,

Dietrich Bonhoeffer

Gereja dan negara adalah dua lembaga dalam masyarakat. Keduanya memiliki peran yang berbeda, gereja adalah lembaga agama sedangkan negara adalah lembaga politik. Dampak sekularisme menyebabkan gereja hanya berperan di wilayah privat sedangkan negara berperan di wilayah publik. Tetapi benarkah dikotomi seperti ini? Apakah gereja tidak memiliki peran apa pun dalam publik karena statusnya sebagai lembaga agama? Apakah gereja harus diam terhadap masalah-masalah sosial dan politik di dalam masyarakat? Dietrich Bonhoeffer akan menjawab dengan tegas, “Tidak.”

Bonhoeffer adalah seorang theolog Jerman yang melakukan perlawanan terhadap rezim Hitler. Beliau menyadari kelumpuhan yang terjadi dalam gereja yang menutup mata terhadap kebijakan-kebijakan Hitler sampai akhirnya berujung pada Holocaust. Beliau menganggap urusan rohani bukan hanya terbatas di dalam gereja melainkan juga di luar gereja.

Kehidupan Bonhoeffer
Sebelum melihat perlawanan Bonhoeffer, kita perlu memahami latar belakang kehidupannya. Bonhoeffer hidup pada tahun 1906-1945. Dia dilahirkan dalam keluarga terpelajar yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Ayahnya bernama Karl Ludwig Bonhoeffer, seorang profesor psikiatri dan saraf di Universitas Berlin sedangkan ibunya bernama Paula von Hase, seorang guru yang menjadi ibu rumah tangga. Pada tahun 1924, Bonhoeffer mendaftar menjadi mahasiswa fakultas theologi di Universitas Berlin dan pada tahun 1927 dia mendapatkan gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Communio Sanctorum. Pada tahun 1929 dia memperoleh jabatan profesor setelah menyelesaikan habilitasi atau disertasi kedua yang berjudul Act and Being.

Bonhoeffer adalah seorang akademisi. Dia menghabiskan waktunya dengan mengajar dan menulis. Beberapa karyanya yang sangat terkenal adalah The Cost of Discipleship, Life Together, dan Ethics. Selain itu, dia juga aktif di dalam forum gereja-gereja baik di Jerman maupun di dunia.

Ketika Bonhoeffer hidup, Jerman sedang mengalami perubahan politik. Perubahan yang pertama adalah kehancuran Kekaisaran Wilhelmine (Kaiserreich) yang disebabkan oleh Perang Dunia I. Kekaisaran Wilhelmine didirikan oleh Otto von Bismarck pada tahun 1871 untuk menjadikan Jerman sebagai negara yang paling kuat di Eropa. Pada masa itu, negara yang paling disegani di Eropa adalah Kerajaan Inggris Raya dan untuk mengalahkan Inggris, Bismarck meningkatkan kekuatan militer dan industri Jerman. Keadaan ini membawa Jerman dalam Perang Dunia I yang berakhir dengan kekalahan Jerman tahun 1918.

Perubahan yang kedua adalah kegagalan Republik Weimar. Setelah Perang Dunia I berakhir, Jerman kembali menata kehidupannya. Kekalahan Jerman dalam perang dianggap sebagai kegagalan sistem monarki yang didukung oleh kelompok intelektual dan industrialis, sebab itu kelompok oposisi yaitu buruh mengusulkan sistem parlementer. Gagasan ini kemudian dijalankan dalam bentuk republik yang dikenal sebagai Republik Weimar. Republik ini dibentuk dari koalisi kelompok-kelompok yang anti-monarki. Tetapi pemerintahan ini tidak berjalan dengan baik karena kelompok yang konservatif tetap ingin mempertahankan sistem monarki Wilhelmine. Dengan demikian dalam negara Jerman terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan yaitu kelompok anti-monarki dan kelompok anti-demokrasi.

Keadaan ini diperparah oleh masalah ekonomi. Pasca Perang Dunia I, Jerman mengalami inflasi yang tinggi karena harus membayar hutang perangnya, akibatnya pemerintah tidak sanggup mengatasi kekacauan ekonomi. Pemerintahan Weimar tidak dapat mengatasi keadaan ini sehingga harus berakhir pada tahun 1933.

Perubahan yang terakhir adalah berdirinya pemerintahan Nazi (Nasionalis Sosialis). Pada tahun 1933, Partai Nazi yang dipimpin oleh Hitler mengambil alih kekuasaan. Hitler diangkat menjadi kanselir dan berjanji akan mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran di Jerman. Dengan sejarah masa lampau yang begitu gemilang dan kenyataan di depan mata yang begitu menyedihkan menyebabkan rakyat Jerman mengharapkan seorang pemimpin yang dapat mengembalikan kejayaan Jerman seperti di era Bismarck dan Wilhelmine. Bagi rakyat Jerman, pengembalian harga diri dan kebanggaan Jerman adalah prioritas utama dan siapapun yang dapat melakukannya akan didukung sepenuhnya. Tidak mengherankan jika saat itu tidak banyak yang melakukan perlawanan terhadap Hitler.[1]

Hitler kemudian mengubah sistem parlementarian menjadi sistem totalitarian. Dia mengangkat dirinya menjadi Führer, yaitu pemimpin tertinggi. Walaupun hampir sama dengan monarki absolut tetapi ada perbedaannya. Dalam monarki absolut masih terdapat hukum yang dibakukan tetapi raja berada di atas hukum tersebut sedangkan dalam sistem totalitarian Hitler, seluruh hukum adalah produk dari nilai-nilai dan pengalaman pribadi Sang Führer.[2]

Kemunculan Hitler memang memberikan pengharapan kepada bangsa Jerman tetapi menghasilkan ketakutan kepada bangsa Yahudi yang tinggal di Jerman. Demi mempersatukan semangat seluruh bangsa Jerman, Hitler meluncurkan propaganda tentang keunggulan ras Arya. Propaganda ini bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Jerman. Tetapi propaganda ini kemudian diikuti dengan propaganda anti-Yahudi. Hitler menjadikan bangsa Yahudi yang tinggal di Jerman sebagai permasalahan bersama sehingga harus disingkirkan jika bangsa Jerman ingin mendapatkan kembali kejayaannya. Tentu saja propaganda ini mendapatkan dukungan dari rakyat Jerman yang sangat menginginkan Jerman kembali berjaya seperti dulu.

Hitler kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang memisahkan bangsa Jerman dari bangsa Yahudi. Semua orang Yahudi yang memiliki jabatan di pemerintahan ataupun universitas diberhentikan. Bahkan pada tanggal 1 April 1933, Hitler mengumumkan pemboikotan terhadap toko-toko yang dimiliki orang Yahudi. Toko-toko orang Yahudi dijaga oleh tentara dan diberi tanda supaya orang Jerman tidak berbelanja ke sana. Selain itu, seluruh percetakan dan penerbitan yang dimiliki orang Yahudi juga ditutup karena dituduh menyebarkan kebohongan tentang pemerintahan Nazi.

Sejak Sang Führer menduduki tampuk kekuasaan, Jerman memasuki kekelaman yang tidak disadari oleh semua orang kecuali beberapa orang yang masih berhati nurani seperti Bonhoeffer.

Anugerah Murahan dan Harga Sebuah Pemuridan
Kebijakan anti-Yahudi ini juga berimbas pada gereja karena Hitler membuat sebuah aturan pada gereja yang disebut dengan Paragraf Aryan. Peraturan ini bertujuan agar gereja sinkron dengan kebijakan Hitler. Dalam peraturan tersebut dikatakan gereja Protestan Jerman hanya untuk keturunan Arya, dengan demikian semua orang Kristen keturunan Yahudi yang sudah dibaptis di gereja tersebut harus dikeluarkan dari keanggotaan gereja. Selain itu semua pendeta yang berdarah Yahudi juga tidak boleh melayani dalam gereja tersebut.

Kebijakan ini disambut dengan baik oleh sebagian besar tokoh gereja Protestan pada saat itu. Tetapi bukankah kebijakan ini salah? Mengapa gereja malah mendukungnya? Semuanya ini hanya bisa dipahami dengan melihat kondisi gereja Protestan di Jerman saat itu.

Gereja Protestan di Jerman telah menempati posisi yang penting dalam negara sejak zaman Martin Luther. Penguasa negara memberikan perlindungan penuh kepada gereja Protestan dan sebaliknya gereja pun memberikan dukungannya kepada penguasa. Hubungan ini terus berlangsung pada zaman Kekaisaran Wilhelmine. Para tokoh gereja memberikan dukungan mereka kepada cita-cita Bismarck untuk menjadikan Jerman sebagai negara terkuat di seluruh Eropa dan dunia sekalipun sampai harus berperang dengan negara lain. Para tokoh gereja pada saat itu sangat dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang menyatakan bahwa sejarah merupakan pewahyuan dari roh yang absolut sehingga mereka berpikir bahwa Jerman merupakan perwujudan dari roh yang absolut tersebut. Dengan demikian jika Jerman menjadi penguasa dunia berarti Kerajaan Allah sudah hadir.

Hubungan antara gereja dan negara telah menyebabkan gereja menganggap kebanggaan Jerman sebagai kebanggaan mereka juga. Dengan demikian kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I menyebabkan tokoh-tokoh gereja kehilangan kebanggaannya. Mereka menginginkan Jerman seperti pada era Kaisar Wilhelmine maka tidak heran jika mereka menolak pemerintahan Republik Weimar.

Ketika Hitler muncul menjadi penguasa, dia berjanji akan mengembalikan kejayaan bangsa Jerman seperti masa lampau, tentu saja sebagian tokoh-tokoh gereja bergairah mendengarkan ini. Selain itu Hitler juga menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada gereja. Dia tidak melarang gereja Protestan di Jerman bahkan menyatakan gereja merupakan sumber kebudayaan yang penting bagi rakyat Jerman. Selain itu, Hitler menyatakan ketegasannya terhadap pemerintah Stalin di Soviet yang komunis yang dianggap oleh tokoh gereja di Jerman sebagai musuh Tuhan. Keadaan inilah yang menyeret gereja kepada kampanye anti-Yahudi Hitler.

Bonhoeffer melihat kondisi ini lebih jauh. Dia menyatakan sikap gereja seperti ini disebabkan karena anugerah murahan yang telah diajarkan dalam gereja Protestan. Gereja mengajarkan tentang keselamatan melalui iman sehingga yang penting adalah percaya dan setelah itu menjadi anggota gereja dan mengikuti rutinitas gerejawi. Anugerah murahan ini menyebabkan orang-orang Kristen di Jerman sangat menyukai kenyamanan, khususnya di dalam gereja. Tidak mengherankan jika gereja tidak berani untuk menyatakan kesalahan Hitler karena Hitler tidak mengusik kenyamanan di gereja.

Bonhoeffer mengingatkan gereja pada saat itu bahwa Kristus bukan memberikan anugerah yang murah tetapi anugerah yang mahal. Anugerah yang mahal menuntut setiap orang yang menerimanya untuk mengikut Yesus Kristus seumur hidupnya dan harus menyangkal diri dan memikul salib. Bonhoeffer menyatakan ini dalam kalimatnya yang terkenal, “Ketika Kristus memanggil seseorang, Dia memanggilnya untuk mati.” Inilah yang disebut dengan harga sebuah pemuridan. Dengan demikian setiap orang Kristen tidak boleh memikirkan kenyamanannya melainkan harus berani membayar harga demi ketaatannya pada Yesus Kristus, termasuk berani melawan pemerintah yang salah.

Gereja tidak boleh takut melawan kehendak Hitler jika memang tidak sesuai dengan kebenaran firman Allah. Bonhoeffer mengatakan:
The church has only one altar, the altar of the Almighty…before which all creatures must kneel. Whoever seeks something other than this must keep away, he cannot join us in the house of God…the church has only one pulpit, and from that pulpit, faith in God will be preached, and no other faith, and no other will than the will of God, however well-intentioned.

Bonhoeffer mendorong orang percaya agar tidak memerhatikan kenyamanan sendiri melainkan juga kebutuhan orang lain termasuk orang tidak percaya. Gereja tidak boleh hanya memedulikan urusan internalnya tetapi juga urusan lain yang terjadi di luar gereja. Seperti yang dikatakan Bonhoeffer:
The church is the church only when it exist for others. To make a start, it should give away all its property to those in need…The church must share in the secular problems of ordinary human life, not dominating, but helping and serving.

Penutup
Kehidupan Bonhoeffer ditutup dengan tindakannya yang kontroversial yaitu keterlibatannya dalam pembunuhan Hitler. Hal ini menimbulkan sejumlah perdebatan etika di kalangan orang percaya. Kita tidak harus menyetujui tindakannya. Tetapi Bonhoeffer menunjukkan sisi lain dari hubungan gereja dengan negara. Pada saat pemerintah melakukan keadilan, gereja harus menghormati otoritasnya tetapi pada waktu pemerintah melakukan ketidakadilan bahkan kepada orang-orang di luar gereja, gereja seharusnya memberikan teguran kepada pemerintah.

Calvin Bangun
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional

Endnotes:
[1] John A. Moses. Bonhoeffer’s Germany: the political context” dalam John W. de Gruchy (Ed.) “The Cambridge Companion to Dietrich Bonhoeffer” (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 17.
[2] Ibid, 16.