Dunia Atau Kristus? (Sebuah Refleksi SPIK Kristologi VI)

Bagaimanapun juga tak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk penilai. Protagoras menyebutnya sebagai homo mensura. Sejak kecil manusia dengan kesadaran dan akal budinya sendiri dapat membedakan mana hal yang disukai, mana hal yang tidak disukai, mana hal yang menguntungkan, mana hal yang tidak menguntungkan. Bila manusia tidak memiliki sistem nilai dalam dirinya, dapatkah kita membayangkan seperti apa kehidupan umat manusia saat ini?

Tidak hanya terbatas dalam satu aspek, kita menilai segala aspek dalam kehidupan maupun lingkungan kita. Sering kali kita bangga bila memikirkan hal-hal rumit seperti sains, filsafat, teknologi, politik, dan beragam hal lain yang dinilai menempati posisi “penting dan lebih bernilai”. Namun, kita sering kali abai akan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mungkin terdengar kurang keren, seperti pertanyaan, “Apakah yang paling bernilai dari seluruh alam semesta?” Pertanyaan tersebut diajukan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong pada sesi pembuka SPIK Kristologi VI, dengan tema Kristus Penghulu Hidup: Mati dan Bangkit, pada tanggal 10 Maret 2018 yang lalu.

Saat itu beberapa audiensi mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. Audiensi pertama menjawab, “Bumi!” Sepintas saya masih belum benar-benar yakin akan jawaban orang tersebut. Setelah merenungkannya selama beberapa waktu, saya baru menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah.

Di satu sisi kemajuan sains membawa kita mengeksplorasi ruang angkasa. Akan tetapi, hingga kini bumi merupakan satu-satunya planet yang memiliki unsur penunjang kehidupan dan 100% possible untuk menjadi tempat tinggal manusia. Memang ditemukan beberapa planet lain yang diyakini memiliki unsur penunjang kehidupan manusia, tetapi hal tersebut masih bersifat hipotetis. Saya mengambil salah satu contoh, yakni kandungan gas dalam atmosfer Bumi. Semuanya tersedia dalam persentase yang tepat untuk menunjang kehidupan manusia. Tersedia 78% N2, 21% O2, serta 1% gas-gas lain seperti CO2, dan lain sebagainya. Kita tinggal di Bumi yang menjadi planet yang sangat spesial—hanya ada satu di alam semesta!

Sementara itu, di sisi lain, seorang astronom Amerika bernama Carl Sagan mengomentari foto The Pale Blue Dot of Earth[1]. “Dari jarak sejauh ini, Bumi tidak lagi terlihat penting. Bumi adalah panggung yang amat kecil di tengah luasnya arena kosmik.” Pernyataan-pernyataannya sangat menekankan bahwa Bumi tidak ada apa-apanya dibandingkan luasnya semesta—Bumi itu sepele!

Kedua pernyataan ini merupakan pernyataan yang berparadoks. Di satu sisi, Bumi bahkan lebih kecil dari setitik debu di tengah luasnya alam semesta; seperti dikemukakan oleh Carl Sagan. Di sisi lain, inilah planet yang terpenting, satu-satunya planet di alam semesta yang dapat menyokong kehidupan kita sebagai manusia. Perenungan saya mencapai kesimpulan pertama bahwa Bumi adalah planet yang terpenting di seluruh alam semesta.

Audiensi berikutnya menjawab, “Manusia!” Kembali saya merenungkan pernyataan tersebut, melanjutkan perenungan saya sebelumnya mengenai Bumi. Bagaimana mungkin kita, manusia, ditempatkan di planet yang paling bernilai di seluruh alam semesta ini? Saya berusaha mengingat siapakah manusia dari perspektif Alkitab.

Manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Pak Tong mengatakan, “Orang bisa bernilai, karena orang diciptakan menurut peta dan teladan Allah.” Kini saya mengerti mengapa manusia bisa bernilai. Sumber nilai dari manusia berasal langsung dari Allah! Sebuah fakta yang luar biasa mengingat posisi kita sebagai ciptaan yang utama di hadapan Allah.

Setelah kejatuhan dalam dosa, keutamaan yang telah diberikan oleh Allah dihancurkan sendiri oleh manusia. Sistem penilaian kita berubah drastis. Penilaian yang tadinya God-centered berubah menjadi penilaian yang self-centered. Standar untuk menilai yang tadinya berasal dari Allah, kita gantikan dengan standar dari diri kita sendiri dengan sombong dan arogan. Kita bahkan “menutup mata” akan kenyataan bahwa diri kita yang berdosa tidak mungkin dijadikan standar karena kita inkonsisten, tidak koheren, bahkan berkontradiksi dengan diri sendiri! Di tengah kebobrokan dunia, kita memilih bukan untuk menjadi serupa dengan Allah yang benar, melainkan serupa dengan dunia. I choose everything that makes ME happy! Kita memilih diperhamba oleh kenikmatan dunia seperti kekayaan, kemewahan, keserakahan, dan kenikmatan seksual. Sebuah kemunafikan bila kita mengatakan Kristus merupakan nilai yang utama dalam hidup kita, sementara mata rohani kita terbutakan oleh kenikmatan dunia! Kita menganggap hal-hal tersebut lebih bernilai—hal-hal tersebut menempati nilai tertinggi dalam hidup kita. Padahal posisi kita di dunia ini hanya sebagai resident alienin the world, but not of the world! Kita gagal untuk menjadi berbeda dengan dunia. Semuanya akibat keberdosaan kita. Kita gagal untuk menilai dengan benar. Semua karena keberdosaan kita!

Manusia berdosa membuang nilai yang telah diberikan Allah yang menciptakan kita sesuai peta dan teladan-Nya. Kejatuhan kita dalam dosa yang menodai seluruh aspek dalam hidup kita (total depravity) mengakibatkan sistem nilai kita turut hancur (totally wrong evaluation). Di tengah keadaan manusia yang kehilangan standar nilai yang benar ini, Kristus rela turun ke dunia, merendahkan diri-Nya menjadi manusia yang memiliki sistem nilai yang sepatutnya. Pak Tong mengatakan bahwa Kristus seolah berkata, “You have a wrong evaluation!”—Tuhan sendiri yang datang untuk menyatakan pada kita bahwa kita memiliki standar penilaian yang salah!

Bukan hanya turun ke dunia, Kristus pun rela mati disalibkan, agar kita dapat kembali kepada Dia yang benar, yang mengasihi kita. Mengutip kembali khotbah Pak Tong, “Oleh sebab itu, dalam seluruh alam semesta, Tuhan mengatakan Kristuslah nilai yang tertinggi.” Kristus menempati nilai yang tertinggi karena diri-Nya adalah Tuhan yang hidup dan kekal! Ia adalah Tuhan yang mengasihi dan menyelamatkan ciptaan-Nya yang penuh cacat cela, dengan mengorbankan diri-Nya sendiri untuk mati di atas kayu salib, dengan cara yang paling hina! Lewat salib, Ia membalikkan seluruh sistem nilai yang salah dan menyatakan sistem nilai yang benar.

Jadi, bagaimana kaitan antara konsep nilai dan Kristologi? Bila konsep nilai kita adalah menghambakan diri pada dunia, maka tidak mungkin kita memiliki keinginan untuk mengenal Kristus. Hanya Roh Kudus yang dapat menggerakkan hati kita untuk menyadari kesalahan sistem nilai yang kita anut. Bila sistem nilai kita telah diarahkan kembali berpusat pada Tuhan (God-centered) oleh Roh Kudus, pastilah kita mengalami sukacita dalam mengenal Kristus! Namun, pengenalan akan Allah ini tidak pernah mengenal akhir, karena Ia adalah Pencipta yang kekal. Bahkan enam kali SPIK pun tidak akan pernah cukup untuk mengenal Kristus!

Sedikit bercerita mengenai pengalaman saya di bangku SMP. Saat itu saya gemar mengikuti berbagai kompetisi di tingkat nasional dan berusaha sekeras mungkin untuk merebut gelar juara. Prestasi menjadi nilai tertinggi dalam hidup saya—saya tidak peduli akan Tuhan dan kehidupan kerohanian. Kini setelah duduk di bangku SMA, saya mulai menyadari bahwa hal yang dahulunya saya anggap begitu berharga sesungguhnya begitu fana karena menghidupi penilaian dunia yang mengutamakan prestasi dan ketenaran! Apalah nilainya prestasi yang bertumpuk-tumpuk bila saya kehilangan Sang Nilai itu sendiri, yaitu Yesus Kristus?

Sebagai manusia yang sudah ditebus oleh darah Yesus yang mahal, kiranya kita terus diberi hikmat dan kekuatan untuk menghidupi apa yang menjadi nilai tertinggi dalam hidup ini, yakni mengasihi Allah dengan segenap hati dan segenap jiwa dan segenap akal budi dan segenap kekuatan, seperti yang telah dinyatakan oleh Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Amin.

Jason Axellino
Siswa SMAK Calvin

Endnotes:
[1] The Pale Blue Dot of Earth merupakan foto planet Bumi yang diambil dari pesawat ulang-alik Voyager 1 dengan jarak 6 miliar kilometer pada tanggal 14 Februari 1990. Bumi hanya tampak sebagai titik sebesar 0.12 piksel dalam foto ini.