian mengenai keilahian Kristus yang sangat menonjol. Selain itu, penulis Kitab Ibrani juga adalah orang pertama yang memakai gambaran imam besar kepada Yesus Kristus.[ii] Dokumen-dokumen Perjanjian Baru lainnya tidak ada yang pernah mencatat Yesus sebagai imam besar. Baru melalui Surat Ibrani, gambaran imam besar dikaitkan dengan Yesus dan karya-Nya di dunia. Selain dari kedua tema unik tersebut, ada juga tema mengenai Yesus sebagai puncak wahyu Allah dan juga bagaimana Yesus lebih besar dari tokoh-tokoh Perjanjian Lama yang sangat menarik untuk diketahui. Dengan adanya tema status Anak Allah dari Kristus, jabatan imam besar-Nya, dan juga beberapa tema penting lainnya, kita akan menemukan kekayaan pemahaman Kristologi melalui pendekatan biblika ini.
II. Tema-tema Kristologi di dalam Surat Ibrani
1. Kristus sebagai Puncak Wahyu
Konsep Kristologi Yesus yang paling awal dibahas di dalam Surat Ibrani adalah Yesus sebagai puncak wahyu Allah. Menurut Frank Thielman, penulis dari Surat Ibrani mau menyatakan bahwa pesan, pekerjaan, dan diri Yesus sendiri memberikan kegenapan dan kepenuhan dari wahyu Allah akan keselamatan. Argumen ini disampaikan secara bertahap sebagai berikut:
- Pesan yang disampaikan melalui Anak Allah lebih tinggi dibandingkan dengan pesan para nabi di dalam Alkitab. (Ibr. 1:1-3a)
- Anak Allah lebih tinggi dibandingkan malaikat. (Ibr.1:4-2:16)
- Yesus adalah Imam Besar yang lebih tinggi dibanding imam besar-imam besar yang ditunjuk oleh hukum Musa dan pengorbanan penebusan-Nya lebih tinggi dibanding hari penebusan korban yang dideskripsikan pada Imamat 16.[iii] (Ibr. 1:3b; 2:17-18)
Pewahyuan Allah akan diri dan kehendak-Nya di dalam Perjanjian Lama dilakukan melalui perantaraan para nabi. Contohnya, ketika Tuhan mau menghukum bumi dengan air bah, ia memberitahukannya kepada Nuh (Kej. 6:9-21). Selanjutnya di dalam sejarah bangsa Israel, Musa bahkan diminta oleh bangsa Israel sendiri untuk menjadi perantara suara Tuhan (Kel. 20:19). Musa mendapatkan pesan dari Tuhan dan kemudian pesan tersebut disampaikan kepada umat Tuhan. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lainnya, seperti Elia, Daniel, Yesaya, Yeremia, dsb. Tugas utama seorang nabi adalah menjadi penyambung lidah Allah.
Namun, berbeda dengan cara yang lama, Yesus hadir menjadi perantara wahyu antara Allah Bapa dengan manusia. Firman dan perkataan yang Yesus sampaikan adalah Firman yang sama yang menciptakan dan menopang alam semesta (Ibr. 1:2-3). Yesus sendiri yang akan memberitakan keselamatan kepada pengikut-Nya yang pertama dan selanjutnya kepada orang percaya lainnya. Berita yang begitu berkuasa sehingga ketika disampaikan akan ada tanda-tanda dan muzizat yang menyertai.
Ini bukan berarti penulis Ibrani mengatakan bahwa Perjanjian Lama sudah mati dan tidak lagi berguna. Pada Ibrani 4:12, tercatat bahwa penulis Ibrani melihat firman Allah sebagai hidup, kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua manapun. Penulis Ibrani ingin pembaca untuk mengerti bahwa pembacaan Perjanjian Lama perlu dipahami dari terang yang Tuhan Yesus berikan. Tentu hal ini masih berlaku sampai hari ini. Setiap orang percaya yang membaca kitab-kitab di Perjanjian Lama perlu melihat kegenapannya di dalam Kristus.
2. Kristus Lebih Besar dari Tokoh-Tokoh Perjanjian Lama
Tema selanjutnya adalah Yesus sebagai penggenapan dan sosok yang lebih besar dari tokoh-tokoh besar di Perjanjian Lama. Melalui berbagai pembahasan tokoh yang ada di Surat Ibrani, terdapat bayang-bayang dari tokoh Perjanjian Lama yang merujuk kepada Yesus. Ketika kita memperhatikan rujukan tokoh dan kaitannya dengan Yesus, maka akan terlihat bahwa Yesus lebih besar dari tokoh-tokoh Perjanjian Lama tersebut, di antaranya Adam, Musa, Yosua, dan juga Daud.
Dalam Ibrani 1:2, dituliskan bahwa Yesus ditetapkan oleh Allah Bapa sebagai “yang berhak menerima segala yang ada”. Kata berhak menerima di dalam bahasa Indonesia kurang menunjukkan nuansa yang mau ditonjolkan. Di dalam terjemahan bahasa Inggris, istilah yang dipakai adalah “the heir of all things”, yang memiliki nuansa warisan kerajaan. Pewaris segala sesuatu merupakan suatu bayang-bayang yang jelas dari warisan yang dijanjikan kepada raja keturunan Daud di Mazmur 2:8. Pada bagian ini, penulis Ibrani mau menekankan bahwa Yesus adalah anak Daud, Raja Mesias.[iv] Ide ini juga dikonfirmasi dengan kutipan dari Mazmur 2:7 pada Ibrani 1:5, “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?” Di dalam Mazmur 2, penyair Mazmur memperingatkan penguasa di dunia untuk tunduk kepada Raja Israel. Ketika penulis Ibrani mengutip bagian Mazmur ini, maka itu menandakan bahwa penulis mau menempatkan Yesus sebagai anak Daud.
Setelah mengutip Mazmur 2 pada Ibrani 1:5, penulis surat Ibrani juga mengutip dari 2 Samuel 7:14. Jika kita melihat pada 2 Samuel 7, bagian itu menceritakan inaugurasi dari perjanjian Daud, suatu perjanjian bahwa keturunan Daud akan mendirikan rumah bagi Allah dan takhta Daud akan dikokohkan selama-lamanya. Di sini, penulis Ibrani mengidentifikasi Yesus sebagai penggenapan dari perjanjian yang Allah buat dengan Daud.
Melalui bagian ini, kita mendapat pemahaman mengenai Yesus sebagai the heir of all things yang dikaitkan konteksnya dengan warisan serta janji kepada Raja Daud. Dengan kaitan tersebut, penulis surat Ibrani mau menekankan kekuasaan dan pemeritahan Yesus yang mengatasi malaikat dan seluruh alam semesta, dimulai dari kebangkitan dan kenaikan-Nya.[v] Yesus menggenapi dan lebih besar daripada Daud.
Selanjutnya, kita juga bisa melihat bahwa tugas untuk menguasai dan memerintah atas bumi berkaitan erat dengan tugas yang diberikan kepada umat manusia melalui Adam. Di dalam Ibrani 2:6-8, terdapat kutipan dari Mazmur 8:5-7. Pada bagian Mazmur ini, hal yang sedang dibicarakan adalah tentang keagungan Tuhan dan keajaiban ciptaan. Di tengah-tengah kekaguman penyair Mazmur, ia mempertanyakan apa peran dari manusia di dalam alam ciptaan ini. Sang penyair akhirnya menjawab dengan refleksi kepada Kejadian 1 dan 2. Di tengah-tengah keajaiban ciptaan Tuhan, manusia diberikan peran untuk menguasai bumi, seperti perintah yang jelas Tuhan berikan kepada Adam dan Hawa di Kejadian 1:28. Namun, seperti yang kita ketahui, manusia yang diwakili oleh Adam dan Hawa gagal untuk menguasai bumi bagi kemuliaan Allah.[vi] Bumi yang seharusnya menjadi berkat malah menghadapi kehancuran. Bersyukur kepada Tuhan, narasi kehidupan di dunia ini tidak berhenti pada kegagalan manusia. Di babak berikutnya, hadir Yesus yang menjadi representasi manusia dan membawa penebusan serta kemenangan. Berbicara mengenai Yesus sebagai representasi manusia, penulis Ibrani juga menekankan kemanusiaan Kristus, seperti yang terdapat di dalam Ibrani 2:9. Dikatakan di sana bahwa Yesus untuk sementara dibuat lebih rendah dari malaikat. Yesus sebagai representasi mendapatkan mahkota kemuliaan melalui penderitaan. Dia berhasil ketika umat manusia lainnya gagal. Ia adalah manusia sejati, satu-satunya yang benar-benar menjalani kehidupan yang Tuhan inginkan untuk manusia lakukan.[vii] Yesus adalah manusia sejati yang berhasil di mana Adam gagal. Yesus menggenapi dan lebih besar daripada Adam.
Pada bagian selanjutnya, kita juga dapat menjumpai Yesus yang menggenapi Musa sebagai pelayan yang setia. Pada Ibrani 3:2 dan 5, terdapat perbandingan yang jelas antara Yesus dan Musa. Istilah pelayan yang setia merupakan bayang-bayang yang merujuk kepada bagian di Perjanjian Lama, yaitu Bilangan 12:7. Di dalam bagian itu, Allah membela Musa yang dikatai oleh Miryam dan Harun. Di momen tersebut, Allah menyatakan bahwa Musa adalah hamba-Nya yang setia. Ada suatu ikatan yang khusus antara Allah dengan Musa. Perlu diperhatikan bahwa pada umumnya Allah berbicara kepada para nabi melalui mimpi dan penglihatan, tetapi Allah berbicara kepada Musa dengan berhadap-hadapan. Musa memiliki peran spesial di mata Tuhan sebagai hamba dan seorang yang setia. Tetapi dibandingkan dengan posisi Musa yang begitu spesial di mata Tuhan, Yesus jauh lebih besar, karena Ia bukan hanya hamba Tuhan yang setia, tetapi juga Anak yang setia (Ibrani 3:6). Bagian ini juga sekaligus memberi antisipasi tema berikutnya, yaitu Yesus sebagai Anak Allah yang memiliki natur Ilahi.
Selain Musa, nama Yosua juga disebutkan di dalam Surat Ibrani. Perlu diingat juga bahwa di dalam bahasa Yunani, nama Yosua dan Yesus adalah nama yang sama. Ketika pembaca dalam bahasa Yunani membaca nama Yosua yang terdapat pada Ibrani 4:8, mereka juga akan berpikir tentang Yesus. Sekali lagi, melalui bayang-bayang ini, dinyatakan bahwa Yesus lebih besar daripada Yosua. Yesuslah yang benar-benar memberikan peristirahatan yang utuh dan sempurna untuk umat Allah.[viii]
Vik. Adam Kurnia
Hamba Tuhan GRII Karawaci
[i] Udo Schnelle, Theology of the New Testament (Grand Rapids, Mich.: Baker Academic, 2009), 636.
[ii] Ibid., 638
[iii] Frank Thielman, Theology of the New Testament: A Canonical and Synthetic Approach (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2005), 676.
[iv] Thomas R. Schreiner, New Testament Theology: Magnifying God in Christ (Grand Rapids, Mich.: Baker Academic, 2008), 380-381.
[v] Ibid., 382
[vi] Ibid., 383
[vii] Ibid.,
[viii] Ibid.,