Van Til merupakan salah satu tokoh Kristen Reformed abad ke-20 dengan pemikiran yang paling cemerlang. Namun demikian, tingkat kesulitan buku-bukunya membuat kekayaan pemikirannya sulit untuk dipahami oleh kebanyakan orang Kristen. Tidak heran jikalau kita lebih mengenal tokoh-tokoh Kristen lain seperti Barth, Bonhoeffer, C. S. Lewis, atau bahkan murid-muridnya sendiri seperti Francis Schaeffer atau Richard Pratt. Karena itu, kita akan sedikit berkenalan dengan Van Til. Kita akan membahas beberapa pemikirannya, serta pengantar singkat mengenai kehidupannya yang dapat menjadi latar belakang bagi pemahaman kita akan pemikirannya.
Biografi Singkat
Cornelius Van Til, seorang theolog dan apologet Reformed, lahir di Grootegast, Belanda. Keluarga Van Til bukanlah keluarga pietis. Namun pada setiap kesempatan makan bersama, seluruh anggota keluarga akan hadir. Doa pembuka, doa penutup, dan pembacaan Alkitab (dari Kejadian sampai Wahyu) sebanyak satu bab adalah kegiatan yang akrab dengan makan bersama keluarga Van Til.
Pada umur 10 tahun, ia beserta keluarganya pindah ke Highland, Indiana. Van Til bergabung dengan Christian Reformed Church dan bersekolah di Calvin Preparatory School, Calvin College, dan Calvin Theological Seminary, semuanya di Grand Rapids, Michigan. Ia pindah ke Princeton Theological Seminary dan meraih gelar Master of Theology di sana pada tahun 1925, diikuti oleh pernikahannya dengan Rena Klooster. Ia menyelesaikan gelar doktor filsafat di Princeton University pada tahun 1927.
Pengaruh utama pemikiran Van Til adalah dari para theolog Reformed Belanda, khususnya Abraham Kuyper yang menekankan bahwa Kristus adalah Tuhan atas semua bidang kehidupan manusia. Namun, Kuyper mengecilkan arti apologetika karena ia berpikir apologetika cenderung menempatkan rasio manusia di atas Alkitab. Akan tetapi, Van Til adalah alumni Princeton, di mana Princeton sangat menekankan bahwa kekristenan sepenuhnya dapat dipertahankan secara rasional sehingga tidak perlu takut terhadap rasio. Van Til berusaha untuk bersikap adil terhadap kedua wawasan ini, dengan mengembangkan pendekatan terhadap apologetika yang rasional, tetapi didasarkan pada konsep rasionalitas alkitabiah yang khas.
Studi-studi Van Til tentang filsafat Idealisme meyakinkannya bahwa semua pemikiran manusia diatur oleh presuposisi (oleh karena itu, Van Til dikenal sebagai “presuposisionalis”, meskipun ia tidak antusias dengan label itu). Presuposisi ultimat, ia percaya, tidak dapat dibuktikan dengan metode biasa, karena berfungsi sebagai dasar dari semua bukti. Tetapi presuposisi dapat dibuktikan “secara transendental”, dengan menunjukkan bahwa presuposisi diperlukan untuk semua pemikiran rasional dan harus benar jika kita menginginkan adanya makna atau keteraturan di dunia ini. Van Til berusaha merekonstruksi apologetika Kristen dengan menjadikan Allah Kristen sebagai presuposisi dan bukannya salah satu kesimpulan rasional di antara yang lainnya.
Masalah terhadap Apologetika “Klasik”
Secara tradisional, para apologet mengembangkan pembelaan kekristenan dalam dua cara, yaitu argumen filosofis bagi keberadaan Allah dan argumen historis untuk kebenaran Perjanjian Baru, yang berfokus pada nubuat dan mujizat (terutama kebangkitan Kristus). Kedua cara ini mensyaratkan beberapa kesamaan antara apologet dan orang yang tidak percaya. Argumen filosofis bagi keberadaan Allah memerlukan persetujuan bersama tentang makna istilah-istilah seperti “sebab”, “tujuan”, dan “keberadaan”. Argumen historis memerlukan beberapa persetujuan bersama tentang apa yang secara historis mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Van Til keberatan dengan pendekatan ini karena mengasumsikan pengertian yang sama antara orang percaya dan orang tidak percaya, dan bahwa terdapat fakta dan data yang dapat dipahami di luar keberadaan Allah Kristen. Menurutnya, jika kita mengakui bahwa ada sesuatu yang dapat dipahami selain dari Allah Kitab Suci, kita telah kehilangan pertempuran di awal. Jadi kita harus, sebaliknya, menggunakan metode transendental, menunjukkan bahwa berbagai bentuk pemikiran non-Kristen akan menjadikan setiap fakta dan data tereduksi menjadi tidak berarti, bahwa mereka dengan tepat tidak menjelaskan apa-apa, dan bahwa wawasan dunia dan wawasan hidup Kristen adalah satu-satunya yang dapat membuat kita memahami segalanya.
Mempresuposisikan Allah dalam Argumen Apologetika
Dalam setiap penyelidikan faktual, adalah hal yang penting untuk membedakan ide-ide yang kita miliki sebelum penyelidikan dari yang kita peroleh selama penyelidikan. Tidak ada seorang pun yang akan memulai penyelidikan dengan pikiran yang kosong. Proses penyelidikan ini kemudian akan mengoreksi ide yang telah kita miliki sebelumnya. Tetapi juga benar bahwa ide-ide kita sebelumnya sering berfungsi sebagai asumsi yang mengatur penyelidikan: mendefinisikan bidang penyelidikan, menentukan metode penyelidikan, serta mengatur pemahaman kita tentang hasil apa yang mungkin dan yang tidak mungkin, sehingga membatasi kesimpulan apa yang mungkin diperoleh. Terdapat interaksi dinamis antara asumsi dan penyelidikan: investigasi mengoreksi dan memperbaiki asumsi, sedangkan asumsi membatasi investigasi.
Ada beberapa jenis asumsi yang biasanya dianggap kebal terhadap revisi. Di antaranya adalah hukum dasar logika dan matematika: penemuan faktual apa yang dapat meyakinkan kita bahwa 2 + 2 tidak sama dengan 4? Hal yang sama berlaku untuk prinsip-prinsip dasar etika. Misalnya, tidak ada penemuan faktual yang secara sah dapat mendorong seorang peneliti untuk kurang jujur dalam mencatat data.
Bagaimana dengan iman sebagai asumsi yang mengatur pemikiran manusia? Alkitab mengajarkan bahwa orang-orang yang percaya kepada Kristus mengenal Allah dengan cara supernatural, dengan kepastian yang melampaui kepastian yang diperoleh dengan penyelidikan. Yesus sendiri menyatakan Bapa kepada orang-orang yang ia pilih (Mat. 11: 25-27). Orang-orang percaya mengenal misteri Allah melalui Roh-Nya, dalam firman yang diilhami oleh Roh Kudus yang memberikan “pikiran Kristus” (1Kor. 2: 9-16; 2Tim. 3:16).
Dalam banyak hal, pengetahuan supernatural ini bertentangan dengan klaim orang-orang yang tidak mengenal Allah Kristen. Ada pertentangan antara hikmat Allah dan hikmat dunia (1Kor. 1:18-2:16, 3:18-23). Orang-orang jahat (termasuk kita semua, terlepas dari kasih karunia Allah) “menekan” kebenaran Allah dan menggantinya dengan kebohongan (Rm. 1:18, 25). Rasul Paulus mengklaim bahwa pengetahuan supernatural ini sangat kuat untuk “menghancurkan argumen dan setiap pretensi yang bertentangan dengan pengenalan akan Allah” sehingga ia dapat “menawan setiap pikiran untuk taat kepada Kristus” (2Kor. 10:5). Maka, peperangan rohani dalam Alkitab bersifat moral dan juga intelektual.
Oleh karena itu, wahyu supernatural dari Kitab Suci berada di antara asumsi-asumsi, yang sekarang kita sebut presuposisi, yang dibawa orang Kristen kepada penyelidikan intelektual. Bisakah seorang Kristen merevisi presuposisi ini dalam suatu penyelidikan? Dia dapat merevisi pemahamannya tentang presuposisi ini dengan menggali lebih jauh wahyu Allah dalam Kitab Suci dan alam. Tetapi dia tidak mungkin meninggalkan otoritas Kitab Suci itu sendiri.
Fakta-fakta ini menimbulkan masalah bagi apologetika. Orang-orang non-Kristen tidak sependapat dengan presuposisi Kristen di atas. Mereka justru mempresuposisikan yang sebaliknya, karena mereka menekan kebenaran. Tugas seorang apologet, dengan bersandar pada anugerah Allah, adalah untuk meyakinkan orang non-Kristen bahwa presuposisi Alkitab itu benar. Argumen macam apa yang dapat digunakan? Jika argumennya mempresuposisikan kebenaran Alkitab, ia akan berdebat mulai dari presuposisi Kristen dan sampai pada kesimpulan Kristen. Tetapi karena orang non-Kristen tidak akan membenarkan presuposisi Kristen, ia tidak akan menemukan argumen yang meyakinkan. Tetapi jika seorang apologet itu menyatakan argumen yang tidak mempresuposisikan kebenaran Alkitab, bagaimana ia bisa setia kepada Allahnya? Dan bagaimana dia bisa menghasilkan argumen yang masuk akal kecuali dia mempresuposisikan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk keterpahaman?
Aliran apologetika “klasik” atau “tradisional” atau “evidensialis” cenderung mengabaikan pertanyaan ini atau mengambil alternatif kedua: mereka mengajukan argumen yang menghindari penggunaan presuposisi khas Kristen. Ketika mereka mengambil alternatif kedua, mereka mempertahankan kesetiaan mereka kepada pewahyuan alkitabiah dengan mengatakan bahwa presuposisi yang mereka adopsi bukanlah presuposisi Kristen yang khas, juga bukan non-Kristen, tetapi “netral”.
Para presuposisionalis mengklaim bahwa tidak ada netralitas, mengutip perkataan Yesus bahwa “seseorang tidak dapat melayani dua tuan” (Mat. 6:24). Tidak ada kompromi antara hikmat Allah dan hikmat dunia. Ketidakpercayaan membawa kita kepada penyimpangan kebenaran, mengganti kebenaran dengan kebohongan (Rm. 1:25). Hanya dengan percaya kepada firman Tuhan kita dapat sampai pada pengetahuan tentang Kristus yang menyelamatkan (Yoh. 5:24, 8:31, 15:3; Rm. 10:17). Dan kepercayaan berarti mempresuposisikan: menerima firman Allah seperti seharusnya, yaitu dasar dari semua pengetahuan manusia, kriteria ultimat bagi kebenaran dan ketidakbenaran (Ul. 18:18-19; 1Kor. 14:37; Kol. 2:2-4; 2Tim. 3:16-17; 2Ptr. 1:19-21). Jadi, argumen apologetika, seperti semua penyelidikan manusia tentang kebenaran, harus mempresuposisikan kebenaran firman Tuhan.
Masalah Sirkularitas
Presuposisionalis kemudian menghadapi masalah sirkularitas yang kita sebutkan sebelumnya. Jika ia mulai dari presuposisi Kristen sehingga sampai pada kesimpulan Kristen, bagaimana argumennya bisa meyakinkan orang yang bukan Kristen? Dan bagaimana dia bisa menghindari sirkularitas?
Van Til percaya bahwa argumen non-Kristen juga sirkular, “… semua penalaran, pada dasarnya, adalah penalaran melingkar. Titik awal, metode, dan kesimpulannya selalu saling terkait satu sama lain” (Van Til, The Defense of the Faith, hlm. 101). Ini adalah bagian dari kebobrokan orang yang tidak percaya yang menekan kebenaran tentang Allah (Rm. 1:18-32; 2Kor. 4:4), dan kebobrokan itu mengatur alasan mereka sehingga ketidakpercayaan adalah presuposisi mereka, yang pada gilirannya mengatur kesimpulan mereka.
Jadi, bagaimana orang yang Kristen dan non-Kristen dapat mendiskusikan kebenaran agama Kristen, mengingat bahwa masalahnya sudah diselesaikan dalam presuposisi masing-masing dari kedua belah pihak? Van Til merekomendasikan semacam argumen tidak langsung:
“Apologet Kristen harus menempatkan diri pada posisi lawannya dan mengasumsikan kebenaran metode lawannya demi kepentingan argumentasi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada orang non-Kristen bahwa jika dilihat dari posisi mereka, “fakta” bukanlah fakta dan “hukum” bukanlah hukum. Dia juga harus meminta kepada orang non-Kristen agar demi kepentingan argumentasi, mau menempatkan dirinya pada posisi Kristen. Tujuannya adalah agar kita bisa menunjukkan kepadanya bahwa hanya dengan dasar Kristenlah, “fakta” dan “hukum” dapat dipahami.” (Van Til, The Defense of the Faith, hlm. 100-101)
Argumen sirkular tidak dapat dihindari dalam diskusi mengenai standar ultimat bagi kebenaran. Seseorang yang percaya bahwa rasio manusia adalah standar ultimat hanya dapat memperdebatkan pandangan itu dengan mengacu kepada rasio. Orang yang percaya bahwa Alkitab adalah standar ultimat hanya dapat berdebat dengan mengacu kepada Alkitab.
Allah menciptakan pikiran kita untuk berpikir di dalam sirkularitas Kristen: mendengarkan firman Tuhan dengan taat dan menafsirkan pengalaman kita melalui firman itu. Ini adalah satu-satunya cara yang sah untuk berpikir, dan kita tidak dapat meninggalkannya untuk menyenangkan orang yang tidak percaya. Psikolog yang baik tidak akan meninggalkan realitas yang ia rasakan untuk berkomunikasi dengan pasien delusi; demikian juga halnya dengan para apologet.
Dengan metode ini, tampaknya seorang presuposisionalis tidak perlu membuang waktu pada bukti-bukti theistik, bukti sejarah, pemeriksaan terperinci dari pandangan lain, dan sejenisnya. Tetapi para presuposisionalis, seperti semua pembela lainnya, harus menjawab keberatan. Jika apologet mengklaim bahwa hukum fisika tidak dapat dipahami tanpa Allah yang alkitabiah, ia harus menjelaskan mengapa ia berpikir demikian. Penjelasan alternatif apa yang mungkin bagi konsistensi hukum fisika? Apa kekurangan masing-masing pandangan tersebut? Bagaimana pandangan orang Kristen dalam menjawab kekurangan tersebut? Dengan demikian presuposisionalis dapat menjadi serumit argumen klasik.
Kesimpulan
Terlepas dari kesulitan-kesulitan ini, pendekatan presuposisi memiliki manfaat-manfaat. Pertama, metode ini mengambil bagian dalam apa yang Alkitab katakan tentang kewajiban kita untuk mempresuposisikan wahyu Allah dalam semua pemikiran kita dan tentang fakta penindasan orang yang tidak percaya akan kebenaran. Kedua, metode ini memahami apa yang menurut Alkitab harus menjadi tujuan apologetika: untuk meyakinkan manusia bahwa wahyu Allah tidak hanya benar, tetapi juga kriteria ultimat bagi kebenaran, kepastian yang paling mendasar, dasar untuk semua pemikiran yang masuk akal, dan sumber bagi kehidupan yang bermakna.
Pesan Van Til bagi Kita
Kita dapat melihat karya theologi dan apologetika Van Til sebagai sebuah khotbah. Setiap konsep teknis dan sistem apologetikanya menguatkan klaim dirinya sebagai pengkhotbah Injil. “Kristus yang membuktikan diri-Nya sendiri dalam Kitab Suci,” tulisnya, “selalu menjadi titik awal untuk semua yang saya katakan.” Profesor favorit Van Til bukanlah seorang apologet, tetapi seorang theolog bernama Geerhardus Vos, yang ia kagumi karena kedalaman pendekatan Vos yang berpusat kepada Kristus. Van Til mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam tulisan-tulisan apologetikanya, dengan tujuan untuk mengembangkan sistem apologetika yang akan menampilkan kemuliaan Kristus.
Alkitab menampilkan Kristus sebagai “Self-Attesting” (membuktikan diri-Nya sendiri). Artinya, Dia adalah Allah, sehingga seluruh otoritas di sorga dan di bumi adalah milik-Nya. Dia tidak akan tunduk pada standar manusia, kepada ide kita yang sia-sia mengenai diri-Nya yang lahir dari keterbatasan dan keberdosaan kita. Dia berbicara mengenai diri-Nya sendiri, tanpa kesalahan, di dalam Alkitab, dunia, dan di dalam diri manusia. Di dalam Dia segala sesuatu ada, dan karena itu tidak ada hal apa pun yang dapat dipahami dengan benar di luar diri-Nya, termasuk “logika”, “fakta”, dan “hukum” ada seperti sekarang ini karena perkataan-Nya. Kebenaran dari perkataan Kristus bukan sekadar “kemungkinan” seperti yang dipertahankan oleh para apologet, melainkan suatu kepastian yang lebih pasti dibanding kepastian lainnya. Tidak ada alasan untuk tidak percaya kepada-Nya, karena semua orang mengenal Allah, betapa pun banyak orang berusaha menekan
pengenalan ini.
Tentu saja, ini bukanlah pesan yang ingin didengar oleh orang yang tidak percaya. Mereka lebih suka percaya bahwa mereka dapat menilai Kristus dengan standar mereka sendiri. Tetapi Kristus mengatakan bahwa mereka tidak dapat melakukannya. Kristus mengatakan bahwa orang tidak percaya sudah mati dalam pelanggaran dan dosa sehingga tidak memiliki harapan kecuali melalui kelahiran kembali. Van Til menunjukkan betapa menyedihkannya orang yang tidak percaya ketika mencoba untuk menjadi hakim atas semua hal. Di satu sisi, orang yang tidak percaya mengklaim memiliki pengetahuan tertinggi dan absolut, karena hanya dengan pengetahuan seperti inilah mereka dapat menunjukkan bahwa kekristenan tidak mungkin benar. Di sisi lain, ketika klaim arogan ini gagal (seperti yang selalu pasti terjadi), maka orang yang tidak percaya beralih ke pandangan ekstrem yang lain, bahwa tidak ada pengetahuan yang pasti, tidak ada kebenaran absolut, dan dengan demikian mereka membuat argumen mereka sendiri menjadi sebuah omong kosong.
Bagaimana kita mengomunikasikan Injil kepada orang-orang seperti demikian? Dengan memberi tahu mereka apa yang paling tidak ingin mereka dengar, bahwa Kristus adalah Allah, bukan diri mereka sendiri. Dengan menunjukkan kepada mereka apa yang paling tidak ingin mereka lihat, bahwa seluruh upaya ambisius mereka untuk mencari pembenaran diri dalam ranah intelektual adalah konyol dan tidak memiliki pengharapan. Van Til membawa kita untuk melihat apologetika sebagai urusan yang serius, menyangkut hidup dan mati. Seorang dokter yang memberi tahu pasiennya yang mengidap kanker bahwa dia bisa bertahan hanya dengan aspirin adalah seorang dokter yang kejam. Seorang apologet harus menyampaikan kabar buruk ini kepada mereka yang tidak percaya, bahwa ketidakpercayaan bukanlah masalah ketidaktahuan dan kekurangan informasi, melainkan perlawanan pemberontakan kepada Allah dan dengan demikian adalah dosa yang sangat serius.
Tetapi kabar buruk seperti inilah yang menjadi satu-satunya pintu gerbang bagi Injil. Yesus mati untuk orang berdosa dan bangkit mengalahkan maut. Roh-Nya membangkitkan orang yang mati secara rohani kepada suatu hidup yang baru, yang memiliki implikasi pada seluruh aspek hidup manusia, termasuk aspek epistemologis: karena di dalam Kristus ditemukan semua harta, hikmat, dan pengetahuan.
Begitulah pemberitaan Injil Van Til: suatu sistem apologetika yang tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati Juruselamat Van Til yang setia: Kristus Yesus, yang membuktikan diri-Nya sendiri di dalam Alkitab. Karena itu, ketika kita mengingat sang apologet ini, kita tidak akan terhindar dari dorongan untuk menyembah Allahnya dan memberitakan Injil kepada orang tidak percaya yang sedang dan menuju kepada kesia-siaan dan kebinasaan.
Marthin Rynaldo
Pemuda MRII Bogor
Referensi:
- Van Til, Cornelius. 1971. The Defense of Christianity and My Credo. New Jersey: P&R Publishing.
- Campbell-Jack, W. C., McGrath, G. dan Evans, C. S. 2006. New Dictionary of Christian Apologetics. Illinois: InterVarsity Press.
- Frame, John. 2002. Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya. Surabaya: Momentum.