Gereja dalam Konteks Individu dan Penginjilan Pribadi

“Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya”, demikian kata rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma. Kalimat itu sendiri belum memiliki objek jelas yang daripadanya orang percaya diselamatkan. Namun dari pembahasan rasul Paulus selanjutnya di surat yang sama, jelas bahwa kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya dari dosa adalah yang dimaksudkannya. Dosa tidak dapat kita mengerti dalam aspek perbuatan yang kelihatan semata. Dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah (1Yoh. 3:4), dan dalam hukum Allah terdapat hal-hal yang tidak menyangkut aspek perbuatan yang kelihatan. Di dalam sepuluh perintah Allah contohnya, hukum kesepuluh (jangan mengingini) adalah satu dari perintah Allah di mana kita dapat paling jelas melihat bahwa dosa tidak hanya terletak pada aspek perbuatan yang kelihatan, sebab mengingini bukan merupakan suatu perbuatan yang kelihatan. Pada hukum inilah, Paulus, Farisi di antara para Farisi, menyadari kegagalannya dalam mematuhi seluruh hukum Allah (Rm. 7:7). Yesus juga menegaskan bahwa “mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi” kita adalah hukum yang terutama dan terbesar, di samping “mengasihi sesama [kita] manusia seperti mengasihi diri kita sendiri”, yang pada keduanya tergantung seluruh hukum Taurat yang lain (Mat. 22:36-40, Mrk. 12:28-31, Luk. 10:25-28). Maka jelas bahwa pelanggaran terhadap hukum Allah tidak hanya terdapat pada aspek perbuatan yang kelihatan, melainkan juga pada aspek yang lebih dalam daripada itu, yaitu arah hati. Kapan pun arah hati kita condong untuk tidak menaati Allah, kita sudah berdosa.

Dosa juga merupakan sebuah kuasa yang mengikat kita (Rm. 7:21-23). Konsekuensinya, orang berdosa tidak dapat menyenangkan Allah sama sekali, sebab arah hatinya semata-mata hanyalah untuk membuahkan kejahatan (Kej. 6:5). Dari pengertian ini, kita dapat mengatakan kalau orang berdosa seratus persen berbuat dosa dalam seluruh hidupnya. Maka hukuman kekal yang ditimpakan Allah pada orang berdosa bukannya tidak adil.

Sehingga, sejalan dengan itu, ketika rasul Paulus mengatakan bahwa “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya [dari dosa]”, jelas bahwa hal ini juga tidak dapat kita mengerti sebagai menyelamatkan umat pilihan-Nya dari dosa dalam aspek perbuatan yang kelihatan semata, melainkan juga dalam aspek arah hati dan kuasa dosa yang mengikat. Dan hal ini juga berimplikasi bahwa melalui diselamatkan oleh dosa, kita diberikan arah hati yang baru dan kuasa baru yang membebaskan kita darinya. Jadi tindakan Allah bukanlah “satu sisi”, melainkan “dua sisi” koin. Sebab tidak mungkin bagi kita untuk dilepaskan dari arah hati yang salah tanpa diberikan arah hati yang benar, juga tidak mungkin bagi kita untuk dilepaskan dari kuasa yang mengikat tanpa diberikan kuasa yang membebaskan. Pengertian mengenai “keselamatan dari dosa” secara “dua sisi” ini sangat penting untuk kita sadari sebelum kita dapat mengerti kuasa Injil yang diberikan Allah kepada tiap-tiap kita.

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menjelaskan bahwa Allah Bapa mengaruniakan segala berkat rohani di dalam sorga kepada mereka yang dipilih-Nya “di dalam Kristus” (Ef. 1:3-4). Dan mereka yang “di dalam Dia [Kristus]”, dikatakan oleh rasul Paulus, adalah mereka yang beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, oleh karena darah Kristus (Ef. 1:7). Berarti, orang yang ditebus oleh Allah, juga adalah orang-orang yang pasti menerima segala berkat rohani sorga dari Allah. Dan dengan berkat-berkat rohani inilah Allah memberikan arah hati yang baru dan kuasa untuk mengalahkan dosa pada setiap orang percaya. Sehingga orang percaya ini mampu untuk memuliakan dan menjalankan kehendak Allah.

Orang-orang percaya yang telah ditebus itu kemudian disebut rasul Paulus sebagai “tubuh Kristus”, atau Gereja, yang menerima kepenuhan-Nya (Ef. 1:23), sesuai dengan kelimpahan berkat Allah (Ef. 1:11). Dengan kata lain, Allah mencurahkan segala berkat rohaninya, adalah bukan pada yang lain selain Gereja, dan dalam bagian Kitab Suci yang lain, kita juga mendapati bahwa Gereja bukanlah merupakan sebuah komunitas orang percaya saja, tetapi juga dapat merujuk pada setiap orang percaya. Paulus menyebut setiap orang beriman “Bait Allah” dan tempat Roh Allah tinggal di dalamnya (1Kor. 3:16). Dalam hal ini, kita memperolah konsep “Gereja dalam konteks individu”, atau “individu sebagai gereja”. Sehingga, dari surat-surat rasul Paulus tersebut, jelas bisa didapatkan pengertian bahwa setiap orang yang diselamatkan oleh Allah, adalah gereja, dan tiap-tiap dari mereka adalah orang-orang yang berbagian di dalam kelimpahan berkat yang dikaruniakan oleh Allah (Ef. 1:11, 23), dan juga berbagian dalam pekerjaan baik yang dipersiapkan oleh Allah sebelumnya (2:10), yang tidak mungkin untuk kita lakukan ketika kita masih berada di bawah dosa yang mengarahkan setiap kita untuk berbuat pelanggaran terhadap hukum Allah (Ef. 2:1-2). Maka, jelas juga bahwa ketika Allah menyelamatkan umat-Nya, Dia tidak hanya menyelamatkan mereka untuk tidak jatuh ke dalam hukuman kekal, tetapi juga memberikan segala berkat dan kelimpahan-Nya di surga supaya kita berbagian dalam pekerjaan-Nya. Jadi, penyelamatan yang Allah lakukan pada umat-Nya tidak terlepas dari tujuan untuk membuat mereka mengerjakan pekerjaan Allah, atau secara lebih spesifik, pekerjaan Allah melalui Gereja-Nya. Allah, menyelamatkan umat-Nya tidak untuk membuat mereka menjadi pasif, tetapi aktif dalam berbagian di dalam kerajaan-Nya. Dan untuk itu Allah memberikan kepada mereka segala macam karunia (1Kor. 12, 14:1-25; Ef. 4:1-16), supaya mereka dapat saling membangun satu sama lain.

Pada artikel kali ini, penulis hanya bermaksud membahas tentang hubungan pengertian Gereja dalam konteks individu dengan penginjilan pribadi masing-masing kita. Salah satu tugas yang dipercayakan Allah kepada Gereja adalah penginjilan. Karena itu kita dapat mencoba melihat bagaimana hubungan antara pengertian Gereja yang benar dalam konteks individu dan penginjilan ini sesungguhnya terkait.

Pengertian mengenai pemberitaan Injil saat ini, yaitu: Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari dosa”, sering dimengerti sebagai Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari kematian kekal semata” (terlepas dari sisi koin yang lain, yaitu aspek pembenaran arah hati dan pemberian kuasa untuk bisa lepas dari kuasa dosa), baik secara konseptual maupun secara praktis. Yang dimaksudkan dengan memiliki pengertian ini secara konseptual adalah: betul-betul mengerti secara eksplisit bahwa Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari dosa” dalam arti “menyelamatkan umat-Nya dari kematian kekal saja”. Yang dimaksudkan dengan memiliki pengertian ini secara praktis adalah: mungkin saja kita mengerti bahwa hal tersebut artinya tidak dalam aspek keselamatan dari kematian kekal saja, namun demikian tindakan kita belum menunjukkan signifikansi kalau kita mengerti akan hal itu. Dalam mengabarkan Injil, sadar atau pun tidak, pengertian tentang konsep Gereja – yang kepadanya kita akan membawa orang yang kita injili nantinya – akan mempengaruhi sikap kita.

Jika kita memiliki pengertian Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari dosa” sebagai Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari hukuman kekal semata”, baik secara konseptual maupun praktis, secara konsisten kita hanya akan menjalankan amanat agung Tuhan Yesus dengan motivasi untuk menyelamatkan orang dari hukuman neraka. Hal ini memang tidak salah (sebab setiap pengabaran Injil adalah baik), tapi tidak seharusnya berhenti di sana. Sebab, jika berhenti di sana, pengertian ini bukan hanya akan mempengaruhi motivasi kita dalam menjangkau orang lain, tetapi juga akan mempengaruhi mental kita sendiri dalam melihat Injil tersebut.

Seperti juga orang yang akan kita jangkau, kita akan melihat diri kita sebagai individu yang diselamatkan Tuhan dari kematian kekal saja, secara konseptual maupun praktis. Hanya dalam hal ini, kita melihat diri kita berbeda dengan orang lainnya. Dengan kata lain, kita melihat Injil yang ada pada diri kita unik, hanya karena itu menyelamatkan kita dari hukuman kekal, tanpa percaya pada unsur pembaruan secara menyeluruh, yang dapat dibawanya, baik pada orang yang menerima Injil tersebut maupun pada setiap hal yang dilakukan oleh orang yang hidup di bawah kuasa Injil.

Dampak lanjutan yang timbul dari hal ini adalah ketakutan untuk membawa berita Injil tersebut dalam diri kita, oleh sebab kita tidak melihat relevansi positif yang dapat diberikannya (satu-satunya yang dapat memperbaiki hidup manusia secara keseluruhan, bukan hanya secara negatif menjauhkan manusia dari hukuman) bagi setiap orang, sebab kita juga tidak melihat relevansi positif itu bagi kita sendiri. Ditambah kecenderungan untuk melihat dunia ini memang pada dasarnya tidak bersahabat terhadap orang Kristen, sudah akan hancur, dan tanpa pengharapan, sangatlah mudah bagi kita untuk menghina Injil yang kita bawa sendiri, menganggap orang-orang Kristen adalah orang-orang yang paling memelas, memohon belas kasihan orang lain untuk mendengarkan Injil mereka. Injil yang kita kabarkan terasa begitu jelek dan tidak relevan untuk masalah pribadi orang yang kita hadapi, juga untuk masalah di dalam dunia yang dihadapinya. Jika Injil yang seperti ini yang kita beritakan dalam penginjilan pribadi kita, memang sangatlah mungkin bagi kita untuk merasa sulit memiliki keberanian dalam mengabarkannya.

Apakah yang hilang dari pemahaman (baik secara konseptual maupun secara praktis) mengenai Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari dosa” yang terkandung di atas? Yaitu tidak adanya pengertian bahwa Allah yang “menyelamatkan umat-Nya dari dosa” adalah juga mempunyai unsur restorasi (pembaruan) yang mutlak diperlukan bagi setiap orang, untuk membebaskan mereka dari perbudakan dunia dan mengangkat mereka menjadi pewaris berkat sorga dan dunia. Tuhan adalah Tuhan atas sorga dan dunia. Jikalau Tuhan bukanlah Tuhan atas semuanya, Dia bukanlah Tuhan. Dalam Doa Bapa Kami, kita berdoa agar kehendak-Nya jadi di atas bumi seperti di dalam sorga. Jadi, tidak ada tempat di mana Tuhan tidak menjadi Tuhan. Tidak ada tempat pula di mana kebenaran Tuhan tidak mutlak dan tidak diperlukan. Abraham Kuyper mengatakan, “Tidak ada satu inci tempat di dunia ini di mana Kristus tidak berkata, ‘ini milik-Ku’”. Karena Tuhan adalah pemilik dunia ini, kita yang menerima Injil adalah pewaris segala berkatnya di surga dan di dunia ini.

Hanya dengan memiliki pengertian akan Gereja dalam konteks individu yang benar, kita dapat memberitakan Injil dengan benar pula. Pengertian bahwa di dalam “gereja individu”, yaitu setiap dari diri kita, Allah mencurahkan segala berkat rohani dan kasih karunia-Nya, adalah pengertian akan Gereja yang kita percaya. Sehingga, apa yang telah mengubahkan diri kita secara positif dalam perjalanan kita bersama-Nya dan memberikan kuasa bagi kita mengubahkan lingkungan sekitar kita juga, apa yang memberikan kita pengampunan atas dosa kita dan kuasa untuk mengampuni orang yang bersalah pada kita juga, apa yang memberikan kita damai sejahtera di tengah-tengah kesulitan dan kuasa untuk membawakan damai sejahtera di tengah-tengah kesulitan orang lain juga, apa yang memberi kita tujuan untuk hidup dan kuasa membagikan tujuan itu pada orang lain juga, apa yang memberi kita harapan akan masa depan dan kuasa untuk membagikan harapan itu juga, itulah Injil yang kita rasakan, bawakan, dan beritakan. Kita rasakan, karena ketika Injil kita terima, kita juga diubahkan olehnya. Kita bawakan, karena sejak Injil kita terima sampai kita bertemu dengan Tuhan nanti, itu adalah satu-satunya yang kita bawa dan membuat kita hidup dalam perubahan yang progresif. Kita beritakan, karena dari sukacita yang kita rasakan seperti perempuan Samaria, desakan yang kita alami dari dalam seperti rasul Paulus, dan belas kasihan kita bagi mereka yang belum mendengarkan Injil seperti belas kasihan Tuhan pada kita, kita membagikannya pada orang lain. Sebab penebusan yang dilakukan Allah memberikan, bukan hanya pelepasan atas hukuman, tetapi juga pembaruan sempurna yang berkelanjutan. Injil adalah berita yang tetap akan relevan bagi setiap orang sepanjang zaman karena unsur penebusan dan pembaruan yang dimilikinya.

Mengapa Allah mau “menyelamatkan umat-Nya dari dosa”? Sebab Ia baik. Sungguh amat baik. Karena itu ketika menyelamatkan kita, Dia tidak hanya mengeluarkan kita dari kematian kekal, tetapi juga memberikan kepada kita segala berkat yang berlimpah-limpah di dalam kehidupan kita bersama-Nya. Terlalu kecil kalau kita menganggap bahwa Dia menyelamatkan kita agar kita luput dari hukuman neraka semata. Sebab sesungguhnya, Dia menghendaki agar kita semua yang diselamatkan, dikenyangkan oleh segala macam berkat rohani yang melimpah ruah di dalam kerajaan-Nya. Pada “Gereja” (Kerajaan Allah) yang seperti inilah, kita membawa seorang yang belum percaya, supaya dia juga dapat menjadi “gereja” (Bait Allah) yang membawa orang lain kepada “Gereja” (Kerajaan Allah).

Ian Kamajaya

Pemuda GRII Singapura